Sejarah

Perjuangan Umi Sardjono, Pendiri Gerwani

Umi Sardjono lahir dengan nama Suharti Sumodiwirdjo di Salatiga pada 24 Desember 1923. Ia anak kedua Ruslan Sumodiwiryo, seorang juru tulis Kawedanan Salatiga. Karena status orang tuanya sebagai pegawai pemerintah, Umi berkesempatan bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Kemampuannya melek huruf memungkinkan dia membaca Habis Gelap Terbitlah Terang yang menggugah Umi untuk ikut perjuangan emansipasi. Umi kemudian bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra). Namun kemudian dia berpindah ke Gerindo, yang menurutnya lebih progresif. Ketika penjajahan Jepang Umi turut berpartisipasi dalam perjuangan bawah tanah melawan fasisme. Dia dikirim ke Blitar oleh Gerindo. Dalam masa itulah, ia mendapat nama Umi sebagai panggilan oleh kawan seperjuangannya. Saat itu Umi bertemu dengan pemuda bernama Sukisman atau dalam nama jawanya sering disebut Sardjono. Perkenalan tersebut mengantar keduanya untuk menikah. Lalu keduanya mendirikan sebuah warung di depan markas jepang yang kerap dijadikan pos penghubung antara para aktivis dengan gerakan komunis bawah tanah. Dari sinilah Umi berhasil menjaring informasi-informasi penting untuk melumpuhkan Jepang walaupun akhirnya sekitar tahun 1943-1944 Umi bersama Sukisman ditangkap oleh Jepang. Selama menjadi tawanan Jepang, Umi disiksa dengan digantung seperti seekor kalong. Umi tidak diberi makan dan minum sehingga Umi terpaksa minum urin yang ia keluarkan sendiri. Walaupun demikian Umi berhasil bertahan hidup hingga saat rumah tahanannya diserang dan ia dibebaskan front pemuda kiri (cikal bakal Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo)), dua hari setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Karena kolonialisme Belanda ingin kembali menguasai Indonesia, Umi bersama pasangannya kembali bergerilya. Tahun yang sama dibentuklah Barisan Buruh Indonesia (BBI). BBI didirikan dengan alasan supaya buruh Indonesia bisa lebih mudah dimobilisasi. Beberapa bulan setelah BBI didirikan diputuskan untuk didirikannya sebuah serikat buruh yang mewadahi kelas buruh perempuan yaitu BBW (Barisan Buruh Wanita). Ketua dari BBW adalah S.K Trimurti. Sedangkan posisi Umi adalah selaku wakil ketua. Umi sebelumnya mengenal dekat Trimurti pada masa perjuangan bawah tanah melawan Jepang bahkan pernah satu penjara dengannya. Salah satu pimpinan perjuangan anti-fasis Jepang saat itu adalah Amir Sjarifuddin. Kelak Amir saat menjadi Perdana Menteri, ia memilih SK Trimurti sebagai Menteri Perburuhan. Sedangkan organ BBW maupun BBI sendiri tidak bertahan lama. BBI kemudian bergabung dengan GASBI (yang kelak menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI)). Trimurti kemudian bergabung dengan Partai Buruh Indonesia sedangkan Umi bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Meskipun demikian kedua partai tergabung dalam aliansi Front Demokrasi Rakjat (FDR). Umi pernah mengusulkan pembentukan kembali sebuah organisasi perempuan progresif kepada PKI. Namun bagi Musso, organisasi perempuan ini justru akan melemahkan revolusi. Suatu penolakan yang Umi renung sebagai hal yang tidak masuk akal. Ketiadaan organisasi perempuan yang progresif bagi Umi justru mengabsenkan perempuan dari revolusi nasional. Bahkan di kalangan organisasi perempuan yang borjuistis memiliki kebimbangan dalam garis anti-imperialisme Indonesia pada waktu itu.

Maka kembali beserta S.K Trimurti, Umi mendirikan Gerwis yang berkepanjangan Gerakan Wanita Indonesia Sedar pada 4 Juni 1950. Gerwis didirikan dari peleburan enam organisasi perempuan antara lain Rupindo (Rukun Putri Indonesia), Persatuan Wanita Sedar, Istri Sedar, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo), Wanita Murba Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia. Kemudian pada kongres Gerwis yang kedua pada 1954 diputuskan bahwa Gerwis berubah nama menjadi Gerwani dan menunjuk Umi menjadi ketua umum. Tujuan dari Gerwani adalah menghimpun perempuan dalam perjuangan politik melawan imperialisme yang masih bercokol di Indonesia yang berarti mendidik perempuan dari buta tulis dan buta politik. Bagi Umi,  Gerwani tidak bisa membatasi dirinya pada perjuangan perempuan melainkan perlu mengedapankan program perjuangan bersama elemen rakyat lainnya. Perjuangan Gerwani salah satunya adalah mendirikan berbagai sekolah dan tempat penitipan anak yang mana tidak dipungut biaya. Gerwani pula turut bersolidaritas dalam memenuhi tuntutan dari SOBSI, BTI seperti peningkatan upah, cuti haid bagi buruh perempuan, hingga memperjuangkan reformasi agraria. Lebih lanjut Gerwani juga melibatkan diri dalam konfrontasi melawan Malaysia dan kampanye pembebasan Irian Barat. Banyak anggapan yang memandang bahwa Gerwani adalah sayap PKI di sektor kaum perempuan namun secara formal sifatnya adalah independen. Kongres 1954 menetapkan pasal dalam peraturan dasar Gerwani yang menyatakan Gerwani “adalah  organisasi  untuk  pendidikan  dan perjuangan, yang tidak menjadi bagian dari partai politik apapun.” Josepha Sukartiningsih, anggota Gerwani, mengungkapkan: “

Perempuan yang punya komitmen kepada PKI bergabung dengan partai, menjadi anggota atau pengurus partai. PKI sendiri juga memiliki organisasi perempuan yang disebut Wanita Komunis (Wankom), yang menyelenggarakan konferensi nasional pada 1958.  Banyak pimpinan PKI yang sebenarnya tidak tertarik pada pekerjaan Gerwani, seperti meminta parlemen untuk mengubah undang-undang perkawinan atau menjalankan TK Melati di kampung-kampung.  Gerwani  punya  agenda  kerja  sendiri  dan  tidak  semata-mata  mengikuti perintah-perintah partai.

Umi sendiri pernah terpilih sebagai anggota DPR. Kinerjanya sebagai anggota DPR yang paling penting adalah menghilangkan klausul UU keimigrasian yang menyatakan bahwa perempuan harus didampingi anggota keluarga laki-laki jika ingin berpergian ke luar negeri lalu berusaha memenangkan UU Perkawinan naskah Ny. Soemari yang menolak poligami walaupun naskah tersebut akhirnya dibekukan oleh Pimpinan sidang yang berasal dari partai Masyumi pada waktu itu. Umi juga selalu aktif di panggung internasional dengan sering menghadiri acara Gerakan Wanita Demokratis Sedunia di luar negeri. Di bawah kepemimpinan Umi, Gerwani bertumbuh pesat dari keanggotaan yang awalnya berjumlah 500.000 hingga 1,5 juta pada 1965.

Kudeta merangkak yang dilancarkan Suharto terhadap Sukarno diiringi dengan penyebaran fitnah bahwa PKI hendak memberontak dengan mengorganisir Gerakan 30 September serta menculiki dan menyikas para jenderal. Gerwani turut difitnah terlibat dalam penyiksaan. Umi yang bahkan tidak tahu-menahu mengenai hal itu lalu ditangkap prajurit utusan Suharto. Satu hal yang tidak terlupakan oleh Umi dari kejadian 65 adalah bertemu dengan tujuh wanita non Gerwani yang dituding terlibat dalam penyiksaan Jenderal di lubang buaya. Tujuh wanita ini berasal dari kampung. Mereka datang dari berbagai daerah ada yang dari Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur. Wanita ini diajak ke Jakarta dengan iming-iming bekerja di restoran. Sesampai Jakarta, mereka dilemparkan ke tangan germo. Mereka lalu dipaksa melacur, dan ditangkap pada akhir September 1965. Tujuh wanita tersebut disiksa dengan berbagai metode mulai dari dibenamkan di bak mandi, disundut rokok dan berbagai cara lainnya. Siksaan ini bahkan membuat wanita tersebut gila dan pada akhirnya mereka terpaksa mengaku menjadi pelakunya. Umi sendiri dipaksa mengaku terlibat namun dengan teguh Umi menolak fitnah tersebut secara berulang-ulang. Umi dipenjara tanpa peradilan, 13 tahun di Bukit Duri.

Umi bebas dari penjara tahun 1979 dan sempat menyaksikan proses reformasi memaksa Suharto turun Orde Baru bubar namun dalam masa tua Umi sendiri menderita penyakit dan kemiskinan sekaligus. Secara perspektif, Umi masih melihat bahwa di zaman reformasi tidak berbeda dengan zaman Soeharto karena ketiadaannya gerakan perempuan yang progresif. Umi mencita-citakan sebuah organisasi perempuan progresif seperti yang pernah ia dirikan lahir kembali yang sayangnya belum bisa disaksikannya hingga ia wafat pada 11 Maret 2011 pada umur 87. Umi telah memainkan perannya dalam gerakan perempuan. Ayo kita teruskan dan menangkan.

ditulis oleh Munawar Setiyadi | Anggota Lingkar Studi Pelajar Progresif

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 62, III-IV Maret 2019, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: