Perjuangan

Perpeloncoan: Antara Peninggalan Kolonialisme dan Pendidikan Penindas

Perpeloncoan (Hazing) merupakan praktik ritual dan aktivitas lain yang melibatkan pelecehan, penyiksaan, atau penghinaan saat proses penyambutan seseorang ke dalam suatu kelompok. Perploncoan marak di beberapa tingkat dan atau institusi pendidikan Indonesia. Senior memperlakukan juniornya dengan sewenang-wenang, dari membentak dan mencaci, menyuruh untuk memakai atribut konyol-memalukan, membawakan makanan dan barang-barang sesuai teka-teki yang diberikan seniornya, bahkan sampai pada kekerasan fisik.

Pada zaman Yunani perpeloncoan dikenal dengan istilah pennalisme atau sistem penindasan ringan dan siksaan yang dipraktikan pada siswa tahun pertama, hal itu dimulai dengan pendirian sekolahnya Plato pada tahun 387 SM, dan berlangsung sampai abad pertengahan.  Aktivitas seperti memaksa, mempermalukan, dan menyiksa anggota yang baru bergabung ini bertujuan membuat mereka menerima dan mengakui bahwa mereka lebih rendah, tidak tahu apa-apa dan pasif dibandingkan senior mereka yang sudah lama, seolah berpengalaman dan mengetahui berbagai hal, seakan-akan hal itu memberikan keistimewaan ke senior untuk semena-mena ke juniornya, dan junior diwajibkan mematuhi dan menerimanya. Di  negara-negara Asia Selatan seperti: India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri langka perpeloncoan dikenal dengan istilah ragging. Praktik perploncoan bukan hanya dilakukan dalam penerimaan mahasiswa baru tapi kerapkali dilakukan saat merekrut anggota suatu komunitas, organisasi, atau klub-klub seni dan olah raga, kegiatan tersebut dianggap sebagai bentuk rasa kekeluargaan dan persaudaraan ketika ingin masuk ke suatu kelompok tertentu, dengan keyakinan semakin berat siksaan atau penderitaan yang diberikan maka akan semakin kuat rasa persaudaraan antar anggota kelompok.

Di Indonesia sendiri perploncoan merupakan peninggalan kolonialisme Belanda yang dikenal dengan istilah ontgroening atau groentjes yang diterapkannya dalam dunia pendidikan saat melakukan politik etis, STOVIA, Geneeskudinge Hooge School (GHS), Technische Hooge School (HTS) merupakan beberapa sekolah pada masa kolonial belanda yang menjalankan perpeloncoan. Masa itu perploncoan digunakan kelompok mahasiswa senior keturunan Eropa murni untuk menghina dan mendiskriminasi kaum pribumi dengan menyuruhnya memakai atribut yang memalukan, serta diteriaki dengan kata-kata mencaci maki. Mahasiswa Eropa rasis itu mencap pribumi tidak pintar dan hanya bisa masuk karena Politik Etis namun juga menganggapnya bukan sepenuhnya manusia. Lalu di masa pendudukan Jepang ontgroening diganti istilah puronko yang ditandai dengan penggundulan kepala pada siswa laki-laki, latihan baris- berbaris, dan pemberlakuan kerja rodi.

Pasca-1950 banyak kampus dibuka tapi perploncoan dipertahankan. Sedangkan di Kediktaktoran Militer Orde Baru pimpinan Suharto, perploncoan dipakai untuk melanggengkan dan mempertahankan kekuasaannya dengan menebarkan ketakutan, dan membentuk sifat tunduk dan patuh ke tirani. Pendidikan selain untuk melanggengkan tirani Orba dan mencetak suplai tenaga kerja terampil untuk dihisap kapitalisme.

Pemeliharaan perploncoan sarat dalih konyol dan manipulatif. Mulai dalih pendisiplinan, pelatihan mental, serta pembentuk dan pengukuh pertemanan para mahasiswa baru. Kenyataannya perploncoan menorehkan ketakutan, trauma, dan kebodohan. Disiplin dan pertemanan tidak sama sekali muncul terhadap hal yang dipaksakan melainkan dari hal yang dilandasi dengan kesadaran dan kesukarelaan dari hasil pembelajaran yang mencerdaskan dan menyenangkan. Perpeloncoan melanggengkan senioritas, anti-kesetaraan, dan menggerus kendali diri. Penghormatan dibangun bukan pada yang pantas dihormati melainkan ke strata lebih tinggi. Perkawanan bukan dengan mereka yang saling membantu, saling mengasihi, dan saling memperjuangkan hal yang benar, melainkan dengan yang identitas sama. dengan menekankan penghormatan pada yang lebih tua, menganggap apa yang dikatakannya Akibatnya merajalelalah mental dan sifat gila kekuasaan, rakus kedudukan, dan memuja jabatan. Menjilat ke atas, menindas ke bawah. Sekaligus mental kesetiaan gerombolan, alih-alih solidaritas kaum tertindas.

Dalam American Journal of Emergency Medicine edisi Mei, Michelle Finkel melaporkan bahwa cedera perploncoan sering tidak dikenali karena penyebab sebenarnya di pusat medis darurat. Dokter mengatakan korban perpeloncoan terkadang menyembunyikan penyebab sebenarnya dari cedera karena malu atau untuk melindungi mereka yang menyebabkan cedera. Hal ini biasanya terjadi karena disebabkan rasa takut berlebihan ketika mengungkapkan kebenaran dan ketika para pelaku diberikan hukuman yang akhirnya menyebabkan  rasa dendam maka junior akan di-bully atau ditindas dalam jangka panjang yang akan dilakukan sekelompok senior ke junior ketika aktif berkuliah. Praktik seperti ini secara tidak langsung bisa menciptakan atau membentuk kepribadian yang diam dan bungkam sehingga terus dibawa ke kehidupan sehari-hari. Misalnya di lingkungan pendidikannya, mahasiswa bisa apatis dan tidak berani bersuara apalagi melawan ketika ada kebijakan pejabat yang merugikan mahasiswa, ketika ada pelecahan atau perkosaan di kampus, dan sebagainya. Sedangkan di luar kampus, mahasiswa akhirnya tidak berani melawan pemerintah ketika ada regulasi atau kebijakan yang menindas rakyat, dan itu dilakukan secara stuktural oleh negara dan pejabat kampus lewat membolehkan praktik perpeloncoan tapi membatasi kajian, diskusi, apalagi demonstrasi mahasiswa.

Perlawanan Anti-Perploncoan

Namun dalam sejarahnya banyak perjuangan melawan perploncoan. Pada masa pendudukan jepang Soedjatmoko bersama Soedarpo Sastrosatomo, Sanjoto, Daan Jahja, Wibowo, dan Utarjo melawan perploncoan dengan menolak digunduli kepalanya. Para mahasiswa itu lalu ditangkap Kempeitai (polisi militer Jepang) dan ditahan beberapa minggu. Soedjatmoko pun dikeluarkan dari Sekolah Kedokteran Jakarta karena itu.

Pasca-kemerdekaam aksi melawan perploncoan dilakukan beberapa organisasi mahasiswa kiri. CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) getol melawan perploncoan. Tahun 1963 perploncoan diganti istilahnya menjadi  Masa Kebaktian Taruna namun isinya masih sama. CGMI dan GMNI terus melawannya sebagai bagian perjuangan melawan imperialisme dan neo-kolonialisme. Namun Malapetaka 1965 bergolak, Sukarno digulingkan, digantikan kediktaktoran Suharto, seluruh organisasi kiri ditumpas habis. CGMI dihancurkan sementara Sayap Kiri GMNI dipersekusi. Perploncoan bertahan dan hanya berubah istilah jadi Masa Prabakti Mahasiswa atau Mapram  tahun (1968), lalu Pekan Orientasi Studi pada tahun (1991), dan akhirnya Orientasi Pendidikan (Ospek).

Pasca-Orba, perploncoan tetap diterapkan di berbagai lembaga pendidikan. Salah satunya perploncoan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dimana peserta bukan hanya ditatar militeristik tapi juga ditendang dan dipukuli hingga menewaskan Jonoly Untayana di tahun 2017. Lalu Fikri mahasiswa baru jurusan Planalogi Institut Teknologi Nasional (ITN) di Kota Malang, tewas 9 oktober 2013 di pantai Bajul Mati, kabupaten Malang setelah Ospek selama empat hari. Ia meninggal setelah ditendang dan mukanya disirami air bawang. Lalu Senin (14/9/2020) malam beredar video 30 detik orientasi studi dan pengenalan kampus daring mahasiswa baru di kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Video menampilkan mahasiswa baru ketakutan karena dibentak dua seniornya lantaran tidak memakai sabuk. Demikianlah perploncoan masih hidup pasca-Orba, mencerminkan sistem pendidikan di Indonesia tidak ilmiah, memproduksi pembodohan, demi melestarikan masyarakat kelas di Indonesia.

Pejabat kampus juga memberangus demokrasi kampus. Kamis (3/9/2019) Forum Rektor Indonesia bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di istana Negara. Hasilnya mahasiswa dilarang demo menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ini disahkan pengeluaran surat himbauan untuk tidak melakukan aksi di beberapa kampus di Indonesia di Yogyakarta sendiri salah satunya adalah Universitas Gadjah Mada (UGM). Menteri Riset, Teknologi, Pendidikan Tinggi (menristekdikti) bahkan menegaskan akan memberikan sanksi pada rektor atau dosen yang kedapatan menggerakkan mahasiswanya untuk ikut terlibat aksi demonstrasi dengan memberikan (SP 1, SP 2) bahkan jalur hukum ketika tindakan tersebut menyebabkan kerugian pada negara. Tindakan ini menunjukan bahwa negara secara struktural merenggut kebebasan bersuara dan berekspresi serta menciptakan pembodohan lewat pendidikan yang manipulatif. Namun ini akibat langsung dari semakin dirampasnya HAM dan demokrasi seiring krisis kapitalisme, dimana salah satu bentuknya adalah rektor ditunjuk pemerintah, bukan dipilih secara demokratis oleh seluruh sivitas akademika (dosen, pekerja kampus non-pendidik, dan mahasiswa).

Mahasiswa haruslah lebih kritis dan mendorong birokrasi kampus serta negara untuk menghilangkan perpeloncoan dan menindak secara tegas pelaku perpeloncoan serta menciptakan pendidikan yang layak, gratis, ilmiah dan demokratis kerena itu merupakan hak dasar bagi setiap warga negara dalam memberantas kebodohan, dan tentu saja perjuangan itu akan berjalan lancar ketika mahasiswa menyatukan kekuatan dan gerakannya bukan hanya dengan basis massa rakyat pekerja di kampus dan sekitarnya namun juga dengan gerakan gerakan buruh, tani, dan rakyat tertindas lainnya untuk menumbangkan sistem yang menindas dan yang melanggengkan kebodohan yaitu kapitalisme.

Ditulis oleh Ana Mantika | Anggota Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional dan kader Perserikatan Sosialis

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: