Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di Bawah Sosialisme
Karya Kristen R. Ghodsee
Dalam pengantarnya, Ghodse menyampaikan bahwa kapitalisme merupakan sistem yang buruk bagi perempuan dan jika kita mengadopsi beberapa gagasan sosialisme maka perempuan akan memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia juga beragumentasi bahwa jika sosialisme dilakukan dengan benar hal ini akan membawa pada kemandirian ekonomi, kehidupan yang lebih baik bagi buruh, keseimbangan kerja dalam keluarga yang lebih baik hingga aktivitas seks yang lebih baik. Ia mempertegas mengapa bukunya berfokus pada bagaimana kapitalisme secara tidak proposional merugikan perempuan dengan tidak menegasikan bahwa kapitalisme menghisap setiap orang. Dia juga membantah sebuah argumentasi bahwa kapitalisme merugikan seluruh perempuan—ia menyatakan bahwa perempuan yang menduduki puncak distribusi penghasilan tidak memiliki nasib serupa tanpa menegasikan bahwa tetap ada kasus pelecehan seksual kerap juga terjadi di antara mereka. Argumentasinya berangkat dari proses pengamatannya terhadap dampak-dampak sosial transisi politik dan ekonomi dari sosialisme ke kapitalisme yang terjadi di Eropa Timur.
Kontras antara visi sosialis tentang seksualitas dan konsep kapitalis mengenai seksualitas sebagai komoditas dapat terlihat jelas dalam perdebatan seputar reunifikasi Jerman—antara Republik Demokratik Jerman (GDR) di Timur dan Republik Federal Jerman (FRG) di Barat. Pembagian Jerman ini menciptakan sebuah eksperimen alami yang unik terkait hak-hak seksual perempuan, karena kedua negara memiliki latar belakang yang serupa kecuali pada sistem ekonomi dan politiknya. Selama 40 tahun, kedua Jerman mengembangkan jalur yang berbeda dalam mengonstruksi gagasan maskulinitas dan feminitas yang “ideal”. Jerman Barat mengadopsi kapitalisme, mempertahankan peran gender tradisional, dan model pernikahan monogami borjuis dengan suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai ibu rumah tangga. Sebaliknya, di Jerman Timur, tujuan untuk mengemansipasi perempuan—ditambah dengan adanya kelangkaan tenaga kerja—mendorong mobilisasi besar-besaran kaum perempuan untuk masuk ke dunia kerja.
Di dalam bukunya ia menyampaikan beberapa penelitian yang dilakukan untuk melihat perbandingan kondisi Jerman Timur dan Jerman Barat. Para peneliti Jerman Timur beragumen bahwa para rekan senegara mereka bercinta lebih sering dan lebih memuaskan. Mereka berargumen bahwa sistem sosialis memperbaiki kehidupan seks orang justru karena seks bukanlai sebuah komoditas yang ditujukan untuk diperjual belikan. Ghodsee juga menyampaikan temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Kurt Starke dan Walter Friedrich (1984) tentang cinta dan seksualitas di kalangan rakyat Jerman Timur di bawah usia tiga puluh tahun. Para penulis menemukan bahwa anak-anak muda GDR (German Democratic republic), baik laki-laki maupun perempuan sangat puas dengan kehidupan seksual mereka—dua pertiga perempuan muda melaporkan sendiri bahwa mereka “hampir selalu” mencapai orgasme dengan tambahan 18 persen mengatakan bahwa mereka sangat sering mencapai orgasme. Kedua peniliti tersebut mengklaim bahwa tingkatan-tingkatan kepuasan personal di dalam kamar tidur ini dihasilkan oleh kehidupan sosialis: seperti rasa keamanan sosial, pendidikan yang setara dan tanggung jawab-tanggung jawab profesional, hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi untuk dapat menentukan kehidupan masyrarakat.
Di tahun selanjutnya, pada 1988—Kurt Starke dan Ulrich Clement melakukan studi komparatif pertama tentang pengalaman seksual yang dilaporkan sendiri pada para mahasiswa perempuan di Jerman Barat dan Jerman Timur. Mereka menemukan bahwa perempuan-perempuan Jerman Timur mengatakan bahwa mereka lebih menikmati seks dan melaporkan tingkat orgasme lebih tinggi dibandingkan para perempuan di Jerman Barat. Pada tahun 1990, penelitian lain yang membandingkan sikap-sikap seksual anak muda di kedua Jerman iu menemukan bahwa preferensi kaum pria dan perempuan GDR (German Democratic republic), lebih sinkron satu dengan yang lainnya dibandingkan dengan yang terjadi pada kaum pria dan perempuan di Jerman Barat. Salah satu survei menemukan bahwa 73% perempuan Jerman Timur dan 74% laki-laki Jerman Barat ingin menikah. Sebaliknya 71% perempuan di Jerman Barat menginginkan untuk menikah, tetapi hanya 57% laki-laki Jerman Barat yang ingin menikah. Sebuah perbedaan besar sekitar 14 poin. Sebuah survei lainnya, melaporkan jauh lebih tinggi tingkat kenikmatan sensual di kalangan perempuan Jerman Timur. Sekitar 75% perempuan GDR dan 74% laki-laki GDR mengatakan iya dibandingkan dengan 84% laki-laki FRG (Federal Republic of Germany) dan presentase perempuan FRG sebanyak 46%. Pertanyaan selanjutnya yang diakomodir di dalam survei tersebut ialah, apaka mereka merasa bahagia setelah bercinta. Di kalangan perempuan Jerman Timur, 82% setuju sementara di kalangan perempuan Jerman Barat hanya 52%. Membalik sebuah statistik tersebut hanya 18% dari perempuan GDR yang tidak “bahagia” setelah bercinta dibandingkan dengan hampir separuh dari perempuan FRG yang mengatakan tidak “bahagia.
Perbedaan yang terjadi antara Jerman Timur dan Jermat Barat ini juga dibahas dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Betts dan McLellan. Studi oleh Betts dan McLellan menyoroti beberapa penyebab perbedaan kepuasan seksual antara Jerman Timur dan Barat. Di Barat, gereja memiliki peran signifikan dalam mengatur moralitas seksual, sementara di Timur pengaruhnya lebih kecil. Selain itu, tekanan dari rezim otoriter di Jerman Timur mendorong warganya untuk fokus pada kehidupan privat yang nyaman sebagai pelarian. Minimnya hiburan komersial di Timur, dibandingkan dengan Barat, juga diduga memberikan lebih banyak kesempatan untuk bercinta. Pada dasarnya, rezim Jerman Timur seolah mengizinkan warganya menikmati kebebasan seksual sebagai pengalih perhatian dari kesulitan ekonomi dan pembatasan kebebasan lainnya.
Hal yang menarik disoroti dari situasi tersebut yaitu dalam perkembangannya pada pra-1989 rakyat Jerman Timur mempercayai bahwa pada saat itu moral seksualitas yang terjadi lebih spontan, natural, dan riang dibandingan dengan seksualitas yang dikomersilkan dan diinstrumenkan ketika mereka bergabung dengan Jerman Barat.
Kasus lain yang disoroti dalam buku Ghodsee yaitu di Hungaria. Sosiolog Hungaria yaitu Judith Takacs mengeksplorasi kehidupan-kehidupan intim kawan-kawan senegaranya sebelum tahun 1989 dan menyatakan bahwa kehidupan seks mereka berkembang bahkan di bawah lingkungan-lingkungan yang represif. Seksualitas sosialis di Hungaria (setidaknya di kalangan kelompok pria dan perempuan berusia 18 tahun hingga 24 tahun) mengidealkan hubungan cinta kasih berdasarkan saling sayang.
Kasus lain yang terjadi di Polandia, karena pengaruh gereja yang berkelanjutan—rakyat Polandia hanya sedikit mengubah peran-peran gender tradisional. Setelah 1956, perempuan sepenuhnya digabungkan ke dalam tenaga kerja dan organisasi perempuan yang hadir saat itu tetap memastikan bahwa aborsi tetap terjangkau dan legal. Di tahun 1970-an dan 1980-an masifnya cabang-cabang keilmuan baik kedokteran, psikologi, ilmu sosial dan humaniora, dan juga studi agama menyediakan sumber daya untuk pendidikan seks dan terapi. Para ahli terapi di Polandia era sosialis mengkplorasi hasrat-hasrat individu atas cinta, keintiman dan saling mendengarkan kekecewaan para pasien. Para seksolog Polandia tidak membatasi seks pada pengalaman ragawi dan menekankan pentingnya konteks sosial dan kultural demi kenikmatan seksual. Akan tetapi, setelah runtuhnya sosialisme, Polandia mengalami kebangkitan peranan gender yang konservatif begitu cepat dan membalikkan semua jaminan yang sebelumnya memenuhi hak-hak perempuan. Bangkitnya nasionalisme di Polandia menjanjikan peningkatan homofobia dan xenofobia.
Kasus terakhir yang menarik dalam buku ini, ialah apa yang terjadi di Cekoslowakia. Sejak awal 1950-an, para seksolog di sana memusatkan perhatian pada kenikmatan seksual dengan keyakinan bahwa “seks yang baik” hanya dapat tercapai melalui kesetaraan sosial antara pria dan wanita. Para ahli ini bahkan melakukan riset mengenai orgasme perempuan pada tahun 1952 dan menyelenggarakan konferensi pada tahun 1961 untuk mendiskusikan berbagai rintangan yang menghalangi kepuasan seksual perempuan. Menurut pandangan ahli mereka, perempuan tidak dapat menikmati hubungan seksual jika mereka bergantung secara ekonomi pada laki-laki. Mereka juga berargumen bahwa dalam masyarakat yang timpang secara ekonomi, standar ganda seksual menyebabkan banyak orang, terutama perempuan, terjebak dalam pernikahan yang tidak membahagiakan. Oleh karena itu, mereka mengidentikkan tatanan kapitalis dengan penindasan perempuan dan patriarki, seraya memandang sistem sosialis sebagai solusi untuk mencegah eksploitasi terhadap perempuan. Pengalaman beberapa negara penganut sosialisme di Eropa Timur menyatakan bahwa ada sesuatu yang berbeda perihal relasi seksual di bawah sosialisme, setidaknya ada satu faktor penting yang disoroti yaitu dukungan-dukungan sosial yang diletakkan untuk mengedepankan kemandirian ekonomi perempuan.
Argumentasi lain yang perlu diresapi bersama, ia memajukan sebuah gagasan dengan melihat bagaimana kekejaman kehidupan di bawah kapitalisme. Kapitalisme mengkomodifikasi hampir setiap aspek kehidupan privat kita. Kita seringkali teralihkan untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi sementara hubungan personal perlu meluangkan waktu dan energi. Kita seringkali sudah terlanjur kelelahan untuk memenuhi kebutuhan emosi untuk mempertahankan suatu hubungan. Kapitalisme mempengaruhi pengalaman-pengalaman kita yang paling intim. Kapitalisme mereduksi rasa sayang dan perhatian kita menjadi status barang-barang yang bisa diperjual-belikan. Kehidupan privat yang lebih terpenuhi hanya mungkin bisa terjadi dalam sebuah masyarakat yang dapat menjamin kebebasan individu dan ruang publik yang kuat.
Hal yang menarik untuk dapat dilihat sebagai suatu fakta historis yaitu apa yang terjadi di Jerman Timur, kemandirian finansial perempuan menjadi dasar argumen bahwa kehidupan personal kaum sosialis lebih memuaskan, khususnya dalam hal seks. Para peneliti di sana mengklaim bahwa warganya lebih sering berhubungan seks dan tingkat kepuasannya lebih tinggi. Argumen utamanya adalah sosialisme telah membebaskan seks dari statusnya sebagai komoditas. Para penulis sering membandingkan dengan Jerman Barat, menyatakan bahwa hubungan di Timur lebih tulus karena didasari oleh cinta sejati, bukan karena perempuan terpaksa menikah demi kelangsungan hidup ekonomi.
Dalam sistem sosialis, individu dapat saling mencintai dan berhubungan intim sebagai pribadi yang “bebas”, tidak didasari oleh kalkulasi uang atau status sosial, dan bukan pula semata-mata untuk kenikmatan hedonistis. Seks yang hanya bertujuan untuk kesenangan dianggap sebagai distraksi kaum borjuis yang dapat menghalangi kerja revolusi. Para penganut sosialis telah lama menyadari bahwa untuk mewujudkan keadilan antara laki-laki dan perempuan, terlepas dari perbedaan biologis, diperlukan dukungan kolektif misalnya dalam hal pengasuhan anak. Sejak pertengahan abad ke-19, ketika perempuan mulai banyak memasuki dunia industri di Eropa, kaum sosialis mengajukan teori bahwa gerakan pekerja yang kuat tidak mungkin terwujud tanpa melibatkan partisipasi perempuan. Sosialisme menyajikan sebuah sistem sosial yang memungkinkan perempuan untuk mengalami kehidupan cinta dan seksual dalam situasi yang lebih unggul daripada di bawah kapitalisme. Setelah eksploitasi ekonomi, opresi patriarki, dan ketidaksetaraan gender dihilangkan, hubungan intim dalam sistem sosialis menjadi lebih adil, sehat, dan memuaskan. Sistem sosialis menyediakan landasan bagi perempuan untuk menjalin hubungan yang terbebas dari berbagai bentuk ketidakadilan, baik secara fisik, emosional, maupun seksual.
ditulis oleh Sagra, anggota Lingkar Studi Sosialis
Comment here