Pojok

Perjuangan Politik Untuk Upah Layak

Upah Layak Untuk BuruhUpah hingga kini masih terus menjadi persoalan bagi kaum buruh di indonesia, dalam pengertian jika kaum buruh tidak mendesakan, jika tidak bekerja keras berjuang menuntut kenaikan upah yang memadai. Bisa di pastikan kenaikan upah di tahun selanjutnya tidak terlalu berarti besaran jumlahnya. Sehingga Setiap tahunnya harus melakukan tindakan perjuangan yang keras untuk mendapatkan kenaikan upah, walaupun tetap belum memperoleh upah yang sungguh layak.

Masih segar dalam ingatan ketika di penghujung tahun 2013 buruh di indonesia menuntut kenaikan upah tahun 2014 sebesar 50 %. Hingga harus meneteskan darah karena menghadapi refresifitas negara yang berkolaborasi dengan pengusaha. Upaya buruh untuk bisa mengenyam hidup yang sedikit lebih baik, justeru di jawab dengan tindakan penekanan membabi buta hingga pengusaha dan penguasa sampai perlu mengorganisasikan sejumlah preman, mengorganisasikan teror dan membangun opini seolah buruh menuntut sesuatu yang di anggap “di luar kewajaran“.

Keadaan demikian masih harus di hadapi oleh kaum buruh demi memperoleh upah yang di harapkan. Selalu di hadang dengan berbagai cara dan upaya oleh pengusaha dan pemerintah selaku pemegang kekuasaan.
Negara hingga sekarang ini memang tidak akan pernah memberikan jaminan atas upah yang layak terhadap kaum buruh. Pasalnya, badan kekuasaan, tangan dan kakinya (Presiden,Gubernur, Bupati, Walikota) berikut legislatif di semua tingkatan (DPR RI, DPRD), peradilan dan perangkat aparat : Menteri, Polisi & TNI , termasuk dewan pengupahan. Berdiri di atas landasan ekonomi politik yang pro pada MODAL. Konstruksi yang berdiri di atas landasan ini menciptakan suatu keadaan yang berkekurangan, memiskinkan bagian besar massa rakyat (kaum buruh danlapis massa rakyat lainnya) yang kemudian mengalirkan dan mengakumulasi kekayaan bagi sedikit orang berpunya. Hukum perundang-undangan, peraturan-peraturan dan kelengkapannya dalam konteks upah dibangun untuk mengoperasikan skema yang menghasilkan upah murah.

Bagi pengusaha jelas bahwa buruh hanya diberikan upah untuk sekedar dapat kembali bekerja keesokan harinya. Untuk diperas memproduksi menghasilkan barang menjadi bernilai tambah dan menghasilkan keuntungan berlipat jauh dari modal awalnya tanpa harus membanting tulang seperti yang di lakukan buruh.

Sebagaimana di dijelaskanoleh Engels “dan inilah susunan ekonomi seluruh masyarakat kita dewasa ini: hanya klas buruh sendirilah yang menghasilkan semua nilai. Sebab nilai hanyalah suatu pernyataan yang lain bagi kerja, yaitu pernyataan dengan mana dalam masyarakat kapitalis kita dewasa ini dimaksudkan jumlah kerja-perlu sosial yang terkandung dalam barang-dagangan tertentu. Akan tetapi, nilai-nilai yang dihasilkan kaum buruh ini bukan kepunyaan kaum buruh. Nilai-nilai itu adalah kepunyaan para pemilik bahan-bahan mentah, mesin-mesin, perkakas-perkakas, dan dana-cadangan yang memungkinkan pemilik-pemilik ini membeli tenaga kerja kelas buruh.

Oleh karena itu, dari seluruh jumlah barang hasil yang dihasilkan olehnya, klas buruh menerima kembali hanya sebagian saja bagi dirinya sendiri. Dan sebagaimana baru saja kita lihat, bagian lainnya, yang diambil oleh klas kapitalis untuk dirinya sendiri dan paling-paling harus membaginya dengan klas pemilik tanah, bertambah besar dengan setiap penemuan dan pendapatan baru, sedang bagian yang terbagi kepada klas buruh (dihitung perkepala) hanya bertambah sangat lambat dan tak seberapa atau sama sekali tidak, dan bahkan dalam keadaan tertentu mungkin merosot.

Artinya upah yang berlaku sejauh ini berbasis pada politik upah murah, berlandaskan ekonomi politik penghisapan klas modal terhadap buruh yang menekan upah serendah-rendahnya sebagai konsekuensi dari berlakunya KAPITALISME di indonesia.

Penghasilan buruh seharusnya dan bagaimana mencapainya

Kapitalisme yang berprinsip pada pengabdian bagi sebesar-besarnya kepentingan modal dan akumulasinya. Berjalan dengan corak produksi yang menghisap antara klas pemilik alat produksi, pemilik modal dengan klas buruh yang menjalankan proses produksi dan di hisap tenaga kerjanya dengan di bayar sedikit dari hasil kerjanya, bagian besarnya di miliki oleh pemodal dan terus demikian.

Sejatinya kaum buruh berhak atas penghasilan yang dapat membuatnya hidup berkesejahteraan. Untuk terus memajukan dan mengembangkan pri-kehidupannya sebagai manusia.Dapat merasakan kenikmatan hidup seperti juga diinginkan dan dirasakan kaum berpunya, mengenyam kebahagiaan tanpa dibebani lilitan kesulitan hidup.
Ini berhubungan dengan bagaimana buruh memandang soal upah dan yang melatar belakanginya hingga berlakunya upah seperti yang di terima selama ini.

Merunut uraian di atas bahwa upah tidak berdiri sendiri melainkan ditentukan oleh apa dan bagaimana suatu negeri menjalankan dan mengelola ekonomi politiknya dalam menjalankan kekuasaannya, memerintah dan memberikan kebijakan yang selanjutnya dirasakan sampai pada sendi kehidupan sehari hari rakyat pekerja.

Sehingga atas dasar kesadaran yang terang dalam melihat “upah“ itu sendiri adalahproduk politik. Maka pantasnya tuntutan hidup yang layak, perjuangan upah, juga mensasar pada persoalan dasarnya. Jika tidak menghendaki terus menerus terjebak pada upaya dan kerja keras menuntutkenaikan upah semata yang selalu dibarengi naiknya harga-harga yang membuat kenaikanupah selalu menjadi tidak pernah mampu menghantarkan pada kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup yang memajukan.

UU Ketenagakerjaan yang mengatur upah, sebatas menegaskanupah minimum bagi buruh tanpa sanksi tegas bagi pelanggar, tidak mengatur secara terang bagaimana bagi upah buruh yang berkeluarga (soal ini: dilepaskan untuk berhadapan buruh-pengusaha dalam perundingan) di tengah tidak ada kewajiban transparansi keuntungan bagi pengusaha untuk diketahui buruh dan tidak ada pula sanksi berat bila tidak terbuka. Mekanisme dewan pengupahan pun, tidak megakomodir secara demokratis seluruh organisasi buruh yang ada. Komposisi Dewan pengupahan pun telah memastikan buruh selalu dalam formasi yang minor atau kalah dalam pengambilan keputusan. Pun setelah melalui proses survey yang panjang dan kerja keras hingga menghasilkan nilai di tingkat dewan pengupahan, ini baru sebatas rekomendasi yang masih bisa dianulir, dirubah, bergantung keputusan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) artinya keputusan tetap ada di tanganpenguasadandewanpengupahanhanyaberwenang merekomendasi, bukan memutuskan.

Sistem pengupahan berbasis penghisapan dewasa ini ialah lingkaran yang mengepung buruh dalam kubangan kemiskinan. Untuk pengusaha meraup keuntungan lebih besar dari hasil produksi yang dipasarkan. Dengan menekan biaya produksi termasuk tenaga kerja buruh yang diposisikan tidak lebih dari komoditas semata bagi kelanjutan produktifitas industri dan akumulasi modalnya.

Kemiskinan, penghisapan konsekuensi dari berlakunya corak ekonomi kapitalisme, upahan, dimana buruh dijauhkan dari apa yang telah dihasilkannya. Yang harusnya berhak merasakan manfaat besar dari setiap barang yang dihasilkan melalui proses produksi, keringat dan kerja kerasnya dalam bekerja. Tidak dengan sebatas upah melainkan mendapatkan sesuai atas apa yang dikerjakannya.

Jika suatu barang yang telah diproduksi dan dipasarkan menghasilkan nilai tambah dan nilai jual melebihi dari biaya produksi. Maka buruh berhak atas hasil dan nilai lebihnya dari komoditas barang yang dipasarkan. Namun skema yang “berkeadilan” seperti ini belum dapat terwujud di tengah suprastruktur ekonomi dan corak produksi berbasis penghisapan ditengah persaingan modal memperebutkan pasar yang saling menjatuhkan dan anarkis.
Demikian adanya pengupahan yang berlaku kini yang meniscayakan upah murah dengan terus menghisap tenaga kerja. Tanpa menjungkir balikan skema dasar atas apa yang berjalan maka sepanjang itu pula kaum buruh berada pada keadaan yang selalu berkekurangan dengan upah murah.

Oleh : Sulthoni, kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Arah Juang Edisi III November 2014. Untuk berlangganan Koran Arah Juang, silahkan isi form berlangganan di link berikut ini : Berlangganan.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: