Perjuangan

Hari Buruh Sedunia 2025 di Monas: Politik Buruh atau Politik Elit Birokrasi Serikat Buruh?

Hari Buruh Sedunia (May Day) lahir dari bara perlawanan. Ia bukan hadiah belas kasih dari kelas penguasa, melainkan hasil pergulatan panjang kelas buruh internasional yang menuntut hak paling mendasar: 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam untuk hidup sebagai manusia. Tuntutan ini tidak datang dari petisi sopan atau mediasi lembut—ia dibayar mahal, dengan darah di Haymarket, dengan tubuh-tubuh buruh yang meregang nyawa karena menantang perbudakan kerja yang dilembagakan kapitalisme.

Namun lihat bagaimana perjuangan itu dirusak pada May Day 2025, di jantung ibukota negeri ini. Di Monas, panggung perlawanan diubah menjadi panggung kolaborasi kelas. Selain Prabowo Subianto turut hadir juga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Ahmad Muzani, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad, sejumlah Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih, Panglima TNI Jenderal Agus Subianto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dari serikat buruh hadir Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Internasional atau International Trade Union Confederation (ITUC) Shoya Yoshida, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Ely Rosita Silaban, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea, dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal semuanya berlomba menyanyikan nada kompromi, bukan perlawanan.

Bahkan Sekretaris Jenderal ITUC, Shoya Yoshida, dengan lagak khidmat seorang elite birokrat berkata, “Perayaan May Day tahun ini sangat bersejarah karena dihadiri oleh kepala negara.” Pernyataan ini, alih-alih membanggakan, justru menegaskan betapa jauh Mayday telah dibelokkan dari akar revolusionernya.

Lalu Said Iqbal, ketua Partai Buruh sekaligus presiden KSPI, berdiri layaknya juru kampanye partai borjuis menyatakan, “90 persen buruh Indonesia mendukung Pak Prabowo, berada di barisan Pak Prabowo, dan akan berjuang bersama Pak Prabowo!” Maka tuntaslah penghinaan itu. Terjadi di siang bolong, di tengah massa buruh yang dijadikan latar panggung pengkhianatan—terang-terangan, tanpa malu.

Ini bukan sekadar kebohongan. Ini adalah penyesatan kelas. Mayday, yang tumbuh dari darah dan amarah buruh internasional, kini dijadikan arena penyembahan terhadap Prabowo, seorang jenderal tua yang mewarisi tradisi militerisme Orde Baru. Tak ada tuntutan nyata, tak ada ancaman bagi penguasa, tak ada lagu perjuangan. Hanya ada seremoni palsu, festival penjilatan, dan orasi kosong yang menjinakkan semangat perlawanan.

Bahkan lagu Internasionale pun digunakan. Memang Internasionale versi Ki Hadjar Dewantara cenderung jinak —sebuah adaptasi moralistis yang menghapus antagonisme serta semangat Komune Paris. Padahal, versi asli Eugène Pottier yang ditulis pada 1871—di tengah reruntuhan dan darah Komune Paris—adalah manifesto perjuangan kelas buruh. Ia menyatakan dengan jelas: “Il n’est pas de sauveurs suprêmes: Ni Dieu, ni César, ni tribun. Travailleurs, sauvons-nous nous-mêmes!” (Tak ada penyelamat tertinggi: tidak Tuhan, tidak Kaisar, tidak elite politisi. Buruh, selamatkan diri sendiri!)

Dan yang paling ditakuti oleh setiap kekuasaan militeris—bait yang menyerukan mogok militer, pembangkangan barisan, dan peluru untuk para jenderal: “Appliquons la grève aux armées. Crosse en l’air et rompons les rangs! S’ils s’obstinent, ces cannibales, À faire de nous des héros, Ils sauront bientôt que nos balles, Sont pour nos propres généraux!” (Lakukan mogok di barak-barak militer. Angkat senapan, bubarkan barisan! Jika para kanibal itu bersikeras, Menjadikan kita pahlawan, Mereka akan segera tahu, Peluru kita untuk para jenderal!) Inilah Internasionale sejati—jelas bukan untuk dinyanyikan bersama eks-Danjen Kopassus yang memimpin penculikan dan pembantaian. Ia ditulis oleh, dan untuk, kaum buruh yang menolak ditundukkan oleh kekuasaan semacam Prabowo.

Sebagai upah dari pengkhianatan itu, Said Iqbal dan gerombolan elite serikat lainnya diganjar tempat dalam pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN), forum kosmetik yang akan dihuni elite serikat, pejabat negara, dan akademisi pesanan. Tanpa wewenang legislatif maupun eksekutif, DKBN hanyalah panggung boneka untuk memoles citra negara yang “mendengar buruh”, tanpa benar-benar mewakili atau memperjuangkan mereka.

Dan siapakah yang diajak bicara? Bukan buruh kontrak harian, bukan buruh pabrik outsourcing, bukan buruh perempuan yang dipecat saat hamil, bukan pekerja informal yang bahkan tak tercatat dalam statistik negara. Siapa yang bersuara hanyalah elite yang duduk nyaman, bersalaman dengan pejabat, menjual nama buruh sebagai komoditas dalam meja tawar-menawar. Dan Said Iqbal, beserta gerombolan elite serikat yang senapas dengannya, adalah beberapa di antaranya—para oportunis yang memanfaatkan massa buruh demi karier politiknya sendiri.

Tak cukup di situ, Prabowo juga menjanjikan pembentukan Satgas PHK atas usulan Said Iqbal, seolah ini adalah bentuk kepedulian terhadap nasib buruh yang terus-menerus dihantam gelombang pemutusan kerja. Tapi mari ajukan pertanyaan: Satgas macam apa yang dibentuk oleh negara kapitalis-militeris yang justru menjadi biang keladi PHK massal? Apakah Satgas ini akan menyelidiki perusahaan-perusahaan milik Prabowo sendiri yang sarat sejarah penindasan?

Lihat rekam jejaknya: Di PT Kiani Lestari, perusahaan kayu milik Prabowo di Kutai Timur, tahun 2012, ratusan buruh dipaksa mengundurkan diri dengan janji pembayaran gaji lima bulan yang tertunggak. Tapi begitu buruh tunduk dan menandatangani surat pengunduran diri, janji itu menguap. Dan yang tersisa hanyalah penipuan dan kelaparan.

Lalu di PT Kertas Nusantara, perusahaan kertas yang juga dikendalikan Prabowo, digunakan taktik yang sama: ancaman mutasi ke daerah terpencil, rayuan kompensasi, janji palsu soal Jamsostek dan uang penghargaan. Tapi lagi-lagi, setelah buruh menyerah, yang datang bukan uang, melainkan kesengsaraan.

Satgas PHK ini tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah struktural. Ia adalah instrumen depolitisasi. Ia adalah pipa pembuangan bagi kemarahan buruh—agar energi perlawanan dialihkan menjadi prosedur administrasi. Agar buruh percaya pada rapat, bukan mogok. Agar buruh menunggu “keputusan Satgas”, bukan mengorganisir kekuatan kolektifnya sendiri.

Dan siapa yang duduk di dalamnya? Bukan buruh akar rumput. Bukan serikat-serikat militan. Lagi-lagi, elite birokrasi serikat semacam Said Iqbal beserta konco-konconya—birokrat culas yang selalu menjual nama buruh demi posisi politik, demi karier politik yang dinegosiasikan bersama borjuasi.

Kita tak butuh Satgas. Kita butuh konsolidasi basis-basis massa buruh. Kita butuh geruduk pabrik. Kita butuh mogok nasional. PHK bukanlah kecelakaan. Ia adalah produk sistem kerja brutal Omnibus Law—paket hukum neoliberal yang disahkan secara licik pada 2020, dengan dukungan penuh dari seluruh partai borjuis, termasuk Gerindra-nya Prabowo.

Dan Prabowo bukan satu-satunya di pesta perusakan Mayday itu. Di antara jajaran kursi di atas panggung, muncul pula wajah-wajah elite politik lain: Puan Maharani dan Rieke Dyah Pitaloka dari PDIP ikut ambil bagian. Terutama Puan—ia bukan sekadar politisi biasa, melainkan Ketua DPR yang bersikeras untuk segera mengetok palu pengesahan Omnibus Law pada 2020, paket hukum yang melegalkan perbudakan kaum buruh.

Rieke pun tak lebih dari wajah “pro-buruh” palsu peliharaan PDIP untuk membungkus citra partai borjuis dengan sentimen kerakyatan. Ia tak pernah secara terbuka menentang partainya sendiri yang jadi motor utama legislasi anti-buruh. Kehadiran mereka dalam Mayday 2025 bukanlah solidaritas, melainkan penghinaan terhadap jutaan buruh yang dikorbankan demi kepentingan modal.

Maka apa yang disajikan di Monas bukanlah politik kelas buruh, melainkan politik populisme borjuis, di mana elite dari berbagai partai berbagi panggung bersama elite-elite birokrat serikat untuk memoles citra mereka yang penuh penindasan buruh. Tak ada garis pemisah antara Prabowo dan Puan, antara Gerindra dan PDIP, bahkan antara borjuis dan elite-elite serikat oportunis itu, ketika menyangkut soal menjinakkan buruh agar patuh dan tunduk.

Lebih jauh, Prabowo bahkan menjanjikan pengangkatan Marsinah—buruh perempuan yang dibunuh karena memperjuangkan hak normatif—sebagai pahlawan. Tapi janji ini tak lebih dari manuver pencitraan murahan, sebab di saat yang sama, rezim yang dipimpinnya justru mengebut proses pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional—Soeharto, diktator militer yang membangun sistem korporat-militer, dan melahirkan iklim kekerasan yang membungkam jutaan buruh termasuk Marsinah.

Dengan menjual nama Marsinah, Prabowo dan para elite birokrat serikatnya tak sedang menghormati perjuangan buruh, melainkan sedang menunggangi tubuh buruh yang telah dibunuh negara demi memperindah wajah rezim borjuis-militeris. Ini bukan penghormatan, tapi penodaan sejarah kelas buruh. Nama Marsinah dijadikan alat propaganda oleh kekuatan yang justru mewarisi dan melanjutkan politik pembunuhnya.

Ingat, Marsinah dibunuh Orde Baru—rezim militer yang disponsori kapital besar. Militer tempat Prabowo berkarier aktif menutupi kasusnya dan menyiksa kawan-kawannya. Penguasa berdarah tak akan memuliakan yang melawan kekuasaan—mereka hanya membungkus kematian dengan kepalsuan. Menghormati Marsinah berarti melanjutkan perjuangannya, bukan menyerahkannya pada tangan algojo.

Lagipula, atas dasar apa percaya bahwa kolaborasi dengan Prabowo akan memenuhi kepentingan kelas buruh? Karena ia berpose ramah? Karena menerima audiensi Partai Buruh? Ini bukan soal keramahan personal atau moralitas individu—ini soal kepentingan kelas.

Prabowo adalah kapitalis besar, pemilik bisnis tambang, energi, perkebunan, hingga kehutanan—dari PT Tusam Hutani Lestari, PT Tanjung Tedeb, hingga holding Nusantara Energy. Di balik baju safari dan retorika populisnya tersembunyi imperium bisnis yang berdiri di atas keringat buruh dan tanah rakyat.

Sebagai kapitalis besar, kepentingan objektif Prabowo—sebagaimana seluruh kelas borjuis lainnya—adalah mempertahankan dan memperluas akumulasi kapital melalui penindasan dan eksploitasi kelas buruh. Dalam logika produksi kapitalis, profit bukan datang dari kerja keras pribadi sang pemilik modal, tetapi dari pemerasan nilai lebih yang dihasilkan oleh buruh upahan. Dengan kata lain, kekayaan Prabowo bukanlah hasil kerja mulia, melainkan hasil dari penghisapan kerja buruh yang tak dibayar sepenuhnya—itulah inti dari relasi kelas dalam kapitalisme.

Dari posisi ini, tidak mungkin Prabowo—atau borjuis manapun—akan secara sukarela mencabut Omnibus Law, karena hukum tersebut memperlebar dan memperkuat ruang eksploitasi buruh demi peningkatan kapital para borjuis, termasuk Prabowo. Tidak mungkin ia akan menghentikan union busting, karena serikat buruh yang kuat adalah ancaman langsung terhadap kontrol kapital atas tenaga kerja. Tidak mungkin ia akan menaikkan upah secara signifikan, karena itu menggerus margin keuntungan. Tidak mungkin ia akan mendistribusikan kekayaannya, karena akumulasi adalah syarat eksistensial bagi kelasnya. Tidak mungkin ia akan menyerahkan aset-aset bisnisnya kepada buruh, karena kepemilikan pribadi atas alat produksi adalah fondasi dominasi kelas borjuis. Dan tidak mungkin ia akan berpihak pada kepentingan buruh, karena fakta sejarah penindasannya terhadap buruh dan rakyat telah berbicara lebih banyak daripada segudang pidato populisnya sendiri.

Kepentingan kelas tidak ditentukan oleh citra baik semata, tetapi oleh fakta historis dan posisi sosio-ekonominya dalam hubungan produksi. Kapitalis tetap kapitalis, sekalipun berbicara tentang kesejahteraan rakyat. Justru janji-janji “pro-rakyat” dari kapitalis semacam Prabowo adalah bentuk paling licik dari mistifikasi kelas: sebuah strategi ideologis untuk menutupi antagonisme nyata antara buruh dan pemilik modal. Inilah sebabnya, setiap kolaborasi serikat dengan kekuatan borjuis bukan hanya ilusi—tetapi pengkhianatan yang mempertahankan sistem yang menindas buruh itu sendiri.

Prabowo bukan hanya kapitalis, tapi juga algojo pembunuh rakyat dan kelas buruh. Prabowo adalah perwira karir dari keluarga elite militer dan teknokrat Orde Baru. Ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, adalah menteri ekonomi kesayangan Soeharto, arsitek ekonomi liberal yang menjual kedaulatan nasional ke tangan IMF dan Bank Dunia. Dan Prabowo? Tangan besi lapangan, eksekutor diam-diam dalam berbagai operasi militer berdarah yang mencoreng sejarah bangsa dengan darah rakyat.

Prabowo adalah dalang penculikan aktivis 1998. Beberapa di antara mereka dibunuh. Sebagian lagi tak pernah kembali. Hilang. Disiksa oleh aparat rahasia di bawah kendali Prabowo Subianto, yang kala itu menjabat sebagai Danjen Kopassus. Lalu apakah ia diadili? Dihukum? Prabowo hanya “diberhentikan secara hormat.” Inilah borok hukum borjuis-militer Indonesia: impunitas bagi algojo, dan penjara bagi rakyat.

Prabowo juga terlibat dalam operasi militer brutal di Timor Leste, Aceh hingga Papua—operasi-operasi dengan dalih “mempertahankan kedaulatan”, yang sejujurnya pembantaian rakyat demi mempertahankan kedaulatan borjuis-militer atas cengkraman wilayah dan eksploitasi sumber daya.

Kini, elite-elite birokrasi serikat seperti dalam KSPSI, KSPI, KSBSI hingga Partai Buruh—Said Iqbal—malah berkompromi, bahkan penuh puja-puji kepada pewaris kekuasaan militer dan kapitalis penindas buruh itu. Mereka menjadikan algojo sebagai juru selamat. Ini bukan sekadar ilusi politik—ini adalah kolaborasi kelas dalam bentuk paling busuk.

Maka mari ajukan pertanyaan jujur—bukan kepada Said Iqbal yang jelas busuk, tapi kepada seluruh kekuatan buruh di bawah Partai Buruh: bagaimana membangun politik kelas pekerja sejati jika pucuk pimpinannya memuja musuh rakyat dan membungkam perlawanan? Apakah Komite Politik Nasional Partai Buruh akan terus berada di Partai Buruh? Apakah KPBI, SGBN, dan elemen buruh progresif lainnya akan terus diseret dalam pengkhianatan ini? Apakah sekarang bukan saatnya bagi Kompolnas untuk menyingkirkan Said Iqbal dan pendukungnya dari Partai Buruh? Apakah sekarang bukan saatnya bagi Kompolnas untuk mendorong split di Partai Buruh untuk menjaga perjuangan kelas buruh? Diam berarti tunduk. Bungkam berarti menyetujui.

Ditulis oleh Miswanto | Anggota Lingkar Studi Sosialis

Loading

Comment here