DiskusiReportase

Map Corner : Launching dan Bedah Buku “Buruh Menuliskan Perlawanannya”

Buruh Menuliskan PerlawannyaSholatlah sebelum disholatkan, menulislah sebelum dituliskan (Syarif Arifin 05-Mei-2015).

Pada 5 Mei 2015—tepatnya hari selasa pukul 15.00 (molor sampai 15.37)-18.30—MAP Corner UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta menyelenggarakan diskusi, lounching, dan bedah buku “Buruh Menuliskannya Perlawanannya.” Di dalam acara ini, buku yang dilounching dan di bedah itu juga di jual. Buku dengan ketebalan 500 halaman ini di acara ini dijual seharga Rp. 60.000. Ga bisa ditawar lebih rendah lagi. Kecuali kalau ngelobi salah satu editornya, ya.. bisa turunlah dengan harga Rp. 50.000 he..he..he.. Dalam diskusi ini KPO PRP juga membuka stand buku dan koran Arah Juang.

Buku ini adalah kumpulan tulisan 15 buruh yang tersebar di kawasan industri di Indonesia, seperti-diantaranya di Pati, Tangerang, Bandung, dan Jakarta. Buruh-buruh yang menulis di sini adalah buruh-buruh yang pada awalnya hanya bekerja saja, namun dalam perjalannya mereka masuk dalam serikat buruh dan dari sinilah mereka kemudian berlawan.

Acara ini sebenarnya diskusi lanjutan dalam rangka memperingati Mayday 2015. Di dalam acara ini hadir sebagai pembicara Syarif Arifin atau yang akrab dipanggil bung Iip (salah satu editor buku itu), Syamsuri (salah satu buruh yang menuliskan perlawanannya), dan Kirnadi (Aliansi Buruh Yogyakarta).

Presentasi

Syarif Arifin (Editor Buruh Menulis Perlawanannya):

Bung Iip dalam kesempatan ini menyampaikan informasi terkait dengan hal yang mendorong Bung Iip dan kawan-kawan mengajak buruh-buruh menuliskan perlawanannya. Manurut Bung Iip motivasi untuk mendorong buruh menulis adalah karena selama ini tema-tema buku yang mengulas tentang perburuhan, baik itu kehidupannya, pekerjaannya, dan bahkan perlawanannya dituliskan oleh orang ke-dua atau orang lain (misalnya dituliskan oleh peneliti atau akademisi). Dan, yang lebih memprihatinkannya lagi, buruh-buruh sendiri tidak sadar kalau dirinya sedang disimpulkan oleh orang lain. Lebih jauh, bung Iip mengatakan, yang lebih mengerikan lagi, oleh orang lain buruh-buruh hanya dikuantifikasikan hanya menjadi angka-angka. Dan kalau pun dituliskan dalam bentuk kualitatif, tulisannya pun rumit untuk dipahami, karena prinsip-prinsip sombong dari para akademisi adalah “semakin rumit dipahami, semakin terkesan ilmiah—berbahasa ilmiah tinggi, semakin bagus.”

Buku ini membuktikan, bahwa buruh itu bisa menulis, walau pun kadang-kadang mereka, para buruh itu, ketika diminta menulis, tidak mengaku bisa menulis. “Sholatlah sebelum disholatkan, menulislah sebelum dituliskan,” begitu salah satu kalimat yang dilontarkan oleh bung Iip untuk memotivasi buruh-buruh mau menuliskan perlawanannya.

Buku ini pada awalnya hanya diperkirakan mencapai ketebalan sekitar 200an halaman. Karena para pemotivator membayangkan, kalau buruh-buruh itu pemalas dan bodoh. Namun, dalam kenyataannya setelah buruh-buruh itu menulis, dan kemudian dikodifikasikan dalam bentuk buku halamannya membludak menjadi 500 halaman. Dengan demikian, asumsi kalau buruh itu pemalas dan bodoh terpatahkan.

Buku yang ditulis oleh buruh-buruh ini menceritakan kapan para buruh mulai bekerja, bagaimana buruh bisa masuk ke dalam serikat, bagaimana kerumitan di dalam keluarga, dan bagaimana dia berlawan melawan kapitalis dan negara yang menindas mereka, termasuk berbagai kerumitan-kerumitan dalam mengelola organisasi serikat buruh.
Poin pentingnya, menurut bung Iip, adalah buku ini berusaha untuk memotret hal-hal penting yang sering dilupakan oleh orang, misalnya masalah domestikasi (penjinakan-pen.) di dalam serikat buruh dan di dalam keluarga. Walau pun ada beberapa elite pimpinan serikat-serikat buruh yang menulis, misalnya Said Iqbal, yang menjadi fokus dan penting dari buku ini adalah buruhnya itu sendiri—bukan para elite-elitenya. Buku ini menyoroti betapa pentingnya hal-hal yang sifatnya dianggap remeh dalam kehidupan buruh sehari-hari, baik dalam pekerjaan, serikat maupun kehidupan rumah tangganya.

Dalam salah satu tulisan di dalam buku ini mengulas tentang bagaimana buruh terlibat dalam gerakan grebek pabrik. Dalam gerakan ini, buruh mengaku bahwa dia pada awalnya tidak mengetahui bahwa gerakan itu adalah gerakan grebek pabrik, yang membuat asosiasi pengusaha marah. Namun, ketika buruh terlibat dalam diskusi [pasca grebek pabrik] dan memahami makna grebek pabrik di dalam serikat, baru dia sadar kalau itu adalah gerakan grebek pabrik—tindakan berlawan. Dari gerakan-aksi massa ini buruh belajar kalau kapitalis bisa dilawan. Jadi, kesadaran buruh muncul dari pengalamannya melakukan aksi massa. Di dalam buku ini juga diceritakan bagaimana buruh bersiasat dengan upahnya yang murah.

Salah satu motivasi lagi yang digunakan oleh bung Iip dan kawan-kawan untuk mendorong agar buruh mau menulis adalah menyerukan kepada kawan-kawan buruh bahwa “lupakan semua teori menulis,” dan bersegeralah menulis sesuai dengan kemampuan buruh yang bersangkutan. Kalau memang memang harus mengumpulkan status facebook yang mereka tulis itu pun bisa dilakukan. Nanti, dari status facebook, buruh yang bersangkutan dapat mengembangkannya.

Syamsuri (Buruh asal Kebumen):

Buruh sebenarnya bukan tidak bisa menulis, buruh bisa menulis. Namun, tulisan buruh, jika dibandingkan dengan penulis-penulis dari akademisi atau jurnalistik, tentu saja berbeda. Mengapa berbeda? Karena medan dari mereka masing-masinglah yang membedakannya. Jika, akademisi atau jurnalis pintar menggambarkan situasi-situasi buruh yang ada, maka buruh pun menulis namun dalam bentuk, misalnya membuat surat kuasa, surat pengaduan, membuat kronologi pekerjaannya, dan buruh pun harus membuat risalah ringkas di tingkatan pengurus. Kemudian buruh harus bisa membuat [menulis] perjanjian bersama dan buruh pun sebenarnya harus bisa beracara di pengadilan. Nah, pada saat buruh beracara di pengadilan, tentu saja buruh dituntut untuk bisa menulis pledoi (naskah pembelaan)-nya. Tapi kemampuan itu, oleh sebagian buruh, dianggap bukan kemampuan untuk bisa menulis. Simpulan dari saya, “buruh sebenarnya secara alamiah memiliki kemampuan untuk menulis.”

Menurut Syamsuri, karena medan yang berbeda itulah, yang menyebabkan buruh sulit untuk menarasikan cerita kehidupannya sebagai buruh dan tindakan berlawannya dalam melawan sang penindas: kapitalis. Oleh karena itulah, ketika buruh menulis, buruh untuk sementara waktu perlu didampingi oleh para editor buku “buruh menulis perlawanannya” ini. “kalau bahan untuk menulis buku, sangat banyak sekali, bertumpuk-tumpuk. Tapi tumpukan itu tidak dinarasikan menjadi cerita. Nah, ini bedanya dengan penulis dari akademisi dan jurnalis,” begitu kata Syamsuri. Ringkasnya, buruh sebenarnya bisa menulis, namun dengan bahasa buruh itu sendiri.
Ketika buruh disuruh menulis, menurut Syamsuri, sebenarnya buruh merasa malu, minder, disangka sok jagoan. Hal ini dijelaskan oleh Syamsuri, sebagai berikut: ketika buruh masuk dalam serikat, kemudian terlibat dalam diskusi, berlawan, dan melakukan berbagai pengorganisiran, propaganda dan agitasi, misalnya yang Syamsuri lakukan, dengan cara membuat sekolah buruh, ketika hal itu dituliskan oleh buruh sendiri, buruh merasa minder, malu, dan merasa sok jagoan.

Namun, berbeda halnya apabila pengalaman-pengalaman dari buruh itu ada pihak ke-2 yang menuliskannya. Urusannya akan berbeda. Rasa minder, malu, dan sok jagoan itu akan hilang. Berangkat dari argumennya ini kemudian Syamsuri mengusulkan bagi siapapun penyelenggaranya dalam workshop buruh menulis, alangkah baiknya apabila buruh disuruh menulis secara silang, misalnya pengalaman si A, si B lah yang menuliskannya, begitu pula sebaliknya. Dari sini akan muncul kesan, aku tidak membanggakan diriku (narsis) karena diriku ditulis oleh orang lain, dan orang lain akulah yang menulis.

Kirnadi (Aliansi Buruh Yogyakarta):

Saya sangat senang dapat membaca buku ini, buku yang merekam perlawanan buruh, aktivitas serikat buruh. Untuk mengawali diskusi ini, saya akan mengutip sebuah kalimat dari seorang filsuf yang mengatakan begini, “kalau kamu bukan seorang sufi, seorang anak raja, maka menulislah.” Kalimat ini berasal dari, kalau ga salah, dari Al-Ghazali. Kalimat ini artinya apa? Artinya, bagi kami, saya, bahwa kekuasaan, atau hegemoni, atau pengetahuan, hanya diproduksi dan direproduksi oleh kekuatan modal dan intelektual, yang jarang lahir dari sebuah pergulatan, yang jarang lahir dari sebuah, mengutip Gramsci, intelektual organik, lahir dari masyarakat yang orisinil. Dari gerakan yang nyata sehingga akan melahirkan sebuah teori baru. Ini… ya ini… yang saya lihat dari buku ini. Artinya, bahwa serikat pekerja, serikat buruh sebagai wadah dari perjuangan teman-teman buruh, itu saya yakin, hampir 100% mereka sadar dan belajar bukan karena dia sekolah, bukan karena mereka membaca Undang-undang, bukan karena dia terlibat dalam diskusi, namun karena dia melaksanakan sebuah sistem hubungan industrial yang ada diperusahaan.

Baru ketika dia lihat ada serikat pekerja, baru dia akan membuka buku, baru dia akan bertanya.
Ketika kita membaca buku ini, kita akan mendapati, sangat berbeda dengan membaca buku-buku yang bersifat teoritis, dan buku-buku yang mengulas hubungan industrial secara akademis. Buku ini menyajikan, bagaimana perjuangan buruh dalam upah yang murah, upah sektoral, perjuangan hak-hak buruh. Itu tidak semudah atau seformal ketika kita berbicara tentang upah yang layak, hak umum sektoral, hak normatif, tetapi ketika kita membaca buku ini ada sebuah teori yang baru. Kita akan menemukan… menemukan… apa ya? Se.. buah teori yang baru tentang perjuangan buruh.

Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca oleh aktivis dan elite-elite dan buruh itu sendiri di serikat pekerja. Di dalam buku ini dipaparkan atau memandu bagaimana perjuangan heroisme buruh dalam memperjuangkan hak-haknya, keharu-biruan, dan rasa terenyuh.

Diskusi:

Pertanyaan dan Tanggapan:

Isman:

Pertanyaan ini saya ajukan kepada ke-3 pembicara di depan: bung Iip, bung Syamsuri, dan Pak Kirnadi. Pertanyaan pertama untuk bung Iip dan bung Syamsuri:

Saya sangat apresiasif sekali ketika bung Iip bersama dengan kawan-kawan dapat mendorong kawan-kawan buruh bisa menuliskan pengalamannya dengan tema berlawan.

Perlawanan dari kawan-kawan buruh yang terkodifikasikan dalam bentuk buku ini, saya pikir, memiliki posisi yang sangat penting untuk dipelajari oleh serikat-serikat buruh. Dari tulisan-tulisan buruh yang berlawan ini, kawan-kawan serikat buruh dapat meracik sebuah strategi dan perlawanan yang efektif sesuai dengan kondisi riil buruh itu sendiri, bukan berdasarkan teori-teori yang membuat orang menggerutkan dahi. Selain itu, dengan buruh menulis dan kemudian dibuat buku, ini diharapkan akan menularkan kepada buruh-buruh lainnya untuk menulis. Dan, dari tulisan-tulisan buruh inilah, diharapkan ada suntikan perjuangan kelasnya.

Selama ini, kondisi buruh atau keadaan buruh dalam bekerja (dalam bahasa Ernest Mandel: Perjuangan Eksistensi) dan berlawan, selalu dituliskan oleh orang kedua. Jelas ketika penulis kedua yang menuliskannya, tulisan yang dipaparkan tidak “telanjang.” Apa maksud tidak “telanjang”? Jawabannya, celakanya, orang kedua ini, karena tidak merepresentasikan kepentingan buruh secara riil (telanjang), dia adalah penulis yang melegitimasi sistem yang sedang berjalan. Sedangkan sistem yang sedang berjalan [sistem kapitalisme] adalah sistem yang menindas buruh itu sendiri. Ironis! Artinya pula, jika hal ini yang terjadi, ada proses pemandulan perjuangan kelas ketika pihak ke-2 [yang reaksioner] menuliskan kondisi buruh, baik kondisi kerjanya maupun berlawannya.

Kalau kawan Iip dan kawan-kawan bisa mendorong kawan-kawan buruh bisa menuliskan perlawanannya, tentunya, kawan Iip dan kawan-kawan, dan saya pikir harus diagendakan, agar buruh tidak hanya sekedar menulis pengalamanya dalam berlawan, tetapi lebih jauh lagi dapat mendorong kawan-kawan buruh untuk gemar membaca. Dengan membaca, buruh tidak hanya merekam kehidupan sehari-harinya (baca: perjuangan eksistensi) tetapi meningkatkan kesadarannya. Buku-buku yang saya rekomendasikan untuk dibaca dan, saya rasa, wajib dibaca oleh buruh adalah buku-buku Marxis. Karena buku-buku Marxis adalah buku-buku yang sungguh berpihak kepada kepentingan buruh.

Dalam literatur saya, ideologi yang mencengkram kesadaran massa secara umum adalah ideologi kelas yang dominan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, siapa kelas yang dominan itu? Jawabannya, tidak lain adalah kelas kapitalis atau korporasi atau pengusaha. Bagaimana caranya kapitalis mendominasi atau mencengkram kesadara massa? Jawabanya, melalui berbagai alat-alat produksi ideologi, seperti-diantaranya pendidikan, kebudayaan, etika, moral, dan agama.Melalui alat-alat produksi hegemoni-ideologi inilah kelas kapitalis menciptakan kesadaran palsu dan menindas kaum buruh. Dengan membaca buku-buku Marxis, hegemoni dari kelas kapitalis ini dapat dibongkar, diblejeti atau ditelanjangi. Sehingga dengan counter hegemoni yang diperoleh kawan-kawan buruh dari membaca, kawan-kawan dapat menggunakan kesadaran ini sebagai alat bagi perjuangan kelas.

Dari sini saya mengajukan pertanyaan kepada bung Syamsuri, bagaimana bung menyediakan waktu untuk menulis? Karena penyediaan waktu ini, tentunya, ada kaitannya untuk bung menyempatkan diri untuk membaca. Sedangkan pertanyaan untuk bung Iip, ada agenda ga bung untuk mendorong buruh-buruh agar gemar membaca?
Pertanyaan kedua, buat Pak Kinardi.

Begini Pak Kinardi. Pada perayaan Mayday 2015 kemarin kan ada dua aliansi nih, aliansi yang pertama adalah aliansi yang merayakan Mayday secara seremonial, joget goyang-dombret dan goyang itik, serta bagi-bagi doorprize. Dan aliansi yang kedua adalah aliansi yang turun ke jalan, aksi massa, berorasi menyeruakkan keluh-kesah para buruh ketika di tindas. Tidak kurang-kurang juga ada teriakan-teriakan bangun perlawanan buruh, bangun partai buruh, dan bangun sosialisme di Indonesia.

Menurut penilaian saya, perayaan aliansi buruh dengan cara-cara seremonial, adalah bentuk dari pengkhianatan perjuangan buruh itu sendiri. Dalam sejarahnya jelas, Mayday muncul dalam rangka untuk memperingati perjuangan buruh dalam melawan penindasan dari kapitalisme. Bahkan melalui Mayday ini, diharapkan, tensi perlawanan buruh dapat ditingkatkan. Dan berangkat dari sinilah, ketika Mayday, hanya dirayakan secara seremonial, hal itu saya rasa akan mengaburkan bahkan seakan akan mengubur perjuangan buruh itu sendiri. Dengan kata lain, akan mengaburkan perjuangan kelas. Dan lebih jauh lagi, dalam penilaian saya, ini adalah taktik penjinakan buruh yang dilakukan oleh pegusaha (korporasi) dan penguasa (negara). Itu menurut saya, bagaimana menurut Pak Kinardi?

Alif (kaum sosialis yang bercita-cita menjadi kaum kapitalis)

Yang kita diskusikan di sinikan kaum buruh yang kemudian sadar menulis. Nah, di sini ada yang terlewatkan dalam benak saya, yaitu pergulatan buruh sendiri pun sebenarnya akan menuju ke sebuah serikat. Ada sebuah perlawanan. Karena realitanya begini, ini menurut saya, menurut argumen saya, buruhkan sebenarnya sibuk ya. Jangankan untuk menulis, jangankan untuk melakukan pergerakan atau pun piknik sekalipun. Pertanyaan dari saya, bagaimana mungkin buruh menyenggangkan waktunya untuk menulis dan berorganisasi?

Jawaban:

Syamsuri:

Ada perbedaan antara Yogyakarta dan Jabodetabek. Kalau Yogyakarta itu bukan wilayah industri, berbeda halnya dengan Jabodetabek, daerah ini adalah wilayah industri. Atas perbedaan ini, menurut saya, hal ini kemudian membuat kultur dari gerakan dan perlawanan buruhnya juga akan berbeda. Namun, walau pun ada perbedaan, ada persamaannya. Dimana letak persamaannya? Jawabannya, bahwa kapital pada saat ini menguasai segala lini dalam kehidupan.

Kalau kita berharap Yogyakarta tahun depan seperti Surabaya, itu hal yang mustahil. Tapi kalau kita memiliki persepsi bersama, kapital mendominasi, kapital memonopoli semua, kita—buruh—harus mempunyai program, dan paling pendek itu dalam waktu 3 tahun, harus ada kerelaan dari kita semua. Bukan saya. Tapi kita semua, bahwa kita harus menyadarkan, kita harus mengorganisir. Setelah sadar, setelah diorganisir, selanjutnya kita harus mendidik. Maka, harus ada wadahnya, lembaga pendidikan.

Mungkin kalau berbicara pendidikan, di Yogyakarta dan di sana berbeda. Tetapi untuk kepentingan mengorganisir kita harus rela waktu, untuk mendatangi dari rumah ke rumah, untuk nongkrong di depan perusahaan-perusahaan. Kalau di Jogja aku ga tahu perusahaan yang mana yang kita tongkrongin? Kita bagikan selebaran. Ketika dia terpikat atas selebaran itu, lalu dia kita ajak ngobrol, “apakah hak-haknya terpenuhi?” Kalau hak-haknya terpenuhi, maka kita ajak ngobrol ke hak-hak yang lainnya, misalnya, bagaimana dengan hak lemburnya, bagimana dengan cuti hamilnya, bagaimana haknya untuk berserikat? Kalau semua itu terpenuhi lagi. Obrolan kita lanjutkan dengan mendiskusikan, bagaimana dengan hubungan kerjanya?

Kadang-kadang orang merasa nyaman di perusahaan itu, karena semua yang bersifat materiil terpenuhi. Sampai, kita sebagai manusia, hilang rasa kemanusiaannya, dibutakan dengan kebutuhan-kebutuhan yang kita anggap telah terpenuhi. “Buat apa mikirin orang lain,” begitu kira-kira sikap buruh.

Jadi, yang dibutuhkan oleh serikat buruh adalah rasa solidaritas. Oleh karena itu, apabila di dalam serikat buruh tidak ada rasa solidaritas, maka gerakan itu akan lemah. Begitu juga, seharusnya yang terjadi dalam gerakan-gerakan buruh dan individu-individu di Yogyakarta, seharusnya, walaupun kulturnya berbeda, bangun dengan kuat rasa solidaritas. Dengan rasa solidaritas itu akan memperkuat gerakan buruh di berbagai daerah, misalnya di Bekasi, Jakarta, Surabaya atau di tempat-tempat lain. Misalnya, Kapolres yang melakukan pemukulan buruh, kawan-kawan bisa bersolidaritas dengan membombardir dengan sms ke Kapolres hingga HP (Hand Phone)-nya hang (macet—error). Lebih maju lagi, solidaritas ini dapat dilakukan dengan petisi atau membuat surat pernyataan. Misalnya, menolak atau membuat pernyataan apa gitu.

Kalau menurut saya, kalau Mayday hanya dijadikan acara seremonial saja buat apa?! Benar sekali kata bung Isman, saat ini kapitalis memodali. Yang namanya Walikota atau pun pejabat lain, itu akan nyumbang tenda, nyumbang kursi, nyumbang artis, dan fasilitas alat musik organ. Untuk apa mereka melakukan ini? Karena untuk diarahkan kelas buruh merayakannya dengan bhakti sosial dan dangdutan.

Perlu untuk ditegaskan bahwa lahirnya Mayday itu hasil dari perjuangan buruh. Buruh pada waktu itu—tahun 1800an—dipekerjakan sedemikian panjang jam kerjanya dan upahnya pun rendah sekali. Dari perjuangannya buruh pun mendapatkan hasil berupa pengurangan jam kerja dan upah yang naik. Nah, dengan Mayday diselenggarakan secara seremonial, orang akan melupakan sejarah ini. Mayday seharusnya digunakan untuk mengingat sejarah leluhur kita yang berjuang berdarah-darah bahkan dengan nyawanya untuk perbaikan kehidupan yang lebih baik.
Jadi kalau hanya sifatnya instruksi semata, maka yang akan terjadi hanyalah seremonial belaka. Jadi, seharusnya harus ada pendidikan sejarah perjuangan kelas buruh, harus ada materi itu. Mungkin Maydaynya tidak hanya menanam pohon, donor darah, perlombaan. Itukan bisa dilakukan bukan di hari Mayday. Tapi kita sekaran di jebak, karena ada modal. Ada modal yang mengarahkan Mayday diarahkan pada penjinakan itu sendiri.

Kalau untuk waktu luangnya. Sebenarnya kita para buruh itu ada tulisan, cuma pas ada undangan untuk menulis tinggal kita tambahan. Jadi, ketika di dalam serikat buruh itu ada kegiatan, kan harus dicatat. Dicatat, tapi bukan dalam bentuk cerita. Ketika kita disuruh cerita kita kebingungan. Nah, kalau berbicara waktu luang, kalau buruh lembur terus itu adalah proses pembodohan, namun kalau tidak lembur upah buruh tidak akan cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya.

Seharusnya, serikat buruh yang baik itu, selain serikat mengajarkan nilai-nilai perjuangan, serikat juga seharusnya membantu bagaimana caranya membuat UKM dan IKM. Jadi, dari sini diajarkan bagaimana cara berdagang, berbisnis. Jadi, ketika kawan-kawan buruh memiliki keterampilan ini, ketika buruh di PHK sudah mempunyai solusi bagaimana dia mendapatkan sumber penghasilan untuk menghidupi dirinya dan keluargannya.
Solusi-solusi seperti itu harus diberikan kepada kawan-kawan buruh. Jangan kawan-kawan buruh dijejali oleh teori. Jika teori yang dijejali, maka buruh-buruh akan kabur, melarikan diri dari serikat. Dengan demikian, pembelajaran yang diberikan kepada kawan-kawan buruh harus konkret dan memberikan solusi kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh kawan-kawan buruh. Ya buruh butuh belajar, ya buruh membutuhkan tambahan uang untuk keluarga.

Untuk mengorganisir orang lain, hendaknya kita mengorganisir keluarga terdekat terlebih dahulu, misalnya pacar, istri, emak, atau keluarga lainnya yang kita anggap harus diorganisir. Tujuang dari pengorganisiran ini adalah agar mendukung apa yang akan dan sedang kita lakukan, yakni melakukan perlawanan terhadap kelas kapitalis. Dan cara mengorganisirnya pun dengan cara yang tidak formal, tetapi dengan cara misalnya dengan cara ngerujak bareng, masak bareng, atau dalam waktu-waktu yang santai.

Kalau pengorganisiran secara tidak formal ini sudah berjalan, maka tindakan selanjutnya, baru, mengajak diskusi secara formal, dengan undangan, misalnya seperti ini, “eh.. kita rujakan bareng yuk, tapi rujaknya udah jadi, tinggal kita ngobrolnya aja.”

Kirnadi:

1 Mei (Mayday-pen.) jangan dimaknai ini sebagai hadiah dari SBY (Susilo Bambang Yudhoyono-pen.), seolah-olah itu kebaikan hati dari pemerintah. Jangan pernah hal ini disampaikan kepada anggota buruh di Indonesia. Ini adalah perjuangan sejak zaman orde baru. Setiap tahun, apabila hari itu tidak diliburkan, kita tetapi turun ke jalan, kita tetap demo. Itu artinya, menurut saya, adalah pemahaman yang keliru ketika 1 Mei dipahami negara telah melakukan pembenaran hak buruh dengan meliburkan, itu salah besar. Kalau itu dianggap sebagai kebaikan pemerintah itu salah besar! Ini adalah perjuangan buruh yang berpuluh-puluh tahun.

Yang kedua adalah, di Yogyakarta ada 2 aliansi. Secara filosofis, secara sosiologis, tadi sudah di jawab, saya tambahi. Di Yogyakarta itu aliansinya hanya 2, coba kalau ke Jakarta, ada ratusan aliansi. Di Indonesia di tahun 2003 sudah ada 70an federasi, apalagi di Jakarta, ada ratusan federasi saat ini. Artinya apa? Kalau di Yogyakarta baru bisa bikin dangdutan, ya karena di Jogja belum bisa menghadirkan Ahmad Dhani misalnya, karena kita belum bisa menyewa stadion yang lebih besar.

Tetapi begini, menurut saya, pemahaman Mayday benar ada pergeseran sosiologis, dimaknai secara berbeda-beda, tetapi dilihat perjuangan itu bukan semata-mata di Mayday itu. Tetapi perjuangan yang esensial itu dilakukan dari kos ke kos, dari pabrik ke pabrik, menyadarkan buruh. Itu bagi saya, yang lebih penting lagi. Pabrik mana yang saat ini harus ada solidaritas? Ini bagi kami bagaimana menularkan solidaritas. Solidaritas ini gampang sekali diucapkan, tetapi sulit untuk dilakukan. Kita-kita ini tahu sama-sama buruh, tapi beda federasi, ya sulit juga! Ini riil terjadi. Ya inilah yang terjadi.

Ini hal yang baik atau hal yang buruk, ketika 3 konfederasi sudah akan berjumpa, entah itu akan dijadikan ajang solidaritas atau apa? Ditingkatkan bawah sudah atau belum? Artinya begini, perjuangan buruh di Jogja masih terus berdinamika. Ya benar yang bekerja di Jogja dan di Semarang atau dimana itu berbeda. Itu bagi saya, secara sosiologis, sawah dan ladang mereka itu di pabrik, sedangkan di Jogja masih hal yang lain, misalnya masih punya kambing, masih punyak sawah yang menghasilkan, sehingga apa yang disampaikan oleh bung Syamsuri, entah totalitas dalam berjuang karena secara sosiologis memang seperti itu.

Di Jakarta, kalau upahnya tidak naik, kalau upahnya tidak tinggi, dia mau hidup dari mana. Sedangkan di Jogja, kalau upahnya masih sedikit atau rendah dia masih punya kambing, masih punya sapi, masih punya sawah, masih punya ayam. Di Jakarta tidak punya apa-apa lagi. Jadi, dari sinilah mengapa perjuangan antara buruh-buruh di Jogja dan di tempat lain itu berbeda.

Jadi buruh-buruh di Jakarta ada perlu kerja keras dalam perjuangannya ketimbang buruh-buruh yang ada di Jogja. Karena apa? Ya, karena secara sosiologis itu. Inilah poin penting yang dapat dijadikan pelajaran bagi kami-kami ini serikat buruh di Jogja.

Jadi, aksi Mayday bukan semata-mata turun ke jalan. Tetapi bagaimana kita memaknainya. Apakah aksi itu sebuah kebutuhan? Apakah sebuah perbuatan? Artinya, tidak semata-mata sebagai sebuah heroisme, menutup jalan atau jenis yang lainnya seperti itu, dapat menyampaikan aspirasinya di depan umum. Tetapi bagaimana ketika perjuangan itu akan menghasilkan dampak yang luar biasa. Itu yang terpenting. Dengan cara apa? Ya, negosiasi upahnya, tanjungan sosialnya juga lebih baik. Saya kira pemaknaan 2 aliansi itu adalah hal yang wajar. Kalau kita berada di Semarang, Surabaya, Jakarta ada ratusan aliansi.

Syamsuri:

Saya sekarang, merasa semakin edan, semakin gila, kaum buruhnya masih sengsara kayak gini koq mikiran Partai Politik. Kalau mau bikin Partai Politik buruh di tingkatan bawah harus dididik terlebih dahulu. Ada kesadaran dari bawah. Dari dari bawahlah yang meminta dibentuknya Partai Politik. Buruh yang di bawah hanya 30% aja yang baru sadar koq, udah mau bikin Partai Politik.

Buruh yang tidak memiliki kesadaran, harus ada instruksi dulu baru jalan. Hal ini berbeda halnya dengan buruh-buruh yang telah memiliki kesadaran, tanpa intruksipun buruh akan berjalan, bergerak, dan berlawan. Dan itu yang terjadi pada diri saya sendiri.

Oleh karena itulah saya masih malu, saya masih minder kalau ngomongin Partai Buruh. Para buruh ga butuh partai, yang butuh itu para elite-elitenya sebenarnya.

Diliput Oleh : Ismantoro Dwi Yuwono

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: