Gerilya, Politik, Ekonomi atau Gerpolek adalah karya yang ditulis oleh Tan Malaka sewaktu meringuk di Penjara Madiun tahun 1948. Karya ini ditulis untuk merespon situasi ekonomi-politik Indonesia pasca kemerdekaan yang merosot turun dan mengancam Indonesia Merdeka yang baru saja diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Dalam kata pengantarnya, Gerpolek dibuka dengan “sudah kepinggir kita terdesak! Sampailah konon sisa-ruangan yang tinggal bagi kita dalam hal politik, ekonomi, keuangan, dan kemiliteran. Inilah hasilnya lebih dari pada dua tahun berunding!”
Menurut Tan Malaka perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik dengan Belanda telah mengantar Indonesia kembali kepada tindasan imperialisme. Kesepakatan membagi Indonesia menjadi beberapa negara kecil, reorganisasi dan rationalisasi militer, ganti rugi kepada Belanda, kembalinya beberapa perusahan penting yang telah disita oleh Republik kepada Belanda, dsb, dsb—adalah tindakan yang mengurangi Indonesia merdeka 100% itu.
Bab pertama Gerpolek membagi iklim politik Indonesia menjadi dua musim yaitu, Musim Jaya Berjuang dan Musim Runtuh Berdiplomasi. Musim yang pertama berlangsung sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga penangkapan para Pemimpin Persatuan Perjuangan yang menolak kompromi dengan Belanda dalam bentuk apapun. Sementara musim kedua, berlangsung sejak perundingan-perundingan dengan Belanda dimulai hingga 1948.
Musim Jaya Berjuang adalah saat dimana rakyat Indonesia (Kaum Murba) merebut dan membela Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan aksi massa atau massa aksi yang memukul imperialisme Belanda hingga jantung pertahanan paling akhir. Sementara Musim Berdiplomasi adalah musim dimana massa aksi atau aksi massa ditinggalkan lalu diganti diplomasi mengemis-ketakutan ala Kabinet Amir Sjarifudin.
Musim yang pertama membawa Indonesia merdeka 100% dalam segala bidang. Sementara musim yang kedua membawa kemerdekaan Indonesia turun menjadi 10%. Atas dasar kenyataan ini maka proklamasi Indonesia merdeka yang 100% itu harus dibela dan dikembalikan melalui cara yang benar yaitu massa aksi atau aksi massa. Inilah mengapa Gerpolek ditulis.
“Gerpolek adalah” tulis Tan Malaka “senjata seorang Sang Gerilya buat membela Proklamasi 17 Agustus dan melaksanakan kemerdekaan 100% yang sekarang sudah merosot ke bawah 10%.” Atau dengan kata lain, Gerpolek adalah program aksi yang diluncurkan untuk memandu kaum murba Indonesia dalam rangka membela dan merebut kembali Indonesia Merdeka 100% yang sekarang dilucuti oleh imperialis Belanda melalui berbagai perundingan.
“Sang gerilya, adalah seorang putera/I, seorang pemuda/I, seorang murba/I Indonesia yang taat-setia kepada Proklamasi dan Kemerdekaan 100% dengan menghancurkan siapa saja yang memusuhi Proklamasi serta Kemerdekaan 100%.”
Gerpolek adalah buku tentang ilmu perang. Di dalamnya diuraikan berbagai jenis perang, strategi-taktik perang, hukum perang, syarat-syarat perang, dan perang gerilya. Tetapi perang yang dimaksudkan Gerpolek bukan perang untuk menindas bangsa lain seperti imperialis Belanda, tapi perang yang dimaksudkan adalah untuk membela dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tindasan asing.
Indonesia merdeka bukan hanya di lapangan politik, tetapi juga harus di lapangan ekonomi. Sebab kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi adalah tidak berguna bagi rakyat banyak.
“Revolusi Indonesia, bukanlah Revolusi Nasional semata-mata, seperti diciptakan beberapa gelintir orang Indonesia, yang maksudnya cuma membela atau merebut kursi buat dirinya saja, dan bersiap sedia menyerahkan semua sumber pencaharian yang terpenting kepada semuanya bangsa asing, baik musuh atau sahabat. Revolusi Indonesia mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial. … Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkusi dengan revolusi-nasional saja. Perang kemerdekaan Indonesia harus di-isi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus.
Baru kalau disamping kekuasaan politik 100% berada lebih kurang 60% kekuasan atas ekonomi modern di tangan Murba Indonesia, barulah revolusi-nasional itu ada artinya. Barulah ada jaminan hidup bagi murba Indonesia.”
Dalam perang apa saja, termasuk perang untuk melawan tindasan bangsa asing, maka hanya ada dua soal yang penting yaitu soal membela dan soal menyerang. Soal pertama adalah upaya untuk melindungi diri dari musuh dengan menyerang sampai lumpuh, menyerah atau musnah sama sekali, ketika melindungi diri. Sementara yang kedua adalah upaya penghancuran total kekuatan musuh dengan sedikit kerugian di pihak penyerang.
Soal membela, pertama-tama harus mempertimbangkan tempat berlindung dan benteng yang kuat dan dapat memberi pukulan hebat kepada musuh. Tetapi soal membela diri bukan berarti diam menunggu musuh. Namun pembelaan diri yang baik adalah dengan menyerang musuh. Penyerangan dengan tujuan pembelaan diri, maka tujuan pokok adalah hanya untuk membela diri.
Sementara sebaliknya, penyerangan yang baik harus juga mempertimbangakan pembelaan diri. Tindakan ceroboh menyerang tanpa melindungi diri, adalah bunuh diri. Maka hubungan membela dan menyerang tidak dapat dipisahkan dalam medan perang. Keduanya saling terkait dan saling membutuhkan.
Selanjtunya, dalam perang ada juga anasir perang dan syarat-syarat-syarat perang yang tetap. Anasir perang adalah soal keadaan bumi, teknik persenjataan, keadaan prajurit, dan tempo. Kempat anasir ini bukan hanya menetukan strategi dan taktik perang, tetapi juga waktu serta jenis perang. Perang gerilya atau perang terbuka, dari mana harus memukul, kapan waktu yang tepat untuk menyerang atau bertahan, dsb-dsb, adalah ditentukan oleh keempat anasir ini. Perhitungan akurat atas empat soal ini, adalah kunci bagi kemenangan terakhir.
Sementara syarat-syarat perang yang tetap adalah tingginya nilai siasat perang, penyerangan sebagai pukulan bagi kemenangan terakhir, seluk-beluk pembelaan dan penyerangan, cara memusatkan tentara, cara menentukan pusat yang baik, membedakan siasat perang dengan politik, dan tekad mau menang.
Perang adalah kelancaran politik. Maka berbeda dengan negara yang telah merdeka, suatu bangsa yang sedang berevolusi prajuritnya harus berpolitik, harus berideologi. Sebab inilah otak-jantung dan keyakinan-tekad bagi suatu pasukan prajurit revolusioner. Prajurit dan rakyat yang berjuang haruslah mengerti dan setuju dengan apa yang sedang ia diperjuangkan. Karena hanya dengan itu, nilai dan tekad mau berjuang terus membara dalam dirinya.
Sebaliknya, negara merdeka haruslah memisahkan urusan militer dan politik. “Tentara itu tiada berpolitik!” Tentara tidak boleh terlibat dalam politik atau urusan sipil. “Tak usahlah tentara itu memikirkan politik negaranya. Serahkan sajalah urusan itu kepada para ahli politik.”
Sebab menurut Tan Malaka negara yang didirikan atas kekuatan militer akan membawa mundur suatu bangsa sebab menguatnya militer berarti berkurangan kebebasan sipil. “Pemerintah yang berpihak kepada militer adalah langkah mundur menuju ketertindasan, yang akan membawa bangsa ini kembali pada zaman penjajahan.”
Seperti udara bagi paru-paru, demikianlah tekad mau menang adalah syarat mutlak bagi seorang prajurit revolusioner. “Seorang prajurit yang tiada mempunyai tekad semacam itu, tiadalah pula mempunyai banyak harapan akan menang. Dia akan mudah diombang-ambingkan oleh kesulitan atau kekalahan sementara.” Sementara prajurit yang mempunyai tekad mau menang, akan mempunyai motivasi perang berkali-kali lipat sampai kemerdekaan terpenuhi.
Dalam hukum menyerang, hanya ada satu hukum yaitu: dengan kodrat tepusat, dengan cepat dan dengan sekonyong-konyong memecahkan gelang rantai pertahanan musuh yang lemah dengan maksud memecah-belahkan hubungan organisasinya dan akhirnya menghancurkan musuh.
Ini artinya kekuatan harus dipusatkan sebelum menyerang, dan dalam penyerangan harus diarahkan kepada gelang rantai yang paling lemah dengan cepat dan tiba-tiba. Namun “gelang rantai” yang dimaksud bukanlah yang di pinggiran, tapi satu pusat yang menjadi urat nadi yang memperhubungkan kekuatan musuh satu dengan lainnya. Kekuatan harus dipusatkan ke sini, dan dengan pukulan yang menentukan, musuh akan kacau balau dan akhirnya kalah.
Dalam melaksakan hukum menyerang, satu hal utama yang harus diperhatikan adalah hukum gerak cepat. Hukum ini berlaku dalam perang yang bergerak, sementara dalam perang menghadapi benteng, hukum ini tidak berlaku. Perang rakyat Indonesia melawan imperialis Belanda adalah perang bergerak, maka hukum gerak cepat harus diperhatikan.
Hukum ini mensyaratkan kemajuan alat-alat teknologi yang bukan hanya membantu prajurit bergerak cepat, tetapi juga mampu berputar secepat mungkin dan mempunyai tembakan yang bagus. Salah satu saja dari syarat ini tidak terpenuhi, maka percumalah alat-alat itu.
Alat yang bergerak cepat, tapi tidak mampu berputar cepat, maka mudah dihancurkan musuh. Begitupun alat yang cepat dan bisa berputar, tapi tidak mempunyai tembakan bagus, maka percumalah alat itu. Begitupun selanjutnya yang mempunyai tembakan dan berputar bagus, tapi tidak cepat, maka mudah dihancurkan oleh musuh. Demikianlah pentingnya ketiga syarat ini.
Perang yang dilancarkan oleh rakyat Indonesia adalah terpaksa karena musuh yang memulai serangan lebih dulu. Yaitu suatu upaya untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dari upaya tindasan bangsa asing. Maka perang ini dimaksudkan bukan hanya untuk menukar kursi dari Eropa ke Indonesia, mengganti pemerintahan dari kulit putih ke kulit berwarna, tetapi perang untuk merebut dan mepertahankan hak milik bangsa Indonesia demi satu cita-cita mulia yaitu merdeka 100% dalam politik, ekonomi, dan budaya.
Maka cocok dengan perang ini, penyitaan atau pengambil-alihan semua milik asing (yang sebenarnya milik bangsa Indonesia itu!) adalah mutlak 100%. Semua milik Belanda adalah hasil rampasan dari bangsa Indonesia selama 350 tahun, maka sudah saatnya rakyat Indonesia mengambil itu kembali.
Rakyat harus berperang! Karena ditinjau dari penguasaan wilayah perang, gelora jiwa atau tekad, moral, makanan dan minuman, bangsa Indonesia lebih unggul dari Belanda. Walau Belanda mempunyai keunggulan dalam senjata, tetapi jarak yang jauh antara Indonesia dan Belanda, perbedaan moral prajurit, jumlah penduduk, penguasaan wilayah, dll telah memberi bangsa Indonesia suatu keunggulan dibandingkan Belanda.
Tetapi, perang jenis apa yang cocok bagi Murba Indonesia? Ditinjau dari aspek-aspek di atas, maka perang yang cocok adalah perang gerilya. Siasat yang dilakukan adalah perang maju-mundur, gerak cepat, dan sekonyong-konyong. Dasar dari perang gerilya adalah maju untuk menghancurkan musuh dan mundur supaya jangan dihancurkan musuh.
Taktik utama adalah lakukan serangan pura-pura, jangan bertempur di lapangan terbuka, mundur kalau diserang pasukan yang kuat, kepung dan hancurkan musuh yang kecil, pancing musuh ke dalam perangkap, terkam musuh dengan sekonyong-konyong, pusatkan tenaga ke urat nadi musuh, samberlah cepat-hebat seperti petir, dan menghilangkan dengan cepat tanpa kelihatan seperti topan.
Sementara dalam politik diplomatik, tidak boleh ada perundingan apapun kecuali dalam kerangka pengakuan 100% bagi bangsa Indonesia. “Kami mau berunding dengan Belanda, sesudahnya Kemerdekaan Indonesia diakui. Sebagai akibatnya pengakuan itu, maka tentara Belanda harus meninggalkan Pantai dan Lautan Indonesia. Jika tidak, maka Belanda boleh dianggap sebagai musuh. Dan memang hak milik musuh wajib disita. Ini adalah cocok dengan Hukum Perang dan Hukum Internasional.”
Di bidang ekonomi, untuk melaksanakan kemerdekaan 100%, maka tidak cukup ekonomi Indonesia diatur dan dikuasai oleh segelintir orang. Tetapi semuanya harus dikuasai dan diatur oleh rakyat Indonesia melalui suatu sistem yang terencana dan demokratis. Namun sebelum itu, dalam perang melawan Belanda rakyat Indonesia harus memberi pukulan juga dalam lapangan ekonomi.
Pukulan mencakup boikot semua aktivitas produksi Belanda, dan mengambil sikap yang menguntungkan produksi Indonesia. Yang pertama mencakup mogok kerja dan sabotase, sementara yang kedua mencakup pendirian koperasi-koperasi rakyat yang membantu perekonomian rakyat. Segera setelah Belanda angkat kaki, maka semua produksi diatur menurut rencana sosialis oleh dewan-dewan buruh dan rakyat pekerja.
Gerpolek ditutup dengan UNO yaitu ringkasan umum tentang hukum-hukum internasional yang mengatur perang dan perdamaian. Dari uraian Tan Malaka jelaslah bahwa ditimbang dari semua aspek, rakyat Indonesia sebenarnya berada di atas “angin”. Namun sikap lembek dari para pemimpin, membuat kemerdekaan Indonesia sekarang terancam. Maka untuk melaksanakan semua ini, dibutuhkan suatu kepemimpinan revolusioner yang bisa mengenjawantahkan realitas kongkrit dalam suatu panduan umum untuk memandu rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sekali lagi, inilah arti pentingya Gerpolek.
Ditulis oleh Sharon Muller, Kader Perserikatan Sosialis.
Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 196, I-II Mei 2025, dengan judul yang sama.
Comment here