Sejarah

Biak Berdarah: Pelanggaran HAM Militerisme Terhadap Aksi Damai Papua

Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto berhasil digulingkan dan ruang demokrasi relatif terbuka. Pembukaan ruang demokrasi tersebut juga dimanfaatkan oleh rakyat Papua untuk menyuarakan tuntutannya. Peringatan Kemerdekaan Papua Barat pada 1 Juli yang biasanya dilakukan di hutan-hutan saat itu juga mulai diperingati di beberapa kota. Sekitar bulan Juli hingga Oktober 1998, massa mengorganisir diri dalam aksi di berbagai kota seperti Jayapura, Biak, Sorong, Wamena dan Manokwari menuntut kemerdekaan. Dalam aksi tersebut bendera Bintang Kejora juga dikibarkan.

Di Biak aksi dimulai pada 2 Juli 1998 dengan mengibarkan Bintang Kejora di menara air setinggi 35 meter di belakang Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), tidak jauh dari pelabuhan Biak Kota. Aksi tersebut melibatkan 500 hingga 1.000 orang dan dipimpin oleh Filep Karma, yang membuka aksi dengan orasi sekitar pukul 6 pagi diselingi lagu dan tari yospan.

Sekitar pukul 2 sore, 1 pleton (30-50 orang) pasukan polisi dan BRIMOB dari Kepolisian Resort Biak Numfor menyerbu massa dengan bantuan 1 pleton dari Yonif 753, 1 pleton dari KODIM 1702, 1 pleton TNI AL dari Pangkalan Angkatan Laut Biak serta Pasukan Khusus TNI AU dari Pangkalan Manuhua. Sementara massa tetap bertahan di tempatnya. Dalam penyerbuan tersebut 13 aparat mengalami luka-luka. Negosiasi dilakukan antara pihak gereja dengan militer dan polisi yang menghasilkan kesepakatan bahwa aparat keamanan akan mundur dari PUSKESMAS Biak Kota dan massa tetap bertahan menjaga Bintang Kejora.

Dini hari tanggal 3 Juli, Unsur Pimpinan Kecamatan (Camat, Kepala Kepolisian Sektor dan Komandan Koramil) Biak Barat mengumpulkan 11 kepala desa. Mereka diminta untuk mengumpulkan massa guna menyerang massa aksi. Pada pukul 9 pagi negosiasi kembali terjadi, kali ini dengan Ketua DPRD Tingkat II Biak Numfor. Negosiasi terkait dengan Kapal Motor (KM) Dobonsolo yang akan berlabuh. Filep Karma mengatakan bahwa kapal bisa masuk dan menjamin penumpang tidak akan mengalami gangguan. Sementara itu para kepala desa berhasil mengumpulkan sekitar 200 orang dan kemudian bergerak ke kantor DPRD II Biak Numfor sekitar pukul 2 siang. Di kantor DPRD II, massa mengatakan bahwa mereka datang karena diminta oleh aparat keamanan dan mereka tidak mau menyerbu massa aksi di menara air.

Keesokan harinya (4 /7) massa aksi yang masih bertahan di menara air mendapatkan kabar bahwa mereka akan diserang oleh aparat keamanan bersama dengan kelompok sipil yang dipersenjatai. Massa kemudian menyiapkan berbagai macam senjata untuk membela dirinya. Negosiasi kembali terjadi, kali ini antara 6 orang pendeta GKI dengan massa aksi. Massa akhirnya membuang senjata-senjata mereka ke laut. Massa memilih mati di bawah kibaran Bintang Kejora bersenjatakan Alkitab serta Nyanyian Rohani.

Setelah gagal melakukan adu domba, aparat keamanan mencobanya kembali pada 5 Juli. Sembilan kepala desa dikumpulkan oleh Camat Biak Barat dan Komandan Koramil, Letnan Dua Infantri Prayitno. Mereka mengatakan bahwa setiap kepala desa wajib membawa 30 orang dari desanya serta wajib membawa parang, tombak dan senjata tajam lainnya. Sempat terjadi perdebatan dengan Pdt Wamafma yang menolak pelibatan jemaat gereja dalam operasi tersebut. Massa kemudian diimobilisasi ke kantor DPRD II Biak serta diminta menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Indonesia. Namun upaya penyerangan terhadap massa aksi di menara air tidak terjadi.

Pagi hari Senin (6/7) pukul 5, polisi dan tentara melancarkkan serangan terhadap massa di menara air. Penyerangan tersebut sudah dipersiapkan sebelumnya. Para nelayan di sepanjang pantai diperintahkan pulang. Setidaknya dua atau tiga kapal perang terlibat, yaitu KRI Teluk Berau (534), KRI Kakap (811) serta kapal logistik KRI Waigeo nomor lambung 543 yang menurunkan pasukan. Pasukan Yonif 733 Pattimura, Ambon didatangkan dan ditempatkan di hanggar Pangkalan AURI Manuhua Biak sehari sebelumnya.

Demonstran di menara air diserang dari empat penjuru mata angin. Dari barat oleh BRIMOB dari Polda Maluku, dari utara oleh TNI AD dan AU, dari timur oleh polisi dan BRIMOB dari Biak sementara dari arah selatan yaitu dermaga pelabuhan serangan dilakukan oleh polisi dan semua angkatan. Mereka terus menembak membabi buta, rumah-rumah pendudukan juga ditembaki. Penghuninya dipaksa keluar, digiring menuju pelabuhan bersama dengan tembakan, pukulan balok dan popor senapan, tendangan sepatu boot dan tusukan bayonet. Di belakang barisan mereka truk-truk militer bergerak perlahan. Sementara pasukan di KRI Waigeo juga melepaskan tembakan ke arah massa.

Filep Karma memerintahkan agar massa membentuk lingkaran dan bertahan di menara air. Massa sama sekali tidak melakukan perlawanan, mereka menyanyikan lagu-lagu rohani. Selain itu massa juga bertahan untuk menjaga bendera Bintang Kejora tidak diturunkan oleh aparat keamanan. Sejumlah massa ditembak sehingga mengalami luka-luka atau meninggal dunia. Sementara massa yang digiring ke pelabuhan diperintahkan untuk tidur terlentang dan diinjak-injak perutnya.

Truk-truk tentara mengangkut mereka yang mengalami luka-luka dan meninggal dunia. Massa di menara air yang menjadi korban diangkut ke RS Angkatan Laut Biak untuk kemudian mereka yang mengalami luka-luka dipindahkan ke RS Umum Biak. Terdapat juga korban yang dieksekusi di Markas AL, mereka yang ditangkap dibawa ke Mapolres Biak. Banyak diantara mereka yang ditangkap kemudian dibunuh, mengalami penganiayaan, pemerkosaan ataupun dimutilasi secara seksual. Setidaknya dua orang meninggal dunia akibat penganiayaan di Mapolres Biak.

Terdapat kesaksian sekitar 139 orang diangkut ke kapal perang yang kemudian bergerak ke dua arah berbeda, barat dan timur dan orang-orang tersebut diceburan ke laut. Antara tanggal 27-31 Juli sekitar 32 mayat misterius ditemukan di Biak Timur dan Utara. Pemerintah Indonesia mengatakan mayat-mayat tersebut akibat Tsunami yang terjadi Aitape, Papua New Guinea pada minggu ketiga bulan Juli 1998. Namun beberapa kesaksian mengatakan bahwa di mayat tersebut terdapat lubang seperti bekas tembakan, alat kelamin dipotong serta payudara dipotong dan juga dimutilasi.

Hingga kini jumlah pasti korban meninggal dari Biak Berdarah masih belum jelas. Diperkirakan korban meninggal, hilang dan atau mayat-mayat misterius setidaknya 8 orang hingga 100an orang. Sementara itu puluhan orang ditahan antara lain Filep Karma, Nelles Sroyer, Thonci Wabiser, Melki Kmur, Celsius Raweyai, Agustinus Sada, Eduard Iwanggin, Andreas Marsyom, Hengky Yosias Wambrauw, Nehemia Ronsumbre, Marinus Ronsumbre, Clemens Ronsumbre, Bernardus Mansawan, Lamekh Dimara, Robert Iwanggin, Inseren Sampari Karma, Djoumunda Costan Karma, Adrianus Rumbewas serta Nico Rumpaidus.

Mereka yang terlibat dalam Biak Berdarah pada saat itu antara lain adalah: Kolonel Agus Hedyanto, Dandim Biak, Kolonel Johnny Rori Kapolres Biak, MayJen Amir Sembiring Pangdam Trikora yang memberikan ijin penyerangan, BrigJen Hotman Siagian Kapolda Irian Jaya, Freddy Numberi Gubernur Irian Jaya serta Jenderal Wiranto, Panglima ABRI.

Ditulis oleh Putra Zaman, Mahasiswa Universitas Janabadra.

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 46, I-II Juli 2018, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comments (2)

  1. Terimaksih kawan-kawan pro demokrasi yang selalu menyuarakan persoalan papua. Hormat!

Comment here

%d blogger menyukai ini: