Teori

Gerilya, Politik, Ekonomi Menuju Merdeka 100%

Gerilya, Politik, Ekonomi (Gerpolek) adalah karya yang ditulis pada 17 Mei 1948 oleh Tan Malaka. Saat itu Tan Malaka tengah dipenjarakan akibat oposisinya dan kepemimpinannya terhadap aliansi Persatuan Perjuangan yang menentang pendekatan prioritas diplomasi dan kapitulasi pemerintahan kabinet pimpinan Sutan Sjahrir. Lewat Gerpolek, Tan Malaka menganalisis situasi ekonomi-politik Indonesia pasca-proklamasi yang terus digerogoti sekaligus menawarkan visi pendirian dan pengelolaan pemerintahan perang secara revolusioner untuk mengusir imperialisme. Upaya serupa dalam menghadirkan visi revolusioner demikian kemudian muncul dari kalangan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada Agustus tahun yang sama. Sementara pamflet Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir yang diterbitkan lebih awal pada 10 November 1945 memang bicara tentang demokratisasi dan revolusi namun nyaris tidak membahas mengenai perjuangan bersenjata melawan imperialisme.

Tan Malaka memulai Gerpolek dengan analisis menyeluruh terhadap kondisi Indonesia. Ia mengungkap bagaimana pendekatan prioritas diplomasi telah memberikan banyak kapitulasi atau penyerahan semakin banyak kekuasaan bagi Imperialis Belanda. Baik Perjanjian Linggarjati yang diteken tim diplomasi pimpinan Sjahrir maupun berikutnya Perjanjian Renville yang ditandatangani tim diplomasi pimpinan Amir Sjahrifuddin mengakibatkan pembagian Indonesia menjadi beberapa negara kecil dimana Republik Indonesia (RI) adalah salah satunya, reorganisasi dan rasionalisasi militer yang berdampak buruk pengecilan kekuatan militer RI, ganti rugi kepada Belanda, pengembalian perusahaan-perusahaan penting, alat-alat produksi, dan aset-aset strategis, yang telah disita oleh Republik ke tangan kapital—adalah tindakan yang akibatkan kemerdekaan Indonesia tinggal 10%.

Masa yang disebut Tan Malaka Musim Runtuh Berdiplomasi itu (sejak perundingan Belanda dimulai) berbeda drastis dibandingkan yang disebutnya sebagai Masa Jaya Berjuang. Musim Jaya Berjuang adalah saat dimana rakyat Indonesia membela proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mengambil inisiatif membentuk kelompok-kelompok bersenjata lalu merebut berbagai persenjataan, bangunan, dan berbagai aset lainnya serta melawan imperialisme. Musim inilah yang menurut Tan Malaka harus dikembalikan melalui massa aksi dengan dipandu Gerpolek.

Melalui Gerpolek, Tan Malaka merumuskan konsep perorangan yang dibutuhkan dalam revolusi Indonesia adalah sosok pejuang gerilya (yang disebutnya sebagai sang gerilya) mencakup laki-laki maupun perempuan berapapun usianya yang membela Proklamasi dan kemerdekaan 100% dan di sisi lain: “…menghancurkan siapa saja yang memusuhi Proklamasi serta Kemerdekaan 100%.” Dengan ini Tan Malaka mencamkan bahwa secara tak terelakkan jalan menuju kemerdekaan RI sepenuhnya harus menempuh peperangan sebab Belanda sebelumnya menguasai kebun, pabrik, pengangkutan, perbankan, sehingga “Belanda tak akan mau menyerahkan semua kekuasaan dan kedaulatan itu kepada bangsa Indonesia, tanpa perkelahian.” Belanda mengobarkan perang penindasan untuk menjajah kembali dan Indonesia harus mengobarkan perang kemerdekaan untuk melawannya.

Terkait ini, setelah memaparkan berbagai jenis peperangan, Tan Malaka menjelaskan bahwa revolusi Indonesia termasuk perang kemerdekaan tapi tidak bisa dibatasi hanya merebut kedaulatan politik saja. “Revolusi Indonesia, bukanlah Revolusi Nasional semata-mata, seperti diciptakan beberapa gelintir orang Indonesia, yang maksudnya cuma membela atau merebut kursi buat dirinya saja, dan bersiap sedia menyerahkan semua sumber pencaharian yang terpenting kepada semuanya bangsa asing, baik musuh atau sahabat. Revolusi Indonesia mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial. … Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkusi dengan revolusi-nasional saja. Perang kemerdekaan Indonesia harus di-isi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus….Baru kalau di samping kekuasaan politik 100% berada lebih kurang 60% kekuasan atas ekonomi modern di tangan Murba Indonesia, barulah revolusi-nasional itu ada artinya. Barulah ada jaminan hidup bagi murba Indonesia.”

Tan Malaka juga menegaskan bahwa pendekatan prioritas diplomasi demi memperoleh pengakuan internasional sehingga rela mengompromikan dan menyerahkan banyak hal malah justru harus ditinggalkan sejak Imperialis Belanda melancarkan agresi militernya. Ia menjelaskan, “menurut Hukum International pula, sesuatu Negara yang diserang oleh Negara lain berhak membela dirinya dengan senjata dan berhak pula MENYITA Harta-Benda si PENYERANG itu. Jadi penyerang Belanda terhadap Republik Indonesia itu sebenarnya memberi kesempatan bagus kepada bangsa Indonesia untuk MENYITA (artinya: memiliki tanpa mengganti kerugian hak-milik Belanda) yang sesungguhnya adalah hasilnya TANAH dan TENAGA MURBA INDONESIA setelah 350 tahun.”

Ini bukan berarti menolak mentah-mentah segala bentuk diplomasi atau perundingan. Sebaliknya Tan Malaka menegaskan bahwa diplomasi hanya bisa dilakukan dengan syarat pengakuan kemerdekaan 100%. Dengan kata lain perundingan bukan untuk tawar menawar seberapa banyak kekuasaan politik dan ekonomi bisa dibagi-bagi antara penjajah dengan kaum terjajah, melainkan lebih ke soal pemrosesan tahanan, perlindungan-pemulangan bagi warga sipil kedua bangsa, dan semacamnya. Ini dikontraskan dengan model diplomasi imperialistis Belanda yang menawarkan perjanjian untuk mempreteli kedaulatan Indonesia dan menyodorkan gencatan senjata untuk memberi jeda-kesempatan bagi Imperialis membangun kekuatan dan memobilisasi pasukannya untuk kemudian melancarkan perang lagi, mencoba menjajah kembali.

Gerpolek merangkum dua soal terpenting dalam perang, termasuk perang pembebasan nasional, adalah soal membela dan soal menyerang. Soal pertama adalah upaya untuk melindungi diri dari musuh dengan menyerang sampai lumpuh, menyerah atau musnah sama sekali, ketika melindungi diri. Sementara yang kedua adalah upaya penghancuran total kekuatan musuh dengan sedikit kerugian di pihak penyerang. Soal membela, pertama-tama harus mempertimbangkan tempat berlindung dan benteng yang kuat dan dapat memberi pukulan hebat kepada musuh. Tetapi soal membela diri bukan berarti diam menunggu musuh. Sebab pembelaan diri yang baik adalah dengan menyerang musuh. Sementara sebaliknya, penyerangan yang baik harus juga mempertimbangkan pembelaan diri. Tindakan ceroboh menyerang tanpa melindungi diri, adalah bunuh diri. Maka hubungan membela dan menyerang tidak dapat dipisahkan dalam medan perang. Keduanya saling terkait dan saling membutuhkan. Di sinilah Tan Malaka menerapkan dialektika dalam soal peperangan.

Selanjutnya, Tan Malaka memaparkan anasir-anasir perang dan syarat-syarat-syarat perang yang tetap. Anasir perang adalah soal keadaan bumi, teknik persenjataan, keadaan prajurit, dan tempo. Keempat anasir ini bukan hanya menentukan strategi dan taktik perang, tetapi juga waktu serta jenis perang. Perang gerilya atau perang terbuka, dari mana harus memukul, kapan waktu yang tepat untuk menyerang atau bertahan, dan sebagainya, ditentukan keempat anasir ini. Perhitungan akurat atas empat soal ini, adalah kunci bagi kemenangan terakhir. Sementara syarat-syarat perang yang tetap adalah tingginya nilai siasat perang, penyerangan sebagai pukulan bagi kemenangan terakhir, seluk-beluk pembelaan dan penyerangan, cara memusatkan tentara, cara menentukan pusat yang baik, membedakan siasat perang dengan politik, dan tekad mau menang.

Demi itu, maka dua syarat yang penting untuk dijunjung tinggi revolusi Indonesia, adalah pendirian Pemerintah Rakyat dan Tentara Rakyat (sebagaimana diacu juga di Program Minimum dari Persatuan Perjuangan) serta Perang Rakyat. Lewat Gerpolek, Tan Malaka menyatakan, “Perang Kemerdekaan Indonesia baru berhasil, kalau sehabisnya Perang juga (bukan kelak dikemudian hari) 100 % para pemimpin Negara langsung dipilih dan bisa diberhentikan oleh Rakyat Indonesia. Dan kalau di samping Pemerintah yang 100 % Indonesia itu SEKURANGNYA 60 % kebun, pabrik, tambang, pengangkutan, Bank, dll DIMILIKI, DIKUASAI, DIURUS dan DIKERJAKAN oleh Negara dan Murba Indonesia. Ringkasnya Kemerdekaan Rakyat Indonesia baru TERJAMIN kalau Kemerdekaan POLITIK ada 100 % berada di tangan Rakyat Indonesia. Dan kalau Hak milik serta Kekuasaan atas EKONOMI modern sekurangnya 60 % berada di tangan Rakyat Indonesia pula. Bukan NANTI, melainkan SEKARANG juga! Ini berarti bahwa tak seorang pun anggota tentara atau polisi Belanda boleh tinggal di bagian mana saja di Indonesia! Ini pula berarti, bahwa semua harta benda MUSUH harus DISITA, di-beslag DIAMBIL-OVER, TANPA DIGANTI KERUGIAN.”

Soal Tentara Rakyat, Tan Malaka, menjelaskan, “Tentara yang menjadi idaman kita, ialah Tentara Rakyat. Tentara Rakyat, ialah Tentara yang terdiri dari Rakyat, yang berjuang untuk kepentingan dan cita-cita Rakyat. Dalam masa revolusi, maka kewajiban Tentara Rakyat ialah revolusi itu. Tentara Rakyat, adalah Tentara Revolusioner, yaitu Tentara yang berpolitik revolusioner, latihan, persenjataan, organisasi administrasi dan siasat-perang Tentara-Rakyat diselenggarakan oleh Pemerintah Rakyat pula.” Terkait ini Tan Malaka di satu sisi menolak percekcokan politik parlementarisme ke tentara tapi di sisi lain juga menegaskan bahwa kekuatan bersenjata tidak boleh apatis politik dan tidak boleh menjadi entitas politik sendiri. Lewat Gerpolek, Tan Malaka menegaskan kekuatan bersenjata haruslah berpaham ideologi politik revolusioner anti-imperialisme. “Bangsa atau Kelas Berjuang itu, yang bersenjata serba sederhana itu, justru harus mempunyai tentara yang berpaham berideologi, yang berkeyakinan politik, paham, ideologi dan politik kebangsaan atau politik keproletaran itulah senjata Tentara Kemerdekaan yang Nomor Satu!” jelas Tan Malaka, “SANG GERILYA yang berpolitik jelas-tegas itu berkewajiban berusaha sekeras-kerasnya mempengaruhi paham pasukannya, serta Rakyat di sekitarnya sambil berusaha mendapatkan semua kebutuhan hidup dan pertempuran bagi pasukannya. Pasukan dan Rakyat berjuang buat kemerdekaan itu harus mengerti dan setuju dengan isi kemerdekaan itu!” Ini semua dilakukan dengan konteks badan keprajuritan bekerja sama dengan badan politik dan badan ekonomi namun tetap pengawasan politik ideologis mengawasi dan membimbing badan keprajuritan. Dalam hal ini konsep Tan Malaka sama dengan Biro Perjuangan dan Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) dari Amir Sjarifuddin.

Tan Malaka juga menolak pembubaran laskar dan pengecilan militer reguler serta justru menegaskan perlunya kombinasi pasukan pelopor dengan laskar-laskar. Gerpolek menegaskan keberadaan Tentara Rakyat dan Laskar Rakyat bukan hanya perlu dipertahankan namun juga bekerja sama. Laskar bisa dibentuk berdasarkan sektor seperti laskar buruh dan laskar tani maupun berdasarkan paham sepanjang semuanya menganut politik kemerdekaan 100%. Gerpolek mengemukakan, “Dalam pertempuran yang dilakukan di dalam Daerah Republik, maka Laskar Gerilya seharusnya dan sedapatnya kerja sama dengan pimpinan Tentara Republik yang berjuang, laskar Gerilya membantu Tentara Resmi di semua tempat yang ditunjukkan oleh Tentara resmi revolusioner. Dalam hal ini, maka laskar gerilya melakukan pekerjaan di sayap kiri atau sayap kanan musuh atau di belakang frontnya musuh itu.”

Oleh karena itu Gerpolek menjelaskan hukum menyerang harus dengan kodrat terpusat, dengan cepat dan dengan sekonyong-konyong memecahkan gelang atau mata rantai pertahanan musuh yang bersifat vital. Agar ketika berhasil dihancurkan maka terpecah belahlah organisasi musuh, kacau balau, dan akhirnya hancur. Ini diperoleh bukan hanya dengan utamanya kombinasi serangan Tentara Rakyat dan Laskar Rakyat dari dalam wilayah RI. Tapi juga dengan bantuan laskar terpendam, pasukan bumi hangus, dan kelompok-kelompok sabotase yang bekerja di wilayah pendudukan.

Oleh karena itu perang melawan Belanda bukan hanya berlangsung di lapangan militer saja melainkan juga harus dikobarkan di lapangan ekonomi. Ini jauh hari sudah disadari Imperialis Belanda, bahkan Belanda juga jauh hari sudah melancarkan perang ekonomi terhadap RI. Gerpolek memaparkan Imperialisme Belanda memblokade perdagangan RI dengan menyita kargo atau menembakinya, sedangkan di wilayah yang sudah didudukinya Belanda kembali menjalankan roda kapitalisme: eksploitasi sumber daya dan buruh, perdagangan komoditas, dan akumulasi laba yang kemudian digunakannya untuk membiayai perang. Oleh karena itu Gerpolek memandatkan perang ekonomi harus dilancarkan balik. Tan Malaka meringkas, “Mengambil Sikap dan Tindakan dalam Ekonomi (yaitu dalam produksi, distribusi dan lain-lain) yang bersifat merugikan perekonomian Belanda. Mengambil Sikap dan Tindakan dalam ekonomi yang bersifat menguntungkan Rakyat yang ber-revolusi.” Buruh dan tani harus dilibatkan dalam produksi, perusahaan-perusahaan rakyat harus didirikan, koperasi-koperasi harus dibentuk untuk gotong royong rakyat sekaligus penuhi kepentingan gerilya, sementara itu terhadap alat-alat produksi Belanda perlu dilakukan boikot kerja dan boikot beli, serta bilamana dimungkinkan: sabotase kerja.

Tak luput pula, dalam Gerpolek, Tan Malaka menganalisis United Nation Organization (UNO) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan kontradiksi-kontradiksi di dunia yang bisa merembet. Tan Malaka memetakannya ke lima kontradiksi: pertentangan antara negara-negara yang punya jajahan dengan yang tak punya jajahan, pertentangan antar negara Imperialis, pertentangan antara negara penjajah dengan negeri terjajah, pertentangan antara kubu negara-negara sosialis dengan kubu negara-negara kapitalis, pertentangan antara buruh dengan kapitalis, dan pertentangan umum antara kaum penindas dengan kaum tertindas. Lalu dalam hubungannya dengan revolusi Indonesia Tan Malaka menyimpulkan perlunya memblejeti semua kejahatan Belanda di panggung internasional, menetralisir negara-negara Sekutu di luar Belanda agar setidaknya tidak ikut (membantu) Belanda memerangi Indonesia (bahkan menawarkan bisa membeli komoditas langsung dari Indonesia tanpa melalui Belanda), dan menggalang solidaritas dan simpati secara timbal balik antar negeri-negeri jajahan/sedang berjuang merdeka, negeri-negeri Asia-Afrika, mengapresiasi sekaligus memelihara dukungan-dukungan diplomatis dari Soviet Ukraina dan Soviet Rusia, serta mengapresiasi dan mendorong solidaritas dari kaum buruh dan kaum tertindas sedunia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Ditulis oleh Sharon Muller, Kader Perserikatan Sosialis.
Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 196, I-II Mei 2025, dengan judul yang sama.

Loading

Comment here