SEMARANG. Papua dianeksasi sejak 1 Mei 1963 oleh Indonesia dengan kekuatan militeristik serta kepentingan imperialis di West Papua. Pada 6 Juli 1998 terjadi pembantaian terhadap rakyat Papua di Kota Biak. Ini kemudian dikenal sebagai Tragedi Biak Berdarah. Seperti pelanggaran HAM lainnya hingga hari ini belum ada penyelesaian.
Aliansi Mahasiswa Papua KK Semarang-Salatiga melakukan aksi massa, kamis (06/07/2017) siang, di Patung Kuda Universitas Diponegoro hingga Bundaran Simpang Lima Semarang, Jawa Tengah untuk menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ketua AMP KK Semarang, Salatiga Jackson Silmetro Gwijangge dalam orasi politiknya menekankan kepada Negara Republik Kesatuan Indonesia untuk menghentikan pengiriman militer dan segera bertangung jawab atas semua kasus pelanggaran HAM berat di seluruh tanah Papua. Kalau Republik Indonesia tidak mampu menyelesaikannya maka berikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Papua dibawa pengawasan PBB.
“Rakyat Indonesia harus ketahui bahwa kami mahasiswa papua bersuara apa yang sedang terjadi ditanah Papua dan kami tidak (RASIS) melawan manusia, kami berjuang melawan sistem kolonialisme, kapitalisme dan militerime. Kami berjuang untuk bebas, berdaulat diatas tanah air kami West Papua”. Jelas Ney Sobolim dalam orasinya.
Yully Gobay mewakili perempuan Papua dalam oranginya mengatakan di Papua tidak ada kehidupan yang bebas seperti manusia lainnya dimuka bumi ini. Kami selalu dibunuh, perempuan diperkosa, aktivis dipenjara, lahan dirampas, hutan adat dibabat dan banyak persoalan yang kami hadapi.
Kordinator Umum Aksi Aksi Lucky Frengky Yelipele dalam pembacaan pernyataan sikap mengatakan pada 19 tahun peringatan “Tragedi Biak Berdarah”, bahwa tragedi tersebut terjadi akibat tindakan aparat negara yang berlebihan terhadap rakyat yang mengibarkan bendera Bintang Kejora secara damai. Tragedi itu telah merenggut nyawa 8 orang; 8 orang hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makassar; 33 orang ditahan sewenang-wenang; 150 orang mengalami penyiksaan; dan 32 mayat misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG).
Setelah Biak Berdarah, terjadi pula tragedi Wamewa Berdarah (2000 dan 2003); Wasior Berdarah (2001); Uncen Berdarah (2006); Nabire Berdarah (2012); Paniai Berdarah (2014), dan peristiwa lainnya. Kesemuanya tidak ada yang selesai kasusnya.
Aliansi Mahasiswa Papua menuntut kepada Rezim Jokowi-JK serta dunia Internasional, dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa, bahwa Satu Negara bertanggung jawab atas tragedi Biak Berdarah 1998 yang telah menewaskan ratusan nyawa manusia dan rentetan pelanggaran HAM lainnya di Papua, Kedua Buka ruang demokrasi seluas-luasnya dan berikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua sebagai solusi demokratis, Ketiga Tarik militer (TNI-Polri) organik dan non-organik dari seluruh Tanah Papua. Keempat Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC, dan perusahaan lainnya yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua.
Aksi yang dimulai pada pukul 09:00 ini berjalan lancar dan aman dengan pengawalan puluhan anggota polisi dari Polrestabes Semarang hingga pukul 11.54 WIB. (Biro Propaganda AMP Semarang)
Comment here