InternasionalPerspektif

Satu Tahun Yang Kita Lalui dan Partai Revolusioner Yang Kita Butuhkan

trump-wayDelapan tahun telah berlalu semenjak krisis kapitalisme meletus pada tahun 2008. Guncangan-guncangan masih terus bermunculan. 26 September lalu harga saham bank Jerman anjlok ke tingkatan terendahnya sejak 1983. Ini menyusul krisis perbankan Italia dan kekacauan di pasar saham Tiongkok. Kita saksikan krisis menjalar semakin meluas disana-sini. Hampir tidak ada negara yang tidak terkena dampak kapitalisme. Termasuk negara-negara yang dulu dicap keajaiban ekonomi seperti Brazil, Russia, India, China, and South Africa (BRICS) kini turut mengalami krisis kapitalisme. Sedangkan di berbagai negara lainnya, pemulihan yang ada hanyalah bersifat sementara. Seperti hela nafas pasien sekarat dari rentetan serangan jantung. Krisis ini bahkan telah menjalar hampir ke seluruh dimensi. Tidak hanya krisis di ekonomi namun juga politik, budaya, bahkan juga krisis kemanusiaan.

Pada Januari 2016, Oxfam menyatakan bahwa 1 persen orang paling kaya di dunia jauh lebih kaya dari seluruh penduduk dunia. Kekayaan 62 orang paling kaya di dunia sama dengan total kekayaan Laporan tersebut juga menyatakan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang tersebut terjadi karena “hampir di semua negeri kaya dan negeri-negeri berkembang, bagian pendapatan nasional yang mengalir ke buruh terus menurun.” Sementara para pemilik modal dapat terus mengakumulasikan modalnya dengan berbagai cara, legal maupun ilegal.[1] Laporan tersebut bahkan belum memotret besarnya konsentrasi kekayaan di tangan para pemilik modal. Diperkirakan masih terdapat sekitar 32 Triliun USD kekayaan yang disembunyikan di tempat-tempat surga pajak (tax haven) atau dengan kerahasiaan yurisdiksi (secrecy jurisdiction).[2]Menjelang akhir tahun, September 2016, muncul laporan dari Global Justice Now yang menyatakan bahwa 10 perusahaan terbesar di dunia – di dalamnya termasuk Walmart, Shell dan Apple – memiliki total penghasilan lebih dari 180 negara paling miskin, termasuk di dalamnya Indonesia.[3] Data ini bukan berarti tidak terjadi krisis kapitalisme, namun menunjukkan gerak inheren dari kapitalisme untuk akumulasi modal dan konsentrasi kekayaan. Maka ketika terjadi krisis kelas borjuis akan menimpakan seluruh beban krisis kepada kelas buruh dan rakyat pekerja.

Saat ini seiring menajamnya krisis, masyarakat semakin terpolarisasi ke kanan dan ke kiri. Kita menyaksikan kebangkitan gerakan ultra kanan di satu sisi. Sedangkan sisi lainnya kita juga menyaksikan kebangkitan gerakan kiri. Kita menyaksikan kebangkitan Jeremy Corbyn yang memenangkan kepemimpinan Partai Buruh Britania September lalu. Berikutnya kita menyaksikan kontestasi populer Bernie Sanders dengan gagasan ‘sosialisme’nya menantang Hillary Clinton sebagai bakal calon presiden AS dari Partai Demokrat. Lalu di Prancis kita menyaksikan tumbuhnya popularitas Jean-Luc Mélenchon yang pecah dari Partai Sosialis dan membentuk gerakan France Insoumise. Meskipun, sebagaimana kami sampaikan dalam koran Arah Juang edisi 7, kiri yang naik ini, meskipun mengusung retorika dan wacana sosialistis, sebenarnya adalah kiri reformis, bukan kiri revolusioner. Namun dalam masa krisis kapitalisme tidak ada basis bagi reforma dan konsesi-konsesi kapitalis untuk rakyat pekerja. Sebaliknya hak-hak yang sebelumnya dimenangkan rakyat pekerja justru akan dirampas kembali. Oleh karena itu hanya ada dua pilihan: semakin maju terus menuju jalan revolusi dan mengambil alih alat-alat produksi yang dikuasai kelas penindas, atau berbalik mengkhianati perjuangan kelas buruh dan melayani kepentingan kapitalisme untuk menyelamatkan sistemnya yang sekarat dengan menjalankan politik austeritas atau pemotongan anggaran. Kami sebagai kaum Marxis Revolusioner percaya jalan pertama, yaitu revolusi sebagai solusi sejati. Namun kita bisa melihat jalan reformis yang ditempuh Partai SYRIZA kemudian membuat mereka lebih memilih menjadi manajer kapitalisme dalam mengelola krisis, alih-alih memimpin kelas buruh menggulingkan borjuasi. Kolaborasi kelas demikian tidak hanya dimonopoli SYRIZA. Partai Komunis Filipina dengan Front Demokratis Nasionalnya memilih berkolaborasi dengan Duterte yang otoriter.

Sisi lain kita juga menyaksikan kebangkitan gerakan Ultra Kanan. Mulai dari Tea Party dan Alt-Right di AS. Partai Kebebasan di Belanda yang menjuarai jajak-jajak pendapat. Partai Kebebasan di Austria kalah tipis dalam Pilpres. Berikutnya Front Nasional di Prancis pimpinan Marine Le Pen berada di posisi kedua dari Republiken. Lalu Alternatif untuk Jerman (AfD) membayangi rezim Angela Merkel. Berikutnya di Australia muncul kelompok fasistis United Patriot Front (UPF) atau Front Patriot Bersatu serta kelompok politik Islamophobis dengan Hanson yang terpilih sebagai senator. Menangnya Trump di AS juga mengakibatkan efek domino meningkatnya kaum reaksioner, konservatif, rasis, suprematis kulit putih, dan fasis disana. Baik dalam bentuk meningkatnya serangan rasis, vandalisme swastika, sampai pengibaran bendera konfederasi.

Dalam Arah Juang edisi 7 kami mengambil kesimpulan: “kelompok ultra kanan bisa semakin besar dukungannya dengan menunjukan dirinya sebagai partai oposisi terhadap partai-partai yang sudah mapan, sebagai sebuah partai yang anti terhadap “sistem” yang ada serta partai yang mampu melakukan mobilisasi massa. Bahkan salah satu pemimpin AfD pernah mengatakan bahwa “AfD harus menjadi sosial karena jurang orang kaya dan miskin di Republik Federal Jerman semakin lama semakin lebar dan ekonomi pasar sosial harus dipertahankan dari kapitalisme finansial yang membusuk.”

Kelompok ultra kanan mengandalkan bahasa-bahasa populer, nasionalisme popular, oposisi terhadap institusi keuangan internasional serta sauvinisme ataupun rasisme. Menurunnya standart hidup dan meningkatnya jurang kemiskinan serta krisis ekonomi telah meradikalisasi kelas menengah. Kelompok yang merasa bahwa kondisi hidup mereka semakin tergerus dan dapat “turun kelas” menjadi seperti kelas buruh ataupun kelas menengah bawah pada umumnya. Kebencian dan ketakutan “turun kelas” tersebutlah yang juga dieksploitasi kelompok ultra kanan untuk mendapatkan dukungan. “

Perkembangan-perkembangan signifikan juga terjadi di tataran geopolitik. Setelah referendum gagal mengeluarkan Skotlandia dari Britania, tahun ini kita justru menyaksikan referendum mengeluarkan Britania dari Uni Eropa. Persekutuan borjuasi Eropa semakin rapuh dan saling berkontradiksi. Sebelumnya upaya menarik Ukraina masuk ke Uni Eropa dan mengisolasi Rusia berongkos mahal perang saudara dan pencaplokan Crimea. Setelahnya kita menyaksikan negara-negara lain terutama yang terdampak krisis juga ingin keluar dari Uni Eropa. Meskipun demikian, selama masih berada dalam kapitalisme, di dalam ataupun di luar Uni Eropa, krisis tak akan mudah diatasi dan rakyat pekerja masih akan berada di bawah penindasan.

