Kamis (8/9/2011), sekitar empat puluh lebih mahasiswa berdemonstrasi memperingati 12 tahun kematian Munir Said Thalib dalam aksi kamisan yang pertama kali diadakan di Kota Batu, Malang Raya. Pembunuhan terhadap Munir bukan sekadar perampasan nyawa namun juga kejahatan militerisme terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab semasa hidupnya, Munir merupakan aktivis HAM, yang bukan hanya membela para korban namun juga secara aktif mengungkap berbagai bentuk pelanggaran HAM militer baik di masa rezim kediktatoran Orde Baru (Orba) maupun setelahnya. Orator aksi menekankan, “Kalau Munir saja—seorang aktivis HAM yang dikenal di tingkat internasional, bisa dibunuh dan pelakunya bebas, apalagi kita.”
Massa aksi yang mayoritas terdiri dari pemuda dan mahasiswa ini menuntut dibukanya hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) atas kasus pembunuhan Munir. Hayyi dari MCW dalam orasinya menyatakan kecurigaannya. “Pasti ada sesuatu yang disembunyikan penguasa sehingga tidak membeberkan hasil TPF kepada masyarakat,” tekannya. “12 tahun bukan masa pendek untuk mengungkap siapa dalang di balik pembunuhan Munir. Selama itu hanya ada satu terdakwa yang dihukum, yaitu Pollycarpus. Itu pun kemudian diberi keringanan dan bahkan selanjutnya dibebaskan secara bersyarat,” ungkapnya.
Sebagaimana dinyatakan dalam rilis persnya, massa aksi mengemukakan terdapat keterlibatan negara dalam pembunuhan Munir. Termasuk di antaranya adalah Mayor Jenderal (Purnawirawan) Muchdi PR—mantan Deputi Badan Intelijen Negara (BIN), yang malah dibebaskan dari tuntutan padahal hanya menjalani beberapa bulan proses persidangan.
Hayyi dalam orasinya juga mengkritik rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), “Hari ini rezim Jokowi sebenarnya menang Pemilu sebagai rezim sipil. Namun kenyataannya malah militer diberi porsi lebih besar untuk masuk wilayah sipil dan politik,” kritiknya. Ia mencontohkan keputusan-keputusan pemerintah Jokowi seperti menambah komando ekstra teritorial di Papua, mengerahkan Babinsa dalam proyek pertanian di pedesaan, program Bela Negara, dan sebagainya justru menambah kuat militerisme. “Kami menolak hal itu. Kami menolak militerisme. Kami menuntut agar militer kembali ke barak,” tekannya.
Selain itu massa aksi juga menuntut pemecatan terhadap seluruh anggota Tim Mawar dari jabatan di pemerintahan. Sebagai informasi, Tim Mawar merupakan bentukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang bertanggungjawab terhadap aksi penangkapan, penculikan, penyiksaan, di tahun 1997-1998 terhadap para aktivis pro demokrasi dan anti kediktatoran militer Orba. Sebagaimana dilansir tirto.id, empat perwira anggota Tim Mawar malah sekarang dilantik menjadi Jenderal. Kolonel Inf Fauzambi Syahrul Multazhar (Wakil Komandan Tim Mawar yang dulu bernama Fausani Syahrial Multthazar), Kolonel Inf Drs Nugroho Sulistyo Budi, Kolonel Inf Yulius Selvanus, dan Kolonel Inf Dadang Hendra Yuda. Padahal dari 23 korban penculikan aktivis 1997/1998, satu orang telah tewas dan 13 lainnya masih hilang hingga sekarang.
Tak hanya itu, mereka juga menuntut penonaktifan semua pelaku kejahatan HAM di masa lalu dari semua jabatan politik. Massa aksi mengkritik pemerintah rezim Jokowi yang justru bersekutu dengan para pelanggar HAM, termasuk Hendropriyono yang dijadikan Jokowi sebagai Ketua Penasihat Tim Transisi padahal Hendropriyono merupakan terduga otak operasi pembunuhan Munir. Tak hanya itu saja Jokowi juga melantik Ryamizard Ryacudu yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM militer di Daerah Operasi Militer Aceh dan Papua serta pengerahan pasukan dalam penurunan Gus Dur dari kepresidenannya. Bahkan Jokowi juga melantik Wiranto yang terduga bertanggungjawab terhadap penembakan Tri Sakti I dan II bahkan sudah ditetapkan PBB sebagai penjahat HAM.
Kenyatannya, memang para aktivis dan pendukung penegakan HAM tidak bisa mempercayakan penegakan HAM pada orang yang tidak pernah terlibat perjuangan HAM. Apalagi orang yang malah bersekutu dengan para pelanggar HAM. Bahkan orang yang memprioritaskan kepentingan modal dan investasi daripada kepentingan korban dan keadilan. Inilah yang berlaku pada kasus Jokowi.
Sebagaimana dikatakan Max Lane, “Kenapa ada yang percaya isi dari apa yang disebut sebagai pernyataan Visi Misi yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), ketika Jokowi tidak pernah membuat pernyataan yang kuat tentang HAM ketika berbicara di hadapan bangsa. Dia tidak pernah membuat komitmen apapun dalam debat di TV nasional ataupun dalam dialog dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) yang disiarkan secara nasional. Jokowi menjalankan tepat apa yang dia janjikan di TV secara nasional: yaitu deregulasi sektor privat dan mencari uang untuk infrastruktur. Satu janji besar yang dia buat dan tidak dia jalankan adalah membuat sistem kartu sehat model Solo. Tidak ada yang terjadi terkait itu. Jokowi tidak mengingkari janji-janji HAM yang dia buat; dia hanya mengabaikan janji-janji HAM yang dibuat orang lain atas namanya.”
Pembunuhan terhadap Munir dan 12 tahun tak kunjung ditegakkan keadilannya atas kasus ini menunjukkan eratnya kaitan antara pelanggaran HAM, militerisme, dan negara (borjuis). Serupa dengan pembunuhan terhadap Marsinah sang aktivis buruh, Udin sang wartawan Bernas, Siddiq Hamzah—Ketua Umum International Forum Aceh (IFA), Theys Hiyo Eluay—aktivis pembebasan Papua Barat, dimana kepentingan kapital dinomorsatukan jauh di atas kepentingan HAM. Isu-isu demokrasi pada umumnya dan HAM pada khususnya hanya digunakan para pejabat dan konglomerat untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Bukan untuk benar-benar diwujudkan dan diberikan kepada rakyat. Menjelang akhir demonstrasi, massa aksi yang terdiri dari Malang Corruption Watch (MCW), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dianns, Organisasi Daerah (Orda) Maluku, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Malang, BEM Politeknik Negeri Malang (Polinema), BEM Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Encompass, BEM Universitas Islam Negeri (UIN), BEM Vokasi, dan Komunitas Nawakalam ini menekankan komitmennya untuk kembali mengadakan aksi Kamisan pekan depan dengan massa yang lebih besar. (LK)
Comment here