Teori

Posmodernisme Memecah Belah Filsafat Hingga Perjuangan Rakyat

Posmodernisme merupakan salah satu aliran filsafat yang mencuat dan secara masif menyusupi seluruh ruang dan digunakan seakan  seperti trend fashion yang jika tidak mengenakannya maka dikatakan tertinggal. Aliran ini berkembang menjadi salah satu aliran filsafat borjuis yang dominan dan merasuki sebagian besar atau bahkan dapat dikatakan mayoritas bahkan dalam dunia akademis saat ini.

Mari kita berkenalan sedikit historis kemunculan aliran ini. Dalam buku berjudul Asal Usul Posmodernisme karya Perry Anderson menjelaskan bahwa istilah Posmodernisme sebagai sebuah istilah dan ide yang mengharuskan adanya peredaran modernisme. Posmodernisme sendiri lahir di daerah pinggiran bukan di pusat sistem budaya pada waktu itu, tidak datang dari Eropa ataupun Amerika Serikat tapi lahir dari Amerika Latin. Posmodernisme pertama kali muncul ke permukaan di dunia Latin tahun 1930-an. Era posmodernisme ini ditandai oleh adanya dua perkembangan: bangkitnya kelas pekerja  di Barat dan adanya kaum generasi penerus intelektual dari luar Barat yang memahami rahasia-rahasia terhadap modernitas hingga kemudian menguasai modernitas dan menentang Barat.

Istilah Posmodernisme pertama kali dicetuskan oleh Jean-Francois Lyotard dalam karyanya berjudul La Condition Posmoderne pada 1979. Bagi Lyotard lahirnya posmodernisme terkait erat dengan bangkitnya masyarakat post industri. Pengetahuan telah menjadi kekuatan produksi utama dalam suatu arus yang melintas ke berbagai negara. Sebuah ciri yang menentukan kondisi posmodernisme menurutnya ialah, hilangnya sebuah kredibilitas terhadap meta-narasi. Meta narasi yang dimaksud ialah sebuah interpretasi menyeluruh terhadap peristiwa ataupun keadaan yang memberikan pola atau struktur bagi keyakinan setiap orang dan memberi makna pada pengalaman mereka. Ketidakpercayaannya pada meta narasi juga pada akhirnya mengembalikan pandangannya pada meta narasi tersebut. Ilmu pengetahuan dalam posmodernisme tidak terletak pada pencarian bentuk akan tetapi dalam produksi paralogistis—dalam dunia mikro-fisika, pecahan-pecahan, kekacauan membentuk evolusinya sendiri tidak berkelanjutan, katastropik, tidak bisa diralat dan paradoksikal.  Buku Lyotard tersebut memberikan gambaran bahwa posmodernisme merupakan perubahan umum dari keadaan manusia. Buku tersebut menguntungkannya karena aliran posmodernisme semakin meluas. Akan tetapi buku ini menjadi sebuah petunjuk yang menyesatkan bagi posisi intelektualnya sendiri. Buku tersebut dibatasi secara esensial dalam batasan epistemologi ilmu-ilmu alam yang kemudian diakui oleh Lyotard sendiri bahwa pengetahuannya kurang dan terbatas.

Hal lainnya yang dikritik oleh Lyotard ialah Grand Narrative, menurutnya narasi besar seperti agama, negara, ataupun kebangsaan sudah tidak relevan. Bagi Lyotard, untuk menghidupkan ilmu pengetahuan harus dengan menghidupkan perbedaan-perbedaan, keputusan-keputusan, dan terbuka pada tafsir-tafsir baru. Karena baginya ilmu pengetahuan tumbuh sebagai sistem yang organik dalam artian tidak homogen apalagi tertutup pada eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan wacana yang hadir. Melalui prespektif Lyotard, dapat dipahami bahwa posmodernisme adalah usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap segala macam Grand Narrative filsafat historis, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti hegelian, Marxisme, dan lainnya.

Kemunculan postmodernisme secara ideologis tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dunia pasca-Perang Dunia II dan dinamika Perang Dingin yang berujung pada runtuhnya sosialisme di Uni Soviet dan Eropa Timur. Dua peristiwa besar menjadi latar utama. Pertama, pengalaman mengerikan Perang Dunia II, terutama bangkitnya fasisme dan tragedi Holocaust, mendorong banyak filsuf Eropa untuk menyimpulkan bahwa akar dari kehancuran tersebut adalah rasionalisme dan tradisi pemikiran Pencerahan. Padahal, fasisme sejatinya merupakan produk kapitalisme. Namun, karena kuatnya gelombang antikomunisme pada masa itu, mereka gagal melihat adanya alternatif jalan keluar melalui sosialisme. Sebaliknya, mereka justru menerima propaganda borjuis liberal yang menyamakan fasisme dan komunisme sebagai dua wajah dari apa yang disebut “totalitarianisme.” Kedua, sepanjang periode Perang Dingin hingga dekade 1980-an, sosialisme terus menghadapi tekanan ganda: tekanan eksternal dari imperialisme dan kemunduran internal akibat degenerasi revisionis. Kondisi ini berpuncak pada tahun 1991 dengan runtuhnya Uni Soviet dan pemulihan kapitalisme, yang semakin memperkuat posisi ideologi postmodernisme dalam dunia akademik maupun politik.

Fakta lainnya, dalam salah satu media digital bernama Fight Back! News dengan judul artikel Red Theory: Marxism Againts Posmodernisme dijelaskan bahwa postmodernisme pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari proyek politik dan ideologis yang dijalankan oleh imperialisme, khususnya melalui operasi kultural CIA. Dalam bukunya Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War, Frances Stonor Saunders mengungkap bagaimana intelijen Amerika Serikat secara sistematis mendanai dan mendorong berkembangnya postmodernisme. Jutaan dolar digelontorkan untuk membiayai organisasi-organisasi budaya, pameran seni, majalah sastra dan teori, serta berbagai lembaga intelektual yang menyebarkan gagasan-gagasan postmodern. Tujuannya jelas yaitu memperdalam kebingungan ideologis di kalangan kiri, terutama setelah serangan revisionis Nikita Khrushchev terhadap Stalin pada Kongres ke-20 CPSU, yang memang sudah mengguncang keyakinan banyak kaum intelektual terhadap Marxisme.

Strategi ini menjadi bagian dari “perang dingin budaya” yang lebih luas. Di satu sisi, CIA menyebarkan relativisme dan skeptisisme melalui promosi postmodernisme untuk menjauhkan intelektual dari sosialisme ilmiah. Di sisi lain, imperialisme AS juga mendanai dan mengorganisir gerakan kontra-revolusioner secara langsung, mulai dari mendukung kontra-revolusi di Eropa Timur hingga membiayai Mujahidin di Afghanistan. Dengan demikian, postmodernisme bukanlah sekadar arus intelektual yang netral, melainkan instrumen ideologis penting dari strategi imperialisme global dalam perang dingin melawan komunisme.

Posmodernisme didasarkan pada prinsip bahwa konsep, gagasan, dan bahasa itu sendiri merupakan konstruksi yang subjektif dan arbitrer. Artinya, semua pemikiran konseptual bahkan termasuk sains juga bersifat opresif—tidak ada yang benar , satunya-satunya kebenaran bagi Posmodernisme terletak pada pengalaman individu dan pengalaman hidup. Tidak hanya pemikiran yang rasional dan meta narasi yang dibuang oleh posmodernis. Ia juga mengkritik sebuah konsepsi bahasa, beberapa kaum Posmodernis menganggap bahwa bahasa merupakan konstruksi yang menindas. Tata bahasa sendiri harus dihapuskan karena menindas kebebasan manusia.

Bersamaan dengan menjamurnya Posmodernisme, salah satu  aspek di dalamnya yaitu postrukturalisme. Sebagai suatu aliran yang menolak strukturalisme, yang berpendapat bahwa budaya dapat dipahami melalui struktur yang kaku dan makna yang stabil. Postrukturalisme menolak pandangan tersebut dengan berpendapat bahwa sebuah bahasa dan wacana tidaklah stabil, terus berubah dan sangat bergantung pada konteks. Tokoh-tokoh yang tidak luput dibahas dalam perkembangan pascastrukturalisme yaitu Jacques Derrida dan Michael Foucault yang mengembangkan konsep seperti dekonstruksi (analisis kritis terhadap teks) dan analisis wacana (yang melihat hubungan bahasa, kekuasaan, dan pengetahuan).

Kebangkitan pascastrukturalisme tidak dapat dipisahkan dari konteks kekalahan dan kemunduran gerakan sosial radikal pada akhir 1960-an dan 1970-an. Ketika optimisme revolusioner memudar, muncul kekecewaan dan pesimisme. Pascastrukturalisme, dengan penekanannya pada fragmentasi, ketidakstabilan makna, dan penolakan terhadap narasi besar (termasuk Marxisme), dianggap sebagai ekspresi teoretis dari kekalahan politik tersebut. Ia memberikan justifikasi intelektual untuk beralih dari perjuangan kolektif yang terorganisir menuju bentuk-bentuk perlawanan yang lebih individualistis, terfragmentasi, atau murni simbolis.

Perkembangan pascatrukturalisme sendiri beriringan dengan gerakan kesenian, sebagai sebuah seruan untuk menggunakan beragam gaya historis dan pemanfaatan setiap budaya massa. Apapun nilainya akan menjadi diklaim sebagai sebuah kesenian. Masifnya pandangan posmodernisme yang sudah dijelaskan di awal telah menjadi sebuah pandangan dunia. Perlu ditekankan bahwa, pandangan posmodernisme begitupula aliran pascastrukturalisme menyangkal bahwa realitas dapat dipahami, digambarkan, atau diubah secara keseluruhan, atau bahwa manusia dapat menciptakan dunia yang bebas. Posmodernisme merupakan sebuah kemunduran estetika ke dalam gaya dan teknik sebagai tujuan itu sendiri ke dalam penampilan—ke dalam yang lokal dan yang terfragmentasi terutama ke dalam penerimaan akan masa kini.

Dalam tulisan yang dimuat dalam marxistleftreview.org  dengan judul Post Structuralism a Marxist Alternative bagian kedua, di jelaskan secara historis basis kelas yang mempengaruhi masifnya aliran tersebut.  Posmodernisme dan pascastrukturalisme diambil pada akhir 1970-an dan 1980-an terutama oleh sebagian dari kaum borjuis kecil, dalam kelas menengah baru dari karyawan yang bergaji tinggi dan tenaga profesional. Kebangkitan pascastrukturalisme dan postmodernisme berakar kuat pada basis sosial “kelas menengah baru,” sebuah lapisan masyarakat yang didefinisikan oleh keahlian manajerial ketimbang kepemilikan modal. Kelas ini dibentuk oleh dua pengaruh yang kontradiktif pada akhir 1970-an: meningkatnya kemakmuran finansial di satu sisi, dan kekecewaan politik yang mendalam atas memudarnya harapan revolusioner era 1968 di sisi lain. Kombinasi antara kenyamanan material dan pesimisme politik inilah yang melahirkan tema-tema khas postmodernis seperti sinisme, apatisme, dan obsesi terhadap gaya yang mendominasi budaya 1980-an. Namun, hubungan ini tidaklah sederhana; popularitas ide-ide ini membutuhkan konteks kekalahan politik kaum kiri, daya tariknya meluas melampaui basis kelasnya, dan para teoretikusnya tidak harus berasal dari kelas tersebut untuk dapat merepresentasikan keterbatasan cara pandangnya secara ideologis. Ide-ide ini bukanlah hal baru, melainkan kelanjutan dari tradisi filsafat borjuis yang menjadi reaksioner setelah kemunculan kelas pekerja sebagai ancaman. Begitu wawasan materialis dari pemikir seperti Ricardo dan Hegel terbukti memiliki implikasi revolusioner, filsafat borjuis secara sadar atau tidak sadar mulai menghindari analisis masyarakat yang jujur dan sistematis, sebuah tradisi pengaburan realitas di mana pascastrukturalisme kini menempati posisinya sebagai pewaris modern.

Popularitas pascastrukturalisme meningkat seiring dengan menurunnya protes sosial sejak tahun 1970-an. Pemikiran ini memberikan justifikasi intelektual atas kemunduran tersebut dengan menyatakan bahwa perjuangan untuk perubahan fundamental adalah sia-sia. Dengan menganggap masalah-masalah seperti penindasan dan alienasi sebagai bagian tak terhindarkan dari eksistensi manusia (atau “kondisi manusia”), bukan sebagai produk spesifik dari sistem kapitalisme, pascastrukturalisme secara tidak langsung menjadi apologet atau pembela status quo.

Dasar filsafat dari pascastukturalisme maupun posmodernisme itu sendiri merupakan idealisme. Idealisme memprioritaskan ide, kesadaran, atau bahasa di atas kondisi material. Pascastrukturalisme adalah bentuk idealisme yang agresif, di mana realitas material larut ke dalam wacana, teks, dan permainan kekuasaan yang tidak berakar. Ini tentu saja berbeda dengan dasar filsafat Marxisme yang meletakkan kondisi material atau bahkan perkembangan masyarakatnya dalam membentuk suatu makna atau bahkan kondisi hari ini. Bagi Marxisme, realitas material (kondisi ekonomi, alat produksi, hubungan sosial) adalah fondasi utama yang mendahului dan menentukan kesadaran, ide, dan budaya. Dunia ada secara objektif di luar pikiran kita, dan dapat dipahami secara rasional dan ilmiah. Implikasi politiknya jelas: untuk mengubah dunia, kita harus mengubah fondasi materialnya melalui perjuangan kelas, bukan sekadar mengubah cara kita berpikir atau berbicara. Sedangkan Pascastrukturalisme, menyatakan bahwa tidak ada akses ke realitas di luar wacana atau teks, pascastrukturalisme secara efektif menjadikan “ide” (dalam bentuk bahasa/wacana) sebagai satu-satunya realitas yang dapat diakses. Ini adalah pembalikan total dari premis materialis. Penolakan terhadap “kebenaran” objektif dan narasi besar dipandang sebagai serangan terhadap kapasitas akal manusia untuk memahami dunia nyata. Ini menjebak analisis dalam relativisme tanpa akhir. Idealisme ini bukanlah sekadar permainan akademis. Dengan mengaburkan akar masalah sosial yang bersifat material (eksploitasi kapitalis), pascastrukturalisme mengalihkan perlawanan ke ranah simbolik, tekstual, atau wacana. Ini adalah bentuk perlawanan yang tidak berbahaya bagi struktur kekuasaan yang sebenarnya.

Dalam tulisan yang dimuat dalam marxistleftreview.org dengan judul Post Strukturalism a Marxist Alternative menuliskan kritik yang tajam terhadap aliran pascastukturalisme. 1) pascastrukturalisme berfokus pada bahasa, wacana, dan teks kemudian mengabaikan kondisi material yang objektif. Bagi pascastrukturalis, tidak ada kebenaran di luar teks (seperti yang dikatakan Derrida), sehingga analisis sosial bergeser dari kondisi ekonomi dan pertentangan kelas yang kemudian melahirkan kekuasaan menjadi perdebatan linguistik. 2) pemikiran paskastrukturalisme dekat dengan subjektivisme dan relativisme—yang mana pandangan tersebut menolak adanya kebenaran universal atau pengetahuan objektif. Menurut Foucault, pengetahuan hanyalah perspektif yang lahir dari perebutan kekuasaan. Ini mengarah pada relativisme di mana semua klaim kebenaran dianggap setara, sehingga sulit untuk membangun dasar yang kokoh untuk perjuangan politik bersama. 3) Pascastrukturalisme, khususnya melalui pemikir seperti Deleuze, memandang realitas sebagai “chaosmos” atau kekacauan yang terfragmentasi dan tidak terhubung. Mereka menolak gagasan bahwa masyarakat adalah sebuah totalitas yang terintegrasi atau memiliki struktur masyarakat di dalamnya. 4) Penolakan terhadap totalitas ini melemahkan kemampuan untuk menganalisis sistem secara keseluruhan. Akibatnya, perlawanan politik menjadi terpecah-pecah, hanya berfokus pada isu-isu tunggal atau perjuangan identitas yang terisolasi, tanpa melihat akar masalah sistemik yang sama. 5) Terdapat kontradiksi antara penolakan subjek dengan obsesi pascastrukturalisme terhadap gaya dan estetika, yang justru sangat terkait dengan pilihan dan selera individu. Pascastrukturalisme menolak konsep “subjek” manusia yang otonom dan rasional. Manusia dianggap hanya sebagai produk dari struktur bahasa atau wacana. Hal ini menghilangkan agensi atau kemampuan individu dan kolektif untuk secara sadar mengubah dunia.

Sebagai pendahulu dari poststrukturalisme, mazhab strukturalis pada era 1960-an mewariskan banyak konsep dan istilah kunci, dengan sumbangan utamanya adalah penekanan yang sangat kuat pada penggunaan model linguistik untuk menganalisis masyarakat. Teori ini berakar pada gagasan Ferdinand de Saussure, yang berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah sistem unik yang aturannya tidak dapat disamakan dengan aspek realitas lainnya. Ide ini kemudian diterapkan secara luas di berbagai bidang, seperti antropologi oleh Claude Lévi-Strauss, psikoanalisis oleh Jacques Lacan, dan bahkan dipadukan dengan pemikiran Marxis-Stalinis oleh Louis Althusser. Pendekatan inilah yang secara intelektual membuka kemungkinan bagi klaim radikal Jacques Derrida di kemudian hari bahwa “tidak ada apapun di luar teks,” yang menyiratkan bahwa bahasa adalah satu-satunya realitas yang ada. Penting untuk dicatat, Saussure sendiri tidak pernah berpendapat seekstrem itu; ia masih mengakui bahwa konsep seperti nilai ekonomi berakar pada objek material dan hubungan alamiahnya, sehingga teori-teori strukturalis dan poststrukturalis yang mengabaikan hal ini dibangun di atas fondasi yang rapuh.

Meskipun demikian, kita tidak bisa menyangkal peran formatif bahasa dalam masyarakat, dan untuk memahaminya, kita harus terlebih dahulu menolak pandangan tradisional yang pasif dan individualistis seperti yang diajukan oleh John Locke. Menurut Locke, bahasa hanyalah alat untuk melabeli ide-ide yang sudah ada sebelumnya, yang merepresentasikan benda-benda di dunia, di mana individu secara sadar memberi makna pada kata dalam sebuah kerangka stabil yang pada akhirnya dijamin oleh Tuhan. Karl Marx menawarkan sebuah konsepsi yang jauh lebih dinamis dan sosial. Pertama, Marx memahami bahwa bahasa bukanlah cermin pasif dari dunia material; sebaliknya, bahasa secara aktif memengaruhi dan mengubah informasi yang diserapnya dari realitas, menciptakan interaksi timbal balik antara bentuk (bahasa) dan isi (dunia). Kedua, Marx menegaskan bahwa proses penciptaan makna bersifat kolektif dan sosial, bukan tindakan individu yang terisolasi. Konsekuensinya, bahasa menjadi arena politik yang dapat menanamkan ideologi dominan—seperti terlihat dari banyaknya istilah merendahkan untuk perempuan—tetapi juga dapat menjadi medan pertempuran untuk menantang dan mengubah terminologi yang menindas tersebut.

Pada titik ini, Saussure memiliki kesamaan dengan Marx dalam hal mengakui bahwa makna dikonstruksi secara sosial dan bahasa lebih kompleks daripada sekadar proses memberi nama. Akan tetapi, dalam upayanya untuk melawan individualisme kaum empiris, Saussure terjerumus ke ekstrem yang berlawanan, yaitu sejenis idealisme objektif. Ia akhirnya memperlakukan bahasa sebagai sebuah sistem yang tertutup dan otonom, terpisah sepenuhnya dari dunia luar dan hanya diatur oleh koherensi internalnya sendiri, mirip seperti permainan catur. Pandangan inilah yang menciptakan keretakan fundamental, memisahkan bahasa dari pengalaman dan kehendak manusia, serta dari dunia material yang menjadi dasarnya.

Teoritikus lainnya yang pandangannya masif bertebaran dan digunakan atau bahkan mempengaruhi teori-teori posmodernisme lainnya yaitu Michel Foucault. Karyanya yang  merentang dari periode strukturalis hingga pascastrukturalis, di mana ia beralih dari model yang berpusat pada bahasa menjadi kerangka kerja yang terinspirasi oleh Nietzsche tentang “perang dan pertempuran”. Hal ini melahirkan konsep sentralnya, “kekuasaan/pengetahuan”, di mana kekuasaan dan perlawanan yang menyertainya dipandang sebagai kekuatan-kekuatan abstrak, mistis, dan abadi yang mendasari semua realitas sosial. Menurut penulis, pendekatan ini secara keliru menggeneralisasi kekacauan persaingan pasar menjadi kondisi universal. Meskipun konsep “kekuasaan” Foucault kini populer untuk menganalisis hubungan sosial, konsep ini dikritik karena beberapa kelemahan fundamental. Pertama, ia gagal menjelaskan sifat kapitalisme yang sistematis dan total. Kedua, ia tidak membedakan secara jelas antara penindas dan yang tertindas, sehingga menyiratkan bahwa semua pihak—dari remaja kulit hitam hingga polisi apartheid—hanyalah pemain dalam permainan kekuasaan yang sama dengan level yang berbeda. Hal ini mengarah pada pesimisme politik, karena jika “hubungan paksa” adalah inti dari eksistensi manusia, maka kesetaraan sejati menjadi tujuan yang mustahil. Ketika ditantang untuk memberikan solusi, Foucault hanya menawarkan “hipotesis” yang tidak jelas dan terlalu mengandalkan peran “pengetahuan” untuk mengubah keadaan, sebuah pandangan yang dianggap naif terhadap kekuatan material seperti kekerasan negara dan modal, yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh posisinya di dunia akademis.

Implikasi yang paling reaksioner dari teori Foucault adalah serangannya terhadap setiap upaya untuk memahami sistem secara keseluruhan, seperti Marxisme. Dalam pandangannya, setiap teori totalitas hanyalah upaya untuk merebut kekuasaan totaliter dengan memaksakan satu “wacana” tunggal. Sebagai alternatif, Foucault mengedepankan “lokalisme” dan “pengetahuan minor”—sebuah posisi yang diidentifikasi sebagai ciri khas intelektual borjuis kecil. Lebih jauh lagi, Foucault menolak agensi manusia dalam perjuangan; bagi dia, perlawanan bukanlah reaksi sadar, melainkan sebuah hukum mekanis seperti fisika, yang secara efektif mereduksi para aktivis menjadi pion-pion yang digerakkan oleh kekuatan abstrak. Ini sejalan dengan serangan anti-humanisnya yang terkenal, di mana ia menyatakan “manusia adalah penemuan yang baru-baru ini” akan segera berakhir dan menolak gagasan tentang kodrat manusia, termasuk hasrat akan kebebasan yang ia anggap sebagai “ciptaan kelas penguasa”. Namun, pada karya-karya terakhirnya, Foucault menunjukkan inkonsistensi dengan menjauhkan diri dari konsep kekuasaan itu sendiri, sama seperti ia sebelumnya menyangkal ketertarikannya pada bahasa, sebuah manuver yang digambarkan sebagai ciri khas dari pergeseran teoretisnya.

Baik Foucault dan juga Lyotard, perjuangan kelas dianggap tidak lagi relevan karena masyarakat terfragmentasi dalam banyak “perjuangan lokal”. Marxisme menolak fragmentasi ini, bukan karena mengabaikan keragaman perjuangan, tetapi karena melihat bahwa penindasan spesifik (ras, gender, seksualitas, dan lain-lain) tetap terhubung dengan struktur kapitalisme secara keseluruhan. Dengan kata lain, kapitalisme menciptakan kondisi material yang memungkinkan munculnya berbagai bentuk penindasan, sehingga perjuangan emansipasi hanya dapat mencapai keberhasilan penuh jika dikaitkan dengan penggulingan sistem kapitalis.

Lebih lanjut penolakan poststrukturalisme terhadap konsep kebenaran objektif dan kecenderungan relativistik berimplikasi politis. Dengan menganggap semua wacana setara dan menolak hierarki pengetahuan, kaum poststrukturalis justru melemahkan kemampuan gerakan untuk membangun strategi politik yang kohesif. Marxisme menegaskan bahwa meskipun pengetahuan selalu historis dan terbatas, tetap ada dasar objektif dalam analisis kelas dan ekonomi yang bisa dijadikan pijakan untuk praksis revolusioner. Tanpa pijakan ini, teori hanya akan menjadi permainan bahasa tanpa arah politik yang jelas.

Konsep pembebasan juga menjadi titik pembeda paling tajam antara Marxisme dan poststrukturalisme. Marxisme berangkat dari keyakinan bahwa umat manusia dapat membebaskan dirinya melalui kesadaran kolektif yang terorganisir dan kemampuan sadar untuk mengendalikan kondisi sosialnya. Sementara itu, poststrukturalisme tidak pernah melampaui gagasan perlawanan kecil dan protes lokal yang terbatas. Secara sosial, aliran ini berakar pada kelas menengah baru, dan kebangkitannya justru bertepatan dengan kemunduran gerakan buruh dan surutnya mobilisasi sosial. Ditambah lagi dengan basis filosofisnya, poststrukturalisme pada dasarnya lebih berpihak pada kapitalisme ketimbang menjadi tantangannya. Oleh karena itu, jawaban Marxis adalah mempertahankan humanisme revolusioner, yakni sebuah posisi yang tetap menegaskan peran manusia sebagai subjek aktif yang dengan tindakannya mampu mengubah struktur objektif masyarakat. Subjektivitas tidak bisa direduksi semata-mata ke dalam struktur bawah sadar atau determinasi supra-individual. Subjektivitas itu sendiri lahir bersamaan dengan ekspansi kapitalisme, meskipun pada saat yang sama justru ditekan dan direduksi oleh kapitalisme—baik dalam ranah kehidupan pribadi maupun dalam bentuk aktivitas diri. Inilah yang dikritik Marx secara moral: kapitalisme telah memecah “nilai pribadi” manusia menjadi sekadar “nilai tukar”.

Pandangan Marxisme bukanlah narasi “totalitarian” seperti yang dituduhkan poststrukturalis, melainkan teori kritis yang hidup, terbuka, dan mampu mengintegrasikan keragaman pengalaman penindasan ke dalam kerangka perjuangan kelas. Marxisme menyediakan alternatif yang materialis, historis, dan revolusioner dalam menghadapi krisis kapitalisme, berbeda dengan poststrukturalisme yang cenderung jatuh pada pesimisme politik dan fragmentasi sosial. Oleh karena itu, bagi kaum Marxis, poststrukturalisme bukan jalan keluar, melainkan bentuk intelektual dari kebuntuan politik era tertentu yang kini harus dilampaui dengan kembali pada materialisme historis.

Perkembangan teori-teori postmodernisme tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat serta kepentingan kelas borjuasi yang berusaha memecah kesadaran sosial agar tetap terfragmentasi. Dalam bukunya Pokok-pokok Materialisme Historis: Pandangan Marxis Terhadap Sejarah dan Politik, Doug Lorimer menjelaskan bahwa sejak awal abad ke-20 telah berkembang pandangan yang menolak kemungkinan membangun teori umum tentang perkembangan sosial. Menurut pandangan ini, masyarakat hanya dipahami sebagai kumpulan individu-individu atomistik yang terhimpun secara kebetulan, sementara sejarah dianggap sekadar rangkaian peristiwa unik yang terjadi tanpa pola. Jika segala aspek kehidupan sosial dan sejarah hanya dipandang sebagai hal yang khas dan individual, maka penyusunan ilmu pengetahuan mengenai masyarakat dan sejarah akan dianggap tidak berguna. Cara berpikir borjuis yang atomistik semacam ini tidak mengarahkan kita pada pemahaman ilmiah tentang masyarakat, melainkan hanya menghasilkan deskripsi dangkal berupa penyusunan dan klasifikasi fakta empiris yang bergantung pada selera subjektif seorang sejarawan atau kritikus sosial. 

Postmodernisme secara aktif berupaya melemahkan Marxisme dengan menuduh bahwa setiap teori rasional yang berusaha memberikan pemahaman menyeluruh tentang fenomena sosial, sejarah, dan budaya pada akhirnya akan mengarah pada “totalitarianisme.” Atas dasar itu, postmodernisme mendorong fragmentasi, yakni memisahkan berbagai bentuk kritik sosial agar berdiri sendiri-sendiri tanpa keterhubungan. Karena menolak gagasan “metanarasi,” setiap persoalan sosial dipandang melalui bingkai wacana yang terpisah, seakan tidak terkait dengan totalitas masyarakat.

Akibatnya, bentuk-bentuk penindasan — seperti kelas, ras, gender, atau isu lainnya — dipahami secara terisolasi, dilepaskan dari hubungan dialektis dan material yang sebenarnya menyatukan mereka. Pendekatan ini bersifat metafisik dan idealis, karena hanya berfokus pada potongan realitas, bukan struktur yang melahirkannya. Walaupun analisis-analisis parsial tersebut kadang menyumbang wawasan progresif, strategi politik yang seharusnya bisa lahir dari pemahaman menyeluruh justru dilumpuhkan. Dengan kata lain, postmodernisme menghambat kemampuan gerakan sosial untuk membangun kekuatan bersama dalam melawan sistem kapitalisme secara total.

Dalam tulisan Tony Smith berjudul Posmodernisme: Teori dan Praktik yang dimuat dalam marxist.org menjelaskan bahwa kita harus mengakui bahwa makna hubungan sosial bertumpu pada konstruksi linguistik. Namun, terdapat praktik-praktik material (ekstralinguistik) tertentu yang mempertahankan hubungan tersebut. Pemahaman kita tentang “putih” dan “hitam”, tentang “maskulinitas” dan “feminitas” mungkin merupakan konstruksi linguistik. Namun, hubungan ekonomi dalam mengekstraksi surplus dari tenaga kerja budak tidak dapat direduksi menjadi sekadar wacana, begitu pula dengan pemaksaan kerja domestik tanpa upah kepada perempuan. Pengaruh postmodernisme telah menyebabkan terlalu banyak karya mutakhir dalam sejarah sosial mengabaikan fakta mendasar ini. 

Kita sama-sama dapat melihat berbagai macam gerakan sosial yang tepisah-pisah yang menekankan pada pengalaman empirisme, atau bahkan mengedepankan politik identitas sebagai dasar perjuangan. Tentu para ideolog Posmo akan berdansa melihat ini semua atau sekaligus kelas berkuasa menari-nari melihat ini semua. Munculnya berbagai konsep yang memainkan peran bahasa justru memecah belah makna penindasan yang dilakukan oleh kelas berkuasa itu sendiri. Misalnya, konsep-konsep teoritis yang melihat hubungan manusia dan menjauhkan dasar materialnya; relasi kuasa, wacana, dekonstruksi, atau bahkan kekuasaan itu sendiri. Merupakan permainan bahasa atau bahkan jika dikatakan sebagai sebuah gagasan merupakan kekacauan dalam melihat hubungan individu di dalam masyarakat secara lebih menyeluruh.

Tidak semua ilmu pengetahuan yang lahir bersih dari konflik kepentingan kelasnya, begitupula kampus hari ini yang terus mereproduksi para intelektual dan mempromosikan ide-ide kelas berkuasa. Di bawah sistem kapitalisme yang terorganisir dan terus menciptakan penindasan yang terstruktur pula, kita bukan individu yang terpisah dari sosialnya bahkan hubungan personal sekalipun tidak dapat dilepaskan dari kondisi material hari ini. Ini berbeda dengan gagasan Foucault bahwa kekuasaan ada di mana-mana bahkan di tubuh kelas tertindas itu sendiri. Jika memang kelas tertindas hari ini memiliki kekuasaan terhadap nasibnya, bukankah dia tidak lagi menjadi kelas yang selalu digilas oleh kemiskinan dan penderitaan? Faktanya di bawah sistem kapitalisme, di mana kepemilikan alat produksi dikuasai oleh segelintir orang menjadikan hubungan manusia dibungkus dalam kerangka sistem ekonomi politik yang seolah rasional. Begitupula, ketika kita memaknai sebuah perjuangan—ia tidak bisa terpisah atau digerakkan oleh masing-masing individu dengan “caranya masing-masing” diperlukan perjuangan yang teorganisir dengan kesatuan teori dan praktik yang tepat. Perdebatan soal wacana ataupun istilah-istilah dalam tataran linguistik tidak akan mengguncangkan sistem hari ini secara penuh. Hal itu akan berdampak pada bentuk sentimen dan pesimistis terhadap perjuangan kolektif rakyat tertindas dan hanya semakin menjauhkan kita pada kesadaran terhadap bobroknya sistem hari ini.

ditulis oleh Sagra, anggota Lingkar Studi Sosialis.

Loading

Comment here