Perdebatan terkait dengan gerakan #PeringatanDarurat baik untuk dicermati. Terdapat setidaknya tiga tulisan dari kawan Abdil Mughis Mudhoffir dan Rafiqa Qurrata A’yun berjudul “Darurat Aktivisme Borjuis”, kawan Evi Mariani berjudul “Aku Ingin Kita Tetap Marah, Aku Ingin Kau Panik (Lagi)” serta kawan Wahyu Eka Styawan berjudul “Kritik Terbaik adalah yang Menggugah Orang untuk Bergerak.” Selain itu juga terdapat tulisan kawan Muhammad Isyroqi Basil dengan judul “Dari ‘Aktivisme Borjuis’ Yang Satu, Ke ‘Aktivisme Borjuis’ Yang Lain” yang kami lihat diposting di facebook kawan Mohamad Zaki Hussein.
—–
Kami berdua sepakat dengan sebagian pandangan-pandangan yang disampaikan oleh Mughis dan Rafiqa dalam tulisannya “Darurat Aktivisme Borjuis.” Kita tidak perlu ketakutan dengan kemungkinan membuat orang menjadi tidak semangat atau bahkan merasa sia-sia ataupun kecil hati; atau bahwa pembaca menjadi kecewa terhadap Project M seperti yang disampaikan oleh kawan Evi. Ataupun ketakutan bahwa tulisan tersebut justru menyinggung pembaca karena menggurui, menurunkan semangat seperti disampaikan kawan Wahyu di tulisannya. Bukankah pandangan-pandangan kawan Evi dan Wahyu tersebut juga merupakan ciri dari tendensi borjuis kecil? Menggantikan analisa objektif gerakan dengan perasaan yang terluka.
Salah satu upaya dalam tulisan kawan Mughis dan Rafiqa adalah menganalisa tendensi borjuis kecil yang terdapat dalam gerakan #PeringatanDarurat. Ini ada hal yang penting karena kecenderungan untuk mengabaikan pengelompokan politik yang ada di dalam gerakan. Bukankah kita sudah sering melihat bagaimana para aktivis kesulitan membedakan atau mencampuradukan perspektif politik dari berbagai macam kelompok? Bukankah selama ini kita lebih sering mengkategorikan semua gerakan sebagai gerakan Kiri? Pemahaman mengenai pengelompokan politik tersebut justru akan sangat berguna untuk memajukan perjuangan.
Kawan Mughis dan Rafiqa menggambarkan beberapa ciri dari tendensi borjuis kecil di dalam gerakan seperti (1)“cenderung reaktif dan moralis, bertolak dari pandangan bahwa kerusakan hukum dan demokrasi diakibatkan oleh hilangnya integritas dan etika penyelenggara negara dan penegak hukum”; (2) “kurang memperhatikan identifikasi kekuatan yang memungkinkan bagaimana politisasi hukum yang memiliki daya rusak serius terhadap demokrasi dapat dilawan secara efektif.” (3)”Karena reaktif, protes yang dilakukan sekadar untuk protes, kemarahan dan kekecewaan sekadar untuk mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan; bahwa yang penting bergerak daripada diam.” Kawan Mughis dan Rafiqa juga menyebutkan bahwa (4) “mengutuk penguasa secara moralis sambil menuntut secara normatif bagaimana negara dapat berjalan dalam koridor konstitusi. Mereka juga setia menggunakan jalur-jalur hukum sebagai medium perlawanan…” selain itu juga disebutkan bahwa (5)“Negara dan lembaga-lembaganya diasumsikan otonom (berdiri di atas semua kepentingan) dan self-realising, yakni bisa mewujudkan kebaikan-kebaikan yang telah ditetapkan secara normatif…Mengandalkan kekuatan ekstra-parlementer secara sporadis hanya memberi sedikit peluang dalam mengubah perimbangan yang ada.” Kawan Mughis dan Rafiqa juga menyebutkan bahwa aktivis-aktivis liberal ini memilih (6) menciptakan negara dalam imaji mereka sendiri ketimbang berupaya membangun kekuatan politik untuk merebut kendali formal negara. Mereka juga menyebutkan bahwa cara pandang liberal yang masih (7) mengasumsikan kemungkinan memperbaiki keadaan melalui institusi hukum itu sendiri, tanpa memikirkan secara serius bagaimana membangun kekuatan politik untuk menopangnya. Hukum juga diasumsikan sebagai institusi yang otonom dan bahwa kelompok-kelompok marjinal masih bisa menaruh harapan untuk memperjuangkan hak-haknya melalui lembaga itu. Padahal, tampaknya mereka juga tahu bahwa jalur-jalur hukum semakin tak bisa diharapkan. (8) Di tengah keputusasaan, terbersit harapan bahwa masih ada orang-orang baik termasuk di lembaga peradilan yang masih peduli pada kepentingan rakyat, termasuk yang telah melahirkan putusan-putusan MK soal Pilkada.
Tendensi borjuis kecil termasuk pengelompokan politik tidak bisa kita hindari. Pengelompokan politik tersebut memiliki basis material dari masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas. Pengelompokan serta pertarungan diantaranya semakin terungkap dalam proses perkembangan sejarah dan seiring kesadaran dari mereka yang terlibat dalamnya dan pembuat proses tersebut berkembang. Analisa akhir dalam pengelompokan politik tersebut akan muncul dalam perjuangan politik. Perjuangan politik yang memakan waktu lama dan kadang-kadang muncul dengan cepat saat gelombang krisis politik. Di Indonesia dengan kapitalisme yang terbelakang, kita berhadapan dengan lautan borjuis kecil. Dengan Reformasi 1998, ruang demokrasi relatif terbuka untuk berkembangnya tendensi politik kelas buruh.
Kawan Wahyu dan juga kawan Isroqi coba memberikan indikasi siapa yang dimaksud dengan aktivis borjuis kecil. Kawan Wahyu menuliskan “Jika kita berpikir secara logis dan rasional, gerakan mahasiswa cenderung bergerak ketika ada isu yang ramai diperbincangkan. Ini adalah aksi sebagai reaksi, bukan aksi yang didasari oleh refleksi. Hal yang sama juga terjadi pada gerakan masyarakat sipil atau LSM, yang bereaksi dan bersatu ketika isu sedang ramai, tetapi kembali terpecah setelah momentumnya berlalu. Mereka akan kembali memperjuangkan isunya masing-masing… Bahkan, gerakan-gerakan yang mereka bangun dalam bentuk aksi-aksi populer tidak berbeda dengan seruan moral khas dari aktivisme liberal, yang melihat masalah selalu dari sudut pandang institusional, seolah setiap masalah bukanlah persoalan struktural dan sistemik, melainkan akibat dari birokrasi yang korup. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan untuk menyelamatkan demokrasi adalah dengan mengubah dari dalam, seperti mengisi jabatan strategis atau, yang dianggap cukup progresif, dengan mendirikan lembaga negara baru yang independen, seperti KPK.” Sedangkan kawan Isroqi menyebutkan “Massa yang melesat ke palagan perlawanan tidak seketika steril dari ide-ide liberal cum NGO-isme seperti yang tampaknya ditentang Mughis dan Rafiqa.”
———–
Kawan Mughis dan Rafiqa juga mengingatkan kita bahaya dari tendensi borjuis kecil tersebut. Bahwa dapat “memberi ruang bagi faksi politik tertentu menunggangi dan memanfaatkan protes-protes itu untuk kepentingan mereka sendiri.”
Perjuangan untuk memperbaiki produk hukum terkait proses pemilihan umum, termasuk juga tuntutan perbaikan demokrasi, sosial maupun ekonomi yang dibutuhkan di Indonesia tidaklah merusak kapitalisme ataupun melemahkan kekuasaan borjuis. Kegagalan untuk memahami ini membuat gerakan memiliki karakter borjuis kecil. Namun dari argumentasi tersebut bukan berarti bahwa perbaikan-perbaikan tersebut, termasuk secara umum revolusi demokratis (yang dalam substansi sosial dan ekonominya bersifat borjuis) bukan merupakan kepentingan besar bagi buruh. Semakin tuntas revolusi demokratis, semakin pasti perjuangan buruh melawan para elit politik untuk Sosialisme. Demikian para elit politik selalu mengandalkan sisa-sisa lama yang menguntungkannya.
Dalam perjuangan yang dilakukan oleh kaum muda, buruh ataupun rakyat tertindas, bukan tidak mungkin (berbagai faksi) elit politik berusaha mengambil keuntungan darinya. Berusaha mengkooptasinya untuk kepentingan mereka sendiri. Kita telah melihatnya di Reformasi 1998, mahasiswa dan rakyat yang berdarah-darah berjuang namun hasilnya diambil oleh Megawati, Amin Rais, dan orang seperti mereka. Mereka-mereka kelas borjuis ketakutan terhadap independensi gerakan massa serta mencoba mempertahankan sebanyak mungkin sisa-sisa Rezim Militer Orde Baru untuk mendapatkan kekuasaan.
Tuntutan-tuntutan harus diajukan dengan jelas dan tegas untuk memungkinkan adanya persatuan perlawanan. Tuntutan-tuntutan yang berhubungan dengan situasi kongkrit, menjawab kepentingan mendesak massa, mampu memobilisasi massa termasuk mampu meningkatkan kesadaran massa untuk melawan ilusi dari para elit politik. Kami sangat bergembira dan menghargai aksi massa yang dilancarkan saat ini. Namun juga memahami keterbatasan-keterbatasannya.
Dalam tuntutan saat ini untuk menghadang revisi UU Pilkada, jelas bahwa PDI-P dan elit-elit politik di luar Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+) akan diuntungkan. Mungkin beberapa kalangan gerakan memang melihat (ataupun mendukung) PDI-P untuk menjadi kekuatan oposisi rakyat. Ini akan kami bahas di bagian lain tulisan ini. Tugas dari gerakan revolusioner adalah mengusung tuntutan yang menguntungkan buruh dan rakyat di situasi saat ini. Itu adalah penghapusan seluruh produk hukum yang anti demokrasi. Serta semua produk hukum terkait pemilihan umum ataupun partai politik harus menghilangkan hambatan apapun, batasan apapun, syarat apapun serta harus membuka seluas-luasnya, mempermudah semudah-mudahnya akses buruh dan rakyat untuk mendirikan partai politik ataupun mengusung calon pemimpinnya sendiri. Termasuk juga mendorong pembangunan kekuatan politik alternatif.
———–
Kalau perjuangan ini diibaratkan sebagai menyusun bata-bata kecil seperti menurut kawan Evi, bukankah kita juga tetap harus memiliki visi besar kedepan bangunan apa yang kita kerjakan? Setiap detail, lekuk, susunan, konstruksi, rangka, dsb harus dipertimbangkan sebelum mulai menyusun bata-bata kecil tersebut. Jika tidak, alih-alih membangun rumah (masa depan) kita dapat saja mempersiapkan reruntuhan bata-bata.
Aksi apapun yang kita lakukan tidaklah bisa “…sekadar untuk protes, kemarahan dan kekecewaan sekadar untuk mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan; bahwa yang penting bergerak daripada diam.” seperti yang disampaikan oleh kawan Mughis dan Rafiqa. Kita juga tidak dapat terseret pada kepentingan borjuis kecil untuk menjadikan aksi ini sebagai ajang pengakuan dosa setengah hati para mantan pendukung Jokowi. Tuntutan Kawal Keputusan MK dan Menolak Revisi UU Pilkada oleh DPR justru dapat menjadi bata awal untuk kemenangan salah satu faksi borjuis, kemungkinan besar PDI-P dan atau Anies.
Antara bata-bata dan rumah (masa depan) tersebut terdapat kerja-kerja yang harus dilakukan. Termasuk secara kongkrit saat ini adalah mendorong tuntutan yang berangkat dari kondisi riil saat ini tapi bisa menyambungkan dengan visi besar kedepan kita. Tuntutan yang sudah kami sampaikan di atas.
Kita tidak bisa menegasikan kebutuhan pemahaman yang lebih kompleks, utuh tentunya ideologi terhadap situasi saat ini. Untuk kemudian menggunakannya dalam menemukan langkah praksis yang dibutuhkan. Melancarkan aksi massa membutuhkan semua itu, karena biar bagaimanapun yang paling sederhana kita akan berhadapan dengan pertanyaan: bagaimana memenangkan tuntutan yang kita bawa?
Dari Marx, Engels, Lenin, Rosa Luxembourg hingga Soekarno selalu meletakan aksi dalam konteks apa peran intervensi dari elemen sadar untuk memajukannya hingga memenangkan cita-cita besarnya. Marx dan Engels merupakan anggota Internasional Pertama yang berupaya mengintervensi aksi-aksi massa yang muncul secara spontan, Rosa Luxembourg menulis karyanya “Reforma Sosial atau Revolusi?” sebagai kritik terhadap Eduard Bernstein. Rosa Luxembourg menjelaskan bahwa terdapat hubungan langsung antara metode perjuangan kelas dengan tujuan sosialisme itu sendiri. Perjuangan untuk reforma bisa menjadi motor untuk revolusi sosialis, jika perjuangan tersebut menggunakan metode-metode perjuangan radikal kelas buruh seperti aksi massa, mogok ataupun mogok nasional. Namun jika tujuan tersebut dipisahkan, maka perjuangan justru dapat menjadi penghalang dalam perjuangan untuk masyarakat yang baru. Lenin dalam karya polemiknya tahun 1902, “Apa Yang Harus Dilakukan,” melawan tendensi ekonomisme menekankan kebutuhan intervensi kaum Marxis terhadap perjuangan kelas membawa pemahaman yang jelas mengenai sistem kapitalis, posisi buruh dalam sistem tersebut dan langkah-langkah yang harus diambil untuk menghancurkan sistem tersebut serta membangun masyarakat sosialis. Trotsky dalam karyanya Sejarah Revolusi Rusia, menyebutkan kekuatan uap akan menyebar lenyap tanpa adanya piston yang akan memadatkan kekuatan tersebut pada waktu yang menentukan. Tentu saja kekuatan penggeraknya adalah uap itu sendiri, energi mobilisasi dan perjuangan massa itu sendiri. Namun tanpa adanya piston, tanpa adanya partai revolusioner, maka energi tersebut akan menyebar dan lenyap. Soekarno menjelaskan aksi massa mensyaratkan adanya kesadaran ideologis massa, organisasi yang dapat mendidik massa yang belum sadar menjadi sadar dan aksi yang dibimbing oleh teori perjuangan. Sementara ribuan orang berdemonstrasi yang tanpa dilandasi kesadaran ideologi dan teori perjuangan bukanlah aksi massa tapi aksi massal.
———–
Kawan Wahyu sempat mengutip karya Lenin “Apa Yang Harus Dikerjakan?” “Pada bagian kedua, yakni “The Spontaneity of the Masses and the Consciousness of the Social-Democrats.” Lenin mengakui pentingnya gerakan spontan di antara pekerja, seperti pemogokan dan bentuk-bentuk protes lainnya… Lenin melihatnya sebagai respons alami dan positif terhadap kondisi kapitalisme. Namun, dia juga menekankan bahwa gerakan-gerakan ini, jika dibiarkan berkembang secara spontan, efektivitasnya akan terbatas. Mereka cenderung berfokus pada tuntutan ekonomi yang mendesak, seperti upah yang lebih baik atau kondisi kerja, daripada perjuangan politik yang lebih luas yang diperlukan untuk menggulingkan sistem kapitalisme… Dia menegaskan perlu tingkat kesadaran politik lebih tinggi di antara kelas pekerja, yang menurutnya hanya bisa dikembangkan melalui pengaruh partai revolusioner. Penting untuk diingat bahwa tanpa kepemimpinan yang sadar dan terorganisir, gerakan kelas pekerja pasti akan terkooptasi oleh ideologi borjuis, yang mengarah pada reformasi dalam sistem kapitalis, bukan penggulingannya.”
Namun entah kenapa kawan Wahyu kemudian menyimpulkan bahwa “untuk mencapai semua itu, apa yang harus dilalui? Merujuk pada Lenin, ada nilai yang dapat diambil, yakni membangun kesadaran, melalui apa? Tentu saja melalui pendidikan dan pengorganisasian. Ini adalah pola yang harus dijalankan.”
Di “Apa Yang Harus Dikerjakan?” perdebatan antara Lenin dengan kelompok Ekonomisme bukanlah tentang melakukan atau tidak melakukan pendidikan dan pengorganisasian. Tapi bisa dikatakan apa isian dari pendidikan dan pengorganisasian tersebut. Lenin menjelaskan dalam Kata Pengantar bahwa tiga tema utama yang akan ditulis terkait dengan: karakter dan isian utama dari agitasi politik kita; tugas-tugas organisasional kita dan rencana untuk secara bersamaan membangun dari semua sisi sebuah organisasi militan seluruh Rusia.
Poin utama “Apa Yang Harus Dikerjakan” adalah bahwa dengan usahanya sendiri kelas buruh (dan rakyat) tidak akan dapat mencapai kesadaran sosialis. Mereka paling bagus hanya akan mencapai kesadaran politik serikat buruhisme. Disini kita tidak berbicara politik secara umum. Sebenarnya seperti juga kita tidak bisa berbicara secara umum mengenai “pendidikan”, “pengorganisiran” ataupun “pemikiran kritis.” Kita harus bertanya apa isiannya? Kesadaran serikat buruhisme adalah keyakinan bahwa dibutuhkan organisasi, melawan pemilik modal, berjuang untuk memaksa pemerintah memenuhi tuntutan-tuntutan buruh dan rakyat ataupun melancarkan perjuangan politik duduk di dalam pemerintahan tanpa berjuang menghancurkan tatanan kapitalisme itu sendiri. Sedangkan kesadaran sosialis adalah ilmu pengetahuan yang butuh dipelajari yang berkembang dari teori filsafat, sejarah dan ekonomi. Yang sering disingkat menjadi filsafat materialisme historis, ekonomi politik sosialis dan kelas-kelas serta perjuangan kelas.
Esensi dari ekonomisme adalah oportunisme-nya yang fundamental dan kokoh, dan keteguhannya pada pandangan bahwa peran kaum sosialis adalah secara pasif mengekor di belakang gerakan massa buruh dan rakyat pada setiap tahap perkembangannya, ketimbang bertindak sebagai pelopor kelasnya. Ekonomisme juga menolak mengambil tanggungjawab untuk berbicara kepada buruh tentang tugas-tugas kelasnya secara keseluruhan, untuk memupuk jalan bagi apa yang oleh kelas secara umum tidak diketahui dan ditolak untuk dipercayai. Kaum ekonomis lebih suka untuk tunduk pada setiap prasangka yang saat ini ada di dalam buruh yang mereka temui.
Ekonomisme juga bukan berarti bahwa mereka tidak mau membicarakan tuntutan atau hal-hal politis. Ekonomisme menyesuaikan tuntutan-tuntutan politik atau melihat tuntutan-tuntutan politik pasti berhubungan, berkembang dan menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan ekonomi. “Pinjamkan perjuangan ekonomi sebuah karakter politik” merupakan slogan yang menandakan keteguhan dari oportunisme di antara kaum ekonomis.
Masih dalam “Apa Yang Harus Dikerjakan?” Lenin mengkritik konsep Ekonomisme tersebut: “Sementara dengan sepenuhnya mengakui perjuangan politik (lebih tepat: harapan politik dan tuntutan para buruh), yang muncul secara spontan dari gerakan kelas buruh itu sendiri, mereka secara mutlak menolak menjelaskan secara independen politik sosial demokrasi yang secara spesifik berhubungan pada tugas-tugas umum sosialisme pada kondisi-kondisi saat ini di Rusia.Dalam tulisannya yang berjudul “Tugas Mendesak Kita–Our Immediate Task” pada tahun 1899 Lenin menyebutkan: “Adalah tugas dari kaum sosial demokrat, dengan mengorganisasikan para buruh, dengan melancarkan agitasi dan propaganda di antara para buruh, untuk merubah perjuangan spontan melawan penindasnya menjadi perjuangan seluruh kelas, menjadi sebuah perjuangan partai politik yang jelas untuk cita-cita politik dan sosialis yang jelas… Tujuan dari sosial demokrasi adalah membawa cita-cita sosialis yang jelas kepada gerakan kelas buruh spontan, untuk merubah gerakan ini dengan keyakinan sosialis yang harus mencapai tingkat ilmu pengetahuan kontemporer…”
Seperti juga membangun rumah (masa depan) membutuhkan pekerja-pekerja konstruksi yang handal. Demikian juga membangun cita-cita perjuangan kita dimana tidak ada lagi produk hukum yang anti-demokrasi dan anti-rakyat serta tujuan besar sosialisme membutuhkan pekerja yang handal yaitu partai revolusioner.
Kami membangun Perserikatan Sosialis dengan bayangan tersebut. Dengan kerja-kerja terutama propaganda serta pengorganisiran lewat menerbitkan propaganda, terutama koran Arah Juang, menyelengarakan diskusi dan pendidikan, berdiskusi dengan kontak-kontak, dsb. Tapi betul bahwa ketika berbicara mengenai mobilisasi massa, revolusi dan sosialisme itu semua tidak cukup.
Lenin Juga menjelaskan logika pengorganisiran sebuah partai revolusioner. Dalam “Apa Yang Harus Dikerjakan?”Lenin berdebat dengan kelompok Ekonomisme dan menekankan kebutuhan meyakinkan serta mengorganisir pelopor kelas buruh. Dalam “Komunisme Sayap Kiri; Penyakit Kanak-kanak” Lenin menekankan metode yang dibutuhkan untuk memobilisasi/ mengorganisir massa untuk perjuangan perebutan kekuasaan. Buruh dan rakyat pelopor yang memiliki relatif kesadaran sosialis bisa diorganisir melalui kerja-kerja propaganda, lewat argumentasi ideologis dan penjelasan teoritis berdasarkan atas sejarah gerakan buruh. Namun massa secara luas, massa dengan kesadaran rata-rata hanya bisa diyakinkan lewat propaganda revolusioner berdasarkan atas pengalaman politik langsung dari massa itu sendiri.
Lenin juga menjelaskan di “Komunisme Sayap Kiri” dialektika dua model pengorganisiran tersebut: “Pelopor proletar telah dimenangkan secara ideologis. Itulah hal yang utama… Tanpa ini, bahkan langkah pertama menuju kemenangan tidak dapat diambil. Namun, itu masih cukup jauh dari kemenangan. Kemenangan tidak dapat diraih hanya dengan pelopor. Untuk melemparkan pelopor ke dalam pertempuran yang menentukan, sebelum seluruh kelas, massa yang luas, telah mengambil posisi baik dukungan langsung untuk pelopor, atau setidaknya netralitas simpatik terhadapnya dan menghalangi dukungan untuk musuh, tidak hanya akan menjadi bodoh tetapi juga kriminal. Propaganda dan agitasi saja tidak cukup bagi seluruh kelas, massa yang luas dari rakyat pekerja, mereka yang tertindas oleh kapital, untuk mengambil sikap seperti itu. Untuk itu, massa harus memiliki pengalaman politik mereka sendiri.” Pengalaman politik yang dimaksud adalah aksi massa dan disini kita akan berbicara mengenai strategi front persatuan serta bagaimana intervensi partai revolusioner di dalam aksi massa.
———–
Sepertinya semua penulis menyepakati kebutuhan pembangunan kekuatan politik alternatif. Namun belum secara kongkrit menjelaskan siapakah mereka dan kenapa mereka disebut sebagai alternatif? Dalam bayangan kami kekuatan politik alternatif tersebut merupakan persatuan seluruh gerakan dan organisasi demokratis, progresif dan sosialis. Walaupun tidak akan menggantikan tugas-tugas dari sebuah partai revolusioner namun munculnya sebuah kekuatan/ partai politik alternatif milik buruh dan rakyat akan menjadi perkembangan signifikan bagi perjuangan buruh dan rakyat sejak Malapetaka 1965. Kekuatan/ partai politik alternatif tersebut bertujuan untuk merebut kekuasaan, lewat pemilihan umum (Pemilu 2029 paling dekat). Untuk kemudian menjalankan program-program kerakyatan dan demokratis. Perserikatan Sosialis berkomitmen untuk terlibat di dalamnya serta bekerjasama dalam membangun kekuatan/ partai politik alternatif tersebut.
Usulan pembangunan kekuatan politik alternatif yang bertujuan untuk menjadi oposisi, kritikus (loyal), penyeimbang, atau bahkan untuk merebut narasi adalah omong kosong semata. Pada dasarnya akar dari persoalan, produk hukum anti demokrasi dan anti rakyat, narasi yang negatif adalah karena kekuasaan politik sejak Malapetaka 1965 selalu berada di tangan para elit politik, yaitu para jenderal, konglomerat dan birokrat atau keluarga mereka. Kalau sekarang kekuatan/ partai politik alternatif itu berada di luar kekuasaan dan menjadi oposisi, harus dilihat tidak menegasikan tujuannya untuk merebut kekuasaan. Melainkan proses melatih buruh dan rakyat untuk merebut kekuasaan.
Dalam diskusi “As the Dust Settles After the Elections: New Nuances in the Twin Axes of Indonesian Politics” Max Lane mengindikasikan adanya pendekatan antara PDI-P dengan arus bawah. Dalam slidenya dimuat poster Diskusi Kudatuli yang diselenggarakan oleh PDI-P. Dalam poster tersebut tercantum Max Lane, Wilson, Usman Hamid, BIvitri Susanti, Melki Sadek Huang serta Bonnie Triyana menjadi pembicara. Sementara itu dalam tulisannya berjudul “Dynastic Politics Provokes Nationwide Demonstrations”, Max Lane mengindikasikan bahwa hanya PDI-P yang bisa menyediakan kepemimpinan politik serta basis organisasional untuk perlawanan rakyat, walaupun belum jelas apakah PDI-P akan mengambil strategi tersebut.
Menjadi oposisi politik tidak dapat didasarkan pada hal-hal organisasional. Hal yang paling utama adalah perspektif politik dan ideologi. PRD misalnya dapat menjadi oposisi utama terhadap Rezim Militer Orde Baru karena ketepatan perspektif politik dan ideologinya. PRD jauh dari memiliki basis organisasional yang besar seperti kaum oposisi lainnya seperti Gus Dur dengan Forum Demokrasi (Fordem) ataupun posisinya sebagai Ketua Umum NU ataupun Amien Rais dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) serta posisinya sebagai ketua Muhammadiyah. Bahkan Megawati sekalipun juga tidak berperan banyak dalam perjuangan menumbangkan Rezim Militer Orde Baru. Dia adalah anggota PDI-Suryadi yang tidak pernah bersuara melawan Rezim Militer Orde Baru. Peristiwa 27 Juli membuat namanya naik dan seolah-oleh menjadi simbol perlawanan terhadap Rezim Militer Orde Baru.
Kita juga dapat melihat perjalanan PDI Perjuangan paska Reformasi 1998. Baik ketika berkuasa di masa Megawati dan Jokowi ataupun ketika menjadi oposisi di masa SBY. Tidak ada satupun pelanggaran HAM yang dituntaskan, termasuk yang menimpa pendukungnya sendiri di Peristiwa 27 Juli. Kebijakan-kebijakan anti demokrasi dan anti rakyat seperti RKUHP, Omnibus Law, pencabutan subsidi, dsb juga turut mereka dukung. Kita juga bisa melihat komposisi kelas di dalam PDI-Perjuangan itu sendiri, di dalam mereka juga terdapat sisa-sisa Rezim Militer Orde Baru.
Di lapangan, segera setelah gerakan spontan berhasil memaksa DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU Pilkada, PDI-P melakukan koalisi dengan KIM+ di kota besar. Di Jakarta, Pramono Anung yang diusung PDI-P meminta restu pada Jokowi untuk maju sebagai Calon Gubernur. PDI-P tidak bereaksi negatif terhadap tindakan tersebut. Di Tangerang Selatan, PDI-P berkoalisi dengan Partai Golkar dalam mengusung Airin sebagai calon Wakil Gubernur. Koalisi semacam itu menunjukkan bahwa PDI-P kepentingan utama PDI-P adalah mendapatkan akses ke kekuasaan serta ekonomi bukan menjadi oposisi untuk memperjuangkan program pro rakyat dan pro demokrasi. Gerakan akan sia-sia belaka mendorong PDI-P untuk memutar mesin politik ke arah berlawanan daripada koalisi KIM+.
Mengenai Partai Buruh, kami tidak melihat bahwa Partai Buruh dapat menjadi kekuatan politik alternatif. Berbagai tulisan sudah dimuat di Arah Juang mengenai hal ini. Demikian dalam Pemilihan Kepala Daerah 2024 ini kita kembali melihat manuver dari para elit Partai Buruh untuk mengusung calon-calon kepala daerah dari para elit politik. Demikian pula saat ini pendekatan Partai Buruh ke kubu Prabowo-Gibran semakin jelas dengan rencana Peringatan 3 Tahun Kebangkitan Kelas Buruh di Istora Senayan pada 13 September 2024 yang akan diisi dengan pidato oleh Prabowo Subianto.
Harapan satu-satunya saat ini ada di Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK). Sebagian organisasi yang menyusun GEBRAK adalah organisasi yang sama yang terlibat dalam Konferensi Gerakan Rakyat Indonesia. GEBRAK dapat menindaklanjuti KGR dengan menyelenggarakan diskusi dan konsolidasi untuk pembangunan kekuatan/ partai politik alternatif. Ini dijalankan dengan upaya untuk mengajak organisasi-organisasi lain yang belum berada di GEBRAK seperti FSEDAR, FSEBUMI, dsb. Termasuk berdiskusi dengan kawan-kawan di dalam Komite Politik Nasional (Kompolnas) mengenai kebutuhan membangun kekuatan/ partai politik alternatif di luar Partai Buruh.
Akhirul kalam, penulis mengajak kawan Mughis, Rafiqa, Evi, Wahyu, Isyroqi serta seluruh kekuatan demokratis, progresif dan sosialis untuk bersama-sama membangun kekuatan/ partai politik alternatif.
Ditulis oleh Riang Karunianidi, Anggota Resistance dan Kader Perserikatan Sosialis serta Dipo Negoro, Kader Perserikatan Sosialis.
Comment here