Perjuangan

Obsesi Lokal, Soal Asing, dan Hilangnya (yang) Nasion(al)

Marcus Horison, pelatih kiper timnas U16 Indonesia, merayakan kemenangan tim asuhannya menjuarai Piala AFF U16 2022, meneriakkan, nama “Campione! Local pride! Local pride, tapi ori!” Saat warganet banyak memprotes ucapannya sebagai sindiran rasis terhadap timnas senior yang dilatih Shin Tae Young, ia berkilah, “Maaf kalau misalkan kata-kata local pride itu ada yang tersinggung. Sebenarnya itu untuk kami Timnas U16, tidak ada buat siapa-siapa.” Sebagaimana dilansir Tribun, menurutnya, “local pride” merujuk kepada skuad timnas U16 yang benar-benar diisi oleh pemain, staf, hingga pelatih kelahiran Indonesia. Sementara itu kepada CNN Indonesia Markus membantah ia menyindir pelatih Timnas Indonesia senior yang merupakan orang Korea sembari berdalih. “Artinya kan kebanggaan lokal kan? Terus apa masalahnya? Memang kita kan dari pemain, ofisial, dan pelatih jadi kami bangga bisa kasih kado di HUT RI…Putra-putra bangsa Indonesia mulai dari pemain, pelatih, dan ofisial ini kekuatan kami. Local pride itu ditujukan untuk Timnas U-16 yang berjuang di AFF,” sambungnya.

Pernyataan Marcus itu sendiri mengandung berbagai pertentangan dan keganjilan. Bilamana ia membanggakan para pemain kelahiran Indonesia, mengapa ia memakai istilah local pride atau kebanggaan lokal? Bukan national pride alias kebanggaan nasional atau kebanggaan bangsa? Sementara lokal atau daerah hanyalah salah satu bagian dari wilayah nasional suatu negara bangsa. Kecuali bilamana yang dimaksudkannya sebagai kebanggaan lokal sesungguhnya adalah kebanggaan pribumi, kebanggaan pada apa yang dianggap identitas suku, ras, dan etnisitas asli Nusantara. Dengan demikian mengecualikan dan meliyankan mereka yang dari golongan Arab, Tionghoa, Indo, serta semua golongan lainnya yang dianggap datang dari luar atau dicap asing. Kesan ini kian kuat karena Marcus pakai kata “Local pride, tapi ori”. Ori, original, atau asli. Mengesankan ada golongan lainnya yang tidak asli atau palsu. Lebih ironisnya lagi ada Ji Da-Bin, pemain Timnas U16 yang meskipun kelahiran Depok, Jawa Barat, yang berayahkan laki-laki Korea bernama Ji Ha-Sik. Marcus menganggapnya lokal atau tidak, ori atau tidak?

Tidak kalah ganjilnya adalah fakta Marcus meneriakkan kebanggaan lokalnya dalam bahasa Inggris. Kalau Marcus bangga dengan yang lokal mengapa ia tidak berteriak dalam bahasa lokal atau bahasa daerah? Bukan juga dalam bahasa nasional atau bahasa Indonesia. Apakah target umbar kebanggaannya adalah pengguna bahasa Inggris atau warga/bangsa lainnya?

Banyak warganet memprotes ungkapan Marcus itu bukan hanya sebagai hinaan terhadap pelatih Shin Tae-Young yang berkewarganegaraan Korea namun juga terhadap para pemain timnas senior yang datang dari proses naturalisasi. Padahal Shin Tae Young saat diwawancara Dedy Corbuzier mengemukakan, “Saya menginginkan pemain yang memiliki darah keturunan Indonesia, bukan yang tidak ada darah Indonesianya…Sebenarnya (mereka) orang Indonesia, tetapi hanya berganti kewarganegaraan dari satu negara ke negara lain.”

Permasalahan mana yang asli, mana yang bukan, seharusnya tidak muncul karena kebangsaan Indonesia tidaklah berdasarkan etnisitas. Tjipto Mangoenkoesoemo dulu mengemukakan bahwa nasion Hindia atau Indonesia merupakan semua orang yang memandang Hindia atau Indonesia sebagai tanah airnya terlepas apakah mereka dari suku-suku yang ada di Nusantara ataukah keturunan kulit putih, Tionghoa, maupun Arab. Bangsa Hindia atau Indonesia menurut Tjipto adalah “… mereka jang menganggap Hindia ini sebagai tanahairnja dan terbawa oleh perasaan mengabdi kepada kepentingan tanahair tidak berbuat lain daripada bekerdja djuga untuk kemadjuan dirinja, memberikan bantuannja untuk perkembangan negeri.” Dalam “The Idea of Indonesia” R.E. Elson bahkan mencatat, “Sekelompok intelektual muda yang dipengaruhi Marxis, di antaranya Muhammad Yamin dan Amir Sjarifuddin, mengusung pandangan bahwa ras tidak ada sangkut-pautnya dengan konsep bangsa Indonesia, yang seharusnya didasarkan pada kesamaan keadaan dan sikap.” Dengan kata lain perasaan senasib dan seperjuangan.

Kenyataannya, para pejuang kemerdekaan Indonesia tidak hanya terdiri dari orang-orang pribumi saja. Ada Ernest Douwes Dekker, salah satu dari tiga serangkai pendiri Indische Partij, merupakan orang Indo, campuran dari ayah Belanda dan ibu berdarah Jerman-Jawa. Lalu ada Stuart Walker Muriel, perempuan Amerika-Skotlandia, memutuskan berpihak pada perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menjadi penyiar radio Republik sekaligus agen spionase dan penggalang solidaritas internasional. Tak ketinggalan ada Poncke Princen, pemuda Belanda yang membelot dari KNIL dan bergabung dengan pejuang Indonesia, kelak dia juga menjadi penentang kediktatoran militer Orde Baru. Sedangkan dari kalangan Tionghoa ada Siauw Giok Tjhan, tokoh Baperki, yang dulu berpartisipasi dalam gerakan boikot, pergerakan anti-fasis, dan perjuangan kemerdekaan. Dari kalangan Arab, ada Abdurrahman Baswedan yang bahkan bukan hanya menggalang Sumpah Pemuda Keturunan Arab namun juga aktif melobi negara-negara di Timur Tengah untuk pengakuan diplomatik terhadap Republik Indonesia. Serta lain sebagainya.

Lantas dari mana datangnya konsep local dan ori yang dibanggakan Marcus tadi? Konsep paling lama sebenarnya bisa dilacak pada UUD 45 Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli.” Namun konteks pengertiannya pada masa itu bukan dimaksudkan untuk membedakan antara warga Indonesia dari suku-suku pribumi dengan warga Indonesia Indo, Tionghoa, Arab, atau lainnya, melainkan mencegah ditunjuknya pejabat kolonial Jepang sebagai kepala negara Indonesia. Dengan demikian agar Republik Indonesia yang didirikan tidak dianggap sebagai negara boneka dan memberi celah bagi klaim Belanda untuk memulihkan kembali jajahannya.

Ini bukan berarti sentimen rasial yang menekankan perbedaan (alih-alih persatuan) antara pribumi dengan (keturunan) pendatang sama sekali tidak ada. April 1950 diluncurkanlah Program Benteng, kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk membina pembentukan golongan pengusaha Indonesia pribumi, dalam konteks pengambilalihan kekuasaan ekonomi dari kalangan perusahaan Belanda. Salah satu kebijakannya adalah minimal 70% pemegang saham perusahaan harus dimiliki “bangsa Indonesia asli”, unsur rasialnya muncul karena Tionghoa-Indonesia dikecualikan dari pengertian itu. Program Benteng lalu direvisi dan syarat berdasarkan suku kemudian dicabut sebelum kemudian dihentikan seiring peralihan ke Ekonomi Terpimpin. Namun tahun 1959 dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 tentang “larangan bagi usaha perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing diluar ibukota Daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan”. Soebandrio, Menteri Luar Negeri saat itu, menyatakan bahwa ini penerus dari usaha-usaha nasionalisasi terhadap perusahaan yang dimiliki oleh bangsa asing di Indonesia. Namun secara riil peraturan ini banyak menyingkirkan para pedagang kecil dan pengelola toko kelontong golongan Tionghoa pula. Permasalahannya adalah “orang asing” sebagaimana diacu Perpres 10/1959 juga menyasar orang-orang Tionghoa yang memiliki kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Perlu diketahui bahwa sebelumnya April 1955, masih dalam nuansa Konferensi Asia-Afrika di Bandung, RI dan RRT yang diwakili Sunario dan Zhou En Lai menandatangani Perjanjian Mengenai Kewarganegaraan Ganda. Namun para pemegang kewarganegaraan ganda itu tidak dipertimbangkan lebih dahulu situasinya dan langsung ditetapkan sebagai asing.  Harian Waspada, terbitan Medan, memperkirakan 25.000 warung dan kios orang Tionghoa terkena imbas Perpres 10/1959 sementara menurut Tempo kebih dari 500.000 pedagang Tionghoa yang terdampak.

Seiring dengan pendirian kediktatoran militer Orde Baru-Soeharto, diberlakukanlah berbagai kebijakan rasis dan diskriminatif yang jauh lebih parah. Dari diskriminasi, stigmatisasi, larangan berekspresi, batasan terhadap agama dan peribadahan, hingga asimilasi paksa. Berkat perjuangan demokratis rakyat, maka berhasil didesakkanlah berbagai kebijakan pro-Hak Asasi Manusia (HAM) dan anti-rasisme, ini mengapa Presiden B.J. Habibie lantas mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 tahun 1998 yang menghapus penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi dalam segala jenjang peraturan pemerintahan di Indonesia.

Bagaimanapun juga masih adanya sentimen bahkan ketegangan antara mana yang lokal, mana yang dianggap asli, dan pertentangannya dengan mana yang dianggap bukan, sekali lagi berlangsung di tengah absennya/tidak hadirnya (yang) nasion(al). Bukan hanya yang dianggap asing atau keturunan asing, alias bukan pribumi, belum sepenuhnya dianggap (oleh sebagian pihak) sebagai bagian dari nasion atau bangsa Indonesia, namun gagasan, identitas nasional, bahkan kolektivitas sebagai nasion itu sendiri pun tidak hadir atau lebih parahnya lagi bisa dianggap (meng)hilang. Hal ini pulalah yang terjadi di dunia persepakbolaan Indonesia. Sentimen (kebanggaan) lokal tentu saja mudah tumbuh akibat perasaan (seolah) disingkirkan oleh apa yang dianggap asing (misalnya) dari proses naturalisasi pemain, sementara problem korupsi, mafia, dan perbandaran judi bola yang menggurita di Indonesia (dan banyak aktor lokalnya) tidak diatasi terlebih dahulu. Tanpa kita mencari tahu apa sesungguhnya kepentingan nasional (termasuk dalam persepakbolaan), sudahkah negara dan pemerintah menjalankan kepentingan nasional ataukah selama ini lebih melayani kepentingan modal serta memperkaya oligarki (pejabat-konglomerat-aparat) sembari memiskinkan rakyat, juga bagaimana kita bersatu-bersama-sama memperjuangkannya, maka bukan hanya tegangan/konflik berbau rasis demikian akan kembali bermunculan di masa depan, namun nasion Indonesia juga akan semakin menghilang.

ditulis oleh Leon Kastayudha I Kader Perserikatan Sosialis

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: