Opini Pembaca

Bagaimana Sosialisme Menumbuhkembangkan Anak-Anak?

lenin-with-childHari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli. Dalam hari anak nasional tahun ini kita disuguhi oleh pertunjukan trik-trik sulap oleh Jokowi. Oleh netizen, sulap tersebut kemudian dibandingkan dengan Hari Anak Nasional ketika SBY berkuasa. Dimana SBY menegur banyak peserta yang tertidur saat pidatonya di peringatan Hari Anak Nasional. Dibalik pertunjukan sulap Jokowi, dibalik teguran SBY, penderitaan anak-anak tertutupi. Banyaknya jumlah anak-anak yang terlantar, putus sekolah, kehilangan tempat tinggal, dan sebagainya merupakan konsekuensi dari sistem yang dipertahankan kelas borjuasi hingga saat ini: kapitalisme.

Dalam sejarahnya, Hari Anak Nasional muncul dari gagasan Soeharto yang menganggap bahwa anak-anak adalah “aset kemajuan bangsa”, sehingga muncullah Keputusan Presiden Republik Indonesia No.44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984 yang menetapkan bahwa Hari Anak Nasional diperingati setiap 23 Juli.

Sekilas gagasan tersebut nampak sebagai kepedulian Soeharto pada anak-anak, namun anggapan bahwa anak-anak adalah “aset” merupakan anggapan yang mengandung penindasan terhadap anak-anak. Jika anak-anak adalah aset, maka dibenarkanlah untuk membatasi kebebasan anak-anak demi kepentingan-kepentingan penguasa, dibenarkan pula untuk mengeksploitasi anak-anak demi kepentingan-kepentingan penguasa. Selain itu, keterlibatan Soeharto dalam pembataian massal, pembangunan-pembangunan yang merampas tempat tinggal, serta menggunungnya hutang-hutang negara juga tak dapat diabaikan berkonsekuensi pada kesengsaraan rakyat, termasuk juga anak-anak.

Dalam masyarakat kapitalis, kehidupan begitu sulit bagi mayoritas orang yang tidak memiliki alat produksi ketimbang minoritas orang yang menguasai alat produksi. Bagi kelas pekerja, mereka harus terus menerus menjual tenaga kerjanya kepada borjuasi untuk mendapatkan upah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, upah yang mereka dapatkan tidaklah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi ditambah dengan kebutuhan keluarga, sehingga mereka akan hidup dengan standar kehidupan yang minim. Makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang minim ditengah kepungan barang-barang dagangan (komoditi) yang tak sanggup mereka nikmati. Kondisi ini teramat menyiksa, tidaklah mudah hidup dalam keterbatasan. Konidisi tersebut semakin sulit karena dalam kapitalisme semua kebutuhan anak-anak, mulai dari dalam kandungan hingga mencapai umur produktif, dibebankan kepada keluarga. Mulai dari susu, makanan, hingga pendidikan dibebankan kepada keluarga. Tidak heran, banyak anak-anak dari keluarga kelas buruh, tidak dapat bersekolah atau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Kita lihat dari data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada tahun 2016, tercatat sebanyak 2.500.000-an anak-anak di Indonesia terpaksa harus putus sekolah, mereka yang putus sekolah itu adalah 600.000-an anak usia Sekolah Dasar (SD)/sederajat dan 1.900.000-an anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, dengan berijazahkan terakhir SD 42.1% dan tidak berijazah 30.7%. Sebagian besar didominasi karena faktor perkonomian keluarga.

Sementara itu, bagi mereka yang mampu mencapai pendidikan tinggi, pun tidak menjamin dapat hidup sejahtera. Sampai 1 September 2016, sedikitnya telah terdapat 4.312 perguruan tinggi di Indonesia dengan jumlah mahasiswanya ada 4.425.589 orang, akan tetapi jumlah ini tidaklah sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia di Indonesia, sehingga berdampak pada tingginya angka pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya di tahun 2016 menyebutkan, kurang lebih terdapat 7.024.588 orang yang menganggur.

Kesulitan hidup di bawah tekanan kapitalisme juga memicu munculnya kekerasan terhadap anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam website resminya, menyatakan bahwa kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Mulai dari tahun 2011 hingga 2014, terjadi peningkatan yang signifikan pada kasus kekerasan terhadap anak. Di tahun 2011 terhitung ada 2178 kasus kekerasan, sementara di tahun 2014 angka kekerasan pada anak meningkat hingga 5066 kasus. Pada kasus di bidang lain, di tahun 2015 terhitung ada 6006 kasus anak berhadapan dengan hukum, 1360 kasus pengasuhan yang buruk, 1764 kasus pendidikan yang buruk, 1366 kasus kesehatan buruk dan napza, serta 1032 untuk kasus kejahatan dunia maya atau cyber crime. Sementara itu, berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak KBB tahun 2015, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Heri Partomo, menjelaskan bahwa penyebab kekerasan terhadap anak masih sama, yakni keterhimpitan ekonomi keluarga.

Sebuah keluarga dengan penghasilan minim dan aktivitas bekerja yang berada di luar kepuasan hati karena di bawah kontrol borjuasi, akan lebih mudah terkena stres yang akan berdampak pada aksi kekerasan. Dalam sistem kapitalisme, kelas pemilik modal tiada henti menguras waktu dan tenaga kelas pekerja untuk meningkatkan kekayaan pribadinya. Kondisi seperti ini mengakibatkan kelas pekerja terasing, mereka memproduksi tapi juga terpisah dari hasil produksinya. Mereka seringkali tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan, tapi mereka terpaksa melakukannya hanya supaya bisa bertahan hidup. Mereka terpaksa bekerja, namun tidak dapat menikmati apa yang mereka kerjakan dan hasil kerjanya. Sebagai akibat dari keterasingan yang terjadi di ruang kerja, anak-anak dan perempuan seringkali menjadi objek dari kekerasan.

Selain kekerasan terhadap anak, kapitalisme juga menyebabkan maraknya eksploitasi tenaga kerja anak. Menurut hasil survey Angkatan Kerja Nasional, dari tahun 2013 hingga 2016 menunjukkan bahwa jumlah pekerja anak terus meningkat. Dalam data tersebut jumlah tenaga kerja usia 15-17 tercatat 958.376 anak pada 2013, namun kemudian menjadi 2.074.936 anak pada 2016. Jumlah tersebut belum termasuk tenaga kerja anak di bawah umur 15 tahun yang juga banyak terdapat di daerah-daerah di Indonesia. Di Lombok Timur, misalnya, sangat banyak anak-anak di bawah 15 tahun yang bekerja sebagai buruh di pertanian tembakau. Atau di jalanan kota-kota besar, anak-anak di bawah 15 tahun sudah harus menjadi pemulung, pengamen, penjual koran, pengemis, dan sebagainya.

Menurut data KPAI dan Kementerian Sosial (Kemensos), di Indonesia terdapat 4.1 juta anak-anak yang terlantar di jalanan. Persoalan itu karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan, jaminan pendidikan, dan tempat pengasuhan anak yang dikelola dan dibiayai secara sosial. Itu sudah menjadi hal yang lumrah dalam kapitalisme. Atas alasan itulah kapitalisme tetap melestarikan lembaga keluarga.

Keluarga dalam sistem kapitalisme berfungsi sebagai mekanisme dasar yang digunakan oleh kelas penguasa untuk melepas tanggungjawab sosial pada kesejahteraan ekonomi dari kelas pekerja yang mereka eksploitasi tenaga kerjanya, mengalihkannya kepada lembaga keluarga yang mereka lestarikan. Para kapitalis tentu tidak menginginkan modalnya digunakan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan masyarakat seperti mendirikan pusat penitipan anak atau dapur umum, mereka lebih memilih membebankan tugas-tugas merawat anak, memasak, dan kerja-kerja domestik lainnya kepada keluarga. Dengan begitu, kapitalis tak perlu mengeluarkan biaya, karena telah dikerjakan oleh keluarga. Namun, dalam melakukan kerja-kerja domestik, keluarga tetaplah membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan seringkali lebih besar dari upah kepala keluarga, sehingga seringkali anggota keluarga yang lain harus ikut bekerja.

Kapitalisme juga menyebabkan tingginya angka kematian anak-anak. Penggusuran rumah-rumah warga, perampasan lahan pertanian, perampasan dagangan milik pedagang-pedagang kecil, politik pengetatan dan sebagainya akan berpengaruh pada kehidupan keluarga dan masa depan anak-anak. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa setiap tahun terdapat 1,7 juta anak di bawah usia lima tahun yang meninggal dunia. Disebabkan karena kapitalisme yang membuat polusi udara, polusi air, serta munculnya perkampungan kumuh dengan sanitasi yang buruk. Organ-organ dan sistem imun anak-anak yang sedang berkembang, serta saluran pernapasan dan tubuh mereka yang masih sensitif, membuat anak-anak lebih rentan terhadap lingkungan yang buruk, udara dan air yang tercemar dan kotor. Dalam laporan WHO itu pula dijelaskan bahwa infeksi saluran pernapasan bawah termasuk dalam penyebab kematian terbanyak pada anak-anak, yakni sebanyak 92% atau 600.000 kematian anak setiap tahunnya. Sementara sanitasi dan air minum yang buruk menyumbang angka kematian sebanyak 631.000 anak per tahun.

Kita tentu mengingat juga bagaimana penjajahan-penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara imperialis di berbagai negeri. Penjajahan-penjajahan itu sudah pasti akan berdampak pada anak-anak; mereka kehilangan keluarganya, harta-bendanya, mengalami trauma, bahkan sampai kehilangan nyawanya sendiri. Anak-anak di Palestina, misalnya, sebanyak 2.079 anak di Palestina tewas oleh tentara Israel dalam kurun waktu 16 tahun. Selain itu, 13.000-an anak terluka dan lebih dari 12.000-an ditangkap. Hampir semua dari anak-anak yang ditangkap itu disiksa pada tengah malam. Mereka ditutup matanya, diikat tangan dan kakinya, diseret-seret, disiksa secara kejam untuk memaksa anak-anak itu mengakui “kesalahan”.

Sudah saatnya kondisi yang merugikan ini, tidak hanya bagi orang dewasa namun juga anak-anak, segera digantikan dengan kondisi yang lebih baik. Kapitalisme telah terbukti tidak mampu membawa kesejahteraan bagi mayoritas orang, termasuk anak-anak, melainkan hanya bagi segelintir orang yang berlimpah kekayaan berkat kepemilikannya atas alat produksi dan hasil dari penghisapan atas kelas tertindas. Anak-anak yang seharusnya dapat hidup bebas, bahagia dan mendapatkan kelancaran dalam pertumbuh-kembangannya justru harus menderita di bawah kapitalisme. Impian anak-anak untuk masa depannya tidak jarang harus pupus karena ketidakmampuannya dalam menghadapi penindasan-penindasan yang terus menerus terjadi akibat akumulasi modal para penguasa.

Karena itu, perjuangan kelas buruh yang sadar dan terorganisir, harus segera dibangun untuk menumbangkan kekuasaan kelas pemodal dan membangun sosialisme. Dengan demikian, kehidupan akan menjadi lebih demokratis dari yang sebelumnya. Sosialisme berarti kontrol produksi di tangan rakyat pekerja itu sendiri, bukan borjuasi, dan, karenanya, rakyat pekerja dapat menikmati hak hukum, sumber daya ekonomi serta kebebasan politik untuk menentukan nasibnya sendiri. Ini berarti mengganti kapitalisme dengan suatu sistem ekonomi-politik yang tidak dijalankan untuk kepentingan keuntungan pribadi sekelompok kecil semata, sebaliknya sistem ekonomi-politik dimana produksi berdasarkan atas kebutuhan dan kepentingan manusia serta juga untuk generasi mendatang. Sumber produktif masayarakat akan dimiliki secara kooperatif supaya keputusan tentang apa dan bagaimana produksi dijalankan dapat diambil secara demokratis. Oleh karena itu, dengan sosialisme kita dapat mengupayakan program-program yang dapat menumbuhkembangkan anak-anak sesuai dengan cita-cita mereka.

Dengan penguasaan produksi di tangan rakyat pekerja, maka hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membangun pendidikan gratis, sehingga setiap anak-anak dapat terjamin cita-citanya. Pendidikan ini pun juga disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak, metode pendidikannya tentu berbeda dengan metode pendidikan masyarakat kapitalistik. Di dalam sosialisme, pendidikan bersifat demokratis, tidak memandang anak sebagai objek yang dapat seenaknya dibentuk sesuai dengan kepentingan penguasa, melainkan anak-anak itu sendirilah yang menentukan apa dan bagaimana pendidikan yang akan mereka terima. Selain itu, para orangtua juga tidak perlu lagi khawatir dengan anak-anaknya yang sedang sakit. Karena sosialisme dapat menjamin tersedianya pelayanan kesehatan bagi semua orang tanpa dipungut biaya. Sebagai contoh, fakta-fakta ini dapat kita jumpai pada masyarakat Kuba.

Di Kuba, menurut data resmi yang tersedia, anak-anak yang tertular HIV menurun. Dari 100.000 kelahiran, hanya ada 50 kasus anak tertular HIV. Angka ini, menurut WHO, adalah salah satu prestasi terbesar bagi kesehatan masyarakat mengingat pengobatan antiretroviral untuk mencegah penularan HIV dari orangtua ke anak tidak 100% efektif. Negara sosialis ini memang terkenal di bidang medis dan pendidikan. Kuba telah memproduksi sendiri peralatan-peralatan medis, sehingga misalnya, Elektrokardiograf yang digunakan untuk memeriksa jantung, reagen test alergi dan obat steptokinase yang di Indonesia bisa mencapai harga jutaan rupiah, di Kuba justru tidak dipungut biaya sama sekali. Selain itu, perawatan terhadap pasien juga terjamin karena adanya pengawas tenaga elektro yang terlatih untuk memantau dan mengawasi penggunaan alat-alat medis, sehingga alat-alat itu tidak mudah rusak. Ketika terjadi penyebaran virus Ebola beberapa waktu lalu pun Kuba dapat mengirimkan tenaga-tenaga medisnya untuk membantu mengatasi penyakit mematikan tersebut.

Ketika di Indonesia masih banyak anak-anak terlantar dan tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi, di Kuba yang karena diembargo Amerika Serikat sehingga negaranya dikatakan lebih miskin dari Indonesia, justru dapat menjamin setiap anak mendapatkan pendidikan dengan pendidikan gratis di semua tingkatan. Tingkat literasi tertinggi di dunia ada di Kuba, negara sosialis ini memiliki tingkat literasi 99,8% lebih tinggi dari Amerika yang kurang dari 99%.

Sosialisme memastikan bahwa kekerasan pada anak akan menghilang. Ini dimungkinkan karena kontrol produksi berada di tangan kelas pekerja itu sendiri. Dengan demikian, kita tidak harus hidup dalam keterasingan, sebagaimana kapitalisme mengharuskan kita untuk terus bekerja dalam keterasingan. Kita dapat merencanakan sendiri apa, bagaimana, dan berapa banyak kerja yang dapat kita lakukan. Seperti kata Marx, dalam sosialisme kita bekerja sesuai dengan keinginan kita dan menikmati sesuai dengan kebutuhan kita. Hilangnya keterasingan kerja, berarti juga hilangnya kefrustasian dalam bekerja dan karenanya juga hilangnya kekerasan.

Sosialisme juga akan menghentikan kekejaman imperialisme yang membunuh banyak orang diberbagai wilayah di dunia. Dengan internasionalisme, dimana berbagai negara-negara telah beralih dari kapitalisme menuju sosialisme, maka tidak diperlukan lagi menghancurkan bangunan-bangunan, perebutan kekayaan alam di suatu negara, dan membunuhi rakyat-rakyat, karena sosialisme adalah kerjasama yang tidak didasarkan pada bisinis. Demikianlah, anak-anak dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dalam sosialisme. Semua potensi mereka akan terasah dengan baik, cita-cita mereka terjamin dan tak ada anak-anak yang harus menderita.

ditulis oleh Miswanto

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comments (1)

  1. Jadi sistem kerja oendidikan di sosialisme itu bagaimana ?

Comment here

%d blogger menyukai ini: