Internasional

Operasi “Banjir Al-Aqsa” dan Solidaritas Untuk Palestina

Dini hari Sabtu, 7 Oktober 2023, serangan kejutan dilancarkan oleh kelompok-kelompok perlawanan yang berbasis di Jalur Gaza. Selama 16 tahun Gaza telah diblokade udara-laut-darat oleh Israel, dan dengan seluruh cara itulah juga kelompok-kelompok perlawanan menembus Israel; melalui udara dengan menggunakan parasut paralayang, melalui laut dengan perahu, juga melalui darat dengan membobol dinding perbatasan. Dalam perlawanan yang dinamakan operasi ‘Banjir Al-Aqsa’ ini, untuk pertama kalinya mereka berhasil menduduki pemukiman-pemukiman Israel terdekat dalam sejarah konflik Palestina-Israel.

Ekskalasi perlawanan rakyat Palestina pada 7 Oktober merupakan respon dari berbagai serangan Israel yang bertubi-tubi; serangan Israel terhadap Masjid Al-Aqsa dan jamaahnya, pembunuhan atas setidaknya 200 rakyat Palestina di Tepi Barat, serangan Israel pada Gaza yang membunuh 33 rakyat Palestina di bulan Mei, dan serangan ke Kamp Pengungsi Jenin pada awal Juli yang membuat 12 orang terbunuh dan menyebabkan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal karena infrastruktur kamp pengungsian dihancurkan.

Keberhasilan pejuang perlawanan rakyat Palestina menyerang pos-pos Israel sangat memukau, tak hanya di luar bayangan orang-orang Israel, namun juga bagi rakyat Palestina dan Arab di sekitarnya yang berbondong-bondong ikut turun ke jalan mendukung perlawanan. Tidak kalah luar biasanya, gambar dan video para pejuang Gaza menghancurkan pagar perbatas Israel maupun terbang melaluinya menggunakan paralayang disaksikan oleh jutaan rakyat Palestina dan membakar semangat perlawanan mereka, dinding yang memenjarakan mereka belasan tahun ternyata bisa ditembus. Bendera-bendera Palestina ditancapkan di tank-tank yang ditinggalkan oleh tentara Israel. Perbatasan Israel bisa ditembus, bahkan salah satu pemukiman Israel, Pemukiman Ofakim, yang berjarak 22 km dari perbatasan bisa diduduki. Tidak kalah mengejutkannya adalah penangkapan beberapa tentara Israel dengan pakaian dalam saat tidur. Bagi rakyat Palestina, ini adalah sebuah perlawanan balik atas dipermalukannya para tahanan perang Mesir dalam pakaian dalam mereka selama Perang 1967, dan para rakyat pejuang Palestina yang ditahan Israel dan dipertontonkan hanya dengan pakaian dalam mereka.

Israel dengan segera menyatakan perang secara terbuka. Hanya sehari setelahnya, di Minggu malam 8 Oktober, Israel telah membunuh lebih dari 400 orang termasuk 78 anak-anak, serangan bom Israel yang bertubi-tubi menghancurkan pemukimaan rakyat Palestina, termasuk Menara Palestina, bangunan tingkat tinggi yang berisi puluhan apartemen di Gaza. Kelompok perlawanan Palestina membalasnya dengan mengirimkan misil langsung ke Tel Aviv. Dari tanggal 7 hingga 21 Oktober, jumlah korban jiwa mencapai angka yang mengerikan di kedua belah pihak. Setidaknya 4.137 rakyat Palestina dibunuh dan lebih dari 13.162 orang terluka di Jalur Gaza, dan setidaknya 69 orang dibunuh dan 1.300 terluka di Tepi Barat. Di pihak Israel, setidaknya 1.403 orang meninggal dan lebih dari 3.800 orang terluka. Jumlah ini bahkan telah melampaui total jumlah korban pembantaian Israel tahun 2008 dan 2014.

Dari Washington, Amerika Serikat, hingga Canberra, Australia, rezim borjuasi Barat segera mempropagandakan perlawanan Palestina yang dipimpin kelompok perjuangan Brigade Al-Qassam, sayap militer partai politik Palestina Hamas, sebagai tindakan teror brutal yang tidak berperikemanusiaan dan mengutuk perlawanan rakyat Palestina. Media-media Barat pro-Israel berupaya membuat narasi konflik ini sebagai konflik Israel-Hamas, untuk menyampaikan kesan bahwa serangan Hamas hanyalah suatu serangan teror yang terpisah dari perlawanan rakyat Palestina selama lebih dari tujuh puluh tahun terhadap pendudukan Israel. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, yang beraliansi dengan Barat melawan Rusia bergabung dengan sponsor Baratnya mengutuk perlawanan Palestina sebagai ‘teroris’ dan mengatakan bahwa ‘hak Israel untuk membela diri tidak perlu dipertanyakan’. Sekretaris Jendral PBB António Guterres pun menyerukan agar kelompok perlawanan Palestina mengembalikan warga sipil Israel yang ‘diculik’ dari Jalur Gaza. “Warga sipil harus dihormati dan dilindungi oleh hukum humaniter internasional setiap waktu.” Namun tak ada satu kata pun dari Guterres atas lebih dari 10.000 rakyat Palestina yg ditangkap dan diculik Israel ke dalam penjara-penjara bawah tanah, separuhnya ditangkap dalam dua minggu terakhir.

Tak hanya dengan propaganda, Imperialis Amerika Serikat dengan kekuatan penuh segera mengirim pendanaan, amunisi dan peralatan militer untuk Israel. Untuk memberikan perlindungan diplomatik terhadap AS dan Israel, negara imperialis tersebut secara agresif melobi negara-negara di Timur Tengah untuk menandatangani perjanjian “normalisasi” dengan Israel. Sejak Israel didirikan di atas pembersihan etnis yang mematikan, sebagian besar negara tetangga menolak untuk secara resmi mengakui keberadaan Israel. Namun dalam beberapa tahun terakhir hal tersebut mulai berubah. Sebagai imbalan atas suap besar-besaran dari Amerika Serikat, pemerintah reaksioner Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko menjalin hubungan formal dengan Israel. Ditambah lagi, dalam beberapa hari terakhir sebelum perang 7 Oktober pecah, Amerika Serikat telah mencapai perjanjian normalisasi terbesar dengan Arab Saudi.

Pemerintah Indonesia tidak memiliki sikap tegas terhadap Israel dan Amerika Serikat. Seruan menghentikan perang dan penyelesaian lewat PBB seperti yang diutarakan oleh Presiden Jokowi, termasuk juga “solusi dua negara” menunjukan ketidakmampuan berhadapan dengan negara-negara Imperialis. Israel sudah memerangi rakyat Palestina setidaknya sejak 1948, resolusi PBB terkait Israel entah dilanggar atau ditolak oleh negara-negara Imperialis. Israel juga terus melakukan ekspansi merampas tanah-tanah rakyat Palestina.

Justru sebaliknya, Indonesia bekerja sama dengan Israel di banyak bidang secara sembunyi-sembunyi, terutama dalam bidang perdagangan, pariwisata, pendidikan, hingga bisnis persenjataan dan pelatihan militer. Kementerian Perdagangan RI menunjukkan data ekspor Indonesia ke Israel pada 2022 mencapai US$185,6 juta. Angka tersebut meningkat 14% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai impor dari Israel meningkat 80% menjadi US$47,8 juta dari tahun sebelumnya. Pemerintah Indonesia juga memiliki kepentingan menjaga hubungan yang kuat dengan imperialisme AS karena ketergantungan modal dan dominasi sistem kapitalisme-imperialis.

Rezim borjuis Indonesia tidak punya kepentingan untuk mendukung perjuangan pembebasan rakyat Palestina. Hanya solidaritas perjuangan kelas buruh bersama seluruh rakyat tertindas dunia lainnya lah yang mampu membantu pembebasan Palestina bersamaan dengan pembebasan rakyat tertindas lainnya di seluruh dunia. Dukungan penuh harus diberikan oleh kelas buruh di seluruh dunia kepada Palestina. Ini tidak hanya mengutuk tindakan keji militer Israel, namun juga mengutuk imperialisme AS di dunia. Ratusan ribu rakyat di seluruh dunia bersolidaritas kepada rakyat Palestina yang menjadi korban atas kejahatan perang yang dilakukan Israel dan didukung oleh Barat. Sabtu 21 Oktober, di London Inggris, 200.000 orang turuh ke jalanan mengutuk serangan Israel. Ratusan ribu lainnya, rakyat Yaman, Tunisia, Yunani, Mesir, Spanyol, Prancis, Kanada, Amerika Serikat, Yordania, Qatar, India, Syria, Irak, Afrika Selatan, dan Filipina memenuhi jalanan-jalanan utama mereka sambil mengibarkan bendera Palestina.

Seperti kata Marx dan Engels, “Seiring dengan berakhirnya penindasan satu orang ke orang yang lain, maka berakhir pula penindasan satu bangsa terhadap bangsa lain.”, karena itulah perjuangan pembebasan Palestina tidak bisa dilakukan hanya oleh rakyat Palestina. Semua penindasan ini harus diakhiri oleh segenap kekuatan kelas buruh dan rakyat tertindas di seluruh penjuru bumi. 

ditulis oleh Hayamuddin, anggota Resistance dan kader Perserikatan Sosialis serta Aghe Bagasatriya, kader Perserikatan Sosialis

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: