Perspektif

Pembenaran Penindasan terhadap Perlawanan Anti-Omnibus Law

Sebelum Omnibus Law disahkan, Rezim Jokowi-Ma’aruf telah mempersiapkan alat kekerasan maupun hegemoni untuk menindas perjuangan kelas buruh dan rakyat yang menolaknya serta membenarkan penindasan tersebut.

Indonesia Corruption Watch (ICW) September lalu menemukan, Polri menggelontorkan dana Rp. 408 M untuk membeli peralatan pengamanan demonstrasi anti-Omnibus Law. Peralatan tersebut termasuk command control system for intelligence target surveillance; helm dan rompi anti peluru Brimob; peralatan tactical mass control device; alat counter UAV and Surveillance serta drone observasi tactical.

Rezim Jokowi-Ma’aruf juga mengkonsolidasikan para preman dan kelompok sipil reaksioner. Setidaknya terlihat dari upaya kepolisian untuk mengaktifkan kembali Pam Swakarsa melalui Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa (Pam Swakarsa) sejak 5 Agustus 2020 lalu. Di berbagai kota, berbagai kelompok dikonsolidasikan kemudian spanduk-spanduk disebarkan. Isu yang digunakan serupa dengan rasisme “warga asli” yang tertib versus “pendatang” yang “anarkis.” Terlihat di beberapa kota seperti di Surabaya (Jogoboyo), Malang (Aliansi Ormas Malang Bersatu), dan Yogyakarta (Demonstrasi menolak demo di Malioboro). Di Salatiga, kelompok sipil reaksioner yang dikerahkan diantaranya adalah Lindu Aji, PSHT, LCKI, Banser Salatiga dan Pemuda Pancasila. Mereka menyatakan penolakan terhadap aksi massa rusuh. Hal serupa terjadi di Magelang. Di daerah ini, negara menggandeng pemuka agama, kelompok sipil reaksioner, serikat buruh, dan LSM. Mereka menyelenggarakan kegiatan deklarasi Damai Tolak Aksi Anarkisme pada 19 Oktober 2020. Deklarasi tersebut dibacakan oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama. Dihadiri oleh perwakilan Hotel Artos, pengusaha Trio Hotel, DPC KSPI Magelang, LSM Satgas Garda Bangsa, Satgas Rajawali Kota Magelang, AMPG Kota Magelang, Satgas Perindo, Perwakilan BEM UMM Magelang. Di Gresik dan Sidoarjo, aparat kepolisian setempat menggandeng Pemuda Ansor, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Pancasila, FKPPI, mahasiswa, pelajar, dan perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama untuk mengkampanyekan hal serupa.

Kapolri juga mengeluarkan telegram dengan nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Telegram tersebut antara lain berisi: melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan deteksi dini guna mencegah terjadinya unjuk rasa dan mogok kerja; mencegah, meredam dan mengalihkan unjuk rasa guna mencegah penyebaran Covid-19; melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik; melakukan kontra narasi terhadap isu-isu yang merugikan pemerintah serta tidak memberikan izin unjuk rasa dan kegiatan lain yang menimbulkan keramaian. Upaya serupa juga dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat surat edaran yang menghimbau mahasiswa dan pelajar untuk tidak ikut aksi anti-Omnibus Law.

Manifestasi dari surat serta telegram tersebut antara lain adanya pelarangan aksi massa ataupun penolakan surat pemberitahuan aksi. Umumnya polisi berdalih bahwa adanya aksi akan beresiko meningkatkan penularan Covid-19. Namun hal ini berkontradiksi dengan pembiaran rezim terhadap kampanye Pilkada serentak yang dilaksanakan akhir-akhir ini. Kampanye tatap muka tetap dilakukan di 43% daerah yang menyelenggarakan Pilkada.

Di lapangan, penghadangan serta penangkapan massa aksi sebelum tiba di titik kumpul dilancarkan. Di Bekasi misalkan, rombongan buruh dicegat di tengah jalan ketika akan melakukan perjalanan menuju kantor DPR. Hal serupa terjadi pula di Yogyakarta ketika rombongan mahasiswa UIN bergerak menuju titik kumpul Bundaran UGM. Polisi tidak hanya melakukan pencegatan terhadap massa buruh dan mahasiswa, namun juga massa aksi yang memakai baju hitam. Penangkapan massa aksi berbaju hitam dilakukan di berbagai kota. Di Jakarta misal, polisi melakukan pengejaran, penangkapan dan penggeledahan mereka yang berkumpul di seberang Gedung DPR sebelum aksi dimulai. Di Sumatera Selatan, polisi menangkap 70 peserta aksi berbaju hitam. Di Sukabumi, 7 orang ditangkap. Hal yang serupa juga terjadi di daerah-daerah lainnya.

Mereka ditangkap dengan dalih mencari batu, senjata, molotov, provokator, pengacau, mendompleng aksi, mencegah kerusuhan, dsb. Padahal banyak di antara mereka bahkan belum tiba di tempat aksi dan bergabung dengan massa aksi. Tindakan tersebut sebenarnya adalah upaya rezim untuk mencegah potensi bergabungnya massa luas di luar mereka yang tergabung di dalam serikat buruh ataupun organisasi kemahasiswaan.

Bukan hanya massa aksi yang mendapatkan tindakan represi oleh aparat kepolisian. Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI) dan LBH Pers mencatat ada tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan aparat kepolisian dalam aksi 8 Oktober di Jakarta. Para jurnalis tak hanya dipukuli namun dirampas peralatan liputannya. Salah satu jurnalis Suara.com, menjadi sasaran serangan aparat kepolisian ketika meliput pengroyokan aparat terhadap peserta aksi. Jurnalis tersebut langsung didatangi polisi berpakaian sipil serba hitam. AJI juga mencatat antara 7 hingga 21 Oktober 2020 terjadi 56 kejadian kekerasan terhadap jurnalis saat meliput demonstrasi. Malang, Jawa Timur merupakan kota dengan paling banyak jurnalis diserang oleh aparat keamanan dengan 15 kasus.

Tim medis juga menjadi sasaran penyerangan aparat. Saat aksi 8 Oktober di Jakarta, paramedis dilarang untuk mendirikan tenda tempat evakuasi korban sebelum aksi dimulai. Ketika massa aksi bentrok dengan aparat dan mulai terdapat korban berjatuhan, paramedis ditembaki gas air mata bahkan ada yang hingga dipukul. Di Yogyakarta, hal tesebut juga terjadi dimana paramedis yang berjaga di dalam gang-gang dekat Malioboro, ditembaki gas air mata. Ketika aksi terjadi lagi di Jakarta pada 13 Oktober, polisi menyerang ambulans hingga memasukkan gas air mata ke mobil tersebut. Di Makassar, salah satu dosen Universitas Muslim Indonesia menjadi sasaran pengroyokan aparat saat aksi 8 Oktober.

ICW juga menyebutkan bahwa Istana menggelontorkan dana sebesar Rp. 90,4 M sepanjang tahun 2014 sampai 2019 untuk membayar para pendengung yang di dalamnya terdapat pula selebriti yang kemudian memposting dukungan pada Omnibus Law. Secara keseluruhan untuk aktivitas digital dikeluarkan dana 1,29 triliun dan semakin meningkat pada 2017. Pada bulan Agustus yang lalu, setidaknya 22 selebritis berkampanye mendukung Omnibus Law lewat tagar #Indonesiabutuhkerja. Setelah dikritik, beberapa menyampaikan permintaan maaf. Penyanyi Ardhito Pramono mengakui bahwa dia dibayar 10 juta rupiah untuk setiap cuitan.

Kampanye negatif para pendengung bayaran istana juga dapat dilihat polanya. Narasi dominan yang dimunculkan adalah, para penolak Omnibus belum membaca draft peraturan tersebut, sehingga alasan mereka turun ke jalan hanyalah dikarenakan provokasi atau berita bohong dari media. Ini sebenarnya merupakan turunan dari para politisi borjuis yang lebih dulu menyuarakan hal serupa. Prabowo misal sempat mengatakan bahwa banyak pendemo yang belum membaca Omnibus Law. Para influencer yang dibayar oleh Pemerintah untuk menjadi pendengung juga bersuara sumir kepada para penolak Omnibus Law. Contohnya Desta yang merupakan presenter. “Udah dibaca full nya? Udah paham bener?.. jangan cuma ikut2an teriak dukung atau tolak padahal baca cuma sepotong2 dan ga paham isi nya.. apalagi sampe ngotot2 an biar dibilang keren.. 🙂,” tulis Desta lewat akun Twitter @desta80s miliknya pada 7 Oktober 2020.

Sebenarnya mudah sekali untuk menyimpulkan bahwa mulai dari kepala daerah, anggota partai pendukung Omnibus Law, hingga anggota DPR sekalipun banyak yang belum membaca Omnibus Law. Jika anggota DPR saja belum membaca draft yang kemarin tanggal 5 Oktober telah disahkan, justru aneh jika masyarakat luas sudah membaca. Inilah kontradiksi upaya pembenaran rezim dalam melakukan penindasan terhadap mereka yang menolak Omnibus Law. Toh, persoalan Omnibus Law bukan soal sudah membaca ataupun belum. Persoalan mengenai pro dan kontra terhadap Omnibus Law tidaklah sesederhana itu. Ini adalah memahami struktur masyarakat kapitalis serta situasi saat ini yang terjadi.

Rezim Jokowi-Ma’aruf mengatakan massa aksi yang turun ke jalan hanya termakan berita bohong. Padahal pemerintah merupakan pihak yang gencar menyebarkan hoax. Ini terlihat jelas dari kelakuan Johnny G. Plate (Menkominfo) ketika mengatakan, “Kalau pemerintah sudah bilang hoax, ya itu hoax, kenapa dibantah lagi”. Upaya ini dilakukan hanya untuk mendelegitimasi gerakan massa. Baik para pejabat rezim, mulai dari anggota DPR, Menteri, hingga presiden, beserta para pendengung di belakangnya, sama sekali tidak memberikan fakta bantahan yang substantif berdasarkan isian yang terkadung di dalam Omnibus Law. Hoax negara ini diperkuat pula oleh narasi bahwa DPR sudah secara demokratis mengesahkan Omnibus Law,

Padahal, prosedur penyusunan hingga pengesahan Omnibus Law sudah cacat. Ini terlihat dari adanya laporan kepada Ombudsman mengenai dibuatnya pakta rahasia dan pelarangan menyebarluaskan isian ketika draf Omnibus disusun. Laporan tersebut masuk ke Ombudsman dari salah satu individu yang bergabung dengan tim Satgas Omnibus Law. Sebelumnya, diketahui pemerintah bersama dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan akademisi membentuk Satgas Omnibus Law untuk mengkaji perubahan-perubahan terkait perpajakan dan lapangan kerja. Individu yang bergabung ke dalam tim Satgas tersebut kemudian melaporkan kepada Ombudsmen setelah dirinya diminta untuk menandatangani surat berisi perjanjian bahwa dirinya harus merahasiakan draft Omnibus Law. Sehingga tidak ada sosialisasi yang merata kepada publik memang sudah direncanakan agar publik tidak dapat mengakses. Jadi tidak ada bukti sama sekali bahwa rezim telah mengesahkan Omnibus Law secara demokratis.

Pun, pasca disahkannya pada 5 Oktober lalu, naskah Undang-Undang Cipta Kerja mengalami perubahan beberapa kali dalam kurun waktu seminggu. Setidaknya ada 3 kluster yang mengalami perubahan dalam Omnibus Law. Pertama, kluster ketenagakerjaan dalam pasal 79 yang versi awal setelah disahkan berjumlah 905 halaman, mendapatkan tambahan menjadi 6 ayat. Masih kluster yang sama, penambahan ayat dilakukan pada ayat 88a yang awalnya berisi 5 ayat, berubah menjadi 8 ayat. Ada pula di pasal 154A yang isinya mengatur 14 kondisi yang memperbolehkan adanya PHK, berubah menjadi 15 kondisi.

Di kluster Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam versi 905 halaman, terdapat pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Ketenagalistrikan mengatur lima kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Namun di versi baru, pasal tersebut benar-benar dihapuskan. Perubahan di kluster Kemudahan Berusaha, Energi Perdagangan, dan adanya penggantian kata dan frasa juga tercatat. Tempo mendapati, berbagai perubahan tersebut dilakukan pasca pengesahan 5 Oktober dan dilakukan dengan pertemuan-pertemuan tertutup rapat.

Tak hanya itu, rezim bisa percaya diri untuk mengatakan kepada penolak Omnibus dikarenakan MK sudah dipersiapkan untuk mendukung lancarnya jalan mengesahkan peraturan tersebut. UU MK yang baru saja selesai disahkan, mengatur perpanjangan jabatan hakim MK hingga umur 70 tahun. Selain itu, pemilihan hakim MK pun sudah hampir dapat dipastikan pro terhadap rezim. Ini dikarenakan mayoritas yang memilih hakim MK, adalah mereka yang duduk di kekuasaan legislatif dan eksekutif. Selain itu banyak putusan mahkamah/pengadilan yang mengatakan bahwa Pemerintah bersalah namun ‘dikacangi’. Sebut saja putusan PTUN berhubungan dengan pemutusan jaringan internet di Papua Barat tahun lalu yang memutuskan Jokowi dan Menkominfo bersalah. Contoh lain berkaitan dengan bersalahnya Jokowi terhadap kebakaran hutan 2015 yang diputus oleh MA. Atau contoh terbaru berkaitan dengan gugatan uji materi UU KPK, dimana MK mengatakan bahwa benar telah terjadi pelanggaran formil dalam penyusunan, namun di sisi lain mengatakan bahwa UU sudah berjalan dan berguna sehingga MK memutuskan untuk tidak membatalkan.

Upaya pembenaran rezim melakukan tindakan represifnya terhadap demonstran lainnya adalah; aksi ditunggangi asing. Padahal, pemerintah lewat Omnibus Law yang sebenarnya tunduk pada politik Neoliberalisme, badan-badan kapitalis global seperti IMF, World Bank dan juga negara-negara imperialisme. Itu terlihat jelas dalam pasal-pasal yang termuat di Omnibus Law. Fleksibilitas pasar tenaga kerja, pelucutan hak-hak dasar buruh, kemudahan dalam melakukan eksploitasi alam tak terbatas, dsb. Narasi rezim bahwa demonstran ditunggangi rezim berkontradiksi dengan kondisi di lapangan. Serikat buruh, mahasiswa dan organisasi-organisasi kerakyatan lainnya turun ke jalan justru dengan seruan-seruan anti imperialisme dan antek-antek borjuis pribumi beserta kaum reaksioner yang menindas rakyat.

Sedangkan aparat juga menggunakan modus lain selain mencegat massa akar rumput di tengah jalan. Aparat juga melobby pihak Human Resource Development (HRD) di perusahaan-perusahaan untuk mencari kesalahan para buruh agar tidak berdemonstrasi. Buruh dianggap beresiko membawa virus Covid-19 karena mengikuti demonstrasi, sehingga mereka disuruh untuk melakukan rapid test dengan biaya sendiri jika mau kembali bekerja. Menelepon atau mendatangi sekretariat organisasi mahasiswa yang ikut aksi tolak Omnibus Law serta menekan para pimpinan atau mereka yang ada di sekretariat. Upaya lobby ke mahasiswa misal, dialami oleh ketua BEM UNY dimana dirinya diiming-imingi beasiswa jika sepakat untuk membatalkan mobilisasi massa. Hal yang lain adalah upaya pemerintah menekan para pimpinan organisasi, seperti yang dilakukan oleh Ida Fauziyah, politikus PKB sekaligus Menteri Ketenagakerjaan, yang juga kader NU ketika mendatangi Ketua Umum PBNU Said Aqil 10 Oktober lalu. Hingga mendatangi pesantren, mencari dan mengancam para santri yang mengikuti demonstrasi. 

Jadi, rezim sebenarnya sudah mempersiapkan dari jauh-jauh hari segala langkah untuk mengesahkan kebijakan Omnibus Law. Segala sumber daya yang dimiliki dikerahkan untuk menghadang gerakan anti Omnibus Law. Polisi, dengan menggunakan kekerasannya mengakibatkan ribuan peserta aksi berjatuhan di berbagai kota.

Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 411 korban kekerasan aparat keamanan di 15 provinsi. Tercatat, dari informasi yang kami himpun, ada 26 korban kekerasan aparat di Lampung. Di Jakarta, ada 200 korban pada aksi di 8 Oktober. Di Sulawesi Tengah 11 orang. Di Bandung, 303 korban berjatuhan dalam aksi kurun waktu 6 hingga 8 Oktober. Di Pontianak ada 10 korban, Cikarang 6 korban, Makassar 160 korban, Serang 24 korban, Palu 11 korban, dan Sulawesi Utara 2 korban. Sekitar 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi antara lain: Malang, 3 orang; Surabaya, 14 orang; Jakarta, 54 orang; Yogyakarta, 4 orang; Jambi, 5 orang; Sumatera Selatan, 6 orang; Lampung, 4 orang; Banten, 14 orang; Jawa Barat, 14 orang; Jawa Tengah, 5 orang; Jawa Timur, 15 orang; Kalimantan Barat, 5 orang; Kalimantan Selatan, 1 orang; Sulawesi Selatan, 6 orang; Sulawesi Tengah, 3 orang; Sumatra Utara, 27 orang. Sebanyak 301 diantara mereka ditahan inkomunikado, termasuk 18 jurnalis.

Sekitar 18 orang di 7 provinsi dikriminalisasi dengan UU ITE. Kebanyakan dari mereka yang dijadikan tersangka, dikriminalisasi dengan pasal 212, 216 dan 218 KUHP. Sebuah pasal yang mengatur tentang pemidanaan terhadap sipil yang melawan atau tidak mendengarkan perintah aparat kepolisian/pejabat kekuasaan. Selain itu ada pula yang dikenakan pasal penghasutan seperti yang ditimpakan kepada Muhammad Yusri Ketua Cabang DPC FSBN-KSBSI Sumut, dan juga perusakan fasilitas umum, Di Solo, Faqih Khalifaturrahman ditersangkakan dengan jeratan pasal 2 ayat 1 UU RI nomor 12 tahun 1951 tentang Undang-Undang Kedaruratan hanya karena membawa palu saat ditangkap polisi sebelum aksi. Di Yogyakarta 4 orang yang berinisial IM, LA, CF, dan SB dijadikan tersangka dengan dikenakan pasal 170 dan 187 KUHP.

Empat peserta aksi juga menjadi korban doxing di media sosial pasca demonstrasi. Tiga korban di Yogyakarta, dan satu di Jambi. Ada 3 mahasiswa di Yogyakarta menjadi korban persekusi personil Brimob pada 24 Oktober. Dua peserta aksi di Cirebon menjadi korban penculikan dan terror pasca aksi. Mereka diinterogasi dengan intimidasi fisik dan psikologis. Satu dibawa secara paksa oleh mobil tidak dikenal, dan satunya lagi didatangi di sebuah warung makan. Mereka ditanyai keterlibatannya dalam aksi, sumber dana, hingga pimpinan-pimpinan organisasi. Satu orang mahasiswa dari Universitas Jambi dikriminalisasi dengan dijemput paksa oleh 2 mobil polisi pada 30 Oktober.

Semua itu jauh berbeda dengan bagaimana hukum ditegakan bagi para konglomerat, jenderal dan kelompok reaksioner yang merusak masyarakat. Tidak ada keadilan dan kebenaran dalam berbagai pelanggaran HAM, Soeharto dan kroni-kroninya tidak pernah diadili termasuk perlakuan baik terhadap para koruptor.

Untuk melawan represi kelas penguasa di Indonesia yang terorganisir, membutuhkan perjuangan yang terorganisir pula. Artinya bergabung dalam organisasi yang permanen adalah syarat mutlak dan tidak dapat ditawar. Dengan bergabung ke dalam sebuah organisasi yang terorganisir maka melancarkan perlawanan yang terorganisir akan menguatkan perlawanan terhadap represi.

Penganiayaan ataupun penangkapan terhadap massa aksi harus dihadapi dengan mobilisasi massa yang lebih besar lagi. Solidaritas harus dibangun, aksi-aksi harus dilancarkan di tempat massa aksi ditahan termasuk juga di sidang-sidang massa aksi.

Serikat buruh juga harus membangun/menguatkan kembali milisi buruh yang sudah muncul sejak sekitar tahun 2012, demikian juga dengan gerakan rakyat lainnya. Ini diperlukan untuk menghadapi penyerangan aparat keamanan serta kelompok reaksioner terhadap aksi.

Ditulis oleh Riang Karunianidi / Anggota LSS dan Dipo Negoro/ Kader PS

Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 98, I-II November 2020, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: