Aksi

Pernyataan Sikap dan Dukungan Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) #Ladyfast 2016

Solidaritas Perjuangan DemokrasiPenyerangan acara LadyFast pada 2 April 2016 menambah rentetan kasus represif, intoleran, seksis, dan upaya pemberangusan ruang demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Acara yang diinisiasi untuk memobilisasi perempuan, mereduksi stigma peran dan kemampuan perempuan dalam masyarakat ini, tidak hanya dihadiri berbagai elemen rakyat namun juga anak-anak. Acara yang diadakan di ruang komunitas seni SURVIVE!garage diserang dan dibubarkan oleh ormas reaksioner (FUI dan FJI)[1] yang mengklaim sebagai laskar yang menegakkan ajaran Islam dan moralitas, mereka dibantu dan dilindungi oleh Polres Bantul.

Dengan ini, kami Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) yang terdiri dari pelbagai elemen masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, komunitas, organisasi, aktivis, jaringan, dan individu prodemokrasi–mengecam penyerangan dan pembubaran acara LadyFast pada 2 April 2016 serta semua bentuk pemberangusan ruang-ruang demokrasi di DIY dan dimanapun.

Melanjutkan kampanye “Rakyat Bersatu! Rebut Demokrasi!” kami menyerukan perlawanan terhadap kelompok anti demokrasi dan ormas/milisi reaksioner intoleran yang mengancam demokrasi dan keamanan masyarakat. Mari bersatu dalam kekuatan rakyat untuk merebut (kembali) ruang demokrasi.

Pola kekerasan terjadi dan berulang, dengan dalih perizinan, pihak kepolisian membubarkan dan menghentikan acara, kali ini bahkan disertai tembakan peringatan oleh polisi berpakaian sipil. Dengan alasan keamanan dan agar situasi tidak semakin buruk, panitia dan pemilik tempat acara dibawa ke kantor polisi. Bukannya menindak ormas yang jelas-jelas bersikap represif dan menyerang hak masyarakat sipil, polisi justru melapangkan jalannya. Polisi menggardai ormas reaksioner yang melakukan intimidasi (memaki, dan memprovokasi bakar-bakar!), melecehkan perempuan, memaksa masuk dan melakukan perusakan.

Kronologi dari Panitia Penyelenggara LadyFast bisa baca disini .

Pembubaran Ladyfast 2016 tidak dapat dilihat sebagai kejadian tunggal. Pertama, peristiwa ini tidak bisa dipisah dari rangkaian pemberangusan ruang demokrasi di Yogyakarta maupun nasional.

Di Yogyakarta, tercatat diantaranya penyerangan diskusi Irsyad Manji di LKIS 2012, penyerangan TDOR 2014, penyerangan terhadap kelompok minoritas agama dan suku/etnis, Aksi Damai Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) –hak menentukan nasib sendiri dan banyaknya pelanggaran HAM di Papua– dihadang FKPM Paksi Katon dan polisi. Kemudian pengusiran imigran Syiah di Ambarbinangun oleh FJI, juga penyerangan GBI Saman, Bantul, hingga penyerangan dan pembubaran oleh FJI pada kemah siswa “Reclaiming His Love” di Cangkringan, acara ini diadakan Gereja Advent Surakarta. Selain itu, pembubaran diskusi/nonton film Senyap sepanjang tahun 2014/2015, dan diskusi terkait IPT 65 tahun 2016. Rentetan kejadian intoleran dan anti demokrasi terus berlanjut; One Billion Rising Jogja mendapatkan intimidasi saat kampanye lawan kekerasan seksual, disusul penutupan Ponpes Waria oleh pihak Front Jihad Islam (FJI) dan kepolisian, hingga spanduk-spanduk kebencian terhadap LGBT tersebar dimana-mana dan aksi AM FUI yang menyerukan pembunuhan terhadap LGBT.

Ini merupakan bahaya besar bagi demokrasi, karena menunjukan bahwa kelompok reaksioner semakin mendapatkan kesempatan untuk berkembang. Serangan-serangan terhadap ruang demokrasi oleh kelompok reaksioner bukannya mereda tapi justru semakin marak.

Kedua, kini pemberangusan ruang demokrasi tidak memandang bulu, tidak memandang kelompok mana yang menyelenggarakan, isu apa yang dibawa, bahkan cara damai dan aksi simpatik sekalipun menjadi sasaran pembubaran dan penyerangan oleh ormas/milisi reaksioner intoleran. Acara One Billion Rising (OBR) Jogja, aksi simpatik dengan menari dan turun ke jalan untuk melawan kekerasan seksual pada 14 Februari 2016, di Km Nol Jogja, mendapatkan intimidasi dan kekerasan verbal yang mengandung unsur SARA dan seksisme[2].

Ketiga, dalam pembubaran acara LadyFast 2016, Kapolsek Kasihan, Suwandi mengaku bersama-sama dengan Polres Bantul serta ormas Forum Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Islam (FJI).[3] Perlu diketahui, bahwa ormas tersebut bersama jaringannya adalah merupakan ormas terorganisir yang sering melakukan pembubaran dan intimidasi diantaranya pembubaran Penyerangan Q! Film Festival (pelakunya FUI), diskusi LKIS, Film/Diskusi Film Senyap, penyerangan TDOR, Penutupan Ponpes Waria, Intimidasi aksi OBR dan SPD, spanduk anti-Syiah, spanduk dan aksi tolak LGBT, dan terakhir LadyFast.

Ini merupakan penegas yang kesekian kalinya mengenai hubungan antara negara dengan ormas reaksioner. Ormas-ormas reaksioner tersebut digunakan ketika aparat negara tidak ingin tangannya kotor karena disebut “melanggar HAM” ataupun “anti demokrasi”. Ormas-ormas reaksioner tersebut juga bergerak ketika isu diteriakkan oleh elit-elit politik.

Kelompok reaksioner gencar menyerang LGBT setelah homofobia disebarkan oleh elit-elit politik seperti Menteri Anis Baswedan dan Menristek serta beberapa kepala daerah. Sementara itu, pada Diskusi/Nonton Film Senyap UIN Sunan Kalijaga, Maret 2015 polisi menawarkan akan mengamankan acara namun perlu menangkap beberapa panitia dengan alasan untuk menenangkan massa FUI (tukar guling).[4] Demikian pula polisi menghalangi aksi tandingan SPD 23 Februari 2016 dan justru membiarkan AM FUI yang menyerukan pembunuhan terhadap LGBT untuk terus melakukan aksinya.[5]

Ketika tidak dibutuhkan, maka aparat negara akan secara langsung memberangus demokrasi. Seperti represi terhadap Ibu-Ibu Kulon Progo yang menolak tanahnya digusur untuk pembangunan bandara[6] Kriminalisasi terhadap tigapuluhan aktivis buruh, seniman dan pembela hukum. Represi terhadap perjuangan petani di berbagai daerah, dsb.

Pernyataan dari Presiden Joko Widodo[7] bahwa aparat negara harus bertindak tegas kepada pelaku intoleran hanyalah omong kosong belaka. Setelah itu, terhitung hingga hari ini 3 kali kelompok reaksioner melakukan penyerangan terhadap ruang-ruang demokrasi.

Pertama, pengajian di Pasuruan dibubarkan. Kedua, pembubaran dan ‘penculikan’ narasumber diskusi HMI di Pekanbaru[8], dan masih segar peristiwa pembubaran LadyFast 2016.

Semakin meningkatnya serangan kelompok-kelompok reaksioner terhadap ruang demokrasi juga menunjukan lemahnya respon dari gerakan pro-demokrasi dalam berhadapan dengan kelompok-kelompok reaksioner. Kelemahan terbesar adalah kepercayaan diantara kalangan gerakan pro-demokrasi bahwa Negara bisa diharapkan untuk menindak kelompok-kelompok reaksioner. Disisi yang lain beranggapan bahwa kelompok reaksioner tersebut bisa dihindari dan perlawanan terhadapnya justru akan memperburuk situasi demokrasi.

Fakta kejadian dan kerasnya pentungan kelompok reaksioner sudah membuktikan argumentasi diatas adalah salah. Pola hubungan aparat pemerintah dan ormas/milisi rekasioner ini, seharusnya mampu dibaca dan meneguhkan bahwa ruang demokrasi dan perlawanan terhadap kelompok reaksioner, hanya bisa dengan kekuatan solidaritas dan mobilisasi rakyat. Demikian pula berdiam diri menunggu serangan kelompok reaksioner reda dan tidak melawan balik justru semakin memperbesar pengaruh kelompok reaksioner dan memungkinkan mereka untuk menarik semakin banyak massa rakyat ke dalam barisan reaksioner.

Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) konsisten mengusung keberpihakan pada ruang dan nilai demokrasi. Untuk menghentikan kelompok reaksioner kami percaya pada kekuatan solidaritas rakyat. Kami percaya bahwa menghadang serangan-serangan kelompok reaksioner hanya dapat dilakukan dengan solidaritas berbentuk aksi-aksi langsung, bukan dengan menitipkan nasib pada Negara ini.

Solidaritas Perjuangan Demokrasi menyatakan:

  1. Solidaritas dan dukungan kepada SURVIVE!garage dan Panitia LadyFast 2016 yakni Kolektif Betina serta semua pihak yang mengalami represi pada saat penyerangan terjadi.
  2. Kejadian ini semakin mempertegas bahwa negara melindungi dan hadir bersama ormas-ormas reaksioner.
  3. Rakyat tidak akan meninggalkan rakyat lainnya menghadapi kelompok reaksioner dan represif. Kami bersama rakyat siap bersolidaritas dan berjuang bersama.
  4. Kelompok fasis, rasis, intoleran, seksis dan represif merupakan kelompok antidemokrasi yang terorganisir sehingga perlawanannya diperlukan persatuan, solidaritas rakyat dan elemen-elemen pro-demokrasi yang terorganisir juga.
  5. Upaya pembelokan dan sikap anti demokrasi dengan mengatasnamakan agama tertentu, serta isu moralitas lainnya dalam kasus LadyFast 2016 juga menjadi sikap anti keberpihakan terhadap hak perempuan dan anak, serta yang paling utama adalah pembebasan perempuan. Demokrasi tanpa pembebasan perempuan adalah omong kosong.
  6. Solidaritas rakyat juga harus dibangun dan diwujudkan secara nyata melawan kekuatan anti demokrasi yg menyerabut hak rakyat lainnya, dalam hal ini khususnya SURVIVE!garage sebagai ruang seni komunitas yang produktif berkarya. Hak atas tempat tinggal, keamanan, kebebasan berserikat, berkumpul, berpendapat dan berekspresi, serta melakukan aktivitas seni selanjutnya.
  7. Dalam memperjuangkan demokrasi, kita tidak bisa memberikan toleransi kepada tindakan intoleran, represif, dan setiap upaya pemberangusan ruang demokrasi, terutama dengan mengatasnamakan agama tertentu.
  8. Menyerukan kepada semua elemen masyarakat, komunitas, organisasi, dan jaringan untuk bersatu dalam mobilisasi rakyat merebut ruang demokrasi yang seutuhnya. Sekali lagi, demokrasi yang utuh.

Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 April 2016.
SOLIDARITAS PERJUANGAN DEMOKRASI (SPD)
Email : solidaritasperjuangandemokrasi@gmail.com
#JogjaMelawan #RebutDemokrasi

Referensi :
[1] “Ada dari FUI dan FJI juga ada dari beberapa ormas yang lain, tujuannya untuk memberantas hal-hal yang tidak baik di wilayah ini,” Keterangan Kapolsek Kasihan, Suwandi http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160403_indonesia_diskusi_perempuan_bubar_ormas
[3] “Ada dari FUI dan FJI juga ada dari beberapa ormas yang lain, tujuannya untuk memberantas hal-hal yang tidak baik di wilayah ini,” Keterangan Kapolsek Kasihan, Suwandi http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160403_indonesia_diskusi_perempuan_bubar_ormas

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: