Sejarah

People Power Revolution Filipina 1986

“… mahasiswa-mahasiswa Indonesia berupaya belajar dari pengalaman Filipina. Mereka belajar teknik pengorganisasian dan mobilisasi massa” terang Max Lane dalam bukunya Unfinished Nation: Indonesia sebelum dan sesudah Soeharto. Max Lane menuliskan bahwa politik mobilisasi massa adalah strategi ampuh dan sudah terbukti di Filipina yang kemudian dibawa masuk ke Indonesia. Di sini, 1998, Soeharto tumbang. Di Filipina, 1986, Marcos tumbang. Mereka berdua adalah diktator.

Pada pemilu 1965, Marcos mengalahkan Diosdado Macapagal sebagai petahana. Itu membuat Marcos, anak tuan tanah dan mantan tentara perang dunia II, itu menjadi presiden ke-10 Filipina. Marcos lalu menggenjot pembangunan infrastuktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Filipina meningkat drastis sejak tahun 1950-an melampaui Taiwan, Korea Selatan, dan seluruh negara Asia Tenggara. Namun pembangunan infrastruktur ini lebih memperkaya para konglomerat Filipina dan kroni-kroni dari Marcos. Selama masa pemerintahannya Marcos sendiri mengumpulkan kekayaan sebanyak 5-10 miliar dolar. Forbes menobatkan Marcos sebagai pemimpin terkorup kedua setelah Soeharto.

Gaya hidup mewah juga melekat dengan kehidupannya. Marcos menikahi mantan putri kecantikan Filipina, Imelda Marcos, dan membuat monumen keduanya. Selain itu tahun 1966, Imelda Marcos mengadakan pesta sarapan mewah dengan tamu utama grup band asal Inggris, The Beatles. Di sisi lain rakyat Filipina tidak merasakan pertumbuhan ekonomi tersebut sebagai anugerah. Tiga per empat dari 45 juta warga Filipina jatuh dalam kemiskinan.

Sumber pembangunan tersebut berasal dari pinjaman hutang khususnya oleh Amerika Serikat (AS). Hal ini menandakan kerentanan ekonomi Filipina yang terlihat stabil. Benar saja akhir 1960-an dunia dilanda krisis. Tidak terkecuali Filipina yang mengalami krisis hutang. Ditambah tahun 1969 dana kas negara dipakai untuk kampanye dalam pemilu tahun itu. Ekonomi melesu.Marcos yang meminta bantuan ke IMF menyetujui syarat IMF yaitu mengubah haluan ekonomi menjadi orientasi ekspor. Namun hal ini tak berbuah baik karena krisis melanda dunia dan menyebabkan inflasi di mana-mana.

Filipina yang menjadi sekutu AS diminta untuk memperkuat militernya dengan dalih menghadang serangan komunisme baik itu dari selatan (Indonesia) atau Utara (Vietnam). Pemerintahan Marcos lalu turut mengerahkan pasukan militer ke Vietnam guna membantu Amerika Serikat menginvasi Vietnam.

Kebijakan militer Marcos juga memicu munculnya gerakan pembebasan bangsa Moro. Filipina sejak pemerintahan Macapagal mengklaim Sabah (sekarang tergabung dengan Malaysia) sebagai bagian dari teritorinya. Hingga kebijakan militer untuk merebut wilayah itu adalah merekrut pemuda dari Sulu, Basilan dan Tawi-Tawi yang merupakan etnis/bangsa Moro beragama Muslim. Di Pulau Corregidor pasukan tersebut baru tahu tujuan dari operasi khusus (Operasi Jabidah). Mereka menolak untuk melaksanakan operasi tersebut. Selain menolak membantai sesama muslim, mereka juga menuntut gaji mereka yang tak dibayarkan dan meminta kepulangan segera. Sontak pasukan yang berjumlah 200 jiwa tersebut dibantai di tempat. Pembantaian tersebut dikenal dengan Pembantaian Corregidor.

Itu diketahui publik saat dua nelayan menyelamatkan seorang pria bernama Jibin Arula di perairan lepas Pulau Caballo, dekat Manilla. Pria tersebut mempunyai luka tembak. Setelah publik mengetahuinya, mahasiswa-mahasiswa di Manilla mendemo istana presiden selama seminggu dengan membawa peti mati bertuliskan Jabidah.

Selain itu, hal ini juga memicu terbentuknya Muslim Indepence Movement (MIM) atau Gerakan Kemerdekaan Muslim yang semakin meluas dengan kemudian terbentuknya Moro National Liberation Front (MNLF) atau Front Pembebasan Nasional Moro. Setelah tidak mendapatkan dukungan dari kongres Filipina, berdirilah  Bangsamoro LIberation Organization (BMLO) atau Organisasi Pembebasan Bangsa Moro yang mendukung pemberontakan bersenjata dan pembubaran pemerintahan provinsi Moro.

Demikianlah krisis ekonomi ditambah kebijakan militernya membuat Marcos ditentang di mana-mana. Berkobarlah gelombang protes besar-besaran yang dikenal dengan First Quarter Storm(FQS) atau Badai Perempat Tahun Pertama. Berbagai demonstrasi diorganisir, mayoritas oleh mahasiswa dari 26 Januari hingga 17 Maret 1970 untuk menentang pemerintahan Marcos. Setidaknya ada tujuh peristiwa mulai dari protes, pemberontakan, hingga rapat-rapat akbar dan pengadilan rakyat.

Tanggal 26 Januari 1970, protes dilakukan saat rapat Kongres Ketujuh yang direncanakan dibuka dengan pidato kenegaraan (SONA) Marcos yang kembali memenangkan pemilu untuk periode keduanya. Protes itu diorganisir oleh National Union of Student Philippines (NUSP), juga menandai awal mula FQS. Protes ini ditandai dengan pelemparan berbagai macam benda ke Marcos dan istrinya yang keluar dari gedung Kongres. Aparat kemudian merespon brutal dengan memukuli massa aksi.

Empat hari setelah SONA, mahasiswa kembali ke gedung Kongres untuk mengutuk brutalitas aparat. Di sisi lain pimpinan NUSP sedang berada di Malacanang untuk berdialog dengan Marcos agar menyetujui salah satu tuntutannya yaitu tidak menjadi presiden lagi untuk periode ketiganya serta menuntut Marcos mengadakan konvensi konstitusional non-partisan. Ini ditolak Marcos. Hingga jam 18.00 protes di jalanan terus berlanjut. Sampai mahasiswa diprovokasi lemparan-lemparan dari dalam istana Malacanang, massa membenturkan mobil pemadam kebakaran ke gerbang istana tersebut. Aparat lalu mengejar dan memukuli massa dengan senjata lengkap. Sebagian besar massa berhasil sampai ke Mendiola dengan membentuk barikade sebagai pertahanan dari brutalitas aparat. Hal ini memicu semakin bertambahnya massa yang terlibat dalam barikade ini. Aparat kemudian membunuh empat mahasiswa dengan peluru tajam. Peristiwa ini dikenal dengan Pertempuran Mendiola.

12 Februari 1970, setelah Pertempuran Mendiola, rapat akbar di Plaza Miranda dilangsungkan okeh Movement Democratic of Philippines (MDP). 18 Februari, MDP mengorganisir Kongres Rakyat, aksi ini juga diwarnai dengan penyerbuan massa ke Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS). 26 Februari, Kongres Rakyat Kedua kembali dihelat. Aksi ini direpresi polisi yang sejak awal tidak memberikan izin. 3 Maret, aksi dengan tajuk Pawai Rakyat yang melewati tempat-tempat penting dan berakhir kembali di depan gedung Kedutaan Besar AS, sekaligus aksi ini adalah dukungan kepada buruh transportasi yang memprotes perilaku korup polisi lalu lintas setempat. Aksi ini kemudian menyatukan bukan hanya elemen mahasiswa, namun juga buruh dan elemen perkotaan lainnya. 17 Maret, Pawai Rakyat Kedua yang juga dikenal sebagai aksi terakhir dalam FQS membawa tuntutan permasalahan kemiskinan di Filipina. FQS mereda dikarenakan banyak mahasiswa yang kala itu menjadi pimpinan aksi meninggalkan Manila, baik karena represi polisi maupun karena libur musim panas.

Terdapat perbedaan mendasar dari beberapa kelompok yang terlibat dalam FQS kali ini. Ini mewakili kelompok moderat dan radikal. NUSP mewakili kelompk moderat dengan tuntutan agar Marcos tidak mencari-cari celah untuk jebatan presien ketiga. Namun, Kabatang Makayaan berbeda yang menuntut reformasi radikal seluruh sistem politik Filipina. Kabatang Makayaan ini adalah kelompok yang mempunyai cita-cita untuk menuntaskan Revolusi Filipina 1896 bersandar pada persatuan buruh, tani, intelektual progresif untuk pembebasan nasional.

Walaupun FQS mereda namun aksi-aksi terus berlanjut. Didirikanlah Diliman Commune yaitu aksi pendudukan oleh mahasiswa, pelajar, hingga dosen-dosen di Diliman. Ada pula aksi-aksi dari tahun 1971-72 yang diorganisir oleh Movement of Concerned Citizens for Civil Liberties (MCCCL) atau Gerakan Warga Peduli Kebebasan Sipil, salah satunya adalah membela pelaku pemboman Plaza Miranda sebagai wujud protes.

Reaksi dari Rezim Marcos di tahun 1972 adalah mengeluarkan kebijakan Darurat Militer. Hal ini dapat membuat Marcos bisa melewati periode jabatannya. Namun ini diiringi pemberangusan demokrasi. Marcos melarang media-media massa mengabarkan segala bentuk kampanye anti-pemerintahan.

Di sisi lain, Amerika mengalami resesi di tahun 1980an. Membuat pengangguran meningkat serta diperparah upaya Reagan untuk memulihkan ekonomi adalah dengan menaikan suku bunga. Krisis merembet ke Filipina yang ekonomi yang bergantung pada AS. Akibatnya meningkatlah pengangguran dan kemiskinan di Filipina. Sehingga semakin menyemai perlawanan dari rakyat Filipina.

Penangkapan hingga penyiksaan dilakukan Rezim Marcos kepada siapa saja yang menentangnya. Termasuk dari faksi borjuis berbeda. Salah satunya ke Ninoy Aquino yang sudah terlibat lama dalam dunia politik Filipina sejak ia masih muda. Akibat dari Darurat Militer tokoh-tokoh seperti Ninoy Aquino harus meninggalkan Filipina. Tahun 1981 kebijakan ini dicabut yang membuat Ninoy berniat untuk berdialog dengan Marcos. Sesampainya di Manila Ninoy langsung ditembak saat masih berada di tangga pesawat. Pemakaman Ninoy Aquino dihadiri jutaan rakyat Filipina.

Massa rakyat semakin teradikalisasi. Sebelumnya mobilisasi buruh telah meningkat. Tahun 1982 pemogokan di terjadi di zona perdagangan bebas. Di tahun-tahun berikutnya hingga 1984 tetap meningkat dengan pembentukan barikade. Perjuangan buruh semakin intensif. Antara 1983 hingga 1985, jumlah pemogokan melonjak dari 155 menjadi 405. Dari 500 ribu buruh yang mengikuti pemogokan menjadi 2,5 juta buruh. Pemberontakan Komunis juga meningkat dari ratusan partisipan menjadi 30 ribu yang bergabung dengan New People’s Army (NPA) atau Tentara Rakyat Baru–sayap militer dari Partai Komunis Filipina (CPP). Peristiwa-peristiwa ini juga menarik kelompok moderat pada FQS lalu ke kubu radikal. Seperti Edgar Jopson, ketua dari NUSP. Kemudian dia bergabung dengan CCP.

Tahun 1986 Marcos mengumukan akan diadakan pemilu secepatnya. Corazon Aquino Istri mendiang Ninoy Aquino didorong maju sebagai calon Presiden. Ia mendapatkan banyak dukungan dari kalangan termasuk Gereja Katolik. Kardinal Jaime Sin memobilisasi sukarelawan untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam pemilu, 600ribu biarawan menjadi sukarelawan. Ini hampir memastikan kemenangan untuk Corazon Aquino. Namun, Marcos mencurangi hasil pemilu. Laporan atas kecurangan dari 35 pekerja tabulasi data ini tersebar luas. Meskipun demikian Marcos ngotot tetap berkuasa.

Protes kembali berkembang pesat. Konferensi Waligereja Filipina tidak mendukung hasil pemilu tersebut yang mereka cap tidak bermoral. 16 Februari Corazon Aquino mengorganisir rapat akbar yang dihadiri 2 juta orang untuk memulai kampanye boikot bank dan perusahaan yang berbisnis dengan Marcos. Buruh-buruh di sektor tersebut turut pula mendukung seruan tersebut dengan pemogokan tanggal 26 Februari.

Sebelumnya, suatu kubu militer juga merencanakan pemberontakan. 22 Februari, pertemuan membahas penyerbuan istana Malacanang dilakukan di rumah Menteri Pertahanan Enrile. Tetapi sebelum mereka melakukan kudeta rencana tersebut terbongkar dan Marcos menyiapkan pertahanan.

Perwira-perwira pemberontak tadi kembali berkumpul di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA), salah satu jalan raya utama di Manila. Enrile menyerukan dan mengumpulkan dukungan. Dengan cepat berhasil mengumpulkan satu skuadron helikopter serang. Selain itu Kardinal Jaime Sin juga mendukung. Kardinal Sin menyerukan rakyat untuk memberikan pasokan logistik kepada para pemberontak. Ribuan lainnya membuat barikade manusia untuk menghalau serangan balik dari Marcos.

Pembelotan kemudian terjadi di militer. Skuadron helikopter yang diperintahkan menyerang Camp Crane, diam-diam mendarat dan mendapatkan sambutan hangat dari pemberontak lainnya. Skuadron-skuadron lainnya kemudian menyusul untuk membelot.

Marcos di MBS-4 (stasiun pemancar siaran televisi pemerintah) mengumunkan bahwa dia tidak akan mundur. Namun selama siaran berlangsung tiba-tiba mati. Ini diakibatkan satu kontingen pemberontak berhasil merebut MBS-4. Semakin banyak massa yang bergabung dengan revolusi dan pembelotan tentara-tentara, membuat Marcos menghentikan serangan udara dan memerintahkan kepada Jenderal Ver untuk tidak menembak.

25 Februari pagi harinya. Dua pelantikan terjadi. Upacara pelantikan Marcos di Istana Malacanang yang dihadiri loyalisnya. Sejam sebelumnya,Corazon Aquino dilantik di Club Filipino sebagai Presiden Filipina. Di EDSA lagu kebangsaan Filipina dinyanyikan oleh jutaan massa yang juga mengenakan pita kuning dan beriringan dengan sumpah jabatan yang disampaikan oleh Corazon Aquino.

Menjelang malam Marcos yang telah menyerah kemudian meninggalkan Filipina dengan lima helikopter dari AS. Ini menjadi berakhirnya kediktatoran Marcos. Revolusi Kekuatan Rakyat (People Power Revolution) membuktikan bahwa rakyat yang bergerak dapat dan mampu menggulingkan seorang diktator. Terbukti di Filipina dan Indonesia.

People Power Revolution membuka kemungkinan rakyat untuk sebuah dunia yang lebih baik. Namun, apa yang hilang adalah organisasi revolusioner yang berakar pada kelas pekerja yang bisa mengemban tugas kepeloporan atau kepemimpinan perjuangan penumbangan kediktatoran menjadi demokrasi pekerja. Aquino sendiri kemudian menjadi hamba setia dari neoliberalisme. Sedangkan CCP memilih untuk abstain dari People Power Revolution dan menumpulkan radikalisasi pekerja. Mereka dengan ultra kirinya menganggap pergantian Marcos ke Aquino tidak ada bedanya. Sebaliknya mengagungkan secara berlebihan model perang gerilya Maois dan ironisnya terjebak tarik ulur hubungan dengan rezim Duterte.

Ditulis oleh Musa Talutama | Anggota Lintas Komunal

Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 103, I-II Februari 2021, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: