Pernyataan Sikap

58 Tahun TRIKORA dan Sejarah Panjang Kolonialisme Indonesia Di Tanah West Papua

“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan ma’rifat untuk memimpin bangsa ini, tetapi bangsa ini akan bangkit dan memimpin bangsanya sendiri” –Izaäk Samuel Kijne (1925)

Pertimbangan,

58 Tahun yang lalu [19 Desember 1961], Presiden Soekarno menyerukan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) di Alun-alun Utara kota Yogyakarta. Ia membakar massa dengan berpidato dan memberikan komando penting berkaitan dengan negara West Papua. Tidak hanya itu, Seokarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (Papua) kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1/1962 yang berisi perintah kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer dengan nama Operasi Mandala ke wilayah Papua Barat untuk merebut wilayah tersebut dari Belanda.

Berdasarkan hal tersebut, Indonesia selanjutnya melakukan operasi militer untuk mengkondisikan wilayah-wilayah di Papua dengan dipimpin oleh Soeharto. Tidak hanya itu, beberapa tahun sebelum dan sesudahnya, pemerintah Indonesia juga melakukan pendekatan politik ke beberapa negara terkait konfliknya dengan Belanda atas Papua. Akan tetapi, yang menjadikan TRIKORA signifikan adalah akibat daripada komando tersebut. Operasi Mandala, sepanjang tahun 1962 telah menjadikan Negara Papua Barat (West Papua) sebagai medan perang. Pada 1962 saja, tidak kurang sebanyak 10 kompi pasukan militer telah dikirim ke beberapa wilayah di West Papua. Selain itu TRIKORA juga merupakan gerbang awal kolonialisme Indonesia atas West Papua dimana melahirkan kesepatan-kesepakatan tanpa melibatkan Rakyat Papua secara resmi yang selanjutnya menjadi legalitas penjajahan Indonesia di West Papua.

Kolonialisme Indonesia atas West Papua berdampak pada rakyat Papua secara menyeluruh. Tindakan diskriminasi yang menimpa rakyat Papua pun terus terjadi. Masih jelas dalam ingatan kita, peristiwa di Surabaya bulan Agustus kemarin, dimana para mahasiswa dari Papua difitnah yang berlanjut pada tindakan rasis hingga represif oleh aparat pemerintah Indonesia dan Ormas reaksioner. Perlakuan diskriminatif yang menimpa mahasiswa dari Papua juga terjadi di beberapa wilayah lainnya. Di Kota Malang sendiri,  Aliansi Mahasiswa Papua(AMP) bersama Front Rakyat Indonesia untuk West Papua(FRI-WP)  yang menggelar aksi peringatan menolak Perjanjian New York , juga mendapatkan tindakan rasis hingga represif dari Ormas reaksioner tanpa pengamanan aparat. Peristiwa-peristiwa tersebut selanjutnya berakumulasi dengan tindakan diskriminatif, represif dan teriakan rasis yang telah lama diterima oleh rakyat Papua menjadi gelombang protes massa di beberapa wilayah Indonesia dan West Papua. Protes tersebut bukanlah sebuah reaksi terhadap aksi kecil atau masalah yang baru saja menimpa rakyat West Papua. Tetapi merupakan bentuk kesadaran rakyat West Papua atas dampak kolonialisme yang dilakukan oleh Indonesia.

Akan tetapi, negara Indonesia dalam hal ini Pemerintahan telah dikuasai oleh para Pemodal, para Oligark. Sehingga Pemerintah tetap tidak merespon protes tersebut dan tidak mengeluarkan solusi demokratis bagi rakyat West Papua. Sebaliknya, pemerintah melalui media dan aparaturnya melakukan manipulasi untuk menggiring protes menjadi konflik horizontal hingga jatuhnya korban jiwa. Disamping itu, tidak hanya para pemimpin perjuangan kemerdekaan Papua, para aktivis Papua dan Pro Demokrasi pun diburu, dibunuh dan ditangkap. Pada peringatan 1 Desember kemarin 54 orang ditangkap di Fakfak. Jurnalis yang meliput peristiwa tersebut pun mendapatkan intimidasi dari aparat dan dipaksa menghapus kerja jurnalistiknya. Di Ambon, aksi solidaritas diancam dan dibubarkan oleh aparat. Pada 2 Desember, aksi damai oleh Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP) di Ternate mendapatkan tindakan represif dari TNI-POLRI. Tidak hanya itu, kebrutalan aparat berlanjut pada penangkapan 10 kawan kami yang akhirnya dibebaskan.

Tahun ini, ada sedikitnya 104 orang Papua ditahan karena melakukan aksi unjuk rasa, 41 orang diantaranya ditahan dengan delik makar, termasuk Surya Anta Ginting, Juru Bicara FRI-WP.

Pada tanggal 10 Desember , Surya Anta Ginting bersama 5 (lima) aktivis West Papua yang ditahan telah selesai menjalani sidang Praperadilan. Hakim memutuskan untuk menolak seluruh poin yang diajukan oleh kawan-kawan kami. Alih-alih mempertimbangkan bukti terkait prosedur-prosedur yang tidak sah saat proses penangkapan, hakim malah berkonsentrasi pada hal-hal yang tidak substansial.

Hingga hari ini, operasi militer terus terjadi di Papua. Berbagai tindakan diskriminatif pun masih terus menimpa rakyat West Papua dan dengan jelas kolonialisme Indonesia atas West Papua terbentang di depan mata kita.

Pendapat,

Pada Aliena pertama Pembukaan UUD 1945 dengan terang berbunyi “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Namun, tepat 18 hari pasca kemerdekaan West Papua, pemerintah Indonesia justru mengingkari Pembukaan Undang-Undang Dasar-nya. Hari ini, setelah setengah abad lebih peristiwa tersebut berlalu, kita bisa melihat dengan jelas kolonialisme Indonesia atas Papua melahirkan berbagai masalah. Hari ini, Papua menjadi wilayah dengan penduduk termiskin di Indonesia, meskipun mereka tinggal di daerah paling kaya sumberdaya alamnya di dunia. Dengan dalil “Bhinneka Tunggal Ika”, Pemerintah Indonesia menancapkan cakar kotor garudanya ke bumi Papua seraya membunuh dan melemparkan rakyat Papua ke penjara bagi yang mencoba melawan.

Tidak hanya itu, dampak dari kolonialisme terhadap West Papua bisa kita lihat pada penurunan kualitas demokrasi di Indonesia, bagaimana pemerintah merespon aksi-aksi damai yang dilakukan oleh rakyat Papua dan aktivis Pro Demokrasi dengan teriakan rasis, intimidasi dan tindakan represif. Bahkan, meskipun Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dalam UU No. 15 tahun 2005, tentang kebebasan untuk berekspresi dan berserikat, namun hal tersebut tidak membuat rakyat bebas untuk menyampaikan pendapatnya di muka publik dan malah sebaliknya. Negara, dalam hal ini Pemerintah dan Aparaturnya (Hukum, TNI-POLRI) telah bertindak diluar batas-batas hak asasi manusia dan telah melanggar UUD 1945 beserta sejumlah UU lainnya berkaitan dengan Hak-hak Sipil dan Politik. Tidak cukup itu, para aktivis pun diburu dan ditangkap. Di bawah hukum negara borjuis yang dikuasai oligark, dan para aktivis Papua dan Pro Demokrasi seperti Surya Anta Ginting dan 5 (lima) aktivis Papua lainnya, ditangkap dengan sangkaan makar. Bahkan hakim pun memberikan putusan menolak seluruh poin yang diajukan oleh tim hukum dalam sidang praperadilan.

Selanjutnya, pendamping hukum yang mengadvokasi aktivis Papua dan Pro Demokrasi pun tak luput dari sasaran aparat, Veronica Koman yang menyampaikan informasi secara objektif dikriminalisasi dan ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan sebagai provokator. Bahkan jurnalis Dandhy Dwi Laksono juga ditetapkan sebagai tersangka dan sempat ditangkap karena aktivitasnya memberikan dukungan terhadap Papua.

Hari ini, setengah abad lebih peristiwa TRIKORA yang menjadi titik awal kolonialisme Indonesia di Papua, yang di atasnya tumbuh subur nafsu imperialisme Indonesia. Setengah abad barangkali bukanlah rentang waktu yang sebentar untuk bisa menaruh hormat terhadap kemanusiaan, tapi setengah abad adalah rentang waktu yang cukup bagi penindasan dan penjajahan yang melahirkan perlawanan bagi bangsa terjajah dan bangsa penjajah. Solidaritas dan perjuangan melawan penjajahan bersama bangsa West Papua merupakan bagian integral dari perjuangan demokratisasi di Indonesia dan perjuangan melawan Imperialisme di dunia.

Untuk itu, melalui aksi ini kami mendesakkan beberapa tuntutan di bawah ini.

Tuntutan

  1. Berikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua;
  2. Bebaskan seluruh tahanan politik Papua termasuk Surya Anta Ginting tanpa syarat;
  3. Tarik TNI-POLRI organik dan non-organik dari seluruh tanah West Papua;
  4. Buka akses jurnalis nasional dan Internasional di seluruh tanah West Papua;
  5. Buka ruang demokrasi seluas-luasnya untuk seluruh rakyat tertindas termasuk bangsa West Papua;
  6. Hentikan operasi militer di Nduga dan Intan Jaya serta di seluruh tanah West Papua;
  7. Berikan akses bantuan sosial bagi pengungsi Nduga, tanpa keterlibatan militer;
  8. Hentikan perampasan tanah dan kekerasan terhadap warga Tamansari;
  9. Usut tuntas semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di tanah West Papua.

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: