Opini Pembaca

Kekerasan Negara Terhadap Dunia Pendidikan

Pendidikan Kekerasan NegaraLagi-lagi Ujian Nasional memberi kado kematian tahun ini. Untuk kesekalian kalinya seorang peserta Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), harus menghembuskan nafas terakhir dihari pelaksanaan UN dengan cara yang cukup sadis, gantung diri. Leony Alvionita, demikian nama lengkap Siswi Kelas III SMP Negeri 1 Tabanan, Bali, yang diduga diduga gantung diri akibat stress menghadapi Ujian Nasional.

Kepolisian Resor Tabanan, Bali menduga Leony frustrasi karena merasa gagal mengerjakan soal ujian Matematika. Polisi telah mendalami beberapa keterangan dari teman-teman Leony, termasuk bukti Blackberry Messenger (BBM) Leony kepada teman-temannya sesaat sebelum gantung diri. Dalam pesan BBM tersebut, Leony sempat mengeluh kesulitan dan frustrasi mengerjakan soal ujian mata pelajaran Matematika (Sumber : Kompas).

Sesungguhnya apa penyebab Leony akhirnya memutuskan untuk gantung diri? Dan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kematian Leony dan korban-korban bunuh diri lainnya akibat momok menakutkan yang bernama “Ujian Nasional” ini?

Kekerasan Negara

Apa yang terjadi dengan Leony, merupakan potret miris terhadap dunia pendidikan Indonesia saat ini. Banyak kalangan yang menyebutkan bahwa pangkal persoalan kasus Leony adalah keberadaan Ujian Nasional. Anggapan tersebut bukan tanpa alasan. Menetapkan ujian nasional sebagai alat ukur keberhasilan seorang siswa selama menempuh pendidikan, dianggap sebagai bentuk praktek ketidakdilan sistem pendidikan. Negara melalui Pemerintah tak ubahnya telah membangun kekerasan secara psikis terhadap warganya, terkhusus kepada para siswa sekolah.

Standarisasi evaluasi pendidikan melalui ujian nasional, justru berujung kepada kekacauan pola penerapan sistem pendidikan. Dampaknya bisa ditebak, siswa kian terbebani dengan keberadaan ujian nasional ini. Tak jarang kita disuguhkan situasi dimana siswa terlihat stres mengerjakan soal yang sulit, mencari jalan pintas dengan berharap bocaran soal, hingga rasa khawatir tidak akan lulus. Hal tersebut justru menjadi pemicu para siswa untuk melampiaskan kecemasannya dalam beragam bentuk. Dan salah satunya bentuknya adalah dengan cara bunuh diri. Secara teoritik, sejumlah keadaan psikologis dapat meningkatkan risiko bunuh diri, yang meliputi keputusasaan, hilangnya kesenangan dalam hidup, depresi dan kecemasan (Sumber : Wikipedia).

Dalam sebuah kesempatan, menteri pendidikan dan kebudayaan, M.Nuh, melontarkan pernyataan yang cenderung abai terhadap kasus bunuh diri Leony akibat ujian nasional ini. Dari 4,1 juta peserta ujian nasional tingkat SMP, yang bunuh diri tidak menunjukan angka yang signifikan. Seraya berkelakar, jika ada satu kelas bunuh diri massal usai ujian nasional, baru bisa dipikirkan ulang penyelenggaraan ujian nasional, ujarnya (Sumber : Detiknews). Ini jelas merupakan pernyataan yang memprihatinkan, apalagi diucapkan oleh seorang menteri. Logikanya, untuk menyimpulkan bahwa sesuatu memiliki dampak buruk dan berbahaya, tidak harus menunggu sampai jatuhnya banyak korban bukan?

Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sejak tahun 2004-2007, jumlah siswa bunuh diri akibat ujian nasional sekitar 16 orang. Sedangkan beberapa data media menyebutkan bahwa dalam kurung waktu 2008-2014, terdapat 7 orang pelajar yang bunuh diri. Ini berarti sejak tahun 2004 hingga tahun 2014 saat ini, setidaknya terdapat 23 orang pelajar yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri (Sumber : Tolak Ujian Nasional) . Ini berarti telah terdapat satu kelas kecil yang telah memilih jalan bunuh diri akibat rasa cemas dan stress yang secara langsung didapatkan dari pelaksanaan ujian nasional. Apalagi istilah yang tepat menggambarkan situasi ini, jika bukan kekerasan Negara terhadap dunia pendidikan?

Disorientasi Pendidikan

Dalam sebuah kesempatan lain, menteri pendidikan dan kebudayaan M.Nuh menanggapi keluhan siswa mengenai materi soal ujian nasional yang dianggap tidak sesuai dengan materi yang diajarkan. Pada pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA beberapa waktu lalu misalnya, beberapa siswa mengeluh kesulitan saat menjawab soal-soal yang diberikan. Kesulitan materi soal ujian nasional itu bisa jadi tantangan untuk siswa. Kami tidak ingin anak-anak menjadi manja, ujarnya (Sumber : Kompas). Salah satu aspek yang menyebabkan tingkat kesulitan yang makin tinggi adalah adanya penyesuain soal berdasarkan standarisasi internasional.

Seperti kita ketahui, dalam soal ujian nasional baik tingkat SMA maupun SMP, telah dilakukan penyesuain soal berdasarkan standar Trends in Mathematics and Science Study (TIMS) dan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dikelola oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yakni sebuah organisasi yang berpusat di Amerika Serikat. Walhasil, soal-soal didalam ujian nasional makin sulit dikerjakan oleh para siswa, bahkan cenderung tidak pernah didapatkan sama sekali semasa proses belajar. Disamping itu, pelaksanaan ujian nasional yang berdasarkan standar nasional ini menimbulkan banyak polemik.

Setidaknya terdapat 2 (dua) polemik dari akibat penerapan standarisasi ujian nasional, yang mengundang kritik dan kecaman dimana-mana. Pertama, soal ujian nasional tingkat SMP, dianggap menjiplak soal yang sebelumnya pernah diterbitkan Programme for International Student Assessment (PISA). Terlebih lagi, baik kutipan soal maupun gambar, tidak mencantumkan sumbernya. Padahal dalam gambar tersebut, sumber aslinya menyatakan dilarang untuk diambil terkait hak cipta terhadap merek Skysails (Sumber : Kompas). Ini jelas merupakan tindakan plagiat yang secara sengaja dilakukan oleh Pemerintah. Kedua, pada soal ujian nasional tingkat SMA, terdapat soal yang ditengarai berbau politis dengan menampilkan tokoh tertentu. Ini menandakan bahwa soal-soal ujian nasional dibuat tidak berdasarkan standar internasional sebab tidak melalui uji validasi dan kelayakan soal.

Kedua polemik tersebut menandakan bahwa penataan sistem pendidikan kita mengalami disorientasi atau kehilangan arah. Sejatinya, pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan Bangsa, kini tidak lebih dari momok yang menakutkan. Pendidikan yang konon diarahkan untuk memenuhi standar internasional, telah membuang prinsip kebutuhan Bangsa kita untuk membangun masa depan generasinya yang jauh lebih baik (Sumber : Tribun Kaltim, 13 Mei 2014)

Oleh : Castro, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: