Setiap kali rakyat bangkit, suara-suara dari kalangan borjuasi dan intelektual liberal segera muncul dengan nada sama: “Aksi massa jangan anarkis, harus damai, jangan merusak fasilitas umum.” Dan bukan hanya pemerintah yang berkata demikian. BEM Koordinator Jakarta dengan lantang menegaskan, “Kami menolak dengan tegas segala bentuk tindakan destruktif dan anarkistis yang menghancurkan fasilitas publik dan mengganggu ketertiban umum.”
Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) pun tak kalah sibuk menyerukan agar aksi mahasiswa tetap “kondusif” dan tidak melakukan tindakan “anarkis”. BEM Nusantara Banten bahkan mengeluarkan enam poin pernyataan yang intinya menolak anarkisme, menyerukan aksi sesuai aturan yang berlaku, serta menekankan bahwa gerakan mahasiswa harus “damai, beradab, dan bermartabat.”
Dan, bukan hanya mahasiswa. Elite serikat buruh juga ikut menggaungkan nada serupa. Said Iqbal—ketua KSPSI sekaligus pemimpin Partai Buruh—secara terbuka meminta aparat “menindak tegas” mereka yang dianggap “anarkis” dalam aksi. Di sini jelas terlihat bahwa “damai” versi Iqbal bukanlah kedamaian untuk buruh, melainkan kedamaian untuk modal dan kedamaian bagi rezim untuk membungkam buruh.
Betapa busuknya hipokrisi mereka! Kekerasan para elit politik seperti penangkapan, penyiksaan, pembunuhan tidak pernah mereka sebut kekerasan atau “anarkis”. Padahal sejak 1965, jutaan orang dibantai; Orde Baru menahan, menyiksa, dan membunuh ribuan aktivis. Pasca-Reformasi pun pola yang sama terus berulang: kasus penculikan aktivis 1997–1998 tak pernah diusut, pembunuhan Papua tak henti hingga hari ini, 40-an orang ditembak mati aparat dalam protes Papua 2018–2023, lebih dari 6.000 ditangkap dalam gelombang aksi tolak Omnibus Law 2020, puluhan mahasiswa dan buruh dipukul, ditembak gas air mata, bahkan diringkus hanya karena turun ke jalan. Semua ini dilegitimasi dengan bahasa manis: penegakan hukum, penertiban, pengamanan stabilitas.
Begitu pula kekerasan kapitalisme: ratusan ribu buruh di-PHK setiap tahun dengan alasan “efisiensi”; upah minimum terus ditekan dengan dalih “daya saing”; 50 juta hektar tanah rakyat dirampas untuk perkebunan sawit, tambang, dan infrastruktur; setiap tahun puluhan buruh tambang tewas karena kecelakaan kerja; ribuan pasien miskin terbuang dari rumah sakit karena tak sanggup membayar biaya kesehatan yang disulap jadi bisnis. Namun semua ini tidak pernah mereka labeli sebagai kekerasan. Sementara ketika rakyat melempar batu, membakar pos polisi, atau menyerbu pusat-pusat kekuasaan, seketika itu distempel “anarkis” atau kekerasan.
Narasi “aksi damai,” “kekerasan,” “anarkis” bukanlah ketulusan, melainkan kedok. Ia adalah tameng ideologis untuk mengebiri perlawanan rakyat, agar energi kolektif tetap terkurung dalam ruang yang aman bagi modal. Damai yang mereka maksud bukanlah damai bagi rakyat, melainkan damai bagi profit.
Apa arti “damai” bagi keluarga miskin kota yang digusur paksa demi proyek properti, rumah mereka diratakan, dan anak-anak mereka terlempar ke jalanan? Apa arti “damai” bagi buruh yang gajinya bahkan tak cukup membeli susu untuk bayinya, sementara majikan mereka berpesta di hotel mewah? Apa arti “damai” bagi petani yang tanah leluhurnya dirampas untuk perkebunan sawit, dipukuli ketika melawan, dan dipaksa menjadi buruh murah di ladang milik korporasi asing?
Apa arti “damai” bagi Affan Kurniawan, pekerja ojek online yang tubuhnya dilindas kendaraan aparat saat memperjuangkan martabatnya? Apa arti “damai” bagi Marsinah, buruh perempuan yang diperkosa, disiksa, dan dibunuh hanya karena menuntut hak upah? Apa arti “damai” bagi Wiji Thukul yang hilang tak pernah kembali? Apa arti “damai” bagi ratusan rakyat Papua yang ditembak mati, termasuk Yoteni Yekime di Deiyai, atau Edison Wanimbo di Intan Jaya? Apa arti “damai” bagi mahasiswa Kendari, Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, yang tewas ditembak aparat saat aksi 2019?
Apa arti “damai” bagi rakyat Wadas yang diciduk dan dipukuli polisi hanya karena mempertahankan tanahnya dari tambang batu andesit? Apa arti “damai” bagi ribuan ibu-ibu yang setiap tahun menangisi anaknya yang mati di tambang, di pabrik, di laut—karena keselamatan kerja lebih murah dari keuntungan modal?
Pernah miskin apa rezim ini sehingga begitu gampang melakukan kekerasan? Pernah merasakan lapar? Pernah kehilangan tanah dan rumah? Pernah menderita karena upah tak cukup sebulan? Pernah ditindas apa? Tidak! Mereka lahir dari rahim kelas berkuasa, hidup dengan gaji dan fasilitas yang dirampas dari rakyat.
Rakyatlah yang marah, karena rakyat bukan hanya pernah miskin—tetapi selalu hidup dalam kemiskinan. Rakyat bukan hanya pernah menderita—tetapi selalu dipaksa menderita. Rakyat bukan hanya pernah ditindas—tetapi selalu berada di bawah sepatu penindasan. Dan rakyat bukan hanya pernah khawatir akan masa depan—mereka selalu dipaksa hidup dalam ketidakpastian yang menyesakkan.
Kedamaian kapitalisme tak lebih dari kedamaian kuburan: rakyat dikubur hidup-hidup, dibungkam, dipaksa merangkak dalam penderitaan, hingga mati perlahan tanpa pernah sempat melawan.
Dan mari kita jujur: adakah capaian rakyat lahir dari sekadar dialog, negosiasi, seminar, atau mediasi santun bersama elite? Tuan-nyonya liberal boleh menulis setebal apapun, tetapi sejarah membantah mereka. Hak-hak rakyat tak pernah diberikan cuma-cuma.
Delapan jam kerja bukan hasil bujukan lembut, melainkan lahir dari mogok dan bentrokan berdarah di Chicago 1886. Reformasi 1998 yang diagungkan sebagai “damai” justru ditembus darah lebih dari seribu rakyat tewas, ratusan hilang, ribuan dipenjara. Bahkan kemerdekaan 1945 mustahil tanpa perlawanan bersenjata rakyat melawan kolonialisme.
Sejarah berbicara lantang: kelas berkuasa tidak pernah menyerahkan kekuasaan secara sukarela. Setiap jengkal kebebasan rakyat dipetik dengan harga pengorbanan, dengan darah dan keberanian.
Mari kita tegaskan di sini: kekerasan tidak bisa dihakimi secara moral absolut. Ia bukan prinsip yang kita dukung atau tolak begitu saja. Kekerasan adalah alat, sebuah taktik. Pertanyaannya selalu: siapa yang menggunakannya, dan untuk tujuan apa?
Lihat lagi contoh-contoh di atas, kekerasan kelas berkuasa selalu dibungkus legalitas. Polisi boleh memukul mahasiswa, militer boleh menembaki rakyat Papua, pengusaha boleh memecat buruh massal—semua dianggap “sah” menurut hukum. Dan ketika ada aparat yang ketahuan berlebihan, paling-paling mereka disebut “oknum” kemudian Sidang Etik atau jarang-jarang ada Pengadilan. Ketika dihukumpun, masih tetap bisa berkuasa dan kaya raya. Tetapi tidak pernah dipersoalkan “hak” fundamental polisi untuk memukul, militer untuk menembak, atau majikan untuk merampas.
Sementara ketika rakyat yang marah membalas, dengan segera seluruh gerakan langsung dihantam secara fisik dan ideologis. Ini karena kelas berkuasa ingin menjadi satu-satunya kelas yang punya hak atas kekerasan. Mereka tahu sistem yang mereka pimpin tidak adil, sehingga ia hanya bisa bertahan dengan pasukan bersenjata, polisi, pengadilan dan penjara—badan-badan kekerasan yang berdiri bukan demi keadilan rakyat, melainkan demi melindungi kapitalisme.
Maka kita menolak kekerasan rezim bukan sekadar karena ia menumpahkan darah, melainkan karena ia adalah instrumen untuk mengekalkan penindasan kelas dan cengkeraman kapital.
Sebaliknya, ketika rakyat melawan, kita tidak otomatis mendukung semua bentuk kekerasan hanya karena ia datang dari pihak tertindas. Kita menilai: apakah ia akan memperkuat perjuangan strategis rakyat atau justru menguras tenaga tanpa hasil? Kekerasan bisa sah secara moral, tetapi tidak selalu berguna secara politik. Misal: rakyat marah membakar ban di jalanan mungkin melegakan sesaat, tapi tidak otomatis menumbangkan rezim. Sebaliknya, ketika rakyat banyak yang telah terdorong untuk menggunakan kekerasan, berhasil mengorganisir diri, terdorong untuk mogok massal, menduduki pabrik, menyerbu pusat-pusat kekuasaan, atau bahkan melucuti senjata TNI-Polri untuk mempertahankan diri dari serangan balik rezim—inilah bentuk perlawanan yang bisa menjadi alat menuju pembebasan.
Hak rakyat untuk membela diri adalah mutlak. Buruh yang diserang preman bayaran punya hak memukul balik. Petani yang tanahnya dirampas punya hak menghalau aparat dengan segala cara. Rakyat Papua punya hak mempertahankan diri dari operasi militer yang menjarah tanah dan nyawa mereka. Tidak ada artinya menyerukan rakyat untuk “damai” sementara kelas berkuasa memegang senjata dan menggunakannya tanpa henti.
Seorang revolusioner, Frederick Engels, menulis hampir dua abad lalu: “Bila penghapusan kepemilikan pribadi bisa dilakukan dengan jalan damai, kita tentu akan memilih jalan demikian. Tetapi kenyataannya, di hampir semua negeri, perkembangan rakyat pekerja justru dilindas dengan kejam. Dengan cara ini, musuh-musuh rakyatlah yang memaksa revolusi. Jika pada akhirnya rakyat tertindas terdorong ke dalam revolusi, maka tugas kita adalah membela kepentingan mereka dengan perbuatan, sebagaimana sekarang kita membela mereka dengan perkataan.”
Rakyat tidak mencari kekerasan. Tetapi ketika dipukul, ketika ditindas, meraka memiliki hak untuk membela dirinya. Persoalannya sekarang: penggunaan kekerasan rakyat perlu diarahkan, diorganisir, ditimbang secara strategis. Tujuan kita bukan menciptakan kekacauan, melainkan memenangkan pembebasan. Revolusi bukanlah untuk mendirikan dunia baru yang penuh kekerasan, melainkan dunia tanpa perang, tanpa penindasan, tanpa kelaparan. Tetapi kapitalisme tidak akan runtuh dengan sendirinya. Kelas berkuasa tidak akan menyerahkan kekayaannya karena bujukan, dialog santun, atau sekadar mencekoki mereka dengan aspirasi verbal semata. Mereka akan bertahan dengan darah dan peluru. Dan rakyat hanya bisa menang bila berani melawan, terorganisir, dan siap menghadapi kekerasan itu.
Maka, kita berhadapan pada pilihan yang tak bisa dihindari: Diam, tunduk pada “damai” versi borjuasi—yang artinya menerima perbudakan, menerima penindasan, menerima kematian perlahan. Atau bangkit, mengorganisir amarah rakyat dalam Komite-komite Perlawanan di kampus, pabrik, dan desa—agar perlawanan menjadi kekuatan politik yang bisa menumbangkan sistem busuk ini. Diam berarti memperpanjang umur tirani. Diam berarti merestui darah rakyat terus ditumpahkan.
ditulis oleh Miswanto, Anggota Lingkar Studi Sosialis
Comment here