Perjuangan

Pembubaran HTI Pembubaran Reaksioner

Senin (8/5/2017) Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto dalam konferensi pers di Kemenkopolhukam menyatakan pemerintah membubarkan dan melarang kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia menyatakan kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam UU Ormas. Wiranto mengatakan keberadaan HTI menimbulkan benturan di masyarakat dan membahayakan keutuhan bangsa Indonesia. Sebagaimana diberitakan Kompas dan BBC, Wiranto menyimpulkan, “Mencermati pertimbangan itu, maka pemerintah perlu ambil langkah tegas untuk membubarkan HTI.”

Mendengar ini kaum Liberal merengek bahwa “ada pemberangusan demokrasi”, “seharusnya intoleransi dihadapi dengan dialog”, sampai “HTI tidak pernah menjual aset negara” dan lain sebagainya sehingga menyimpulkan “negara tidak perlu membubarkan HTI.” Argumen-argumen yang sama dipakai saat berhadapan dengan kaum fasis lainnya.

Berbeda dengan kaum liberal, kami—kaum sosialis, memang mengakui ada pemberangusan demokrasi. Namun kita harus sadari bahwa HTI sendiri juga adalah ormas reaksioner. HTI mengusung fundamentalisme, teokrasi, dan anti-demokrasi. Meskipun tidak sereaksioner FPI–ormas lumpen—yang seringkali jadi kepanjangan tangan rezim dan kelas penindas. Namun pembubaran HTI oleh negara borjuis dan segenap aparatur represifnya juga mengandung watak reaksioner karena telah, sedang, dan akan terus digunakan untuk memberangus demokrasi dan segala oposisi-perlawanan terhadap rezim tersebut. Bahkan perlu diingatkan bahwa Wiranto, Menkopolhukam yang membubarkan HTI ini adalah seorang militeris, antek kediktatoran Orde Baru pimpinan Harto, sekaligus bidan kelahiran Pam Swakarsa—cikap bakal Front Pembela Islam (FPI)—yang mengusung cita-cita NKRI bersyariah.

Pembubaran terhadap organisasi-organisasi reaksioner hanya akan berwatak revolusioner bila dilakukan oleh perjuangan kelas buruh dan perlawanan rakyat yang sadar kelas khususnya di bawah pimpinan partai revolusioner, karena pembubaran tersebut akan bermakna penegakan bagi perjuangan demokrasi dan solidaritas kelas tertindas lintas agama/iman bahkan memperkuat perjuangan untuk sosialisme.

Kaum sosialis adalah anti-tesis kaum liberal. Kita harus mewakili perjuangan demokratis nasional melawan semua sisa feodalisme, teokrasi, dan monarki. Artinya kita perlu mengusung panji-panji demokrasi dan HAM sembari meneruskannya dengan menyambungkan ke perjuangan melawan kapitalisme. Liberalisme tidak lagi progresif seiring dengan borjuasi dan kapitalisme menjadi kelas dan sistem menindas yang sekarang berkuasa sehingga tidak bisa lagi menyelesaikan permasalahan manusia bahkan menjadi biang keladi dan memperparahnya. Bahkan tiga serangkai liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi borjuis inilah yang seringkali justru melahirkan monster-monster barbarisme.

Jangan pernah kita lupa, Afghanistan pasca Revolusi Saur justru mengarah ke sekularisasi, demokrasi, dan modernisasi—namun Imperialisme AS dan Britania mensponsori kaum mujahidin fundamentalis Islam untuk menggulingkan pemerintahannya sehingga berujung kepada kekuasaan rezim Taliban.

Oleh karena itu terhadap pembubaran HTI ini kita tidak perlu bersorak ataupun bersungut, kita tidak perlu terisak ataupun terbahak, dan kita tidak perlu memuji ataupun mencaci. Kita perlu mengambil pelajaran. Pelajaran bahwa dalam masa kapitalisme semakin memasuki krisis maka semakin banyak demokrasi yang diberangus dan oposisi yang dibungkam, bukan hanya oposisi kiri revolusioner namun juga oposisi kanan reaksioner. Pelajaran bahwa demokrasi buruh, demokrasi proletar, demokrasi sejati yang kita perjuangkan tidak boleh memberi tempat bagi kaum reaksioner, kaum anti-demokrasi, kaum rasis, dan segala bentuk tirani. Pelajaran bahwa kita harus membangun kekuatan kita sendiri, membangun persatuan perjuangan rakyat melawan penindasan, membentuk laskar buruh-milisi rakyat-front anti fasis, serta tentu saja membangun partai revolusioner untuk menumbangkan sistem penindasan sampai akar-akarnya. Sebagaimana kata Rosa Luxemburg: “Pilihannya hanya dua: Sosialisme atau Barbarisme.”

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: