Perspektif

Lawan Kriminalisasi! Rebut Demokrasi!

Stand PropagandaBulan Mei besok kita merayakan momen-momen penting dalam perjuangan kelas buruh dan rakyat di Indonesia maupun dunia. Antara lain; Hari Buruh Sedunia, Hari Pendidikan, Hari Marsinah: Pahlawan Buruh Indonesia, Tragedi Mei 1998, Hari Internasional Melawan Homofobia serta Kejatuhan Soeharto.

Seratus tiga puluh tahun yang lalu, ratusan ribu buruh di seantero Amerika Serikat melancarkan demonstrasi damai. Aksi dimulai pada tanggal 1 Mei dimana mereka menuntut dilaksanakannya 8 jam kerja. Di Chicago, aksi tersebut dihadapi dengan penembakan yang dilakukan oleh polisi dan menewaskan 6 orang buruh.

Pada tanggal 4 Mei 1886, ribuan buruh di Chicago melancarkan demonstrasi menentang represi polisi. Mereka dihadang oleh polisi dan sebuah bom meledak dan menewaskan 7 orang polisi. Polisi melepaskan tembakan ke arah buruh.

Delapan orang ditangkap dan dituduh memprovokasi kerusuhan dan melakukan pembunuhan. Para pemilik modal serta pemerintah bersepakat untuk melancarkan kampanye hitam untuk menyerang aksi buruh. Setiap koran dipenuhi dengan tuduhan-tuduhan kepada aksi buruh. Kantor-kantor organisasi buruh dan rumah-rumah aktivis buruh diserbu dan digeledah oleh polisi, bahkan tanpa surat penggeledahan. Demikian pula tempat-tempat pertemuan dan usaha buruh diobrak-abrik.

Dengan pengadilan yang sepenuhnya berpihak pada pemilik modal kedelapan orang tersebut dijatuhi hukuman. Tujuh orang dihukum mati sementara 1 orang dihukum penjara 15 tahun. Padahal hanya satu orang dari delapan orang yang hadir saat demonstrasi tersebut. Pada saat akan digantung, salah seorang diantara mereka mengatakan: “Waktu akan tiba ketika diamnya kami lebih kuat ketimbang suara yang kalian cekik hari ini.”

Hari ini rakyat juga kembali dihadapkan dengan kriminalisasi. Saat ini setidaknya terdapat (1) Sastrawan Saut Situmorang yang dikriminalisasi dengan menggunakan UU ITE. (2) Dua puluh tiga buruh, 2 pengacara LBH Jakarta serta 1 mahasiswa yang dikriminalisasi karena melakukan aksi penolakan PP Pengupahan di Istana Negara. (3) Dua orang buruh, Saiful Anam dan Eko yang dikriminalisasi menggunakan UU ITE karena mengungkap praktek sistem kerja kontrak di perusahaannya. (4) Di Jawa Timur, dua orang buruh Abdul Hakam dan Agus Budiono di vonis 3 bulan penjara dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan karena memperjuangkan ribuan buruh outsourcing di PT Petro Kimia Gresik agar menjadi pekerja tetap. (5) Di Papua kondisi lebih buruk, menurut data dari LBH Jakarta sejak pemerintahan Jokowi-JK sekitar seribu orang, khususnya aktivis pro kemerdekaan ditangkap. Saat ini hampir 40 orang aktivis terdata sebagai tahan politik, beberapa tidak jelas nasibnya, apa pasal kriminalisasi yang dikenakan dan berapa lama penahanannya. (http://www.papuansbehindbars.org/?page_id=17). Sementara itu terkait dengan demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada tanggal 13 April lalu, 63 orang ditangkap. Setidaknya dua orang masih ditahan hingga sekarang, yaitu Yus Wenda yang dikenai pasal penganiayaan serta Steven Itlay dengan pasal makar.

Kriminalisasi saat ini atau dua dekade lalu dibawah Rejim Militer Soeharto, atau 150an tahun yang lalu di Chicago tetap didasari oleh motivasi yang sama. Apapun undang-undang yang digunakan, entah itu UU ITE, KUHP, UU Subversif, dsb, dsb motivasinya tetap sama. Motivasinya adalah untuk mempertahankan dan menjalankan tatanan kapitalisme ini serta menindas perlawanan kelas buruh dan rakyat. Kriminalisasi ini merupakan bagian dari dirampasnya ruang-ruang demokrasi agar kapitalisme dapat berjalan tanpa gangguan.

Ditengah kondisi krisis, selain penyempitan ruang demokrasi maka ideologi reaksioner digunakan oleh kelas borjuis untuk mempertahankan kapitalisme. Tidak heran belakangan ini kita menyaksikan ideologi ultra kanan seperti rasisme, fasisme, sauvinisme hingga homofobia semakin digunakan oleh kelas borjuis. Mereka mencoba mengaburkan fakta bahwa kelas buruh apapun rasnya, suku, jenis kelaminnya, kebangsaannya, orientasi seksual, agamanya, dsb tetap memiliki musuh yang sama: kapitalisme. Upaya kelas borjuis tersebut dijalankan juga dengan mobilisasi kelompok-kelompok reaksioner yang menyerang tiap-tiap ruang demokrasi.

Manifesto yang dihasilkan dari “Konferensi Rakyat Indonesia Lawan Kriminalisasi, Rebut Demokrasi” menyatakan dengan tepat bahwa: “…tanpa demokrasi, kami tidak bisa berharap, kami bisa berjuang bagi kebahagian rakyat sebagai manusia modern yang beradab, berbudaya dan sejahtera.” Demikian pula tanpa demokrasi akan sulit bagi kita untuk menyebarluaskan ide-ide anti kapitalisme. Ide-ide yang akan menunjukan jalan pembebasan bagi kelas buruh dan rakyat tertindas dari rantai belenggu kapitalisme.

Tentu saja demokrasi baik dalam bentuk kebebasan berpendapat, berserikat, menyampaikan pendapat di muka umum, sampai peluang serta kesempatan berpartisipasi dalam pemilihan umum dan parlemen, bahkan juga kemerdekaan nasional, bukanlah dihasilkan dari kebaikan kelas penindas yang berkuasa. Melainkan buah darah, keringat, dan air mata perjuangan rakyat pekerja. Demokrasi bisa berdiri di Prancis dengan menghapuskan monarki, feodalisme, dan memenggal kepala Louis XVI. Kaum perempuan di Rusia bisa punya hak memilih dan dipilih (suffragate) karena partisipasi mereka dalam perjuangan kelas dan kemenangan revolusi Oktober. Kesimpulannya, rakyat pekerja di Indonesia, juga harus mengemban tugas-tugas perjuangan demokratis nasional dengan kemandirian dan kekuatannya sendiri. Bukan dengan menitipkan nasib apalagi menempuh kolaborasi kelas. Hal yang sama berlaku juga terkait kriminalisasi dan pemberangusan demokrasi: untuk melawan (dan akhirnya memimpin perjuangan menumbangkan) kapitalisme kita harus membangun partai buruh revolusioner, untuk melawan kriminalisasi kita harus membangun solidaritas rakyat pekerja (yang dijiwai internasionalisme revolusioner), dan untuk melawan pemberangusan demokrasi (dan serangan dari milisi sipil reaksioner) kita harus membangun unit pertahanan buruh, dengan kata lain: laskar buruh atau laskar rakyat.

Kita harus punya program perjuang minimal berupa:menghentikan semua eksploitasi terhadap kelas buruh dan rakyat seperti: menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Kemudian pengonsentrasian seluruh tenaga produktif ditangan Negara serta peningkatan tenaga produktif. Hal ini dilakukan dengan:nasionalisasi aset-aset strategis, pajak progresif serta reforma agraria. Dengan konsentrasi tersebut maka terdapat sumber daya yang dapat digunakan untuk: industrialisasi nasional, pendidikan dan kesehatan gratis serta upah layak nasional, peningkatan subsidi dan fasilitas umum untuk rakyat. Hal tersebut harus dibarengi dengan proses demokratisasi seluas-luasnya dengan cara: jaminan terhadap kebebasan berserikat, berkumpul, berorganisasi, mengeluarkan pendapat, berekspresi, berideologi, beragama dan berkeyakinan serta kebebasan orientasi seksual. Salah satu jaminan tersebut adalah dengan menghapus semua produk hukum dan politik yang menghambatnya (seperti RUU keamanan Nasional, UU Ormas, UU Partai Politik, UU Pemilu, RUU KUHAP, UU Intelijen, UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Terorisme, dsb). Ditambah dengan pemberian hak menentukan nasib sendiri. Bersamaan dengannya pembatasan dan menghancurkan kekuatan-kekuatan anti demokrasi, terutama warisan dari Rejim Militer Soeharto. Hal ini dilakukan dengan cara: pengadilan HAM dan pelurusan sejarah. Mengembalikan tentara ke barak dan membubarkan komando daerah teritorial. Dengan melancarkan perjuangan demokrasi seutuh-utuhnya maka kelas buruh dapat menunjukan dirinya sebagai pemimpin dari keseluruhan rakyat tertindas. Kelas buruh akan menunjukan bahwa dalam perjuangannya lah dimungkinkan seluruh rakyat tertindas akan terbebas dari belenggu kapitalisme.

Pada akhirnya demokrasi kita bukanlah demokrasi bagi segelintir pemilik modal, demokrasi kita bukanlah demokrasi bagi kelompok fasis, rasis dan reaksioner. Demokrasi kita adalah demokrasi bagi kelas buruh dan rakyat yang ditindas oleh Imperialisme dan kapitalisme. Demokrasi sejati bukanlah sekedar deklarasi-deklarasi ataupun hukum-hukum tertulis. Demokrasi sejati menuntut bukan saja kekuasaan politik namun juga kekuasaan untuk mengatur ekonomi berada ditangan kelas buruh dan rakyat tertindas melalui dewan-dewan rakyat. Demokrasi semacam itulah yang akan terwujud pada masyarakat sosialis.

t: 0858 7579 4044   f: KPO PRP Yogyakarta   www.arahjuang.com

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comments (1)

  1. […] (8) Arahjuang.com : Lawan Lriminalisasi , Rebut Demokrasi http://www.arahjuang.com/2016/04/29/lawan-kriminalisasi-rebut-demokrasi/ […]

Comment here

%d blogger menyukai ini: