Opini Pembaca

PON dan Bagaimana Menangani Serangan Balik Rezim

Kampanye sukseskan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-XX yang diselenggarakan di tiga kota di Papua saat ini tengah menguasai seluruh platform media, baik media sosial, telivisi, koran, radio maupun spanduk-spanduk di seluruh jalanan di kota Jayapura, Timika, Merauke, dan seluruh tanah Papua.

Rezim mengkampanyekan slogan rasis ‘Torang Bisa’ untuk menggaet hati orang Papua. Bahwa seolah-seolah rakyat Papua selama ini hidup dalam budaya tidak mampu, malas, primitif, bodoh, dan sebagainya. Sehingga melalui PON Torang (baca: orang Papua) juga bisa. Padahal masalah orang Papua bukanlah itu, sebab, sejarah menunjukan bahwa orang Papua dari lembah hingga pegunungan adalah masyarakat paling produktif. Hasil produksinya selalu melimpah ruah dan distribusikan secara sukarela kepada janda, yatim dan fakir miskin secara cuma-cuma.[1]

Masalah orang Papua hari ini adalah kemiskinan struktural yang sengaja diciptakan oleh negara. Masyarakat pribumi Papua diusir dari tanah adat mereka oleh kapitalis perampas tanah yang didukung oleh pemerintah Indonesia dan organisasi kapitalis internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional lalu dikuasai secara perorangan oleh korporasi yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan bagi masyarakat adat.

Tanah telah dijadikan komoditas berharga dan spekulasi, sehingga membuat para pengelola investasi global berlomba untuk menguasai tanah Papua dengan berbagai cara, termasuk kekerasan. Gemima Harvey dalam “The Human Tragedy Of West Papua” melaporkan bahwa setidaknya 500.000 penduduk pribumi Papua telah dibunuh sejak tahun 1961 akibat berusaha mempertahankan tanahnya.

Kondisi ini membuat orang Papua yang hidupnya bergantung sepenuhnya kepada tanah, kini tidak lagi memiliki akses terhadap tanah. Sebagai akibatnya orang asli Papua (OAP) terpaksa menjual tenaganya sebagai pekerja upahan, tidak memiliki prospek hidup yang layak, hidup miskin dan menjadi gelandangan di kampung-kampung hingga perkotaan.[2]

Sehingga pandangan yang menyatakan seolah orang Papua tidak mampu, dan melalui PON orang Papua akan bisa adalah anggapan paling salah dan murahan. Bahkan menunjukan secara langsung bahwa pemerintah borjuis Indonesia sedang berusaha menutup-nutupi kejahatannya terhadap masyarakat Papua. Agar tidak diketahui apalagi diprotes dan dilawan rakyat. Karena itu, dalam rangka mengelabui kesadaran rakyat agar tidak melawan balik, dibuatlah berbagai agenda-agenda seremonial, dan salah satu diantaranya adalah PON.

PON jelas merupakan agenda Jakarta untuk pembenaran kampanye internasional seolah Papua sedang baik-baik saja bersama Indonesia. Selain itu, PON juga dijadikan sarana “pamer kebolehan” infrastruktur pendukung di Papua agar kapitalis global tidak ragu menanamkan modalnya Papua. Sehingga walaupun dalam pandemi Covid-19, PON tetap harus diselenggarakan.

Rezim memakai tiga cara mengampanyekan-mensukseskan PON. Pertama, rezim menggandeng tokoh di tingkat nasional maupun lokal seperti Raffi Ahmad ataupun Boaz Solossa. Targetnya menarik perhatian kaum muda. Kedua, menggunakan aparatur sipil yang sekarang ini bekerja di birokrasi negara. Targetnya memecah persatuan orang Papua, dan mengampanyekan bahwa seolah-olah di Papua 100% adalah NKRI- Harga Mati. Ketiga, merekrut orang Papua dengan iming-iming agar menjadi panitia dan tim sukses PON. Tergetnya ilusi PON hadir untuk meningkatkan ekonomi lokal.

Cara lainnya adalah pengondisian dengan kekerasan agar tidak ada perlawanan terhadap PON, seperti aksi massa di Jepang yang menolak olimpiade dan paralimpiade. Setidaknya 9.986 personel TNI-Polri non-organik dikerahkan ke Papua. Mereka langsung melancarkan berbagai penyisiran serta membubarkan berbagai aksi protes rakyat, termasuk yang terkini membubarkan dan memukuli masyarakat adat Puhiri-pemilik tanah bangunan stadion Lukas Enembe yang tidak dilunasi sampai kini.

Ilusi dan represi ini berpotensi, bukan hanya menenggelamkan isu perjuangan kemerdekaan Papua, mengalihkan fokus rakyat pekerja, namun juga berpotensi mengakibatkan demoralisasi gerakan. Demoralisasi adalah merosotnya atau lunturnya moral dan semangat dalam melawan baik secara perorangan, organisasi, maupun gerakan. Represi rezim bagian dari upaya mereka untuk mengondisikan dan menghancurkan perlawanan kolektif kelas buruh dan rakyat Papua.

Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dalam menangani demoralisasi saat terjadi serangan dari kelas berkuasa. Dalam koran Arah Juang edisi 103 menerangkan bahwa, pertama “organisasi sosialis yang baik harus tahu kapan harus maju menyerang, kapan harus bertahan, kapan harus mundur teratur. Dalam menghadapi serangan, mundur teratur perlu dipertimbangkan.” kondisi Papua yang saat ini didera serangan dari berbagai sektor, dan terlebih pertimbangan jumlah kekuatan yang tidak berimbang membuat pilihan menyerang perlu ditahan untuk saat ini. Sekarang yang perlu diambil adalah  bertahan ataupun mundur secara teratur tergantung dari situasi di wilayah masing-masing.

Sikap ini berarti, kembali mengutip koran Arah Juang edisi 103 “mensyaratkan evaluasi, penetapan target yang realistis, dan menjaga barisan seutuh-utuhnya. Evaluasi diperlukan agar organisasi tahu apa yang kurang dari program aksi yang dijalankan. Menetapkan target yang ralistis lebih baik daripada target yang mengawang-ngawang dan jauh dari kemampuan organisasi, hal ini akan menghindarkan anggota dari putus asa. Yakinlah bahwa serangan yang kita hadapi menunjukan efek ketakutan bagi rezim sehingga penting bagi organisasi untuk menjaga barisan dengan seutuhnya guna melanjutkan perjuangan”.

Kedua, hindari fantasi gelora kemartiran dan heroisme di satu sisi serta di sisi lain tidak boleh mencari selamat untuk diri sendiri. Heroisme kemartiran adalah hal yang naif, seperti dalam aksi simbolis yang berlebihan dan merugikan diri sendiri seperti puasa makan atau bakar diri, atau slogan “siapkan penjara yang luas untuk menampung kami” karena akan melemahkan perjuangan organisasi ke depan karena kekurangan kader. Sementara mencari selamat sendiri akan menghilangkan semangat kolektivisme organisasi.

Ketiga, kurangi aktivitas-aktivitas tidak produktif seperti, contoh, bermain sosial media hingga berjam-jam dan berdebat dengan provokator semacam Marinus Yaung atau Olvah Alhamid yang tidak penting sama sekali. Sebaliknya isi waktu luang anda dengan membaca buku-buku revolusioner atau menyiapkan kerja-kerja organisasi yang lebih penting atau mendesak.

Keempat, dalam konidisi seperti saat ini organisasi harus bisa dan setangkas mungkin meredam rasa kecewa, putusa asa, dan menurunnya semangat kader akibat kekalahn ataupun pukulan balik rezim atau aparat. Ini berarti organisasi harus menyelenggarakan sebanyak-banyak diskusi, kajian buku, pembacaan situasi, atapun kelas-kelas yang membahas tentang pengalaman perjuangan rakyat Papua di masa lalu ataupun capaian-capaian lain yang pernah direbut kelas buruh, kaum kulit hitam, dan masyarakat adat di negeri-negeri lain.

Kelima, diversifikasi atau menganekaragamkan aktivitas. Jika sebuah gerakan dipukul mundur, kita bisa mengalihkannya ke hal lain seperti meningkatkan minat anggota untuk menulis koran, belajar teori dan sejarah, atau intervensi dalam bentuk lain. Menghabiskan energi pada ranah yang sedang dipukul mundur bisa membuat patah semangat.

Terakhir, ubah rasa takut atau putus asa akibat serangan balik rezim menjadi radikalisasi dengan cara agitasi. Agitasi bisa dimulai dengan cara menunjukkan kontradiksi atau pertentangan dalam masyarakat. Tunjukkan bagaimana pencitraan pemerintah diiringi kekejaman aparat dan liciknya tirani, bagaimana tipu daya negara borjuis ini, jelaskan apa kepentingannya, kenapa rakyat Papua perlu bersolidaritas melawannya.  Hal ini di satu sisi, untuk mematahkan argumen penguasa yang selalu membenarkan perlakuanya yang keji dan terkutuk, tetapi juga di sisi lain secara perlahan menyadarkan menggerakan rakyat untuk kembali menentang kenyataan hidup yang dialami selama ini. Vladimir Lenin dalam bukunya Negara dan Revolusi menekankan bahwa kelas berkuasa tidak akan mematuhi demokrasi dan selalu memutarbalikan fakta agar sesuai dengan dan mendukung kepentingan mereka. Untuk itu rakyat Papua dan kelas tertindas lainya perlu membela dirinya sendiri.

ditulis oleh Sharon Muller, anggota Lingkar Studi Sosialis

Catatan :

  1. Socratez S Yoman, “Kami Berdiri di Sini: Status Politik & Sejarah Intergrasi Adalah Akar Masalah Papua”, 2015.
  2. Untuk contoh yang sangat mengerikan lihat laporan Gecko Project, “Sang Konsultan: Mengapa konglomerat sawit rela membayar puluhan juta dolar untuk seorang “ahli” di Papua?”, https://geckoproject.id/sang-konsultan-712a53fca680.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here