Para pemimpin rezim borjuis, baik kepala negara dan atau kepala pemerintahan, juga jatuh bangun di berbagai negara. Baik lewat Pemilu, kematian, maupun akibat digoncang pergolakan sosial. Paling signifikan adalah kalahnya Hillary Clinton dari Donald Trump dalam Pilpres 2016 di AS. Berikutnya Presiden Park Geun Hye yang anti buruh diturunkan lewat impeachment setelah berbulan-bulan dilawan gerakan mogok kerja, demonstrasi, dan aksi massa. Aksi massa yang terbesar adalah aksi 10 Desember kemarin, ketika sekitar satu juta rakyat Korea Selatan turun ke jalan-jalan di berbagai kota.

Selain itu Raja Thailand: Pumipon mati dan digantikan Wachiralongkorn, anaknya. Selama masa hidupnya ia memainkan peran mencegah hak-hak demokratis, menghalangi perkembangan keadilan sosial, dan membuat penegakan hukum yang adil dan tanpa bias tidak bisa berdiri tegak. Satu sisi ia memperkaya diri dan membolehkan militerisme memberangus demokrasi di Thailand. Sisi lain rakyat pekerja menderita kemiskinan. Sementara Wachiralongkorn, penerusnya, bukan hanya tidak punya kapabilitas namun juga berlumuran berbagai skandal memalukan.

Tahun ini kita juga menyaksikan pengunduran diri David Cameron, Perdana Menteri Britania dari Kaum Tories atau Rezim Partai Konservatif. Matteo Renzy, Perdana Menteri Italia. Begitu pula John Key, Perdana Menteri Selandia Baru, juga mengumumkan mengundurkan diri pada 12 Desember. Kemampuan dan kelayakan para pemimpin negara kapitalis dalam mengelola krisis satu persatu rontok dihadapan badai krisis kapitalisme yang tak kunjung berlalu.

Kekalahan partai-partai inkumben sayap kanan tersebut diakibatkan karena mereka menjalankan kebijakan yang relatif sama. Kebijakan yang memperparah ketidakadilan, membalikkan peraturan kesejahteraan sosial yang telah ada selama 70 tahun, mengonsentrasikan kekayaan serta menerapkan kebijakanausterity ataupengetatan alias pemotongan anggaran publiksehingga subsidi-subsidi dicabut, fasilitas publik dipangkas, yang akibatnya  membebani kelas buruh dan rakyat.

Mendalamnya krisis kapitalisme menyebabkan kontradiksi antar kubu-kubu borjuasi semakin tajam. Persatuan di antara kelas penindas semakin sulit terbangun. Berbagai faksi penghisap saling bertengkar mengenai siapa yang paling tidak becus menangani krisis, bagaimana cara terbaik menyelamatkan kapitalisme, saling menyalahkan bahkan menjegal satu sama lain. Kubu Presiden Zuma dan Keluarga Gupta bertengkar melawan Pravin Gordhan, Menteri Keuangan, dengan dalih penipuan yang langsung dibalas dengan gugatan pencucian uang.

Sedangkan di Timur Tengah kita menyaksikan jatuh bangunnya pergerakan dan pergolakan sosial. Jatuhnya Mursi dalam revolusi demokratis kedua di Mesir gagal mengantarkan rakyat untuk berkuasa karena militer melakukan intervensi. Intervensi militer ini di satu sisi untuk mendesakkan kepentingan militer Mesir sendiri yang kemudian mendudukkan Mursi di pucuk pemerintahan. Namun di sisi lain juga berfungsi mencegah militer Mesir terbelah oleh garis kelas. Sedangkan di Suriah, revolusi demokratis yang dipengaruhi gelombang Arab Spring atau Musim Semi Arab, meletus menentang kediktatoran Bashar Al Assad. Namun dihadapi rezim dengan penembakan, serangan militer, penjara, dan penyiksaan. Sehingga berubah menjadi perang sipil dengan beraneka ragam kubu, faksi, dan aliran ideologi. Mulai dari kubu rezim di satu sisi yang didukung Rusia dan Iran serta pasukan-pasukan Hizbullah. Sedangkan di kubu oposisi ada Free Syrian Army (FSA), Unit Pertahanan Rakyat (YPG) dan Unit Pertahanan Perempuan (YPJ) yang berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), hingga kelompok-kelompok Islamis seperti Jabhat Al-Nusra, Al-Qaeda, hingga ISIS. Turut campur tangan pula negara-negara lain seperti Rusia, Iran, Tiongkok, Turki, Arab Saudi, dan Amerika Serikat, dengan kepentingannya masing-masing. Sementara itu Libya terus bergolak pasca jatuhnya rezim kediktatoran Khadafi di tangan intervensi imperialis NATO pimpinan AS. Libya terus-menerus terpecah di antara tiga kubu. Pemerintah Tripoli di bagian barat Libya yang disokong Qatar dan Turki. Lalu Pemerintahan Tobruk yang diakui oleh apa yang disebut-sebut sebagai “komunitas internasional” yang disponsori oleh Mesir dan Uni Emirat Arab. Terakhir, rezim ISIS yang menguasai Derna, Sirte, dan sekitarnya. Demikianlah Imperialis AS menang melawan Khadafi namun ongkos kemenangannya terlalu besar dan tidak sebanding dengan kerugian yang harus ditanggung. Bahkan Imperialis AS terpaksa keluar lebih dahulu dari Libya dan menyerahkan tugas-tugas Imperialistisnya kepada Imperialis Prancis dan Britania di sana.

Maka dengan kemunduran Imperialis AS demikian di berbagai wilayah, termasuk Timur Tengah, muncullah kesempatan bagi negara-negara Imperialis dan kapitalis lain, terutama rival dari Imperialis AS untuk memainkan peran lebih dominan. Imperialis Rusia yang memiliki pangkalan militer di Suriah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menyokong Assad. Begitupula Iran yang semakin meningkatkan peran geopolitiknya. Bukan hanya dengan mengerahkan pasukan Hizbullah untuk mendukung Assad di Suriah namun juga mendukung para pemberontak Houthi di Yemen.

Kemunduran Imperialis AS juga mendorong negara-negara sekutu tradisionalnya untuk mengambil inisiatif lebih besar dan lebih agresif. Kelas dan rezim penguasa di Arab Saudi menyaksikan rezim Mubarak dan Mursi yang setia melayani kepentingan Imperialis AS dan kapitalisme global bisa dengan mudah ditinggalkan tuannya, menyadari bahwa nasib serupa bisa menimpa dirinya. Maka bersama Turki, Saudi bahu-membahu menyokong beberapa kubu pemberontak di Suriah. Misalnya Al-Jabhat Al-Islamiyah atau Front Islami yang dibekingi dan dipersenjatai Arab Saudi. Saudi juga dengan agresif membombardir Yemen untuk mengalahan pemberontak Houthi yang didukung Iran.

Imperialisme juga memiliki hubungan erat dengan terorisme. Sepanjang tahun 2016 ini kita melihat berbagai aksi terorisme di berbagai belahan dunia. Intervensi Imperialisme di berbagai belahan dunia, khususnya Timur Tengah mendorong perkembangan terorisme. Sedangkan di isisi yang lain kelompok-kelompok teroris juga berguna untuk mendapatkan kepentingan Imperialisme. ISIS, Al Qaeda ataupun Jabhat al-Nusra, dan sebagainya merupakan hasil dari invasi, pembantaian, politik rasis dan pemenjaraan rakyat di Timur Tengah. Sementara Terorisme juga dapat berguna bagi kekuatan imperialis di dalam negerinya masing-masing. Dengan menyebarkan ketakutan di tengah rakyat untuk kemudian melegitimasi penyempitan ruang demokrasi serta penguatan alat-alat represi dengan topeng “perang melawan terorisme”.

Pukulan-pukulan terhadap gerakan kiri, perjuangan buruh, dan perlawanan rakyat kita temui di banyak tempat. Kita menyaksikan banyaknya pembunuhan ektrayudisial termasuk terhadap aktivis kiri dan pergerakan rakyat. Oktober lalu ada pembunuhan polisi terhadap 24 orang Maois dan terduga Maois dalam suatu rapat di Odisha, India. Hasil Rind Baloch, aktivis Organisasi Pelajar Baloch, Sekjen Aliansi Pemuda Progresif, ditembak mati sekelompok pria bertopeng pada 31 Oktober. Diduga target sebenarnya adalah kakaknya, Zareef Rind. Bulan Maret sebelumnya rumah mereka ditembaki dan diroket oleh kelompok nasionalis. Termasuk perlu kita tambahkan pula banyaknya aktivis buruh dan pergerakan rakyat di Filipina yang dibunuh dengan berkedok perang rezim Duterte melawan terorisme. Sementara itu di Korea Selatan, Presiden KCTU, Han Sang Hyun divonis 5 tahun penjara pada Juli 2016 karena mengorganisir demonstrasi dan mogok nasional melawan kebijakan neoliberal Rezim Park Gyeun-hye.

Kaum oposisi di Venezuela sekarang menguasai parlemen Venezuela setelah berkali-kali melakukan pemogokan kapital dan sabotase ekonomi serta mobilisasi massa reaksioner. Sedangkan di Brazil kebijakan Neoliberal Partai Buruh (PT) berujung pada skandal korupsi dan merangseknya kaum Kanan Baru di parlemen serta impeachment terhadap Dilma Roussef dengan tuduhan korupsi . Sasaran utama borjuasi tentu saja bukan cuma PT namun juga gerakan buruh dan rakyat Brazil secara keseluruhan. Selain itu kaum pro liberalisasi pasar dan pro model Tiongkok semakin menguat di Kuba. Kematian Castro akan membuat mereka semakin percaya diri karena salah satu penghalang terbesar restorasi kapitalisme mereka anggap sudah berkurang satu. Capaian-capaian revolusi Kuba seperti pendidikan dan kesehatan gratis terancam hancur dengan restorasi kapitalisme.

Perusahaan-perusahaan kapitalis global saling bahu-membahu menyelamatkan diri dari krisis. Beberapa memilih jalan merger seperti Monsanto yang diakusisi oleh perusahaan kimia farmasi Bayer. Dengan demikian menjadi perusahaan agribisnis terbesar yang menguasai 29 persen pasar bibit global dan 24 persen pasar pestisida. Lalu menyikapi ancaman kandasnya TPP di tangan rezim Trump mendatang dibuatlah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) atau Kerjasama Ekonomi Komprehensif Regional antara Jepang, Australia, Selandia Baru, dengan Tiongkok, India, Korea Selatan, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Asia Pasifik sebagai daerah berpenduduk terbesar di dunia berpotensi sebagai pasar alternatif penyelamat bagi kaum Neoliberal bilamana proteksionisme Trump diterapkan di AS. RCEP semakin mendesakkan kepentingan kapitalis agraria seperti komodifikasi benih dan genetik agraria. RCEP juga mengintervensi negara-negara dunia ketiga dengan memaksakan liberalisasi perdagangan diiringi dengan kendali belanja pemerintah bersangkutan agar tidak mengancam neoliberalisme.

Dalam beberapa isu dan medan kita juga menyaksikan beberapa perkembangan perlawanan terhadap Imperialisme maupun neoliberalisme. Misalnya di India pemogokan buruh terbesar sepanjang sejarah melibatkan sekitar 180 juta buruh melawan kebijakan neoliberalisme Perdana Menteri India, Nerendra Modi. Mogok nasional tersebut diserukan oleh 10 serikat buruh yaitu: INTUC, AITUC, HMS , CITU, AIUTUC, TUCC, SEWA, AICCTU, UTUC dan LPF, serta didukung oleh berbagai serikat buruh independen lainnya.

November lalu ribuan mahasiswa berdemonstrasi tidak hanya menentang naiknya biaya pendidikan namun juga menuntut pendidikan gratis. Lebih besar lagi yaitu gerakan Fees Must Fall di Afrika Selatan yang tidak hanya berkobar lewat aksi massa, pendudukan, dan mogok belajar, bahkan juga berhasil melibatkan kaum buruh.

Upaya pembangunan dan pengembangan pangkalan AS di Okinawa beserta remiliterisasi Jepang juga direspon perlawanan oleh massa. Terdapat pula perlawanan kaum miskin kota di Hongkong dalam Pergolokan Sipil Mong Kok pada malam 8 Februari 2016. Para pedagang kaki lima melawan penggusuran para aparat polisi Hong Kong di malam tahun baru Tionghoa. Ini menandai bukan hanya menajamnya konflik kelas dan perebutan hak atas kota namun juga menajamnya kontradiksi antara Hong Kong dengan pemerintah pusat Tiongkok.

Kebangkitan gerakan kanan reaksioner juga direspon dengan banyak perlawanan di berbagai tempat. United Patriotic Front di Australia yang anti-Imigran dan Islamophobis berkali-kali dilawan dengan aksi massa serta kontra-demonstrasi dari kaum sosialis, aktivis serikat buruh, aborigin atau pribumi Australia, dan pejuang LGBT, yang seringkali berjumlah lebih besar massanya. Kita juga menyaksikan perlawanan besar dari gerakan Black Lives Matter yang menentang rasisme dan pembunuhan terhadap kaum kulit hitam di AS. Bahkan kaum muda di AS langsung turun ke jalan mengobarkan demonstrasi dan aksi-aksi pendudukan begitu Trump secara resmi dinyatakan sebagai Presiden terpilih. Ku Klux Klan (KKK), organisasi supremasi kulit putih, gagal menggelar pawai kemenangan Trump karena ribuan demonstran turun ke jalanan di Pelham mengobarkan demonstrasi tandingan lengkap dengan mempersenjatai diri, dari senjata ala kadarnya seperti saxophone sampai benda tumpul seperti pentungan. Hal serupa juga terlihat di Eropa. Tanggal 24 September lalu sebanyak 15.000 orang berdemonstrasi di Alun-alun Senat di Helnsinki, Finlandia, menentang kaum NAZI dan kaum fasis yang tergabung dalam Gerakan Perlawanan Finlandia. Gerakan Perlawanan Finlandia yang reaksioner ini sebelumnya memukuli sampai menewaskan Jimi Karttunen yang menentang selebaran rasis mereka. Mobilisasi massa dan demonstrasi tandingan inilah yang harus dipelajari dan ditiru bagi perjuangan anti rasisme dan anti bigotry di Indonesia.

Bahkan dalam beberapa kasus juga terdapat kemenangan perlawanan. Perjuangan rakyat dan pribumi Amerika di Standing Rock melawan pembangunan pipa minyak yang berpotensi besar merusak Sungai Missouri dan mencemari sumber air minum. Ini adalah kemenangan signifikan pertama kaum pribumi Amerika dalam puluhan tahun yang bahkan sukses menggalang dukungan solidaritas lintas ras dari kaum tertindas di Amerika.

Dalam minggu-minggu awal Oktober 2016, sekitar tujuh juta perempuan di Polandia turun ke jalan di berbagai kota. Mereka menentang rancangan undang-undang yang akan mengkriminalisasi aborsi, bahkan dalam kasus pemerkosaan dan ketika terdapat resiko kematian bagi Ibu. Lima tahun penjara akan diberikan bagi perempuan serta dokter yang melakukan aborsi. Perlawanan mereka akhirnya membuahkan hasil, pemerintah membatalkan RUU tersebut. Semua hal ini memberikan pelajaran berupa pentingnya membangun perlawanan balik menentang penindasan dengan menolak kolaborasi kelas serta sebaliknya menjunjung tinggi independensi serta solidaritas antar kaum tertindas.

 

 

bersambung ke: Satu Tahun Yang Kita Lalui dan Partai Revolusioner Yang Kita Butuhkan (Bagian II)

 

Ditulis oleh Dipo Negoro, Dipta Abimana dan Leon Kastayudha, kader KPO PRP

tulisan ini merupakan versi panjang dan diperlengkap dari tulisan yang berjudul sama dan dimuat di Arah Juang versi cetak Edisi 13, III-IV Desember 2016, I-II Januari 2017

 

 

[1]https://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/file_attachments/bp210-economy-one-percent-tax-havens-180116-en_0.pdf

[2] https://www.theguardian.com/global-development-professionals-network/2016/apr/08/global-inequality-may-be-much-worse-than-we-think

[3] http://www.globaljustice.org.uk/news/2016/sep/12/10-biggest-corporations-make-more-money-most-countries-world-combined

Loading

Comment here