Sejarah

Penembakan Mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998

Diawali dengan “Krisis Moneter,” gerakan khususnya gerakan mahasiswa yang sempat tiarap paska Peristiwa 27 Juli mulai mendapatkan momentumnya kembali. Gelombang perlawanan terhadap Rezim Militer Soeharto terus meningkat, termasuk juga di Universitas Trisakti. Setidaknya dua kali mahasiswa Trisakti, diinisiasi oleh Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT), menggelar aksi berupa mimbar bebas di dalam kampus, yaitu pada 23 Maret dan 18 April. Mimbar bebas kedua, SMUT berupaya untuk turun ke jalan walau hanya keluar lewat gerbang kampus di Jl Kiyai Tapa, memutar dan masuk kembali lewat gerbang kampus di Jl S Parman.

Setelah serangkaian prakondisi, Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) kembali melancarkan aksi pada 12 Mei 1998. Aksi dimulai pada sekitar pukul 10 siang dengan mimbar bebas di dalam kampus Trisakti. Aksi diikuti sekitar 6 ribu orang yang terdiri mahasiswa, dosen, pekerja serta civitas akademik Universitas Trisakti lainnya. Mereka bergantian menyampaikan orasinya. Siang hari sekitar pukul 1, massa bergerak menuju gedung DPR/MPR di Senayan. Namun baru melewati kampus Tarumanegara massa dihadang oleh dua baris polisi berseragam lengkap anti huru hara.

Negosiasi pun dilakukan antara perwakilan Senat Mahasiswa Universitas Trisakti, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andoyo dengan Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril serta Wakapolres Jakarta Barat. Permintaan mahasiswa untuk bergerak ke gedung DPR/ MPR ditolak. Mahasiswa terus melanjutkan orasi-orasi dan membuat mimbar bebas sementara rakyat kemudian turut bergabung. Barisan terdepan yang terdiri dari para mahasiswi memberikan mawar kepada aparat kepolisian.

Selagi itu semua berlangsung, aparat kepolisian serta militer dari Kodam Jaya terus berdatangan. Kopassus juga muncul dalam truk-truk terbuka besar, membawa senapan otomatis. Sementara Brimob yang baru tiba menyiapkan gas air mata. Tiga panser lengkap dengan meriam air juga disiapkan.

Menjelang pukul 5 sore hari negosiasi akhirnya mencapai kesepakatan, yaitu kedua belah pihak akan sama-sama mundur. Massa yang tersisa sekitar 200 orang awalnya menolak namun setelah dibujuk oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum serta SMUT, massa bergerak mundur.

Saat massa sedang mundur, tiba-tiba seseorang yang kemudian diketahui bernama Mashud melakukan provokasi. Dia mengaku sebagai alumni Trisakti dan memaki-maki serta mengeluarkan kata-kata kotor ke massa. Massa yang mencurigai dia sebagai intel berusaha mengamankannya. Mashud melarikan diri ke barisan aparat sementara keamanan internal perangkat aksi berhasil menenangkan massa.

Secara tiba-tiba setelah berhasil menyelamatkan Mashud, aparat menyerang massa dengan pentungan, tembakan dan pelemparan gas air mata. Massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Gas air mata ditujukan di setiap sisi jalan. Pemukulan dengan pentungan dan popor senjata, penendangan serta penginjakkan hingga pelecehan seksual terhadap mahasiswi. Ketua SMUT yang berada di antara barisan aparat dan massa tertembak peluru karet di pinggang sebelah kanan.

Polisi dari Unit Reaksi Cepat (URC) yang menggunakan sepeda motor mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya berlari mengejar massa mahasiswa, menangkap serta menganiaya beberapa mahasiswa dan membiarkannya tergeletak di tengah jalan. Aparat juga naik ke jembatan layang di depan kampus Trisakti dan menembaki mahasiswa yang berlarian di dalam kampus. Sebagian aparat lainnya yang ada di bawah jembatan menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi menembak (formasi dua baris, baris depan jongkok dan baris belakang berdiri). Mereka juga menembaki ke arah kampus serta gas air mata juga ditembakan ke dalam kampus.

Ketika tembakan membabi-buta mulai reda, mahasiswa berusaha mengevakuasi korban yagn ada di berbagai lokasi. Namun sekitar pukul 7 malam, kepanikan melanda karena terlihat beberapa aparat berpakaian gelap bersembunyi di sekitar hutan (parkir utama) serta penembak jitu terlihat di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian ke dalam ruang kuliah, UKM, dsb yang dirasa aman dan memadamkan lampu untuk bersembunyi.

Menurut Kontras tercatat 681 korban luka pada peristiwa ini. Sementara empat mahasiswa meninggal, mereka adalah: Elang Mulyana Lesmana, 19, gugur tertembak di atas tangga; Hery Hartanto, 21, gugur tertembak di dekat bawah tangga; Hendriawan, 20, gugur tertembak ketika berlari menuju tiang bendera; Hafidhin Rayyan, 21, gugur tertembak di dekat telpon umum. Menurut Edward Aspinal, penyelidikan terhadap penembakan menunjukan bahwa mereka sengaja ditembak oleh penembak jitu. Hampir seluruh korban yang terbunuh dan terluka, ditembak di bagian kepala, leher, dada, atau punggung. 

Ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun’im Idries mengatakan bahwa hasil visum memang memperlihatkan serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh Hery Hertanto. Peluru tersebut biasa digunakan senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1. Saat itu, senjata Styer digunakan oleh satuan Brimob atau Kopassus. Hasil otopsi Tim Pencari Fakta ABRI juga mengungkap hasil yang sama. Hal senada juga didapat dari uji balistik di Forensic Technology Inc di Montreal, Kanada. Namun, tentu saja tidak ada pengakuan dari para Jenderal. Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah anak buahnya menggunakan peluru tajam. Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata. 

Mirip dengan sepertinya semua kasus kejahatan HAM di Indonesia, kasus Penembakan Mahasiswa Trisakti ini tidak pernah menemui titik terang. Pengadilan Militer untuk kasus Trisakti yang digelar pada tahun 1998 menjatuhkan putusan kepada 6 orang perwira pertama Polri. Kemudian pada tahun 2002 pengadilan militer menjatuhkan hukuman kepada 9 orang anggota Gegana/ Resimen II Korps Brimob Polri. Namun ini adalah sidang dagelan karena tidak menyentuh dalang serta penembak sebenarnya. Sementara Pansus yang dibuat oleh DPR (Pansus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II) justru menyatakan tidak ada pelanggaran HAM dalam penembakan mahasiswa Trisakti. Upaya hukum yang dilakukan oleh Komnas HAM hanya berkutat pada bolak balik berkas dengan Kejaksaan Agung meributkan persoalan-persoalan formil.

Kematian empat mahasiswa Trisakti tidaklah sia-sia, mereka membuka jalan bagi penggulingan Soeharto. Pemetaan gerakan oleh Sutoro Eko dalam “Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde Baru” memberikan gambaran salah satu pengaruh dari Penembakan Mahasiswa Trisakti. Sebelum peristiwa tersebut, tuntutan Turunkan Soeharto hanya diangkat oleh gerakan radikal terutama dari garis-garis yang terhubung dengan PRD serta Forkot. Penembakan Mahasiswa Trisakti memberikan lompatan kesadaran di massa bahwa Soeharto harus digulingkan.

Memang kita harus memahami persoalan pelanggaran dan pengadilan HAM ini bukan pada syarat-syarat legal formal, melainkan dari perspektif kelas. Penembakan mahasiswa Trisakti adalah kepentingan para jenderal dan pejabat untuk mempertahankan kekuasaannya dengan merepresi rakyat. Oleh karena itu, selain mengetahui siapa pelaku penembakan di lapangan, kita juga harus mencatat para jenderal dan pejabat pelaku kejahatan kemanusiaan. Baik yang sudah mati maupun yang masih berkuasa dan kaya raya hingga kini. Mereka antara lain adalah Soeharto, Wiranto (Panglima ABRI saat itu), Dibyo Widodo (Kapolri), Hamami Nata (Kapolda Metro Jaya), Sjafrie Sjamsoeddin (Pangdam Jaya), Timur Pradopo (Kapolres Jakarta Barat) dsb.

Penyelesaian Penembakan Mahasiswa Trisakti tidak bisa dengan sogokan-sogokan. Seperti yang dilakukan oleh SBY dahulu dengan anugrah Bintang Jasa Pratama untuk keempat mahasiswa Trisakti yang meninggal dunia. Ataupun Jokowi saat ini lewat Erick Thohir yang memberikan rumah untuk korban Trisakti 1998.

Jika mereka bisa mempertahankan kekuasaan serta kaya raya dengan menembaki, membantai, memerkosa ataupun merancang kerusuhan maka mereka akan terus mengulanginya. Dan itu sudah terulang, Trisakti diikuti dengan Semanggi, diikuti dengan bumi hangus di Timor Leste, diikuti dengan pembunuhan Munir, operasi militer di Aceh dan Papua, pengepungan di Wadas, represi terhadap aksi anti Omnibus Law, dst.

Keadilan lewat Pengadilan HAM serta rehabilitasi bagi korban bermakna sebagai cara agar rakyat bisa menyingkirkan sampah-sampah sejarah yang keji serta korup. Dengan demikian maka kita bisa bergerak maju membangun masyarakat yang demokratis, adil serta sejahtera.

ditulis oleh Musa Talutama, anggota Lintas Komunal

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: