Sejarah

Pendirian dan Perjuangan SOBSI

Gerakan serikat buruh turut bangkit dan berjuang dalam masa Revolusi Nasional Indonesia. 15 September 1945 didirikan Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). Tahun yang sama pula didirikan Barisan Boeroeh Wanita (BBW) oleh SK Trimurti  sebagai hasil penggabungan kelompok-kelompok kerja perempuan. Namun BBI yang awalnya merupakan serikat buruh skala nasional berganti pada Kongres BBI 9 November 1945 menjadi Partai Boeroeh Indonesia (PBI). Saat yang bersamaan kaum buruh di berbagai kota mendirikan laskar-laskar untuk bersiap menghadapi upaya penjajahan kembali oleh Belanda. Desember tahun yang sama Konferensi buruh di Blitar memutuskan mendirikan badan perjuangan bersenjata buruh nasional bernama Laskar Boeroeh Indonesia (LBI). Sementara itu serikat-serikat baru dibentuk di berbagai sektor kerja. Kebutuhan atas federasi serikat buruh kembali mengemuka. Maka 29 November 1946 didirikanlah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) di Jakarta. Serikat per sektor kerja, serikat buruh vertikal, bahkan LBI juga bersatu ke SOBSI. Penting diketahui bahwa semua pengorganisiran ini dilakukan oleh kaum Marxis.

Karenanya kongres pertama SOBSI di Malang 16-18 Mei 1947 kental internasionalisme proletar. Kongres SOBSI ini diikuti juga oleh para delegasi dari luar Indonesia. Ted Roach dan Mike Healy dari Partai Komunis Australia. Lalu Blokzil, J.G. Suurhof, Evert Kupers, dan RKN Vijlbrief, para aktivis serikat dari Belanda. Kemudian para perwakilan dari Federasi Serikat Buruh Dunia (WFTU) yaitu Rajkni Tomovic dari Yugoslavia dan Olga Tchetchekina dari Rusia. Bukan hanya menekankan komitmennya pada perjuangan kemerdekaan, kongres juga menyerukan persatuan buruh untuk perjuangan pendirian masyarakat sosialis. Ini tercermin di Konstitusi 1947, SOBSI menyatakan menganut ideologi sosialisme dan azas perjuangan kelas. Dasar organisasinya pun sentralisme-demokratik.  Kelak SOBSI pun bergabung federasi serikat merah WFTU.

Secara nasional, SOBSI tergolong di Sajap Kiri, kubu Marxis yang dipimpin Amir Sjarifuddin. Bersama dengan Barisan Laskar Pemoeda Sosialis Indonesia (Pesindo), PBI, Partai Sosialis, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Februari 1948 mendirikan Front Demokrasi Rakjat (FDR). Meskipun sempat terhantam akibat Peristiwa Madiun, SOBSI bertahan dan di dekade 1950-an menjadi federasi buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun aktivitas perjuangannya. 2,5 juta anggotanya. 60% dari seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Puncaknya 3.277.032 anggota di akhir 1962 dengan lebih dari 34 serikat buruh dan 165 cabang. Antara lain SBG (gula), SBPP (pelabuhan dan pelayaran), SBKA (kereta api), SBPPK (pendidikan dan kebudayaan), SBKUGT (tani), SBKB (kendaraan bermotor), SBTI (tambang), SBIM (industri metal), SBRI (rokok), SBPI (percetakan), Sarbupri (perkebunan), Sarbufis (film dan seni drama), Sarbuksi (kehutanan), Serbaud (angkatan udara). Di sektor kementerian ada SSKPM (kabinet perdana menteri), SBBRN (biro rekonstruksi nasional), SB KEMPERBU (kementerian perburuhan), SBKP (kementerian pertahanan), SBPU (pekerjaan umum). Di sektor lain ada Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI), Organisasi Buruh Umum (ORBU), Gabungan Buruh Indonesia (GBI), Persatuan Guru Technik Indonesia (PGTI), dan masih banyak lagi.

SOBSI sendiri bukanlah bawahan atau onderbouw PKI. Secara resmi tidak ada hubungan antara keduanya. Namun PKI mendorong kader-kadernya turut mencurahkan tenaga dan kepemimpinannya terhadap gerakan serikat buruh. Karena itu banyak kader PKI kemudian dipercaya, diberi amanah menjadi pimpinan SOBSI. Sisi lain banyak aktivis buruh maju juga kemudian bergabung ke PKI. Mereka telah terbukti, tergembleng, dan terbukti berjasa memajukan perjuangan buruh, baik untuk meningkatkan kesejahteraan maupun melawan penjajahan.

Antara 1950-1952, SOBSI memobilisasi aksi militan dengan isu upah, keamanan sosial dan kondisi kerja. Pada 1950, Sarbupri melancarkan mogok nasional yang diikuti oleh 700,000 buruh perkebunan dan berhasil memaksa pemerintah untuk meningkatkan upah minimum buruh perkebunan. Pemogokan Sarbupri masih berlanjut untuk menuntut kenaikan upah hingga upah buruh perkebunan naik 30% pada September 1953. Hasil-hasil perjuangan SOBSI diantaranya kenaikan upah minimum di sektor publik pada 1955, kenaikan upah 10%-30% bagi kaum buruh partikelir pada 1960, kenaikan upah 15% dan 25% bagi buruh gula dan perkebunan pada 1961.

Pada 1953, SOBSI menuntut pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) meski organisasi buruh non-SOBSI tidak menganggapnya sebagai isu penting. SOBSI teguh dalam berjuang menuntut THR yang memakan waktu bertahun-tahun. Melihat kesulitan ekonomi 1950-an, SOBSI tahu betul adanya THR akan memenangkan hati kaum buruh. Tuntutan ini menjadi sangat populer di massa buruh dan berdampak pada perluasan basis SOBSI. Tuntutan SOBSI akhirnya dapat dinikmati kaum buruh pada 1961 melalui peraturan Kementrian Perburuhan No. 1/1961. THR menjadi salah satu hasil perjuangan SOBSI yang masih bisa dinikmati kaum buruh Indonesia sampai saat ini.

Komitmen SOBSI melawan kolonialisme tidak pernah berhenti. Saat hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) sangat merugikan karena bukan hanya membuat Republik Indonesia (RI) di bawah Uni Indonesia-Belanda tapi juga mewajibkan penggantian kerugian perang Hindia Belanda, Sukarno mengancam menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Para aktivis SOBSI langsung merebut, menduduki, dan mengelolanya sendiri di bawah kontrol buruh. Sayangnya PKI justru mengarahkan bukan hanya membatasi agar sasarannya hanya ke perusahaan Belanda saja namun juga menyerahkan pengambilalihan ke Angkatan Darat (AD). Buruh harus puas dengan posisinya di Dewan Perusahaan sebagai anggota Badan Pertimbangan.

SOBSI kemudian juga mendapat kedudukan di parlemen 1950-an di masa Demokrasi Terpimpin sebagai wakil buruh dengan status ‘kelompok fungsional’. Saat Sukarno mengangkat 45 anggota Dewan Nasional yang bertugas membantu kabinet pada 12 Juli 1957, SOBSI mendapatkan satu kursi yang diwakili Munir.

SOBSI memiliki Biro Perempuan yang fokus pada pemenuhan hak-hak buruh perempuan. Biro Perempuan SOBSI bersama Gerwani memimpin kampanye menuntut pelaksanaan hak-hak perempuan yang dijamin UU Ketenagakerjaan 1951 seperti hak untuk melahirkan, cuti menstruasi, dan istirahat menyusui di tempat kerja.

1 Januari 1961, SOBSI mencanangkan ‘Rencana Tiga Tahun’ yang bergerak di bidang pengorganisiran, pendidikan dan kebudayaan. Di bidang pengorganisiran, SOBSI mengorganisir buruh sektor pertanian dan transportasi dan berhasil memperoleh setengah juta anggota dalam dua tahun. Selama periode ini, 5.278 guru telah melaksanakan kursus tingkat dasar. Selama 1962, 19.964 buruh menyelesaikan kelas literasi. 145 tim olahraga dan sebelas paduan suara revolusioner berhasil dibentuk. Sayangnya malapetaka 1965 mengacaukan semua ini.

AD di bawah pimpinan Harto melakukan kudeta merangkak. Dengan fitnah SOBSI terlibat pemberontakan G30S, militerisme membubarkan SOBSI dan 62 serikatnya. Sekretariat-sekretariat SOBSI diduduki militer dan banyak yang dijarah bahkan dibakar. Para aktivis SOBSI di Solo serta beberapa kota di Jawa Tengah mengobarkan pemogokan rel dan perkeretaapian untuk mencegah datangnya Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang memimpin pembantaian anti-Kiri. Pemogokan serupa juga digelar di Sumatra dan Sulawesi Utara. Namun para buruh ditembaki dengan senapan mesin dan pemogokan dibubarkan. Banyak aktivis SOBSI dipersekusi. Pembantaian 65 dan penghancuran SOBSI juga merupakan penghapusan tradisi radikal gerakan buruh Indonesia. Rezim kediktatoran Orde Baru melumpuhkan gerakan buruh agar penghisapan kapitalisme-imperialisme tidak menghadapi gangguan.

Kini 20 tahun lebih setelah Harto dipaksa turun. Secara relatif terdapat kebebasan lebih besar dan hak-hak demokratis lebih banyak. Namun banyak sisa-sisa Orba masih berkuasa serta represi dan kriminalisasi ke buruh. Karenanya penting juga untuk membangkitkan kembali semangat dan praktik radikal SOBSI demi perjuangan demokratis rakyat dan perjuangan kelas buruh untuk mendirikan tatanan masyarakat sosialisme.

ditulis oleh Artika Tovariska, Anggota Lingkar Studi Revolusioner

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 99 III-IV November 2020, dengan judul yang sama.

Loading