Perjuangan

Bagaimana Kaum Sosialis Menanganani Permasalahan Kekerasan Seksual

Angka kekerasan seksual di Indonesia naik tiap tahunnya. Catatan akhir tahun Komnas Perempuan tahun 2020 mengungkap 431.471 kasus kekerasan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2019. naik 6% dari tahun sebelumnya (406.178 kasus). Selain itu Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak mencatat per 18 Agustus 2020 terdapat 4.833 kasus kekerasan seksual yang menempatkan anak-anak sebagai korbannya. Ini hanya merupakan kasus-kasus yang dilaporkan. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang tidak berani dilaporkan oleh para korban akibat takut disalahkan dan dicap buruk.

Ini tidak bisa dianggap sekadar masalah pribadi atau perorangan yang tidak cukup bermoral dan memiliki hawa nafsu tinggi. Permasalahan kekerasan seksual merupakan dampak dari masyarakat berkelas termasuk kapitalisme yang dalam hal ini terus melanggengkan penindasan, penghisapan, dan ketimpangan relasi kuasa, serta kepemilikan pribadi yang akhirnya menempatkan posisi perempuan seolah sekadar barang saja. Alih-alih manusia seutuhnya dengan harkat martabat dan hak asasi manusia (HAM) yang harus dihormati. Dalam masyarakat kapitalis bagaimana corak produksi ekonominya yang menghisap kemudian mempengaruhi hubungan sosial, politik, agama, kebudayaan dan pendidikan yang dalam hal ini selalu melanggengkan seksisme, untuk mendomestifikasi dan menindas posisi dan potensi perempuan  demi kepentingan kapitalis. Media komersil menampilkan tayangan-tayangan yang kemudian mengobjektifikasi perempuan, berita-berita yang ditampilkan hanya berfokus menyalahkan korban dan mengintimidasi penampilan dan aktivitas korban, aparat penegak hukum yang tidak cakap soal kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, sekolah-sekolah yang masih memberikan pendidikan seksis dan pengekangan terhadap pakaian dan ekspresi perempuan, serta tempat-tempat kerja yang berbahaya bagi pekerja perempuan dari intimidasi dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh atasan dan bos-bos mereka dimana pekerja tak bisa berbuat banyak karena dihadapkan dengan minimnya perlindungan formal dan akan berisiko dipecat sepihak oleh perusahaan. Negara sebagai kepanjangan tangan dari kapitalis tidak memiliki kepentingan untuk mengatasi dan menyelesaikan ketimpangan itu, karena sekali lagi yang mereka utamakan adalah keuntungan segelintir penguasa diatas penindasan manusia lainnya.

Kekerasan seksual khususnya pemerkosaan tidak melulu dilatar belakangi oleh nafsu seksual, namun merupakan kejahatan yang bermotif untuk mendominasi para korbanya, masyarakat berkelas termasuk kapitalisme disusun berdasarkan hierarki kekuasaan yang dipertahankan dan dijalankan dengan kekerasan dalam berbagai bentuk termasuk berupa kekerasan verbal, fisik,  sampai pada kekerasan seksual yang dilakukan di berbagai tempat. Misalkan atasan yang melecehkan bawahannya karena memiliki relasi kuasa, oknum guru pada muridnya, orang tua pada anaknya, bahkan oleh konglomerat pada pekerja seks yang dibayarnya. Selain bertujuan untuk mendominasi korbannya kekerasan seksual kerap kali dilakukan untuk meneror dan menyebarkan ketakutan, serta melampiaskan keterasingannya  pada korbanya. Banyak kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan mengancam akan melecehkan perempuan yang menolak cintanya atau menyebarkan foto pasangan mereka ketika putus, atau biasa terjadi kepada orang-orang yang frustasi akibat dieksploitasi dan diintimidasi oleh bosnya di tempat kerja. Keterasingan yang mereka alami ketika kesulitan dalam mencari kerja dan kesusahan ekonomi akibat sistem ekonomi yang bobrok yang menimbulkan kekesalan dan keterpurukan mereka akhirnya dilampiaskan pada seseorang yang mereka anggap lebih lemah dan tak berdaya, dalam hal ini yang paling rentan adalah kaum perempuan, anak-anak, difabel dan LGBT.

Merajalelanya kesadaran terbelakang, menindas, beracun, atau dengan kata lain reaksioner, termasuk merajalelanya budaya perkosaan sekaligus maskulinitas beracun yang mengajarkan kekerasan seolah kodrat laki-laki, terkait erat dengan diberangusnya banyak wacana dan teori yang membangun kesadaran kelas mengenai sumber keterasingan serta bagaimana melawannya. Perhatikan Malapetaka 1965 bukan hanya berisi pembantaian terhadap kaum kiri namun juga anti-komunisme yang meliputi bukan hanya pemberangusan dan kriminalisasi pengetahuan namun juga penghancuran terhadap teori-praktik kesetaraan serta pembebasan perempuan, termasuk teori-praktik perjuangan melawan kekerasan seksual. Sebagai suatu kontra-revolusi, karenanya Malapetaka 1965 juga berisi kekerasan seksual besar-besaran.

Karenanya kekerasan seksual bukan hanya ada yang berbentuk spontan atau perorangan namun juga ada yang digunakan sebagai alat penindasan sadar dan terorganisir. Kekerasan seksual khususnya pemerkosaan  biasanya dilakukan sebagai senjata perang untuk menundukan lawan perangnya,atau kaum dalam etnis,suku, dan agama tertentu, misalnya pemerkosaan yang dilakukan oleh pasukan Francois pada perang saudara di Spanyol periode (1936-1939) untuk meneror perempuan dan mengontrol keluarga laki-lakinya.

Dalam masyarakat kapitalis terdapat kelas penguasa yang menindas yang menciptakan keterasingan pekerja dari hasil kerjanya, membatasi lapangan pekerjaan dari orang–orang yang membutuhkan kerja, mengasingkan masyarakat dari lingkungan hidupnya serta merebut kendali manusia atas apa yang dikehendakinya untuk dirinya sendiri. Akibatnya muncul keterpurukan dan frustasi yang kemudian mendorong seseorang melampiaskannya kepada orang lain yang lebih lemah/rentan. Sehingga kejahatan dan kekerasan merajalela. Muncullah ungkapan manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Kita membutuhkan perombakan sosial dan penghapusan masyarakat berkelas menuju masyarakat yang setara dan manusiawi, dimana alat produksi dimiliki secara kolektif, produksi kebutuhan hidup dilakukan sesuai kebutuhan dan keperluan hajat orang banyak, dimana pekerja tidak dijauhkan lagi atas hasil kerjanya, para pemuda mendapatkan pekerjaan yang sesuai, masyarakat tidak diasingkan lagi dari lingkungan hidupnya dan semua manusia punya kendali atas dirinya dan hidupnya masing-masing: sosialisme.

Masyarakat kapitalis di banyak negara menabukan seks, tetapi di sisi lain mengomersilkan seks. Baik lewat memanfaatkan tubuh dan sensualitas perempuan di periklanan dan sistem SPG, maupun yang ekstrem lewat pornografi dan prostitusi. Mayoritas pornografi dan prostitusi itu bukan hanya tidak realistis, berlebihan, memperlakukan perempuan seolah sekadar barang, namun juga menormalisir paksaan terhadap perempuan. Nilai-nilai dan gagasan bawaannya secara hakiki reaksioner. Singkat kata: merusak otak. Penonton apalagi pecandunya rentan menjadi seksis dan menindas pula. Sedangkan di sisi lain, pendidikan seks ilmiah baik dari segi biologis dan psikologis maupun pendidikan hubungan sehat tidak tersedia memadai. Walhasil kekerasan seksual bukan hanya terjadi di antara orang asing namun juga di ranah pasangan dan kelurga atau domestik. Sementara pasangan yang melakukan hubungan seks konsensual sering dipersekusi dan dikriminalisasi.

Dalam masyarakat sosialis dimana hubungan personal dan percintaan tidak dicampuri oleh institusi negara selama itu tidak menindas dan merugikan orang lain. Motif pemerkosaan yang mengatas namakan nafsu dapat dikurangi, karena pengobjektifikasian tubuh perempuan di iklan-iklan, majalah sebagai objek seksual akan dihapuskan dan dijaminlah terciptanya ruang aman dan setara bagi perempuan diberbagai tempat dan mengembalikan posisi perempuan sebagai subjek yang memilki keinginan, kehendak dan pemikiran layaknya manusia.

Kesetaraan gender dan hak-hak perempuan memang bisa didesakkan dan diperjuangkan dalam masyarakat kapitalis dan negara-negara borjuis akan tetapi, sewaktu-sewaktu itu dapat dirampas dan dihapuskan kembali ketika krisis melanda dan juga tidak akan efektif ketika kita masih didominasi oleh hegemoni kelas penguasa dan ideologi kapitalisme seperti seksisme dan mitos-mitos tentang perempuan. Maka untuk mencapai pembebasan perempuan yang hakiki dibutuhkan revolusi sosialis dengan menumbangkan tirani. Namun sejauh apa keberhasilan kaum perempuan dalam memperjuangkan dan meraih pembebasannya dari kekerasan seksual dalam tatanan masyarakat  revolusioner pasca-kapitalisme ditentukan oleh beberapa hal. Pertama, sekuat apa gerakan revolusioner tersebut terdidik, terpimpin dan terorganisir bukan hanya dalam kesadaran ideologi termasuk di dalamnya anti seksisme, khususnya anti kekerasan seksual namun juga dalam praktik perjuangannya harus benar-benar menerapkan apa  yang diperjuangkan. Kedua, sebesar apa dan seaktif apa  peran yang dimainkan  kaum perempuan dalam perjuangan. Perempuan tidak bisa hanya pasif. Melainkan harus berbagi peran aktif dalam lepemimpinan, perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, termasuk dalam kepemilikan senjata. Dengan kata lain tidak didomestifikasi ke kerja medis, logistik, konsumsi. Ini serupa dengan otentitas revolusi buruh atau revolusi sosialis ditentukan oleh sebesar apa peran yang dimainkan kelas buruh. Ketiga, sebesar apa serangan balik kelompok kontra-revolusi  dari kaum penindas terhadap kaum revolisioner termasuk dalam penggunaan seksisme dan kekerasan seksual sebagai taktik perang atau penindasan serta sejauh apa kaum revolusioner mampu mengalahkannya.

Selain ketiga hal diatas hal yang perlu dilakukan untuk mempermudah perjuangan dalam mencapai kebebasan terutama dari kekerasan seksual, adalah pendidikan dan pemberian pemahaman-pemahaman pendidikan yang menggabungkan pendidikan diranah ekonomi, politik, dan sosial dengan pendidikan kesetaraan dan kesadaran gender bagi seluruh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, karena semua hal itu berkaitan dengan penindasan perempuan, kita harus paham bahwa akar penindasan perempuan dan kaum pertindas pada umumnya berada pada corak ekonominya yang kemudian mempengaruhi kebijakan politik serta konstuksi dan moral-moral yang berlaku, sehingga untuk melawan penindasan itu kita harus mempelajari akar penindasannya itu, dengan memiliki kesadaran politik dan ekonomi, dan harus dibarengi juga dengan penekanan pada pengetahuan tentang kesetaraan gender agar paham bagaimana bentuk-bentuknya sehingga dapat menghindari diri dari perbuatan tersebut, maka perempuan harus ikut terlibat dalam organisasi dan partai-partai revolusioner sembari mendesak negara untuk memenuhi pendidikan yang seperti itu di lembaga formal. Kita juga harus paham bagaimana kapitalisme mengambil keuntungan dari penindasan perempuan dan kekerasan seksual, dapat dilihat bagaimana kapitalisme memanfaatkan ketimpangan gender dalam memberi upah tidak setara bagi kaum perempuan, bagaimana mereka mengambil keuntungan dari pengobjektifikasian tubuh perempuan dibidang kecantikan dengan memanfaatkan ketidak percayaan diri perempuan dengan dirinya karena tidak sesuai dengan standar kecantikan yang mereka bangun dan akhirnya mempromosikan tubuh perempuan yang sudah mereka standarkan sebagai objek seksual bagaimana mereka mengambil keuntungan dari prostitusi dan dunia hiburan yang meletakkan perempuan sebagai korbannya. Pendidikan anti seksisme juga perlu dilakukan untuk menangkis paham-paham seksisme, objektifikasi dan lainnya. Kita harus sadar bahwa penindasan pada perempuan  merupakan hal yang tidak baik dan tidak benar, tidak sesuai dengan peri kemanusian, maka dari itu kita harus belajar dan mengubah pola pikir lama dan kolot itu dari kepala kita  dan mempraktekan dalam keseharian kita dan membiasakan diri kemudian sebagai kaum revolusioner harus meletakkan permasalahan dan persoalan perempuan sebagai tugas dan masalah bersama. Kita bisa melihat bagaimana kaum dengan pemikiran dan ideologi revolusiner terbukti lebih memanusiakan perempuan dibandingkan dengan masyarakat yang terlelap dengan hegemoni kelas penindas. Bisa dilihat bahwa pada semua  ‘pemberontakan  resmi’ PKI  dari kasus pemberontakan  1926, Madiun 1948, hingga pemberontakan di Blitar selatan serta perjuangan bersenjata (Perjuta) pasca malapetaka 1965  tidak mengandung kekerasan seksual.

Selain melakukan pendidikan dalam hal memerangi kekerasan seksual kaum sosialis juga harus melakukan pencegahan, mulai dari membuat kode etik perilaku dalam organisasi dan kelompok, membuat petunjuk pelaksanaan teknis untuk mencegak kekerasan seksual, membuka ruang demokrasi dan menempatkan kesetaraan dan kolektivitas dalam organisasi, serta melakukan kritik terhadap tindakan-tindakan yang bias gender, seksis maupun kekerasan seksual dan memastikan itu tidak terjadi. Tindakan pengamanan juga perlu dilakukan untuk mengadvokasi dan melindungi perempuan dari tindakan kekerasan seksual atau pemerkosaan dengan membentuk kelompok patroli atau kelompok penyelamat dalam aksi masa dan gerakan, organisasi revolusioner juga harus membentuk kelompok investigasi yang tidak bias gender dalam menangani kasus-kasus dalam internalnya, memberikan hukuman tegas termasuk pemecatan bagi anggota yang melakukan pelecehan atau kekerasan seksual serta mempublikasikannya pada umum tentang rincian kasus yang terjadi serta pernyataan sikap dari organisasi tentang pelaku kekerasan seksual, serta menempatkan kesetaraan sebagai prinsip atau norma yang berlaku dalam organisasi.

Dalam mewujudkan hal-hal diatas pada massa yang lebih luas, diperlukan kepeloporan kaum revolusioner, bagaimana kaum revolusioner bisa mengambil kepemimpinan pada barisan masa dan pergerakan agar bisa mencontohkan dan membentuk kedisiplinan bagi massa karena tidak semua massa aksi itu memiliki disiplin ilmu dan teori revolusioner. Ada yang bergabung karena dorongan euforia, obsesi untuk merusuh, semangat pembangkangan, termasuk yang mengidap beberapa gagasan reaksioner. Oleh karenanya dibutuhkan kepeloporan kaum revolusioner untuk menangkis hal-hal itu dan kemudian menyebarluaskan dan memenangkan gagasan revolusionernya serta mengusir elemen-elemen yang melenceng pemahamannya. Bahaya ketiadaan kepeloporan revolusioner terkait ini dalam revolusi bisa dilihat di kasus Revolusi Mesir. Banyak kasus kekerasan seksual selama demonstrasi di Revolusi mesir pada tahun 2012. Menurut Human Right Watch selama empat hari dalam seminggu 91 perempuan menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh gerombolan yang berisikan 100 orang pria. Itulah kenapa dibutuhkannya disiplin dan kepemimpinan kaum revolusioner sehingga bukan hanya bisa menciptakan massa aksi yang kokoh serta terdidik, terpimpin, dan terorganisir namun juga mampu mencegah atau menghalau kaum-kaum reaksioner seperti itu sejaligus mencegah kekerasan seksual.

Bagaimana kaum sosialis mewujudkan kesetaraan  sekaligus menghilangkan dan menangani kasus kekerasan seksual bisa dilihat pada revolusi Rusia bagaimana penghapusan Undang-Undang dan peraturan hukum yang mengkriminalisasi hubungan sesama jenis serta yang melegalkan kekerasan dalam rumah tangga (disebut pemukulan istri) yang dibuat oleh Tsar sebelumnya, mewujudkan kesetaraan hak di bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum termasuk hak untuk memiliki senjata. Sebaliknya pada Perang Sipil Spanyol 1936, perempuan Republik Spanyol pertama yang tewas di medan perang adalah Lina Odena pada tanggal 13 September 1936. Perang berakhir pada tahun 1939, dengan 13 perempuan dieksekusi sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar yang terdiri dari lima puluh enam tahanan di Madrid pada tanggal 5 Agustus 1939 karena keanggotaan mereka dalam Pemuda Sosialis Bersatu tahun itu. Sedangkan di sisi lain, keterlibatan perempuan dalam Revolusi Spanyol 1936 juga membantu menempatkan kedudukannya sebagai manusia yang harus diperlakukan setara dan mendapatkan kebebasan dari belenggu ketakutan untuk diperkosa dan dilecehkan Selama Perang Sipil, masalah kehidupan sehari-hari bagi wanita terkadang berubah. Di kota-kota besar seperti Madrid dan Barcelona, perempuan menjadi sasaran pelecehan yang jauh lebih sedikit. Saat bertugas di dekat garis depan, laki-laki dan perempuan dapat berbagi ranjang tanpa takut dilecehkan.

Contoh lainnya di Timur Tengah bisa dilihat di perjuangan perempuan Kurdi dari Rojava. Mereka tidak hanya berjuang untuk kepentingannya akan tetapi berjuang melawan segala bentuk penindasan, dan seksisme untuk mencapai kebebasan yang sebenarnya bagi semua manusia, dalam perjuangannya kongreya star membangun sistem ekonomi komunal, memberikan pendidikan organisasi, pertahanan diri dan perkembangan ilmu perempuan, membangun koperasi perempuan di bidang pertanian, peternakan, serta produksi dan penjualan. Kemudian di pembebasan nasional Kurdistan kaum perempuan terlibat aktif dalam Yekineyen Parastina Jin (YPJ) atau laskar Unit Perlindungan Perempuan yang kemudian menjadi bagian vital dalam pertempuran perang saudara di Suriah. Mereka tidak hanya terdiri dari perempuan Kurdi akan tetapi ada perempuan dari etnis lain, keterlibatan mereka tidak hanya dalam perjuangan bersenjata akan tetapi perjuangan ideologis dan sosial untuk menghapuskan tradisi bigot dari ISIS. Banyak perempuan yang bergabung dengan YPJ termasuk anak dibawah umur, namun mereka hanya dilibatkan dalam kegiatan akademi militer tidak pada aktivitas militer, banyaknya anak-anak dan kaum perempuan yang bergabung dengan YPJ karena mereka melihatnya sebagai kesempatan untuk lari dari kawin paksa atau masalah dalam rumah tangga.

Jadi untuk mencapai posisi setara dan mendapatkan kedudukan yang layak sebagai manusia agar bisa terbebaskan dari belenggu dan ketakutan dari kekerasan seksual dan penindasan lainnya maka kaum perempuan harus terlibat dalam perjuangan dengan kaum revolusioner untuk menghapus tatanan sosial dan masyarakat berkelas menuju masyarakat sosialis.

Ditulis oleh Ana Mantika | Anggota Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 105, I-II Maret 2021, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comments (1)

  1. […] Ana. 2021. Bagaimana Kaum Sosialis Menangani Permasalahan Kekerasan Seksual https://www.arahjuang.com/2021/07/20/bagaimana-kaum-sosialis-menanganani-permasalahan-kekerasan-seks… [diakses 8 Maret […]

Comment here

%d blogger menyukai ini: