Perjuangan

Selebaran: Awas Bahaya Militerisme Gaya Oligarki!

Dengan sembunyi-sembunyi dan melanggar prosedur, DPR mengesahkan revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Revisi UU TNI ini akan memberikan kekuasan yang lebih bagi militer. Militer akan dapat menempati posisi di 15 kementerian/ lembaga negara; operasi militer non-perang yang diperbanyak serta usia pensiun yang diperpanjang. Selain itu UU Polri dan UU Kejaksaan juga akan direvis serta KUHP yang baru akan memperkuat dan memperluas wewenang represif dari mereka semua. Penyempitan ruang demokrasi seperti itu tidak bisa dilepaskan dari keseluruhan kebijakan Rezim Prabowo-Gibran. Kebijakan-kebijakan Rezim Prabowo-Gibran sejatinya menguntungkan para elit dan menindas kita, pertama dengan merampas kesejahteraan kita, buruh dan rakyat dan itu akan diikuti oleh penyempitan ruang demokrasi serta meningkatnya represi. Senjatanya adalah militerisme. Agar kita tidak dapat merebut kembali kesejahteraan kita.

Prabowo berhasil mengulangi keberhasilan Jokowi untuk mengkonsolidasikan mayoritas faksi elit politik yang ada. Konsolidasi tersebut dilakukan dengan membagi-bagi akses kekuasaan politik (baca: jabatan) serta ekonomi. Danantara yang akan mengumpulkan dana belasan ribu triliun rupiah akan diarahkan ke tiga sektor: pengelolaan sumber daya alam, pengembangan AI dan digital serta ketahanan pangan dan energi. Kita sudah bisa menduga bahwa para elit politik, khususnya konglomerat, yang berbisnis di sektor sumber daya alam, AI dan digital serta energi dan pangan akan segera mandi uang Danantara.  Tentunya juga akan ada berbagai macam fee yang bernilai miliar bahkan triliuan dari mengurusi aset belasan ribu triliun.

Termasuk semakin menguatkan militer sebagai faksi elit politik terkuat di Indonesia sejak Malapetaka 1965. Tidak heran, di tengah efisiensi anggaran dua kementerian dengan anggaran terbesar adalah kementerian yang berfungsi untuk melakukan represi terhadap buruh dan rakyat. Itu adalah Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI sebesar Rp139,2 triliun serta Polri dengan besar anggaran Rp106 triliun. Berikutnya adalah kementerian sosial sebesar Rp 78,6 triliun yang sekitar 90 persennya akan digunakan untuk sogokan untuk meredam rakyat berupa bansos. Serta lembaga baru yang dikontrol oleh militer yaitu Badan Gizi Nasional sebesar Rp71 triliun.

Militer sekarang mengontrol Makan Bergizi Gratis (MBG). TNI Angkatan Darat tengah menyusun rencana pembentukan 100 batalion baru untuk mendukung MBG dan program Pembangunan lainnya. Menteri Badan Usaha Milik Negara baru saja mengangkat tentara aktif  Mayor Jenderal Novi Helmy sebagai Direktur Utama BULOG. Posisi BULOG strategis dalam pengadaan barang untuk program MBG ke depan. Sementara itu di bulan Januari, Prabowo melakukan pertemuan tertutup dengan dua ratusan perwira militer berpangkat Kolonel terpilih. Mereka diberikan kursus singkat mengenai manajemen, bisnis, keuangan dan investasi. Ada pembahasan yang fokus pada sektor pangan dan energi. Mereka ditargetkan akan mendapatkan jabatan di perusahaan binaan Kementerian Pertahanan, BUMN hingga BUMD. Belum lagi jumlah Struktur Komando Teritorial yang akan digandakan.

Rezim Prabowo-Gibran melanjutkan percepatan remiliterisasi dari Jokowi. Secara umum para elit politik Indonesia yang iman demokrasinya lemah serta pengecut dalam menghadapi militer. Reformasi 1998 atau transformasi demokratis anti-militerisme tidak tuntas. Para elit politik baik itu PAN, PDI Perjuangan, PKB, PKS, dsb mengkhianati Reformasi 1998. Sehingga Fraksi ABRI memang dihapuskan tapi banyak elemen lainnya masih bersisa dari komando-komando ektra teritorial sampai berbagai bisnis dan perusahaan militer. Para elit politik Indonesia, pejabat pemerintah negara kapitalis Indonesia, dan atau para politisi borjuis di Indonesia, terkenal buruk/payah tata kelola/governancenya, lambat dan tidak efisien, korup, bejat moralnya, gila hormat, dan sebagainya. Militeris (sama dengan di tahun 1950an) menuding itu sebagai kegagalan supremasi sipil atau pemerintahan sipil, sembari menebar mitos bahwa militer itu disiplin, gerak cepat, rapi, dan berbagai mitos lainnya, namun semua ini lebih dikarenakan militeris menghendaki kekuasaan lebih banyak untuk pihaknya sendiri.

Militer Indonesia juga terbiasa melakukan pemberontakan serta kudeta, seperti upaya Kudeta 17 Oktober 1952 ataupun PRRI/ Permesta. Selain itu merancang kerusuhan menggunakan rasisme ataupun sentimen sauvinis seperti yang kita lihat di Pogrom Mei 1998. Termasuk yang sudah menjadi ciri khas dari militer Indonesia adalah membangun dan menggunakan kelompok-kelompok sipil reaksioner untuk kepentingan politik mereka. Militer Indonesia menggunakan kelompok-kelompok tersebut untuk membumihanguskan Timor Leste dan sekarang kita lihat mereka juga menggunakannya untuk menghadapi aksi-aksi penolakan Revisi UU TNI.

Para politisi borjuis sipil dari waktu ke waktu dengan senang hati membagi kekuasaan ke militer karena mereka sadar bahwa buruknya, bejatnya, dan korupnya pemerintahan mereka yang semakin terang benderang itu pada akhirnya hanya bisa dipertahankan (dari kemarahan dan perlawanan rakyat) dengan kekuatan militer. Ini termasuk upaya melibatkan militer ke pemerintahan karena selama ini kelompok-kelompok anti-rasuah atau anti-korupsi tidak bisa menyentuh militer.

Sejarah militer Indonesia tidak terlepas dari kolonialisme-imperialisme, yaitu lewat rezim kolonial fasis Jepang serta kolonialisme Belanda. Tentara eks-KNIL dalam masa-masa melawan Agresi Militer Belanda hanyut dilibas banjir perasaan unggul perjuangan bersenjata daripada diplomatik (pejuang sipil). Di saat bersamaan, mereka juga tidak berdaya di hadapan para tentara PETA (didikan fasis Jepang) yang mereka anggap sebagai barisan tak terdidik sebagai prajurit. Dimanapun rezim Jepang menginvasi dan menjajah, mereka mendirikan pemerintahan militer, memberangus demokasi, dan mengorganisir semua organisasi sosial ke dalam kepentingannya. Fasisme Jepang sebagai salah satu akar militerisme Indonesia. RT/RW diadopsi dari Tonarigumi, PKK dan Darma Wanita dari Fujinkai, Hansip dari Keibodan, kolusi pejabat konglomerat militer dan teknorat diadopsi dari Zaibatsu, dan sebagainya. Sebagai didikan atau cangkokan fasis, maka alamiah kalau watak dasarnya bukan hanya anti-rakyat tapi juga anti-komunis. Kedua komponen tersebut kemudian menyingkirkan laskar-laskar rakyat lewat penculikan serta pembantaian sehingga dapat mendominasi militer Indonesia.

Bahwasanya militer(is) tidak becus mengelola negara itu memang konsekuensi langsungnya. Bukan hanya karena militer mayoritas hanya belajar soal perang dan persenjataan namun juga karena saat militer berkuasa dan menggenjot militerisme ke tingkat tinggi, mereka menghabiskan banyak anggaran yang utamanya untuk militer, sehingga mengempeskan anggaran untuk rakyat seperti anggaran kesehatan dan pendidikan. Militerisme Jepang mengakibatkan kelaparan besar-besaran akibat pertanian diutamakan untuk menyuplai kebutuhan perang Jepang, perusahaan minyak Belanda dan maskapai Garuda ketika dinasionalisasi tapi ditempatkan ke bawah militer justru sarat korupsi, begitu pula dengan kekuasaan rezim Orde Baru maupun buruknya pengelolaan militer. Demikian pula sekarang satu contoh, terjadi efisiensi di berbagai kementerian namun kementerian pertahanan (termasuk TNI) dan Polri yang merupakan kementerian tanpa hubungan langsung dengan kesejahteraan rakyat merupakan kementerian dengan anggaran terbesar. Demikian pula triliunan rupiah akan dihabiskan untuk melipatgandakan Struktur Komando Teritorial baru.

Kalau-kalau ada golongan sipil (buruh dan rakyat) yang menentang militer sekecil apapun, mandi darah sebangsa sendiri tidak jadi soal bagi tentara! Sepanjang Rezim Militer Orde Baru, jutaan rakyat dibantai pada 1965-1968. Rakyat Aceh, Papua ataupun Timor Leste juga mengalaminya. Belum termasuk Tragedi Tanjung Priok, Talangsari, Penembakan Misterius, Tragedi 27 Juli, Tragedi Semanggi I dan II, Penembakan Mahasiswa Trisakti, Penculikan Aktivis termasuk pembunuhan Marsinah.

Apa yang dilahirkan oleh kelompok militer yang berpegang erat dengan para elit politik di Senayan hari ini tidak hanya merevisi UU TNI yang melegalkan peran serta militer dalam dunia politik lebih luas. Di luar itu, tentara tengah menyiapkan 100 Batalyon Pembangunan dan 22 Kodam baru yang akan ditempatkan dari Sabang sampai Merauke. Di Kalimantan Tengah dan Utara, tentara di bawah Satgas Garuda mulai menancapkan papan-papan TNI atas dasar penertiban aset. Banyak lahan-lahan yang diplang adalah tanah para petani perkebunan plasma (tanah kecil yang digarap petani secara mandiri). Di Papua, tentara-tentara dikerahkan untuk menjaga proyek dua juta hektar lumbung pangan.

Di saat bersamaan, perusahaan plat merah yang fungsinya untuk menjaga stabilitas harga pangan, menyalurkan beras untuk bantuan sosial, dan mengelola stok pangan-BULOG-juga sudah dipimpin oleh jenderal TNI aktif. Sebuah tindakan yang jika kita mau kembali pada undang-undang, adalah ILEGAL. Dengan penguasaan BULOG oleh militer, mereka akan mengontrol harga gabah/beras yang ditanam oleh petani. Per hari ini, Bulog sudah menetapkan harga Rp6.500/kg untuk gabah kering yang akan diambil oleh Danramil dan Babinsa. Penetapan harga yang tidak menutup kemungkinan memberatkan petani karena tingginya harga pupuk dan ketiadaan akses terhadap perkakas pertanian yang canggih. Di saat bersamaan, akan membuka militer berbisnis. 

Tidak hanya berdampak pada kaum tani, menguatnya militer di sektor bisnis juga akan memukul perjuangan buruh di pabrik-pabrik. Sebagai contoh adalah perjuangan buruh PT. Duta Palma yang perusahaannya kali ini dimiliki Agrinas Palma Nusantara, perusahaan yang berada di bawah kendali seorang purnawirawan TNI. Kendati dimiliki oleh seorang purnawirawan, layaknya MBG yang diketuai oleh para pensiunan tentara, hal tersebut tidak membuat mereka tidak dapat mengakses bisnis keamanan militer. Prajurit TNI saat ini menjaga perusahaan negara tersebut. Jelas sekali, penguasaan-penguasaan militer di sektor ekonomi ini, yang didahului dengan penguasaan politik, ditujukan untuk menggemukkan perut-perut para jendral!

Perlawanan harus terus dilancarkan, aksi-aksi harus dikembangkan menjadi aksi-aksi anti militerisme. Tuntutan yang kita bawa adalah: a) Cabut UU TNI; b) Gagalkan Revisi UU POLRI; c) Tangkap, Adili dan Penjarakan Jenderal-jenderal Pelanggar HAM; d) Kembalikan Militer Ke Barak; e) Bubarkan Komando Teritorial; f) Hapus Semua Produk Hukum Anti Demokrasi serta Anti Rakyat;  g) Hapus Semua Produk Hukum Yang Melegitimasi Keterlibatan Militer dan Polisi Dalam Persoalan Sipil; h) Potong Anggaran Lembaga Penindas Rakyat antara lain: Kementerian Pertahanan/ TNI, Kepolisian, Kejaksaan Agung, BIN, dsb serta Hentikan Pembangunan Komando Teritorial Baru UNTUK Pendidikan dan Kesehatan Gratis, Makan Bergizi Gratis, Subsidi Rakyat serta Kesejahteraan Buruh dan Rakyat; i) Lawan Intimidasi, Kriminalisasi dan Pembunuhan Aktivis Rakyat; j) Tolak Militer Masuk Kampus, Pabrik dan Desa! Kembalikan Militer Ke Barak!

Demikian kita perlu memobilisasi lebih banyak massa untuk terlibat, ratusan, ribuan, puluhan hingga ratusan ribu bahkan jutaan orang harus turun ke jalan. Untuk melakukan itu maka dibutuhkan kombinasi antara aksi-aksi radikal dengan upaya tanpa henti untuk meyakinkan buruh dan rakyat.

Yang harus kita lakukan adalah: (1) Selebaran dan poster harus dibagikan hingga ke kawasan-kawasan industri, kampung-kampung dan desa-desa. Harus dibagikan di jalur dan pusat-pusat aksi massa sebelum melancarkan aksi. Dengan begitu ketika aksi dilancarkan maka buruh dan rakyat bisa mendukung dan terlibat dalam aksi. (2) Aksi-aksi massa harus dilakukan di kampus-kampus, kawasan-kawasan industri serta di desa-desa.

(3) Demikian kaum gerakan progresif, demokratik serta sosialis harus melakukan konsolidasi secara nasional. Untuk mengkoordinir kerja-kerja pengorganisiran, meyakinkan buruh dan rakyat yang diiringi dengan aksi-aksi radikal di basis-basis massa secara nasional.

Bulan Mei menjadi momentum kita untuk melancarkan perlawanan secara besar-besaran. Lancarkan mogok nasional di momentum Hari Buruh Sedunia (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) kemudian dalam momentum Reformasi 1998 (21 Mei) kita melancarkan mogok nasional dan bergerak ke pusat-pusat kekuasaan serta mendudukinya.

Pada akhirnya untuk memiliki kekuatan agar mengembalikan militer ke barak, untuk supremasi sipil, untuk demokrasi dan kesejahteraan maka kita: kaum pergerakan, buruh dan rakyat harus memiliki kekuatan politiknya sendiri. Dengan kekuatan politik itu maka kekuasaan bisa direbut dari tangan para elit politik: oligarki dan militer. Untuk kemudian kita bisa membangun masyarakat baru demi kepentingan buruh dan rakyat.

Selebaran ini dibuat oleh Perserikatan Sosialis dan Organisasi Kaum Muda Sosialis

Silahkan unduh, gandakan, sebarluaskan dan gunakan selebaran berikut: Awas Bahaya Militerisme Gaya Oligarki. English version of the leaflet: Beware The Danger of Oligarchy Style Militarism.

Silahkan unduh, gandakan, sebarluaskan dan gunakan poster-poster berikut ini: Poster Anti Militerisme Daya Oligakri. English version of the poster here.

Loading

Comment here