Teori

Tinjauan Sosialisme Tentang Upah

Munculnya sistem kerja upahan menandai lahirnya suatu sistem ekonomi-politik yang sepenuhnya baru dari sistem ekonomi-politik sebelumnya, yaitu lahirnya sistem ekonomi-politik kapitalisme. Kapitalisme menggantikan jenis penindasan lama dalam bentuk penghisapan hasil kerja kaum tani oleh tuan tanah/bangsawan/kerajaan dalam feodalisme. Pada masa ini, sistem kerja upahan belumlah berkembang, sebab mayoritas rakyatnya masih memiliki tanah-tanah yang mereka garap untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Selain kaum tani, juga terdapat gilda-gilda atau tukang-tukang dengan alat produksi sederhana atau berskala kecil yang hidup dengan menjual hasil kerjanya untuk membeli barang-barang kebutuhan lainnya. Namun di sisi lain mereka juga harus bekerja untuk melayani kerajaan atau memberikan upeti kepada raja-raja. Jadi, kerja dalam enam hari harus dibagi menjadi dua; tiga hari untuk memenuhi kebutuhan hidup petani dan keluarganya, tiga hari sisanya untuk melayani tuan feodal, tanpa upah.

Kapitalisme mengubah bentuk penghisapan tersebut dengan bentuk yang baru, yaitu kerja upahan. Demi mewujudkan sistem kerja upahan, pertama-tama para kapitalis harus melepaskan kaum tani dari keterikatannya terhadap tanah melalui perampasan tanah, menjadikan tanah itu sebagai milik pribadi kelas kapitalis. Dengan begitu, kaum tani tidak akan memiliki alat produksi guna memenuhi kebutuhan hidup mereka, lalu terpaksa mereka harus menjual tenaga kerjanya kepada kaum kapitalis, dan kini mereka bukan lagi kaum tani, melainkan kaum buruh upahan.

Namun kalangan produsen langsung yang disingkirkan bukan hanya kaum tani, melainkan juga lainnya seperti para tukang. Penyingkiran para tukang berjalan di atas logika pasar bebas kapitalisme. Para kapitalis yang unggul dari jumlah modal, penguasaan alat produksi, termasuk inovasi dan teknologi, terutama kepemilikan industri, cenderung menyingkirkan para pesaing bisnisnya yang lebih lemah. Mereka yang kalah dalam persaingan gagal untung, merugi, pelanggannya direbut, hutangnya menumpuk, dan bangkrut terlempar menjadi kaum miskin atau masuk kelas buruh. Bahkan bisa lebih parah, kalau gagal bayar hutang, asetnya disita dan atau dipenjara. Sedangkan para kapitalis merebut konsumen saingannya, menguasai pasar, bahkan bisa melakukan ekspansi atau perluasan ke tempat-tempat atau sektor-sektor lain.

Dengan itu pasokan buruh untuk dihisap mencapai jumlah yang stabil. Termasuk angka pengangguran relatif menguntungkan kapitalis sehingga bisa digunakan untuk mengancam menggantikan buruh yang menuntut kenaikan upah, tunjangan, atau kondisi kerja.Dua hal itulah yang dilakukan oleh para kapitalis guna memastikan munculnya tenaga kerja upahan di dalam darah-daging kaum buruh, yang telah dibebaskan dari keterikatan terhadap tanah dan alat-alat produksi berskala kecil lainnya, sehingga memiliki ruang gerak yang lebih luas, namun ironisnya, sekaligus juga dibatasi agar tidak memiliki akses terhadap semua alat produksi, sehingga tidak ada pilihan lain selain menjual tenaga kerjanya untuk mempertahankan hidup.

Berbeda dengan corak produksi sebelumnya di mana mayoritas orang melalui tanahnya atau alat-alat produksi berskala kecilnya memproduksi barang-barang untuk ditukarkan dengan barang-barang kebutuhan lainnya (menjual untuk membeli), kapitalisme mengubah corak produksi menjadi membeli untuk menjual. Para pemilik modal membeli tenaga kerja (bukan kerja) kita untuk melakukan akumulasi kapital. Bagaimana akumulasi ini dijelaskan?

Seorang buruh misalnya bekerja dengan diupah per jamnya $ 10. Kapitalis membuat sang buruh bekerja mengoperasikan mesin pembuat sepatu yang dengan itu buruh memproduksi kerja setara $ 10 untuk kerja tiap 15 menitnya. Oleh karena itu kapitalis menerima nilai kerja setara $ 40 dan dengan mengupah buruh hanya sebanyak $ 10 maka kapitalis mengambil $ 30 sebagai pendapatan kotor. Begitu kapitalis menguranginya dengan biaya operasi tetap dan tidak tetap (katakanlah) $ 20 (untuk kulit, penyusutan mesin, dan sebagainya), maka ia mendapatkan sisa $ 10. Oleh karena itu dengan mengeluarkan modal sebanyak $ 30 sang kapitalis mengambil nilai lebih sebanyak $ 10. Kapitalnya tidak hanya digantikan oleh operasi itu namun juga meningkat sebanyak $ 10.

Tapi mari kita ambil contoh kasus konkret di Indonesia kini. Seorang buruh NIKE di Tangerang diupah Rp 3.570.000,- (ini upah minimum tahun 2021) untuk bekerja delapan jam kerja per hari selama sebulan dengan libur tiap hari minggu. Artinya bila dilakukan pembagian maka upahnya selama per jam adalah sekitar Rp 17.150,-. Selama sehari ia bisa memproduksi sebanyak sepuluh pasang sepatu. Harga sepatu NIKE bervariasi, ada sepatu nike futsal untuk anak-anak dengan harga Rp 100.000,-. Ada pula sepatu Nike Air Max 97 metallic berharga Rp 3.570.000,-. Ambillah harga paling rendah, maka sang buruh dalam sehari bisa memproduksi komoditas dengan total harga setara Rp 1.000.000,-. Dalam satu bulan (26 hari) maka ia bisa memproduksi total komoditas dengan jumlah keseluruhan harga setara Rp 26.000.000,-. Artinya dalam sebulan ia sudah memberikan nilai lebih sebanyak Rp 22.430.000,- kepada kapitalis. Andaikata upah buruh sepatu di Tangerang dihitung dibagi dengan jumlah total produksi yang bisa dihasilkannya dalam sehari, maka sebenarnya ia cuma harus bekerja selama tidak lebih dari empat hari dalam sebulan. Namun upah dalam kapitalisme sekali lagi tidaklah setara bahkan lebih rendah dari nilai yang bisa diproduksi buruh. Upah hanyalah kompensasi yang diberikan kapitalis untuk membeli tenaga kerja buruh agar bisa bekerja untuknya dan menghasilkan nilai lebih bagi kapitalis. Dengan kata lain, apa yang diperjualbelikan atas buruh dalam pasar tenaga kerja bukanlah kerjanya itu sendiri melainkan lebih merupakan kapasitasnya untuk bekerja. Dus, nilai lebih merupakan selisih antara nilai yang dihasilkan dari tenaga kerja kita dan kebutuhan untuk mereproduksi tenaga kerja kita. Nilai lebih ini tidak bisa dimiliki buruh secara langsung karena ia tidak punya klaim atas alat produksi (yaitu mesin pembuat sepatu) maupun atas produk-produknya. Selain itu kapasitasnya untuk merundingkan upah dibatasi oleh hukum ketenagakerjaan dan pasokan/permintaan atas kerja upahan.

Karl Marx dalam Kerja Upahan dan Kapital menjelaskan, “Naik turunnya upah bergantung pada naik turunnya harga barang-jasa pada umumnya. Namun dalam batasan-batasan ini naik turunnya harga tenaga kerja akan ditentukan oleh ongkos produksi, oleh waktu kerja yang dibutuhkan untuk produksi, dengan kata lain ditentukan oleh tenaga kerja. Maka lantas sebenarnya ongkos produksi tenaga kerja itu? Hal itu adalah biaya yang dibutuhkan untuk memelihara tenaga kerja sebagai tenaga kerja dan biaya pendidikan serta pelatihannya sebagai buruh.

Sekali lagi, kesimpulannya kapitalis mengupah kita bukan sesuai dengan nilai yang kita hasilkan. Namun sebatas agar buruh dapat mengisi ulang tenaga kerjanya. Mereka membeli tenaga kerja buruh, yang mana tenaga kerja itu tidaklah dapat dilepaskan dari diri manusia. Namun kapitalis memisahkan tenaga kerja kita dari diri kita, agar mereka dapat terhindar dari membiayai kebutuhan diri kita sebagai manusia. Inilah sebabnya mengapa upah buruh cenderung di bawah angka kebutuhan hidup layak. Padahal, kita menghasillkan lebih banyak dari upah kita sendiri.

Semakin kapitalisme berkembang maka semakin menjadi umum fenomena buruh harus menjual tenaga kerjanya sebagai komoditas atau produk demi imbalan mendapatkan upah untuk bisa bertahan hidup memenuhi kebutuhannya. Upah lebih rendah lagi bahkan bisa dimunculkan dan dilegalkan dalam bentuk buruh kontrak atau kerja kontrak. Kerja kontrak adalah bentuk kerja upahan dimana buruh diperlakukan majikan seolah sebagai rekanan independen yang menyediakan jasa. Namun sebenarnya tidak lebih dari buruh namun tanpa jaminan kerja tetap. Bukan hanya majikan diuntungkan karena bisa memotong lebih banyak pengeluarannya dengan sistem ini karena tidak perlu mengeluarkan berbagai tunjangan namun juga menghalangi berkembangnya kesadaran kelas seiring dengan buruh dicitrakan seolah sebagai borjuis kecil, diperketat persaingannya satu sama lain, dipaksa menekan serendah mungkin pemenuhan kebutuhan hidupnya, dan dipaksa tunduk serendah-rendahnya demi keberlangsungan kontraknya. Itupun seringkali diperparah dengan dikombinasikan praktik outsourcing dimana buruh dipekerjakan lewat perusahaan perantara. Sehingga bukan hanya upahnya cenderung lebih rendah, ia juga sulit protes menuntut kenaikan upah ke perusahaan primer karena ia dipekerjakan perusahaan perantara.

Demikianlah, tenaga kerja atau buruh itu sendiri, baik buruh tetap ataupun buruh kontrak/outsourcing, kemudian dijadikan komoditas alias barang dagangan oleh kapitalisme dan diperjualbelikan di pasar. Setiap orang yang memasuki pasar tenaga kerja menjual kerja atau keahliannya demi mendapatkan upah. Mereka yang berhasil dipekerjakan harus tunduk pada kapitalis sesuai jangka waktu yang dituntut. Kalau tidak mau maka akan terancam menjadi pengangguran dan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.

Pengangguran itu sendiri sebenarnya bukanlah hal kebetulan melainkan sengaja diciptakan dan dilanggengkan kapitalisme sebagai reserve army of labour atau tentara cadangan tenaga kerja. Sebelum kapitalisme, tidak ada pengangguran terstruktur dalam skala massal kecuali akibat bencana alam atau perang. Karl Marx menjelaskan:

Industri besar secara terus-menerus membutuhkan tentara cadangan tenaga kerja untuk masa-masa overproduksi. Tujuan utama borjuasi dalam hubungannya dengan buruh adalah tentu saja agar bisa mendapatkan komoditas tenaga kerja semurah mungkin, yang itu hanya dimungkinkan bila suplai komoditas tenaga kerja ini sebanyak-banyaknya terhadap tuntutan atas tenaga kerja…

Dengan demikian, bila ada sekelompok buruh yang menuntut kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, penambahan tunjangan, dan tuntutan-tuntutan lain yang pada dasarnya adalah perjuangan mendesak kapitalis memenuhi peningkatan hajat hidup buruh, maka kapitalis bisa mengancam akan menggantikan buruh tadi dengan pengangguran yang mau dipekerjakan dengan upah rendah. Bahkan ini bukan ancaman lagi, karena sering dipraktikkan kapitalis. Misalnya praktik pemecatan terang-terangan terhadap para buruh yang menuntut kenaikan upah dengan cap pembuat onar. Lalu, praktik pemecatan berdalih tidak sanggup membayar upah buruh tetap tapi kemudian diam-diam merekrut buruh kontrak. Kemudian ada juga praktik mengerahkan scabs atau para buruh pengganti yang mengambil alih pekerjaan saat buruh lainnya sedang mogok untuk menuntut haknya. Demikianlah kapitalis bukan hanya bermuslihat membuah upah buruh tetap rendah namun juga mengadu domba sesama buruh demi kepentingannya memperkaya diri sendiri.

Skema pengupahan lebih parah dalam kapitalisme juga bisa muncul berupa upah kerja borongan. Dalam skema ini buruh dibayar berdasarkan kuantitas produk bukan dari waktu kerjanya. Ini pada dasarnya tetap termasuk kerja upahan. Namun bentuk pembayaran borongan begini sebenarnya membuat buruh bekerja lebih keras untuk mengejar target kuantitas. Selain itu bagaimanapun juga upah buruh borongan tersebut tetap ditentukan dalam pasar tenaga kerja, melalui ongkos produksi kerja tiap harinya, yaitu standar hajat hidup kelas buruh yang ditentukan secara historis dan sosial. Namun mengesankan seolah-olah buruh diupah berdasarkan kinerjanya. Padahal upah buruh tersebut tetap lebih kecil daripada nilai lebih (apalagi nilai guna dan nilai tukar) yang dihasilkannya.

Skema upah kerja borongan itu pun menghasilkan turunan yang lebih parah. Pertama, kerja rumahan. Karena buruh secara perorangan seringkali kemampuan kerjanya terbatas maka seringkali mereka terpaksa membawa pulang kerja borongan tersebut untuk digarap bersama para anggota keluarganya. Bukan hanya ini menimbulkan masalah buruh anak-anak namun juga kapitalis tidak lagi wajib menyediakan mesin atau alat kerja. Kedua, model sweatshop. Sweatshop muncul dari praktik subkontrak terhadap kerja borongan. Perusahaan awal membuka lowongan kontrak untuk kerja borongan tapi tidak langsung ke buruh melainkan ke pihak perusahaan perantara. Perusahaan perantara ini kemudian merekrut para buruh untuk menggarap kontrak kerjaan tersebut. Demi menghemat ongkos produksi dan meraup laba sebanyak mungkin, perusahaan perantara ini berkecenderungan menyediakan tempat kerja dalam kualitas minimum. Sehingga para buruhnya dipaksa bekerja dalam tempat kerja kecil, berdesak-desakan, jam kerja panjang, dan upah rendah, bahkan sampai bercucuran keringat, karena itu muncul istilah sweatshop atau tempat kerja keringat. Lebih parahnya lagi tempat kerjanya juga minim kelayakan dan keselamatan sehingga rentan kecelakaan memakan banyak korban jiwa pekerjanya. Apalagi juga risiko kriminalnya tinggi, dimana banyak calon buruhnya ditipu agar mau bekerja tanpa pengetahuan awal betapa rendahnya upahnya, dijerat dengan hutang (melalui modus pemotongan upah untuk mengganti ongkos pelatihan atau biaya tempat tinggal di mess buruh), bahkan rentan perdagangan manusia. Bila perusahaan awal diprotes, ia bisa lepas tangan dengan pura-pura tidak tahu kondisi kerja di perusahaan perantaranya begitu. Apalagi model begini bisa berlangsung lintas negara.

Demikianlah kapitalisme mengakibatkan sekaligus memperparah kemiskinan bagi mayoritas rakyat pekerja, sementara kekayaan ditumpuk ke segelintir kapitalis. Di Indonesia, dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di Indonesia. Sementara 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Sementara dalam skala global, lembaga Oxfam mengatakan bahwa 1% orang terkaya di dunia mengusai total kekayaan 99% penduduk di dunia.

Ini berbeda dalam sosialisme. Karena tenaga kerja telah berhenti menjadi barang dagangan dalam masyarakat sosialis, upah tak lagi menjadi harga dari tenaga kerja kita yang dibeli oleh para kapitalis. Untuk memastikan tenaga kerja tidak lagi menjadi barang dagangan, maka kaum buruh harus merebut alat-alat produksi ke tangan mereka, karena telah kita diskusikan bersama bagaimana pemisahan alat produksi memunculkan sistem tenaga kerja upahan. Dengan penghapusan sistem tenaga kerja upahan ini, maka hukum nilai tenaga kerja benar-benar kehilangan validitasnya sebagai pengatur upah. Sehingga tenaga kerja hanya menyisakan nilai guna dari tenaga kerja itu sendiri, dan sebagai gantinya, upah kita adalah apa yang telah kita hasilkan secara bersama-sama.

Sesuai dengan persyaratan hukum ekonomi dasar sosialisme, di mana alat-alat produksi dimiliki secara bersama oleh rakyat pekerja atau kelas buruh, maka kekuasaan atas distribusi juga dimiliki oleh kaum buruh. Kaum buruh, melalui kekuasaan ekonomi-politiknya yang demokratis, akan mendistribusikan semua hasil produksi dari kerja-kerjanya untuk memenuhi kebutuhan semua rakyat pekerja, dan inilah “upah” pekerja di dalam masyarakat sosialis. Sebagaimana kata Marx, “semua bekerja sesuai keinginan dan semua mendapatkan sesuai kebutuhan”. Hingga berkembang menjadi dari setiap orang sesuai kemampuannya, untuk setiap orang sesuai kebutuhannya.

Ditulis oleh Miswanto | Anggota Lingkar Studi Sosialis

Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 99, III-IV November 2020, dengan judul yang sama.

SUMBER:

Marx, Karl. 1847. Wages. Marxist Internet Archives (Daring), diakses dari https://www.marxistsfr.org/archive/marx/works/1847/12/31.htm.

Marx, Karl. 1847. Wage Labour and Capital. Marxist Internet Archives (Daring), diakses dari https://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/wage-labour/

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: