Sejarah

Pemberontakan PKI 1926-1927

Pasca-perang Dunia I pecah krisis kapitalisme. Di Eropa ini memicu perlawanan  berupa gelombang revolusi dan perlawanan rakyat dari tahun 1917 hingga 1923. Depresi ekonomi tahun 1920-1921 turut merembet ke Hindia Belanda. PKI memimpin sejumlah pemogokan besar. Seperti pemogokan buruh pegadaian tahun 1922 dan pemogokan buruh perkeretaapian tahun 1923. Sayangnya pemogokan ini gagal. Kemampuan Hindia Belanda memulihkan ekonomi beriringan dengan pemulihan kapitalisme dari krisis. Gelombang balik reaksioner berupa represi, intimidasi, dan pemberangusan demokrasi dilancarkan pemerintahan koloni. Perkampungan buruh disisir, para aktivis—terutama kader PKI ditangkapi. Para pimpinan PKI seperti Sneevliet, Semaun, Bergsma, dan Tan Malaka terasingkan ke luar negeri.

Dalam situasi kondisi begini sayangnya metode sentralisme demokrasi justru ditanggalkan. PKI memutuskan tiap cabang bisa bergerak sendiri tanpa konsolidasi asalkan sesuai dengan AD-ART PKI dan sesuai peraturan. Pertengahan 1925 muncul kembali pemogokan-pemogokan yang skalanya lebih kecil dan kembali gagal. Ini dimanfaatkan rezim kolonial untuk menghabisi PKI dan Sarekat Rakjat yang dipengaruhinya. Dilancarkanlah provokasi-provokasi rezim, seperti peraturan pelarangan sekolah liar dan turut menutup Sekolah Rakyat-Sekolah Rakyat dan menangkapi para aktivis buruh dan petani. Selain itu Rezim juga menggeledah kantor PKI, Sarekat Rakyat, dan serikat-serikat buruh serta membentuk kelompok premanisme yaitu Sarekat Hedjo. Media revolusioner dilarang. VSTP atau Serikat Buruh Perkeretaapian yang jadi tulang punggung basis massa proletar PKI mengalami kehancuran.

Provokasi itu memicu perlawanan balik namun karena tidak diikuti pengorganisiran yang rapi menimbulkan aksi spontan yang menjadi tak terkendali. Banyak kader PKI ditangkap dan diasingkan. PKI yang semakin terdesak kemudian mengadakan konferensi di Candi Prambanan (Surakarta). Hasilnya: Putusan Prambanan 25 Desember 1925 memandatkan memberontak menggulingkan rezim kolonial Hindia Belanda pada Juni 1926. Pertemuan itu dihadiri oleh anggota Hoofdbestuur (CC) ditambah pimpinan-pimpinan daerah yang dibuka oleh ketua Hoofdbesruur Sardjono. Para pimpinan mengusulkan perlawanan dimulai dengan aksi pemogokan-pemogokan dan dilanjutkan aksi bersenjata. Setelah diputuskan, Comite Pemberontak (CP) pun dibentuk  dengan pusatnya di Bandung.

April 1926, Sardjono, Budisutjitro, Musso, Alimin, Subakat dan anggota Hooffdbestuur lain bertemu di Singapura. Dalam suatu pertemuan Alimin datang menemui Tan Malaka. Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra, tidak menyetujui Putusan Prambanan. Ia menulis Aksi Massa sebagai bantahan teoretis mengenai persoalan perebutan kekuasaan. Internasional Komunis (Komintern) juga menentang itu dan memperingatkan akan bahaya avonturisme. Kader-kader PKI terpecah antara mereka yang mendukung pemberontakan dan yang menentangnya.

Comite Pemberontak yang telah dibentuk sebelumnya, melakukan berbagai persiapan untuk pemberontakan dengan mengumpulkan senjata, uang dan mengadakan pertamuan-pertemuan untuk memobilisasi massa. Kemarahan rakyat atas tindakan kolonial Hindia Belanda semakin memanas sehingga pemberontakan tidak lagi bisa dihindarkan. Pemberontakan mulanya meletus pada 12 November 1926 di Jakarta, dan Banten, kemudian diikuti Priangan, Surakarta, Banyumas Pekalongan, Kediri dan di Jawa lainnya. Selanjutnya tanggal 1 Januari 1927 di Sumatra Barat. Permberontakan dilakukan oleh massa dari berbagai kalangan.

Perlawanan rakyat tersebut terjadi secara sembunyi-sembunyi maupun terbuka seperti serangan bersenjata. Pemberontakan di Jakarta (yang dulu bernama Batavia) mengakibatkan melukai serdadu-serdadu Belanda. Banyak juga terjadi penggropyokan di rumah asisten residen Belanda, diserbu dan dibakar. Di Solo-Yogyakarta hubungan telepon diputus, gedung Tembakau dibakar Namun rencana membongkar rel kereta serta menyerbu pos polisi gagal karena rencananya bocor. Korban yang tidak sedikit datang dari massa rakyat. Di Sumatra Barat, 1 Januari 1927 Pemberontakan terjadi di Sawahlunto dan diikuti di Silukang. Massa bergerak menangkapi alat-alat pemerintah kolonial, memutus jalan-jalan, merebut kantor telepon, menduduki stasiun kereta api dan lain sebagainya. Pemberontakan nasional itu didukung dengan bantuan moral maupun material orang-orang komunis berupa uang, senjata, dan bantuan yang diperlukan.

Pemberontakan 1926-1927 PKI melawan kolonial Belanda gagal karena banyak faktor. Meletusnya pemberontakan yang tidak serentak mengakibatkan pemerintahan kolonial memusatkan kekuatannya untuk menindas gerakan di daerah dengan mengerahkan lima kompi infanteri dan 100 orang marsose dan kaveleri dibawah pimpinana Overste D Engelbonner.

Kegagalan pemberontakan itu berdampak ke pergerakan nasional, banyak buruh maupun aktivis kiri yang ditangkap dan diasingkan ke Digul oleh Kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda merespon pemberontakan itu dengan mengeluarkan pasal-pasal karet agar mudah menjerat orang-orang yang berpotensi melahirkan perlawanan. Sasarannya bukan hanya komunis tapi semua yang dianggap membahayakan rezim.

PKI hancur, babak belur dan orang-orang partai paska pemberontakan 1926/ 27 diburu dan sebagian besar aktivis partai dibuang ke Digul. Kegagalan pemberontakan itu ternyata berbuntut panjang. Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai penyebab kegagalan pemberontakan, dan sejak itu dia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai, atau disebut sebagai Trotsky-nya Indonesia. Apalagi setelahnya pada 1 Juni 1927 Tan Malaka bukannya menyelamatkan PKI malah mendirikan partai baru Partai Republik Indonesia (PARI) dengan program untuk mendirikan uni tandingan di luar Uni Soviet yaitu Proletaris Aslia (Asia-Australia) Republik Internasional.

Pelemahan kekuatan revolusioner besar-besaran akhirnya terjadi pasca-pemberontakan PKI 1926. Diantaranya, 4.500 orang buruh dan aktivis kiri dijebloskan ke penjara, empat hukuman mati, 1.300 dibuang ke Boven Digoel. Sementara Petrus Blumberger, tidak menyebutkan 4.500 buruh dan aktivis kiri, namun akibat dari pemberontakan itu kira-kira 1.300 orang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam berbagai penjara di Nusantara yang luas itu akibat kegiatan komunis mereka. Adapula versi yang mengatakan pada Maret 1928, ada 823 orang yang dikirim ke Digul. 15 orang perempuan dan 10 orang Tionghoa, diantaranya 629 orang Jawa, 77 dari Sumatera dan 33 dari Maluku, diantaranya 383 pegawai rendah, 79 petani, 361 guru, supir dan pegawai kecil.

Lebih lanjut, informasi mengatakan pada Februari 1928 orang di Digul ada sekitar 1.139, terdiri dari 666 internir dan 473 keluarga. W.P. Hillen menyatakan bulan April 1930 penghuni Digul ada sekitar 2.000 orang, termasuk 1.308 interniran. Pembuangan para aktivis serikat buruh dan kaum komunis pergerakan buruh di Hindia belanda semakin melemah. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

Pemberontakan 1926 PKI melawan Hindia Belanda gagal. Kegagalan pemberontakan bisa dinilai diakibatkan bukan hanya karena kesalahan penilaian situasi kondisi kapitalisme yang telah memulihkan diri dari krisisnya, redanya gelombang revolusioner di dunia yang berujung dengan banyaknya kekalahan revolusi-revolusi sosialis dan pemberontakan rakyat di Eropa, dan pulihnya kekuatan rezim kolonial, melainkan juga kurang kuatnya cengkeraman ideologi dan ketepatan organisasional partai, kurangnya kejernihan mengenai persoalan perebutan kekuasaan serta pendirian negara sosialis, sekaligus absennya kepeloporan revolusioner atas persatuan nasional anti-kolonialisme yang berbasiskan kekuatan buruh dan tani.

Secara ideologi, politik, organisasi, Pemberontakan PKI tahun 1926-1927 memang merupakan kekeliruan. Tetapi dari segi moral, ia merupakan hal mulia karena perwujudan perlawanan bersenjata untuk mengusir penjajahan Belanda dengan berlandaskan kekuatan rakyat demi pendirian suatu negara bangsa yang baru dan merdeka. Bukan berdasarkan kepengikutan terhadap para bangsawan untuk memulihkan kerajaan.

Ditulis oleh Lady Andres | Anggota Lingkar Studi Sosialis

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 76 I-II November 2019, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: