DiskusiReportase

Mempelajari PRD, Membangun Yang Baru

Rabu (9/8), Arah Juang menyelenggarakan diskusi terbatas dengan tema “Pertemuan Prabowo-Budiman dan Perubahan Politik (Eks) Aktivis PRD.” Diskusi ini dipantik oleh Max Lane (penulis buku Unfinished Nation), Vijay (mantan kader PRD) serta Mahendra (Perserikatan Sosialis).

Pada Selasa (18/7), Budiman Sudjatmiko mantan Ketua Umum PRD yang dipenjara oleh Rezim Militer Orde Baru bertemu dengan Prawobo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Langkah Budiman tersebut mendapatkan kecaman dari mantan-mantan aktivis PRD. Petrus Hariyanto, mantan Sekjen PRD yang dipenjara bersama Budiman, bersama lebih dari 80 orang yang mendukungnya menyelenggarakan konferensi pers saat momentum Kudatuli. Petrus mengatakan Budiman melupakan sejarah, khususnya kasus penculikan aktivis.

Max dan Vijay menyatakan salut dengan Petrus Hariyanto, kecaman terhadap Budiman itu adalah bentuk solidaritas terhadap kawan-kawan yang dibunuh, hilang ataupun disiksa oleh Rezim Militer Orde Baru. Butuh keberanian untuk bikin pernyataan seperti itu. Mereka juga yakin bahwa ini bukan demi kepentingan politik kubu non-Prabowo bukan juga, seperti tuduhan, isu 5 tahunan.

Sejarah PRD memang pantas dan harus lebih banyak dipelajari bagi gerakan rakyat. Vijay mengatakan bahwa “PRD menjadi tolak ukur bagi organisasi kiri di Indonesia setidaknya dalam 30 tahun terakhir. Ini karena PRD dan organisasi-organisasi terkaitnya yang paling fenomenal. Organisasi yang sangat jelas dalam program maupun strategi taktiknya.” Sedangkan Max mengatakan bahwa “PRD itu jauh lebih hebat dari pada kebanyakan orang sadari. Dari 10 orang menjadi ratusan, di jaman Soeharto yang represifitasnya tinggi. Di tengah kondisi itu pula dapat mengorganisir pemogokan buruh yang melibatkan puluhan ribu buruh, ini lebih banyak dari yang terjadi sesudah Soeharto jatuh. PRD pada saat itu juga memiliki kemampuan untuk melakukan aksi serentak di berbagai kota di Indonesia. Aksi tersebut dengan satu isu, satu slogan, satu tuntutan di hari yang sama. Pada saat pemilu 1997 menyebarkan puluhan ribu selebaran di kampung-kampung miskin di Jakarta. Untuk melakukan itu pimpinan PRD mengeluarkan perintah butuh banyak kader, kemudian banyak kader-kader yang di luar Jakarta bergerak ke Jakarta. Selama melakukan aktivitas seperti itu, terbit juga koran Pembebasan. Meskipun dikejar dimana-mana dan banyak yang dipenjara. Waktu pengadilan, lantang sekali kader-kader PRD saat diadili. Pramoedya Ananta Toer sendiri mengatakan PRD itu hebat, satu-satunya di dunia yang berhasil menjatuhkan rezim militer tanpa senjata.”

PRD memiliki program rezim militeristik-Kapitalistik, kediktatoran Orde Baru. Militeristik dalam hal menjaga kekuasaannya, kapitalis dalam hal kepentingan yang dibela. Orde Baru digardai oleh 5 UU Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI (Sekarang TNI). Menghadapi problem ini PRD mengajukan program utamanya adalah demokratisasi. Pencabutan 5 UU Politik 1985 dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Selain itu PRD dahulu mengajarkan bahwa bentuk perjuangan bagi massa rakyat yang paling tinggi adalah terorganisir dalam partai politik.

Prabowo pada masa ujung akhir Orde Baru adalah perwira Tinggi ABRI. Terakhir menjabat sebagai Pangkostrad. Sebelum menjadi Pangkostrad menjadi Danjen Kopasus dimana pada masa kepemimpinannya di Kopasus Tim Mawar yang menculik para aktivis dibentuk. Jadi jelas Prabowo adalah bagian dari Orde Baru.

Namun kini tokoh-tokoh PRD sudah berada di berbagai partai politik atau kubu para elit. Budiman di PDIP, Dita Sari dan Faisol Reza di PKB, Habiburohman di Gerindra ataupun Andi Arif di Partai Demokrat. Sebenarnya masih terdapat lainnya yang tidak masuk melalui partai namun lewat relawan seperti Haris Rusly Moty yang berada di relawan Prabowo. Di luar yang bergabung dengan kubu para elit juga terdapat mereka yang masuk LSM, professional dan banyak juga yang jadi rakyat biasa aja.

Max juga memberikan catatan bahwa tidak semua mantan PRD adalah seperti Budiman maupun mereka yang menjadi politisi di berbagai partai, masih ada yang meneruskan cita-citanya berupaya mendirikan, memperkuat organisasi politik. Dia setidaknya mengenal beberapa orang yang masih meneruskan cita-cita tersebut. Salah satunya, Max menyebutkan adalah pembicara dari Perserikatan Sosialis.

Paska Reformasi 1998, partai-partai para elit juga mengalami perpecahan. Diantara mereka tidak ada perdebatan mengenai visi misi Indonesia kedepannya. Yang terjadi hanya koalisi dan koalisi dan koalisi. Koalisi-koalisi ini menghasilkan Omnibus Law Cipta Kerja, KUHP, kenaikan harga BBM, dsb yang menguntungkan para elit itu sendiri. Itu politik elit yang berkembang sejak Reformasi 1998.

Langkah-langkah politik eks PRD yang tersebar di berbagai partai ini sebagian besar tidak menentang terhadap Omnibus Law, UU KUHP, UU Ormas, dsb. Keberpihakan terhadap kaum buruh yang menjadi mayoritas rakyat dan menjaga demokrasi dipertanyakan. Manuver manuver politik yang mereka lakukan seringkali tidak melibatkan massa. Padahal dahulu PRD memperjuangkan demokrasi agar ada partisipasi aktif massa dalam politik.

Dengan 2 ukuran ini, isi politik dan strateginya, politik eks PRD ini berubah dari Kiri menjadi Kanan. Dari berjuang mengganti sistem kediktatoran menuju sistem demokrasi sekarang Politiknya mendukung kelas yang berkuasa. Vijay juga menyampaikan bahwa “ saat ini mereka yang tersebar di berbagai partai itu sudah bukan bagian dari gerakan rakyat, melainkan para elit politik.” Ini menunjukan degenerasinya eks-eks PRD

Vijay

Dalam konferensi pers pasca pertemuan Prabowo-Budiman terdapat bumbu mengenai persatuan nasional, jelas Vijay. PRD lewat berdikari online (https://www.berdikarionline.com/membangun-kembali-persatuan-nasional/) padat 2013 menulis persatuan nasional dalam rangka gerakan terpecah-pecah dan menghadapi neoliberalisme. Tawaran programnyanya adalah tujuan negara yang tercantum di pembukaan UUD 1945 seperti mecerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya. Dalam prakteknya di Pemilu 2014, PRD mendukung Prabowo walau tidak secara resmi. Pimpinannya ada yang jadi tim sukses, tim survey, dsb. PRD secara lembaga masih ada tapi secara karakter, program, strategi taktik berbeda dengan PRD yang dahulu.

Tidak ada penjelasan mengenai bagaimana mencapai tujuannya. Tujuan negara yang masih abstrak itu tidak dijelaskan secara kongkrit langkah Langkah yang akan dituju. Misalnya mengajukan atau mengganti suatu UU yang berkaitan dengan tujuan umum itu. Bagaimana langkah politik yang ditawarkan baik lewat parlemen atau jalan ekstra parlemen atau kombinasi keduanya. Budiman sebenarnya lebih kacau lagi. Persatuan menjadi jargon yang kosong karena tidak jelas tawaran persatuannya untuk tujuan apa? Siapa saja yang diajak bersatu? Kalaupun dikatakan kaum nasionalis yang hendak dipersatukan, masih tidak jelas siapakah mereka ini? Tawaran agenda-agendanya juga tidak ada. Persatuan nasional ini seolah-olah bermakna hebat tapi tidak jelas. Lalu apa bedanya Budiman dengan Vicky Prasetyo yang di acara acara TV berkata kata bombastis tapi tidak jelas maksudnya?

Menurut Max kita kita tidak bisa hanya berbicara bahwa dahulu bagus tapi sekarang sudah busuk. Itu hanya menghasilkan sinisme dan kemudian berujung pesimisme. Apa yang dicapai PRD dahulu luar biasa. Kalau capaiannya luar biasa memang muncul pertanyaan bagaimana menjelaskan degenerasi yang sekarang terjadi?

“Kalau melihat dokumen-dokumen PRD awal itu memang yang diperjuangkan adalah Indonesia mengalami perubahan struktur yang tidak lagi kapitalis. Tapi karena berada di bawah kediktaktoran militer maka demokrasi harus dicapai dahulu, agar rakyat dapat bebas berbicara.”

Max Lane

Dalam mencapai perjuangan mencapai tujuan tersebut memang diktaktor Suharto terpaksa lengser dan ruang demokrasinya sekarang jauh lebih luas. Namun sejak tahun 1998 dan 1999 mulai terlihat bahwa perubahan struktur yang ingin dicapai tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat. Sebenarnya pada tahun 1998 segera setelah Suharto jatuh, PRD memunculkan ide harus ada dewan rakyat. Ide ini diserang Amin Rais sebagai konsep Soviet. Namun situasi objektif tidak sematang itu.

Mobilisasi besar-besaran tahun 1997 baik oleh PRD maupun oleh PDI (Megawati) terutama menggerakan kaum miskin kota. Sementara konsep Marxis itu adalah proletar melawan kapitalis. Namun seperti penjelasan Sukarno bahwa di Indonesia tidak hanya ada proletar tapi juga ada marhaen atau istilahnya semi-proletar. Pada tahun 1990an sebenarnya banyak Marhaen itu sudah pindah ke kota dan menjadi kaum miskin kota. Mereka ini bukan proletar yang kerja di pabrik. Semi-proletar atau kaum miskin kota ini yang menjadi tulang punggung mobilisasi. Mobilisasi yang kemudian menakutkan para elit sehingga mengorbankan suharto.

Namun kesadaran mereka sebenarnya belum matang, mereka belum membayangkan merebut kekuasaan, mendirikan negara sendiri dan membelanya dari kontra-revolusi. Kesadaran mereka, sumber dari semua masalah adalah Suharto. Maka dengan perginya Suharto situasi akan minimal menjadi lebih baik. Bahkan bagaimana lebih baiknya, mungkin juga belum ada bayangan kongkrit.

Semuanya berubah ketika Suharto jatuh. Situasi berubah dan termasuk situasi yang membentuk dinamika, membentuk pemikiran PRD selama tahun 1990an itu hilang. Tiba-tiba PRD dipaksa untuk membanting stirnya. Dengan nasib PRD yang baru memiliki pengalaman 6 tahun dan 99 persen kadernya berumur 20an tahun, dengan pengalaman politik yang minim dan bahkan tidak punya pengalaman hidup sebelum terjun ke dalam gerakan. Pada tahun 1998 separuh anggota PRD hanya memiliki pengalaman politik selama 2 tahun karena banyak yang masuk setelah 1996. Ini situasi yang dihadapi PRD pada 1999-2002.

PRD akan banting stir kemana? Ketika cita-citanya adalah perubahan struktural maka hanya ada satu kekuatan yang bisa merubah struktur masyarakat yaitu massa rakyat itu sendiri, yaitu berjuta-juta rakyat itu. Tanpa gerakan jutaan rakyat yang sadar punya cita-cita mau merubah struktur, tidak mungkin terjadi. Bagaimana caranya? Itu pertanyaan bagi seluruh partai kiri yang kecil di seluruh dunia di tengah masyarakat dimana kesadarannya belum bisa mempertanyakan status quo secara mendalam. Massa rakyat mungkin marah dan benci dengan kondisi. Namun untuk membayangkan perubahan dimana mereka sendiri berkuasa belum mampu. Di tempat kerja mereka sendiri tidak berkuasa, tapi harus bisa membayangkan menguasai seluruh negeri. Itu loncatan kesadaran yang luar biasa ke tingkat revolusioner.

Max melanjutkan bahwa menjawab pertanyaan itu jangan meremehkan, jangan seenaknya mengatakan gampang. Banyak partai kiri kecil di berbagai dunia ketika menghadapi kondisi berubah total kemudian bubar. Kalau aliran sosialisme ilmiah tidak bisa asal, harus mempelajari situasi objektif, sejarah negeri sendiri, asal usul situasi yang dihadapi, situasi dunia. Harus membaca, menemukan data dan menganalisanya. Apalagi PRD pada saat itu kader-kadernya masih sangat muda. Maka tidak heran ada yang bergerak ke berbagai arah, ada yang bingung, ada yang tidak memahami kondisi dan kemudian tertekan kondisi kehidupan, ada yang tergoda ini dan itu. Ini bukan hanya PRD, tapi semua mengalami itu. Partai itu terdiri dari manusia bukan robot. Ada juga yang menyadari bahwa tidak bisa lagi terlibat dalam pembangunan partai, tapi bisa membantu hal-hal tertentu. Namun ini tidak cukup untuk menjawab bagaimana masa depan perjuangan?

Max Lane dalam karyanya “Unfinished Nation” menggambarkan bahwa setelah Suharto jatuh, momentum untuk mobilisasi aksi massa mulai menurun. Seiring itu mulai 2000an, PRD mengalami degenerasi dengan dua komponen utama degenerasi. (1) Beberapa kader-kader utamanya keluar dari partai dan fokus pada aktivisme demokratik non-partai seperti menulis, menjadi jurnalis atau masuk ke LSM. (2) Distorsi terhadap apa yang disebut PRD sebagai “strategi atas.” Ini berujung pada perpecahan PRD saat intervensi Pemilu 2009. Kubu Dita Sari dan Agus “Jabo” menanggalkan seluruh proyek Papernas untuk bergabung dengan PBR sedangkan kelompok minoritas oposisi disingkirkan. Proyek PRD/ Papernas/ PBR gagal, Dita Sari keluar dari PRD, mendukung JK-Wiranto di 2009. Garis politik PRD setelahnya mencerminkan keterjebakannya dalam strategi atas dengan aliansi bersama kelas berkuasa. Ketua Umum PRD, Agus “Jabo” sempat memegang jabatan di dalam DPP Partai Gerindra yang dipimpin oleh Jenderal Prabowo.

“Ketika masalahnya bagaimana membangkitkan kesadaran jutaan massa rakyat, maka harus banyak bicara dan banyak bekerja. Mau bangun koperasi, organisasi massa ataupun serikat buruh silahkan. Tapi jangan mengorbankan menyebarluaskan ide yang bisa menjadi inspirasi rakyat banyak. Harus menjelaskan. Tapi sekarang ada persoalan sekarang yang sedikit berbeda dengan jaman Suharto dan sangat berbeda jaman Sukarno. Yaitu keberadaan sebuah partai pelopor.”

Max Lane

Yang harus dijelaskan pada rakyat itu banyak hal. Siapa yang bisa menjelaskan? Mereka yang mengerti persoalan. Itu adalah mereka yang mempelajari persoalan secara ilmiah dan cita-cita merubah ke arah yang lebih bagus, tidak cukup hanya satu orang. Darimana akan dapat banyak orang? Secara sosiologis di Indonesia hanya bisa dapat dari kaum muda yang pikirannya masih segar mau cari jawaban. Bagaimana menemukan kaum muda itu? Ya harus memulai, langkahnya ya bangun organisasi, organisasi yang mandatnya apa? Organisasi cari kader supaya saling mempelajari situasi, saling mantab menghayati situasi, dan mampu meyakinkan rakyat solusinya apa. Mulai dari rakyat yang lagi bergerak. Harus ditemukan untuk diberikan penjelasan yang lebih lengkap. Tapi penjelasan seperti itu hanya bisa disampaikan oleh orang yang komitmen terhadap rakyat dan yang bersama-sama mempelajari masalah sehingga menguasai masalah.

Seperti yang pada akhirnya ditegaskan oleh Max: “Tidak ada sulap supaya bisa loncat dari kecil langsung besar. Pramoedya di Bumi Manusia mengatakan tidak ada yang lebih sulit di dunia ini daripada memulai. Saya salut bagi mereka semua yang memulai. Ngotot mulai. Dari kecil fokus pada menguasai masalah sehingga menjadi pasukan penyebar ide. Pasukan yang menyebarluaskan ide termasuk juga menjelaskan pengertian sejati mengenai sejarah PRD dan gerakan-gerakan kiri sebelumnya. Max juga menegaskan bahwa “jangan seperti anak kecil merengek, saya mau gabung kalau partai kiri besar, kalau tidak besar tidak mau. Harus dewasa, mulai dari apa yang ada, bangun dari situ.” (imk)

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: