Pernyataan Sikap

Tiga Tahun UU Cipta Kerja; Gagal Sejahterakan Rakyat!

Skandal Legislasi Paling Barbar

Omnibus Law Cipta Kerja sejak masih berupa rancangan undang-undang (RUU), telah menjadi satu skandal proses pembuatan legislasi yang paling barbar. Bukan hanya dibahas secara tergesa-gesa, tapi juga tanpa mengedepankan proses partisipasi yang luas dan terbuka. Meski ditolak keras oleh mayoritas masyarakat Indonesia, namun hal tersebut tak mampu membuat Pemerintah dan DPR-RI bergeming. Pada tanggal 05 Oktober 2020, UU Cipta Kerja secara sah menjadi Undang-Undang. Penolakan rakyat tidak berhenti disitu, upaya untuk membatalkan UU Cipta Kerja No.20 Tahun 2020 dilakukan melalui jalan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Alhasil, MK mengeluarkan putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91) yang menyatakan “UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat”.

3 Tahun berselang, tiba-tiba Presiden RI Joko Widodo dengan mengumumkan penerbitan PERPPU Cipta Kerja dengan alasan keadaan genting dan mendesak. Hanya butuh 50 hari, Perppu Cipta Kerja telah resmi menjadi Undang-Undang setelah disetujui oleh DPR dalam rapat Paripurna pada Selasa (21/03), ketika ditanya oleh Puan Maharani “Berkenaan dengan itu apakah RUU tentang penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Cipta Kerja bisa disetujui?” secara serempak anggota dewan yang hadir menyatakan “setuju!.” DPR seringkali mengabaikan bahkan menyelewengkan fungsinya, dari legislasi hingga pengawasan. Bahkan DPR dan Pemerintah bermufakat melakukan pembangkangan konstitusi dengan menyetujui pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang- Undang yang menyengsarakan seluruh elemen rakyat dari petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, mahasiswa, pelajar, masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan, serta kelompok rentan lainnya.

3 Tahun UU Cipta Kerja Membawa Petaka Bagi Kaum Buruh.

Fleksibilitas Kerja, Politik Upah Murah, dan Perlawanan Di Mahkamah Konstitusi Oleh Kaum Buruh;

Kondisi saat ini bisa jadi lebih parah pasca disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Secara umum, terdapat beberapa masalah krusial pada UU Cipta Kerja sehingga berdampak buruk pada nasib kaum buruh.

Pertama, bertambahnya ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang semula maksimal paling lama 3 tahun dengan satu kali perpanjangan kontrak 2 tahun, dengan tambahan maksimal 1 tahun, sekarang perjanjian kontrak menjadi maksimal hingga 5 tahun. Artinya dengan durasi kontrak kerja yang panjang tersebut, maka buruh semakin tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya. alias sulit diangkat menjadi pekerja tetap atau PKWTT.

Kedua, dihapuskannya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan alih daya (outsourcing). Sehingga semua buruh yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan dapat dipekerjakan dengan sistem outsourcing atau alih daya.

Ketiga, dihapuskannya variabel “kebutuhan hidup layak” sebagai pertimbangan penetapan upah minimum sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas. Sehingga Kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak. Apalagi Kenaikan upah sektoral sudah tidak diberlakukan lagi sejak tahun 2021 hingga sekarang. Bahkan Menteri Ketenagakerjaan juga menerbitkan Permenaker No.5/2023 yang melegitimasi pemotongan upah buruh hingga 30%/bulan dan perubahan waktu kerja sepihak bagi buruh di sektor industri padat karya berorientasi ekspor.

Keempat, pemutusan hubungan kerja menjadi lebih mudah karena dibuka proses PHK hanya melalui pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului dengan perundingan. Hal ini yang kemudian mengakibatkan ledakan angka buruh yang di-PHK sepanjang UU Cipta Kerja diberlakukan.

Kelima, terjadinya Pengurangan hak pesangon kaum buruh, yang sebelumnya dengan perhitungan 2 x PMTK bisa mencapai 32 bulan gaji, saat ini maksimal hanya 1,75 PMTK dengan maksimal perhitungan 25 bulan gaji, yaitu pesangon 19 bulan gaji ditambah 6 bulan gaji diambil dari JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36. Bahkan pengurangan hak pesangon buruh yang di PHK dengan alasan perusahaan merugi tanpa dilakukan metode audit berdasarkan ketentuan hukum dan perusahaan tidak tutup, maka pesangon buruh yang sebelumnya sebesar 2 PMTK kini dikurangi menjadi hanya 1 PMTK. Dan untuk PHK karena perusahaan merugi dan tutup, hak pesangon buruh yang sebelumya 1 PMTK dikurangi menjadi hanya 0,5 PMTK. Keenam, UU Cipta Kerja juga sangat mengurangi kontrol negara terhadap hubungan kerja, karena banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja. Secara sosiologis- empiris, pengaturan seperti ini sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.

Keenam, narasi dari rezim yang memaksakan pembuatan perpu cipta kerja menjadi undang-undang dengan dalih “ kegentingan memaksa, situasi ekonomi global, dan kekosongan hukum ” adalah akal- akalan semata demi para oligarki. Faktanya pertumbuhan ekonomi indonesia pada tahun 2020 hingga 2023 saja mencapai 5 % lebih, sehingga krisis ekonomi yang selalu dipropagandakan oleh rezim agaknya tidak sesuai dengan fakta pertumbuhan ekonomi yang terjadi di indonesia. Di samping itu, narasi kegentingan memaksa yang diucapkan oleh rezim tidak memiliki landasan yang kongkrit atas dibuatnya perpu cipta kerja sebagai sebuah jalan menghadapi kegentingan memaksa yang dimaksud.

Bahwa kemudian, pasca putusan MK no 91/PUU-XVIII/2020 tentang undang-undang cipta kerja no 11 tahun 2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat pada praktiknya masih dijalankan oleh pengusaha dan juga lembaga pemerintah seperti Disnaker serta Pengadilan Hubungan Industrial dalam memutus perkara. Artinya narasi kekosongan hukum yang diucapkan oleh rezim adalah sebuah tipuan terhadap rakyat yang menjadi korban atas terciptanya undang-undang cipta kerja omnibus law khususnya kaum buruh.

Ketujuh, Kaum Buruh saat ini tengah berjuang untuk menggagalkan Undang-Undang Cipta Kerja No 6 tahun 2023 di Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme gugatan uji formil atas pembentukan perpu menjadi undang-undang. Tentunya langkah ini sekaligus menguji konsistensi dan komitmen Mahkamah Konstitusi atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang telah ditetapkan sebelumnya yang memuat narasi “ melarang penyelenggara negara untuk tidak membuat kebijakan strategis dan melakukan revisi terhadap undang-undang tersebut kurang lebih selama 2 tahun”. Langkah menggugat secara formil yang dilakukan oleh kaum buruh di Mahkamah Konstitusi tentunya adalah sebagai wujud bahwa penolakan terhadap undang-undang cipta kerja tetap menyala dan sebagai sebuah pintu masuk persatuan rakyat dan gerakan multisektor dalam melawan undang- undang tersebut.

Memperparah Krisis Agraria dan Ketimpangan Penguasaan Lahan

Di sektor agraria, KPA mencatat berbagai implementasi kebijakan turunan UU Cipta Kerja semakin memperburuk keadaan, petani, nelayan dan masyarakat adat. Pertama, lahirnya Lembaga Bank Tanah yang merupakan produk turunan dari UU Cipta Kerja telah meningkatkan eskalasi konflik agraria di lapangan. Kementerian ATR/BPN menyatakan bahwa luas aset tanah dari Bank Tanah sudah mencapai 10.961 hektar di tahun 2023, meningkat drastis dari 4.312 hektar di tahun 2022. Operasi pengadaan tanah oleh bank tanah dengan cara mematok – matok tanah masyarakat telah menyebabkan keresahan dikalangan petani dan menyebabkan konflik agraria di berbagai wilayah sebab, proses penetapan lokasi dilakukan secara sepihak tanpa melihat kondisi eksisting di lapangan.

Pada tahun 2022, tanah warga Desa Batulawang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat diklaim secara sepihak oleh Bank Tanah sebagai asset mereka. Padahal tanah tersebut sudah dikuasai oleh masyarakat selama puluhan tahun padahal telah menjadi lokasi prioritas penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah. Hal serupa terjadi di Desa Wawutu, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Masyarakat desa resah sebab pemukiman dan tanah pertanian mereka diklaim sepihak oleh Bank Tanah.

Kedua, keberadaan Lembaga Bank Tanah menghambat agenda reforma agraria. Mengacu pada PP 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, objek yang dijadikan sebagai asset lembaga ini serupa dengan tanah obyek reforma agraria seperti yang tertuang dalam Perpres No.86/2018 tentang Reforma Agraria. Artinya, keberadaan lembaga ini berpotensi besar menghambat atau menyelewengkan agenda reforma agraria yang diklaim pemerintah sebagai salah satu agenda prioritas mereka. Apa yang dialami oleh warga Batulawang di atas merupakan satu contoh bagaimana lokasi yang telah menjadi prioritas penyelesaian konflik agraria, tiba-tiba menyeleweng menjadi asset Bank Tanah yang selanjutnya akan diberikan kepada Densus 88.

Ketiga, meningkatnya ancaman penggusuran dan perampasan tanah atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Total uang negara yang digunakan sebagai ganti rugi pengadaan tanah untuk PSN sebesar Rp 90,996 Triliun selama periode 2016-2022. Tersebar di 52 PSN seluas 156.002 ha (Kemenkeu, 2023). Selama 2021, Menurut Dirjen Pengadaan Tanah dan Pembangunan Pertanahan Kementerian ATR/BPN tahun 2021, kementerian tersebut telah melakukan pembebasan tanah mencapai 23.000 hektar untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) dan 10.000 hektar non-PSN. Besarnya gelontoran pendanaan ini ditambah berbagai kemudahan proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur melalui turunan dari UU Cipta Kerja telah meningkatkan eskalasi penggusuran dan perampasan tanah di lapangan dengan dalih proyek strategis nasional.

Keempat, kemudahan importasi pangan mengancam kedaulatan dan kehidupan petani. Tahun 2022 pemerintah mengimpor beras sebesar 429.207 ton, namun mendekati pemilu impor beras melonjak hingga dua juta ton sebagai target sampai dengan akhir Desember 2023 (Surat Penugasan Badan Pangan Nasional (Bapanas) kepada Badan Urusan Logistik, 2023). Padahal produksi beras nasional pada tahun 2022 mencapai 31,54 juta ton beras, sementara konsumsi nasional 30,2 juta ton, artinya ada surplus 1,3 juta ton (BPS, 2022).

Kelima, semakin masifnya korporatisasi pangan dan peminggiran petani melalui Food Estate Alih- alih melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani sebagai garda depan pahlawan pangan sebagai jawaban atas krisis pangan yang mengintai selama periode krisis Covid-19, pemerintah justru menyerahkan urusan penyediaan pangan nasional kepada korporasi-korporasi besar. Laporan Kementerian Pertanian tahun 2023, pengembangan areal Food Estate sudah mencapai 54.527 hektar yang tersebar di delapan kabupaten. Pembangunan dan pengembangan korporasi pangan ini telah melahirkan perampasan tanah masyarakat dan kerusakan lingkungan di lokasi-lokasi yang telah ditetapkan.

Keenam, pengadaan tanah untuk Kawasan Ketahanan Pangan rugikan petani pangan Agenda kedaulatan pangan sesungguhnya sudah sumir sejak disahkannya UU Pangan, guna mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan, Pemerintah hanya perlu menetapkan Cadangan Pangan Nasional (Pasal 4 UU Pangan). Artinya dalam pandangan pemerintah kedaulatan pangan hanya soal menjaga kesimbangan antara angka cadangan pangan dengan target impor pangan. UU Pangan tersebut semakin dilemahkan dengan adanya UU Cipta Kerja, cadangan pangan Pemerintah dapat berasal dari impor luar negeri bukan lagi hasil produksi dalam negeri.

Masalah berikutnya adalah kian marak pengadaan tanah bagi kawasan ketahanan pangan, tak tangung-tangung Tentara sendiri yang turun tangan dengan menggandeng PTPN. Dari kerjasama ini keduanya saling mendapat keuntungan, tentara digunakan untuk menggusur petani agar kembali menjadi klaim PPTN. Lantas Tentara diberikan imbalan menggarap tanah tersebut dengan dalih mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini banyak terjadi salah satunya di Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, karena Konstrad dan PTPN bersepakat membangun kawasan ketahanan pangan seluas 1.067 hektar di atas tanah-tanah petani Anggota Serikat Petani Pasundan.

Ketujuh, kebijakan pengampunan Forest Amnesty bagi bisnis ilegal korporasi-korporasi di kawasan hutan. Sejak UU Cipta Kerja disahkan hingga April 2023, Kementerian LHK telah mengeluarkan 12 SK dengan total perusahaan ilegal sebanyak 2.701, dengan luas mencapai 3.372.615 hektar (SK.322/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/4/2023). Hal ini berbanding terbalik dengan proses pelepasan kawasan untuk kepentingan redistribusi tanah bagi rakyat yang hingga saat ini masih buntu.

Kerusakan Lingkungan

Dalam konteks lingkungan ada beberapa dampak bahaya UU Cipta Kerja. Pertama dalam konteks, kejahatan kehutanan. Dimana UU Cipta Kerja, secara prinsip mengampuni kejahatan kehutanan melalui mekanisme keterlanjuran dan mereduksi sanksi pidana menjadi sanksi administrasi yang juga menempatkan kuantifikasi lingkungan serta dampak lingkungan menjadi uang. Pengampunan kejahatan kehutanan ini dioperasionalkan melalui pasal 110 A dan 110 B. Proses ini bahkan melaju cepat di tahun politik ini. Maret 2023 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kembali menerbitkan Surat Keputusan (SK) ke XI yang berisi data serta informasi kegiatan usaha yang telah terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan kehutanan. Teridentifikasi 890 subjek hukum, yang didominasi oleh korporasi sawit sebanyak 531 unit, korporasi pertambangan 175 unit dan selebihnya adalah individu, koperasi, dan kelompok tani. Sebelumnya, SK 1-7 yang diterbitkan oleh KLHK mengidentifikasi sebanyak 1.192 Subjek hukum. 616 diantaranya merupakan korporasi sawit, 130 unit korporasi pertambangan. Selebihnya 241 subjek hukum individu dan kelompok dengan aktivitas perkebunan sawit, dan 205 unit kegiatan lainnya.

Berdasarkan analisa data yang dilakukan oleh WALHI, dari korporasi-korporasi yang diidentifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besarnya tergabung dalam grup besar sawit di Indonesia. Bahkan, selain beraktivitas illegal dalam kawasan hutan, sebagian besar korporasi tersebut melakukan pelanggaran lainnya, seperti kebakaran hutan dan lahan serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik dengan masyarakat. Salah satu contohnya, PT Bumitama Gunajaya Agro (PT BGA) yang mengajukan keterlanjuran melalui pasal 110 A dan 110 B hingga saat ini berkonflik dengan masyarakat di Kinjil, Kalimantan Tengah, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap 3 orang masyarakat.

Bukan hanya mekanisme keterlanjuran dalam pasal 110 A dan 110 B yang mengancam keselamatan hutan, namun beberapa pasal lainnya seperti dihapusnya pasal yang mewajibkan minimal 30% hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan atau pulau harus terjaga. Dihapusnya pasal ini akan semakin mempercepat deforestasi hutan-hutan tersisa. Selain itu, pasal mengenai Percepatan pengukuhan Kawasan hutan tidak diatur lebih lanjut, sehingga akan sangat mungkin mengukuhkan Kawasan hutan tanpa persetujuan rakyat, hal ini tidak jauh berbeda dengan asas Domeinverklaring. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberikan persetujuan terhadap usulan perubahan fungsi dan peruntukan Kawasan hutan juga dihapus. Kondisi ini akan menghilangkan mekanisme check and balance terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Selain memperlemah penegakan hukum dan menghilangkan tanggung jawab negara untuk melindungi batas minimal 30% Kawasan hutan, undang-undang Cipta Kerja juga mereduksi makna AMDAL. Dalam undang-undang Cipta Kerja, dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini mereduksi makna AMDAL yang sebelumnya merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan.

Selain itu, pasal 162 UU Cipta Kerja juga mengafirmasi pasal 162 di undang-undang Mineral batu bara yang sering dipakai oleh aparat penegak hukum dan korporasi untuk mengkriminalisasi rakyat yang mempertahankan wilayah kelolanya dari ancaman aktivitas pertambangan.

Pendidikan Mahal dan Ketidakpastian Kerja

UU Cipta Kerja dalam paragraf 12 tentang pendidikan dan kebudayaan di pasal 65 membahas soal pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan bisa melalui perizinan usaha. Hal tersebut tentu akan mendorong Perguruan Tinggi menjadi model corporate university (PTN-BH) yang yang dituntut mandiri dan kompetitif, serta memiliki keleluasaan mencari dana sebesar-besarnya dari kantong masyarakat ataupun kerjasama swasta dengan dalih telah dipotongnya anggaran dari negara.

Tidak heran jika biaya pendidikan setiap tahunnya mengalami kenaikan secara konsisten imbas regulasi yang menopang praktik komersialisasi dan privatisasi tersebut; komodifikasi penelitian dan kerja-kerja akademik, karena semakin masif melakukan hilirisasi riset dan link and match dengan korporasi; outsourcing pekerja akademik, pengaturan mengenai kepegawaian dosen maupun non- dosen dalam PTNBH diatur secara seragam menuju “tenaga kontrak” universitas/institut yang mengeksploitasi; dan, manufakturisasi metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang membungkam kekritisan/kebebasan akademik serta menumbuhkan budaya anti-kritik dalam pendidikan.

Hampir 3 Tahun berselang paska disahkannya UU Cipta Kerja, investasi dan kemudahan bisnis yang dibayangkan akan mampu menyerap banyak tenaga kerja, nyatanya tidak juga membawa dampak yang signifikan. Berdasarkan data World Employement and Social Outlook (WSEO) pada 2022, angka pengangguran di Indonesia diperkirakan menyentuh di angka 6,1 juta orang, atau 1,2 juta orang lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelum disahkannya UU Cipta Kerja. Dari sisi usia, anak- anak berumur 19-24 tahun dan 25-29 tahun masih menjadi angkatan penyumbang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terbesar pada tahun 2021, masing-masing 17,66% dan 9,27%. Berdasarkan tingkat pen didikan, lulusan SMA, SMK, dan Perguruan Tinggi masih menjadi penyumbang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi. Masing-masing sebesar 8,55% dan 6,97% pada tahun 2021.

UU Cipta Kerja terbukti tidak mampu menjawab kondisi krisis yang dialami oleh kaum muda pelajar- mahasiswa, yaitu ketidakpastian kerja dan kerentanan masa depan. Kenyataannya, kebijakan ekonomi politik yang berupa UU Cipta Kerja yang dilahirkan Rezim Jokowi-Amin sebagai pelanggeng karpet merah bagi oligarki atau pemilik modal justru semakin mendorong kaum muda pelajar-mahasiswa terjerumus dalam jurang ketidakpastian masa depan.

Penyempitan Ruang Demokrasi dan HAM

Kemerosotan kualitas hidup rakyat sebagaimana yang disebutkan diatas, juga dibarengi dengan semakin menyempitnya ruang demokrasi dan sipil bahkan mengarah pada kecenderungan penutupan ruang kebebasan sipil dan demokrasi. Situasi ini diafirmasi lewat sejumlah indeks demokrasi, misalnya dari Economist Intelligence Unit (EIU), yang menyatakan kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan. Indonesia menempati angka 6,71 poin dan masih belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Begitupun jika merujuk data dari Freedom House yang menunjukan penurunan angka kembali di tahun 2023 dengan 58/100. Adapun komponen signifikan yang menyebabkan rendahnya anga ini yakni civic space. Indonesia pun belum dapat memperbaiki situasi dengan keluar dari klasifikasi negara yang tergolong partly free.

Cara untuk melakukan pembungkaman lewat kriminalisasi dan represi terus dinormalisasi di tengah semakin masifnya invasi eksploitatif dan watak pembangunan yang kembali menjadi proyek prioritas negara . Kriminalisasi terhadap petani Serikat Pekerja Tani Karawang (SEPETAK), Kriminalisasi 3 warga Pakel, Banyuwangi, kriminalisasi terhadap Buruh PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris yang menyuarakan tentang eksploitasi SDA di Papua, Rocky Gerung, setelah kritiknya terhadap Presiden terkait Ibu Kota Negara (IKN), merupakan sedikit contoh dari kasus-kasus kriminalisasi terhadap elemen masyarakat sipil yang berjuang dalam pemajuan nilai demokrasi dan HAM.

Perbaikan dalam tataran regulasi, kebijakan maupun langkah teknis di lapangan dalam rangka penghormatan hak sipil tak kunjung dilakukan. Pemerintah juga gagal menghadirkan ruang aman bagi publik untuk berpartisipasi secara bermakna dan bermanfaat (meaningful and worthwhile) dalam pengambilan keputusan. Selain itu, situasi diperparah dengan dilemahkannya masyarakat sipil lewat pembatasan legal atau dalih penegakan hukum sehingga memperkuat fenomena praktik autocratic legalism. Hal ini pada akhirnya menciptakan iklim ketakutan dan mematikan keinginan partisipasi dalam rangka melakukan pengawasan dan kontrol publik. Kelompok masyarakat yang memperjuangkan hak dalam isu-isu sensitif kerap mendapatkan serangan berupa persekusi dan stigmatisasi. Hal tersebut misalnya menimpa kelompok minoritas gender dan agama yang banyak sekali mendapatkan ujaran kebencian, persekusi dan teror. Hal ini semakin menegaskan bahwa belum ada upaya nyata dalam menjamin inklusivitas ruang demokrasi di Indonesia.

Bentuk pembungkaman yang sebelumnya berfokus pada serangan fisik, kini perlahan telah bergeser. Selain penyerangan secara digital, instrumen hukum seringkali dijadikan sebagai senjata ampuh untuk membungkam publik seperti halnya dengan UU ITE dan delik penyebaran berita bohong. Pembaharuan hukum pidana lewat KUHP baru pun tidak menjawab permasalahan dan justru makin berpotensi melanggengkan fenomena ini, sebab masih mengandung pasal-pasal anti demokrasi.

Seruan Persatuan Gerakan Rakyat

Oleh karena itu, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) tak bosan-bosan menyerukan kepada seluruh kelas buruh Indonesia, kaum tani, pemuda pelajar-mahasiswa, rakyat miskin kota, perempuan Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia untuk terus memperhebat dan memperkuat persatuan perjuangan gerakan rakyat. Sebab, tidak ada jalan lain untuk mengubah kondisi kehidupan agar lebih baik lagi selain dengan kekuatan dan perjuangan kita sendiri. Di depan sana, ketika kita sudah mau bergotong royong bahu membahu menyatukan kekuatan kita, tangan kita yang kuat ini akan kita angkat setinggi-tingginya, sehormat-hormatnya, untuk menghancurkan rantai penindasan. Kehidupan yang adil, layak, setara dan sejahtera akan segera terwujud dengan kekuatan dan perjuangan kita sendiri.

Maju Terus Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia!

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menyatakan sikap untuk mendesak :

1.Cabut Omnibuslaw Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja beserta PP Turunannya

2.Cabut Seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi (UU Minerba, KUHP, UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya, UU IKN, UU Pertanian, RUU Sisdiknas dan Revisi UU ITE).

3.Cabut Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubaha Ekonomi Global

4.Hentikan Liberalisasi Agraria dan Perampasan Tanah, Tolak Bank Tanah

5.Lawan Pembungkaman Demokrasi di Lingkungan Akademik

6.Hentikan Kriminalisasi Terhadap Gerakan Rakyat di Semua Sektor

NARAHUBUNG :

1. 081280646029 (Sunarno)

2. 085697100396 (Ihsan Kamil)

3. 082213426109 (Herman Abdul Rohman)

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: