Sejarah

Peran Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam Malapetaka 65

Sehari setelah Gerakan 30 September, Brigjen TNI Sucipto, Ketua G-V KOTI (Komando Operasi Tertinggi), membentuk KAP Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh). Ini adalah aliansi pertama yang dibentuk untuk menyerang PKI. Ketuanya adalah Subhan ZE (Ketua IV PB NU) dan Sekretaris Harry Tjan Silalahi (Sekjen Partai Katolik). Keuangan oleh Syarifudin Harahap, Agus Sudono, Ismail Hassan, Yahya Ubaid, Liem Bian Kei, Mar’ie Muhammad, dll. Sekretaris atau ketua pengarah massa dipegang oleh Lukman Harun (Muhamadiyah) dan keamanan oleh Ermin Baharuddin (Ikatan Pemuda Kristen Indonesia/ IPKI). Sekretariat KAP-Gestapu berada di Asrama Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

Brigjen Sucipto juga memfasilitas pertemuan para aktivis anti-komunis dari berbagai organisasi (NU, HMI, PMKRI, Pemuda Muhammadiyah, PII, Sekber Golkar, Front Nasional, Gasbindo, Gemuis, KBKI, Partai Katolik dan PSII) dengan Panglima Kostrad, Mayjen TNI Soeharto di markas Kostrad. Pada 4 Oktober 1965, KAP-Gestapu melakukan rapat umum dan menyatakan bahwa PKI sebagai dalang G30S. Pembicara dalam rapat umum tersebut antaranya HM Subchan, Projokusumo dari Muhammadiyah, Yahya Ubaid dan NU, Teja Mulya dari Partai Katolik dan Syech Marhaban dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Setelah rapat umum, dengan dorongan dari Kostrad, mereka melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap markas-markas PKI. KAP-Gestapu mendapatkan pendanaan sebesar 50 juta rupiah dari Imperialis AS lewat Adam Malik.

Pembentukan KAP-Gestapu mendorong pendirian berbagai aliansi dan badan koordinasi yang mendapatkan dukungan dari Angkatan Darat, salah satunya adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selain itu juga kesatuan aksi di kalangan pemuda dan pelajar (KAPPI), pelajar (KAPI), wanita (KAWI), sarjana (KASI), pengusaha nasional (KAPNI), tani (KATI), buruh (KABI) dll.

Sementara itu, beberapa organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), PMKRI, Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) serta Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL) mendesak agar Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) untuk segera mengadakan Kongres. Dorongan ini untuk membuat PPMI menyerang PKI atas Gerakan 30 September. Dorongan tersebut ditolak oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan organisasi mahasiswa kiri seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo), juga Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi), untuk menunggu solusi politik dari Presiden Soekarno paska peristiwa 30 September 1965. Rapat presidium PPMI digelar pada 10-23 Oktober 1965 untuk menentukan sikap gerakan mahasiswa terhadap G30S tidak mencapai kesepakatan.

Kubu mahasiswa kanan tersebut melapor kepada Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (1964-1966), Mayjen Syarief Thayeb. Mayjen Syarief mengundang berbagai organisasi mahasiswa pada 25 Oktober 1965. Mereka yang diundang antara lain HMI, PMKRI, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), PMII, Mahasiswa Pantjasila (Mapantjas), SOMAL serta GMNI. Pertemuan ini dilakukan tanpa menyertakan kelompok mahasiswa kiri seperti CGMI, Germindo dan Perhimi. Mayjen Syarief mendorong agar organisasi-organisasi mahasiswa tidak bergerak sendiri-sendiri dalam menghadapi PKI. Pimpinan GMNI menunjukan ketidaksetujuannya dengan mengusulkan agar masalah itu dibahas dalam waktu yang memadai. Sementara pimpinan mahasiswa lainnya mendukung Mayjen Syarief dan kemudian mendirikan KAMI. Presidium KAMI diisi oleh GMNI, PMKRI, SOMAL, PMII dan Mapantjas. Namun GMNI menyatakan tidak bersedia duduk dalam Presidium KAMI dan tidak ikut bergabung dengan KAMI, dengan alasan bahwa PPMI masih harus dipertahankan. Setelah terbentuk KAMI Pusat, KAMI-KAMI di berbagai daerah didirikan. Di bandung, KAMI berdiri pada 1 November 1965 yang diikuti oleh KAMI ITB.

David Ransom dalam Ford Country: Building an Elite for Indonesia mengatakan pertemuan yang membentuk KAMI sebagai tempat awal di mana para pemimpin senior PSI dan Masyumi dengan dibiayai Ford Foundation memberikan nasihat dan bantuan keuangan kepada pimpinan mahasiswa (KAMI) selama masa-masa aksi Tritura.

Memasuki tahun 1966, kelompok mahasiswa kanan KAMI semakin gencar turun ke jalan. Pada 10 Januari 1966, ribuan mahasiswa KAMI berkumpul di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mencanangkan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA); bubarkan PKI, bersihkan kabinet Dwikora dan, turunkan harga-harga bahan pokok. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD, turut serta menyampaikan pidato. Setelah pidatonya, mereka berbaris ke Departemen P dan K untuk menyampaikan tuntutan dan kemudian bergerak ke Sekretariat Negara di sebelah istana presiden. KAMI Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia juga mengadakan seminar yang berlangsung hingga 20 Januari untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan dan pelaksanaan pemerintah Orde Lama dalam sektor ekonomi.

Keesokan harinya aksi diikuti dengan mogok kuliah oleh mahasiswa Jakarta dan disusul dengan demonstrasi ribuan mahasiswa di Bandung pada 13 Januari 1966, melibatkan KAMI dan KOMII. Sejak 10 dan 13 Januari, aksi-aksi mahasiswa marak di Jakarta dan Bandung serta disusul oleh mahasiswa di kota-kota besar lainnya.

Sidang Kabinet pada 15 Januari 1966 yang diselenggarakan di Istana Bogor mengundang 120 perwakilan mahasiswa. KAMI saat itu melancarkan demonstrasi dan berupaya masuk ke Istana Bogor. Pada kesempatan ini Soekarno menyerukan kepada pendukungnya “… susun engkau punya tenaga! Kesatuan, barisanmu susun! Susun berdiri di belakang Soekarno!” Keesokan harinya, Soebandrio melalui pidato di radio menyerukan pembentukan Barisan Soekarno.

Pada akhir Januari 1966, Menteri PTIP Brigjen Syarief mengeluarkan instruksi agar mahasiswa menghentikan mogok kuliah. Presidium KAMI Pusat mengeluarkan anjuran agar mematuhi instruksi tersebut. Sementara KAMI Bandung menolak instruksi tersebut dan pada 2 Februari menyatakan akan terus melakukan aksi dan mogok kuliah sampai Tritura dipenuhi. Pernyataan serupa dilakukan oleh KAMI di Jakarta pada 10 Februari.

Ketika terdapat larangan demonstrasi, mahasiswa mengganti istilah demonstrasi dengan “berkunjung ramai-ramai.” Pada 18 Januari, KAMI “berkunjung” ke Departemen Luar Negeri kemudian bergerak ke kediaman resmi Menteri Luar Negeri, Soebandrio di Jalan Merdeka Selatan. Mereka menanggapi pernyataan Soebandrio yang menyebut pernyataan sikap mahasiswa UI pada 17 Januari ditunggangi Nekolim. Di hari yang sama, Soekarno mengundang sejumlah pimpinan KAMI ke Istana Merdeka. Delegasi KAMI berasal dari KAMI pusat, KAMI Raya dan KAMI UI terdiri dari Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Mar’ie Muhammad, Elyas, Lim Bian Koen, Firdaus Wajdi, Abdul Gafur dan Djoni Sunarja.

Bisa dikatakan bahwa militer maupun KAMI tidak pernah secara tegas menolak Barisan Soekarno. Apa yang mereka lakukan adalah menggembosinya. Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Jenderal Nasution, Letjen Soeharto, Laksdya (L) Martadinata, Menpangau Laksda (U) Muljono Herlambang serta Menpangak Komjen (Pol) Sutjipto Judodihardjo mengatakan bahwa Barisan Soekarno hanya dalam arti mental-ideologis saja. Pembentukannya dalam arti fisik dilarang karena membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara itu Presidium KAMI pada 19 Januari mengeluarkan pernyataan bahwa Barisan Soekarno model Soebandrio pada hakekatnya mengandung benih-benih pemecah belah antara rakyat dan membelenggu Soekarno sendiri. KAMI menyatakan mendukung kepemimpinan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Sementara itu KAMI Bandung pada 17 Februari mengeluarkan pernyataan yang tegas mengenai pembentukan Barisan Soekarno. Mereka menyatakan mendukung larangan Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah Jawa Barat yang melarang pembentukan Barisan Soekarno; menuntut Soebandrio dikeluarkan dari Kabinet Dwikora dan diseret ke Mahkamah Militer Luar BIasa karena pembentukan Barisan Soekarno dalam bentuk organisasi merupakan usaha pembentukan neo-PKI; KAMI akan menghancurkan setiap usaha dari manapun yang melakukan Barisan Soekarno dalam bentuk organisasi. Presidium KAMI Pusat pada hari yang sama juga mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa KAMI adalah Barisan Soekarno.

Pada 3 Februari 1966, KAMI melancarkan demonstrasi di Kedutaan Besar RRT di Jakarta. Mereka memprotes “Campur tangan RRT dalam urusan dalam negeri Indonesia dan menuntut agar pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan negara komunis tersebut.” Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dibentuk untuk mendukung KAMI pada 9 Februari. Ketuanya adalah Husni Tahmrin, sekjen Pelajar Islam Indonesia, organisasi pelajar Islam yang berorientasi pada Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Soekarno mengumumkan “Penyempurnaan Kabinet Dwikora” pada 21 Februari yang disebut oleh KAMI sebagai “Kabinet Gestapu.” Keesokan harinya dalam rapat Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), Soekarno menegaskan perlunya dibentuk Barisan Soekarno. Soebandrio yang hadir menyatakan bahwa “teror harus dilawan dengan kontrateror!”. Setelahnya massa GSNI terlibat bentrokan dengan massa KAMI di depan UI Salemba. Pada 23 Februari, apel besar mahasiswa pro-Soekarno diselenggarakan di Lapangan Banteng, Jakarta. Setelah apel tersebut mereka melancarkan demonstrasi di Kedutaan Besar Amerika Serikat. Bersamaan waktunya, KAMI melancarkan aksi di Sekretariat Negara di belakang Istana Negara. Mereka memasuki gedung, memecahkan kaca-kaca dan melemparkan mebel-mebel ke jalan.

Aksi besar-besaran dilancarkan saat pelantikan kabinet Dwikora tanggal 24 Februari 1966 oleh Soekarno di istana presiden. Ketika demonstrasi mencapai jalan Merdeka Utara, dua demonstran yaitu Arief Rahman Hakim (mahasiswa kedokteran UI) dan Zubaedah (pelajar sekolah menengah) tewas tertembak. Keesokan harinya, KAMI dibubarkan dan dilarang lewat Surat Keputusan No. 41/Kogam/1966. Demonstrasi dan berkumpul lebih dari lima orang dilarang, dan jam malam diberlakukan mulai pukul 21:00. Mereka yang memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap larangan ini akan ditindak juga. Upacara pemakaman jenazah Arief Rahman Hakim pada 27 Februari 1966 dihadiri oleh pimpinan Kostrad, RPKAD, Kodam Jaya hingga Kodam Siliwangi.

Dengan perlindungan yang semakin kuat dari Kemal Idris, Sarwo Edhi dan Ali Murtopo, aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut dengan mengatasnamakan KAPPI. Target utama demonstrasi KAPPI adalah Menteri Luar Negeri, Soebandrio. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Soemardjo, yang baru saja dilantik. Ia dianggap pendukung PKI dan ateis. Sasaran lainnya adalah Menteri Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan Prijono, pendukung Partai Murba yang sudah dilarang. 

Aksi corat-coret dilakukan di berbagai tempat di Jakarta. Pada tanggal 3 Maret, UI ditutup namun aksi-aksi mahasiswa (KAMI) terus berlanjut. Demikian juga tentara yang berjaga di UI mengabaikan perintah tersebut. Sementara Soeharto mengirim surat kepada Soekarno berisi permintaan izin untuk menangkap 18 orang menteri Kabinet Dwikora. Permintaan tersebut ditolak. Pada tanggal 6 Maret terjadi bentrokan antara kelompok Soekarnois yang menyerang Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan kelompok mahasiswa (KAMI) yang baru menyerang Departemen Luar Negeri.

Pada 4 Maret, mahasiswa membentuk wadah baru yaitu Laskar Arief Rahman Hakim yang terdiri dari 42 universitas dan perguruan tinggi di Jakarta. Laskar Arif Rahman Hakim didirikan di Universitas Indonesia dengan komandan Fahmi Idris, aktivis HMI. Laskar ini dibentuk dengan mengikuti struktur organisasi militer, dengan 7 batalyon. Laskar ini adalah KAMI dengan nama yang lain.

Pada tanggal 8 Maret, 20 ribu massa KAPPI menyerbu Departemen Luar Negeri mencari Soebandrio. Mereka merusak dan mencari-cari dokumen yang membuktikan dugaan mereka bahwa Soebandrio “menjual” Indonesia ke Beijing. Demonstrasi tersebut dibalas dengan serangan massa pro-Soekarno ke Kedutaan Besar AS. Keesokan harinya, Soekarno berpidato: “Di belakang tuntutan-tuntutan penurunan harga ada Nekolim.” Sementara KAPPI kembali melancarkan aksi ke Departemen Luar Negeri dan kantor berita Hsin Hua diserbu dan diduduki. Aksi-aksi ini juga diikuti oleh kerusuhan-kerusuhan Anti-Tionghoa.

Pada tanggal 10 Maret, pernyataan kompromi mengutuk KAMI dan KAPPI keluar setelah pertemuan Soekarno dengan wakil-wakil partai. Dalam pertemuan tersebut hadir PNI, Partindo, Perti, PSII, Parkindo, Partai Katolik, NU, IPKI dan Muhammadiyah. Soekarno mengatakan bahwa KAMI, KAPPI dan ITB menjadi sarang kontrarevolusioner.

Sidang Kabinet Dwikora yang akan diselenggarakan pada 11 Maret 1966 dikepung oleh demonstrasi mahasiswa (KAMI) dan KAPPI. Menteri Perkebunan, Frans Seda dan Menteri Panglima Angkatan Darat, Letjen Soeharto tidak menghadiri sidang dengan alasan sakit. Demonstrasi mahasiswa tersebut juga diikuti oleh tentara yang tidak dikenal kesatuannya. Mendapatkan laporan tersebut Soekarno menghentikan pidatonya, menskors sidang dan menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam II J Leimena. Soekarno kemudian diterbangkan ke Bogor bersama Soebandrio dan Chaerul Saleh.

Tentara tersebut menurut Soebandrio berjumlah sekitar 500 orang berasal dari RPKAD dan Kostrad. Frans Seda mengatakan pengepungan Istana tersebut berdasarkan strategi Soeharto untuk membikin panik sidang kabinet dan kemudian menangkap Soebandrio. Situasi tersebut memudahkan Soeharto untuk menekan Soekarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada sore-malam harinya.

Pada 12 Maret 1966 dini hari Soeharto, dengan mengatasnamakan Soekarno lewat Supersemar, menyatakan pembubaran PKI. Keputusan itu disambut dengan pamer kekuatan yang dilakukan oleh RPKAD, Divisi Siliwangi dan para mahasiswa. Setelahnya kekuasan Soekarno semakin dipreteli oleh Soeharto. KAPPI dan Laskar Arief Rahman Hakim setelah berkonsultasi dengan Kemal Idris dan Sarwo Edhi mulai berusaha menculik beberapa Menteri tanggal 16 Maret. Sasaran mereka antara lain Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) I Gusti Gede Subamia, Menteri Kehakiman Astrawinata, Menteri Negara Sudibjo dan Menteri Koordinator Pendidikan dan Kebudayaan Prijono. Mereka kemudian dibawa ke Markas Besar (Mabes) Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Sementara upaya untuk menangkap Oei Tjoe Tat dan Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral) gagal. (Baca: Supersemar: Perebutan Kursi Presiden dan Manipulasi Sejarah Soeharto

Setelahnya, KAMI, KAPPI ataupun Laskar Arief Rahman Hakim terus mendorong pemusatan kekuasaan di tangan Soeharto. Mereka meminta 24 menteri dipecat dari kabinet Dwikora; memutuskan hubungan dengan RRT; MPRS mengukuhkan Supersemar menjadi mandat dari MPRS kepada Soeharto; meminta Soeharto mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UUD 1945. Seperti mengadakan pemilihan umum untuk membentuk MPR dan DPR dan menetapkan lembaga-lembaga tertinggi negara pada tempat masing-masing sesuai dengan UUD 1945; membersihkan DPR GR dari Orde Lama; menuntut pembubaran Partindo dan organisasi massanya; menyukseskan Sidang Umum IV MPRS.

Setelah Sidang Umum IV MPRS, KAMI dan Laskar Ampera menyambut Tap MPRS No IX/ 1966 yang memperkuat Supersemar; menuntut segera dibentuk Kabinet Ampera dengan Soeharto sebagai formatur tunggal, melarang Marxisme/ Komunisme dengan Undang-undang dan memperbaiki perekonomian. Selain itu KAMI juga meminta Soeharto agar mengadakan konsultasi berkelanjutan dengan KAMI, paling tidak dua kali sebulan. Dualisme kepemimpinan antara Ketua Presidium Kabinet, Soeharto dengan Presiden Soekarno juga harus diakhiri.

Pada 1 Oktober 1966, satu tahun setelah Gerakan 30 September, Soeharto mengumumkan Soebandrio akan diseret ke pengadilan dengan tuduhan pengkhianatan. Peringatan berlangsung di markas Kostrad diikuti oleh KAMI, KAPPI dan KAPI kontingen Jakarta, Bogor dan Bandung. Setelah upacara peringatan, mereka berkeliling kota membawa spanduk berisi tuntutan agar Soekarno bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam G30S. Pada 19 Desember, KAMI, KASI, KAWI, KATI, KANI, KAPPI, KAGI, KABI, KAPI bersama Front Pemuda dan Sekber Golkar mengeluarkan pernyataan bahwa Soekarno secara yuridis terlibat dalam G30S.

Dengan semakin terkikisnya kekuasaan dan pendukung Soekarno, maka mahasiswa mulai menyerang Soekarno secara langsung. Untuk beberapa lama, soal Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan strategi KAMI di Bandung dengan Jakarta. KAMI di Jakarta sebelumnya masih tetap menyatakan mendukung Soekarno sembari menyerang menteri-menterinya seperti Soebandrio. Sementara di Bandung, anti-Soekarno sudah dimunculkan sejak awal.

Setelah Soekarno membacakan “Pelengkap Nawaksara” pada 10 Januari 1967, delegasi KAMI dan KAPPI bertemu dengan Soeharto. Mereka menuntut penggantian Presiden Soekarno, penolakan terhadap “Pelengkap Nawaksara” dan agar pemerintah mengadakan pemeriksaan mengenai “Keterlibatan Soekarno dalam G-30-S/ PKI.” Pada 28 Januari, KAMI kembali turun ke jalan menolak “Pelengkap Nawaksara” dan menuntut Soekarno diajukan ke Mahmillub untuk mempertanggungjawabkan kebijakannya, terutama sehubungan dengan terjadinya G30S.

Adam Malik, mengatakan kepada Ruth McVey pada Oktober 1966, “Para mahasiswa bisa bergerak karena mereka memiliki hubungan dengan Angkatan Darat. Angkatan Darat memberi tahu mereka mengenai kapan dan seberapa banyak mereka akan bergerak.” Organisasi mahasiswa kanan tersebut tidak mampu bersaing dengan kelompok mahasiswa kiri secara demokratis, dengan mobilisasi massa dan adu perspektif. Ini yang membuatnya semakin mengandalkan tentara bagi gerakannya.

Sorak-sorai mahasiswa kanan KAMI di jalanan digardai oleh tentara. Pimpinan-pimpinan serta aksi-aksi KAMI dilindungi oleh Kostrad dan RPKAD. Rapat-rapat pengurus untuk mengatur pola dan strategi gerakan dilakukan di markas-markas tentara. Beberapa pemimpin KAMI juga diberikan senjata oleh tentara.

Di sisi yang lain kekejian tentara dibenarkan oleh sorak-sorai KAMI di jalanan. Kemampuan KAMI mendominasi jalanan tidak bisa dilepaskan dari kekejian tentara yang membantai pendukung Soekarno serta PKI, khususnya mahasiswa yang menjadi lawan politiknya. Memang, tidak jarang juga mahasiswa-mahasiswa kanan itu terlibat secara langsung dalam penangkapan, interogasi bahkan pembunuhan terhadap aktivis-aktivis Kiri.

Geoffrey B Robinson dalam Musim Menjagal mengatakan bahwa “Meski penampilan dan namanya terdengar seperti sekumpulan anak kelas menengah yang ramah, kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa ini memainkan peran krusial dalam kampanye kekerasan melawan kaum kiri pada 1965-1966. Sebagaimana diakui oleh orang-dalam politik kepada seorang peneliti pada akhir 1966, “Para mahasiswa adalah sayap kanan fanatik yang dimanfaatkan oleh Angkatan Darat dan (Wakil Ketua NU) ZE Subchan. Kita tidak akan pernah yakin siapa yang akan mereka ‘tangkap’ dan apa yang terjadi jika memang melakukannya. Mereka fenomena fasis, bukan demokratis.””

Setidaknya sejak hari-hari awal Oktober 1965, tahap kedua untuk mendorong kekerasan publik yang diarahkan ke kantor-kantor, bangunan ataupun rumah yang terkait PKI sudah dimulai. Umumnya kekerasan tersebut akan dimulai dengan demonstrasi. Kemudian dilanjutkan dengan penangkapan besar-besaran terhadap mereka yang dituduh PKI. (Baca: Siapa Yang Bertanggungjawab Atas Pembantaian 1965?)

Hal yang serupa juga terjadi di dalam kampus. Di kampus, Menteri PTIP mengeluarkan kebijakan untuk membubarkan 14 Perguruan Tinggi Swasta yang diselenggarakan PKI atau organisasi massa yang terkait dengannya; kedua, membekukan dan melarang kegiatan-kegiatan CGMI dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi); ketiga, menginstruksikan kepada segenap pimpinan PTN dan PTS untuk mengamankan kebijakan tersebut serta melanjutkan pembersihan. Kebijakan pembersihan tersebut dilakukan dengan mendata siapa saja kaum kiri di kampus. Dalam banyak kesempatan kelompok mahasiswa kanan juga terlibat di dalamnya.

Kita juga bisa melihat si Jagal, Burhan Kampak. Kepada Tempo dia bercerita bahwa setelah kedatangan Kostrad dan RPKAD ke Yogyakarta sekitar Oktober 1965 berbagai bantuan diberikan kepada KAMI. Burhan Kampak, aktivis HMI dan staf satu Laskar Ampera Aris Margono dari KAMI, mengatakan bahwa dia mendapatkan ijin untuk membunuh mereka yang terlibat PKI. Selain itu terdapat 10 orang yang diberi pistol lalu dilatih di Kaliurang, Yogyakarta. Pistol jenis FN diberikan sekitar November 1965. Mereka yang mendapatkan pistol dan diberi pelatihan menembak hanya petinggi organisasi mahasiswa.

Made Supriatma menulis mengenai dokumenter Indonesia: The Trouble Victory dimana seragam para mahasiswa dan pelajar saat aksi yaitu baju dan celana drill merupakan sesuatu yang sangat mewah pada tahun 1965. Siapa yang memberikan baju dan celana drill loreng yang mirip tentara itu? Selain itu terdapat adegan yang menggambarkan pelajar (mungkin juga mahasiswa) berjalan ke kampung-kampung di Jakarta bersama tentara membawa daftar yang berisikan anggota dan simpatisan PKI. Mereka diberikan hak untuk menentukan siapa yang bersalah, menangkapnya dan menghukum mereka.

Setelah menyingkirkan Soekarno, kekuasaan baru Rezim Militer Orde Baru banyak diisi oleh pemimpin-pemimpin KAMI. Mereka menjadi anggota parlemen, menteri ataupun masuk partai Golkar. Beberapa menggunakan relasinya dan kemudian muncul sebagai pengusaha besar. Beberapa menjadi akademikus. Beberapa tetap menjadi “mahasiswa”, memegang posisi dalam satu lembaga mahasiswa baru maupun menjadi bagian dari gerakan mahasiswa atau pers mahasiswa. Beberapa nama yang menikmati imbalan dari Rezim Militer Orde Baru antara lain: Cosmas Batubara (Ketua PMKRI dan Ketua Presidium KAMI Pusat), Akbar Tanjung (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UI, aktivis KAMI dan HMI), Jusuf Kalla (Ketua Presidium KAMI dan aktivis HMI), Abdul Gafur (Ketua Presidium KAMI dan aktivis HMI), Siswono Yudohusodo (Aktivis Mahasiswa ITB), Sarwono Kusumaatmadja (Aktivis Mahasiswa ITB), Mar’ie Muhammad (aktivis UI dan HMI), Sofjan Wanandi (aktivis UI, Ketua PMKRI dan Ketua KAMI Jaya), Fahmi  Idris (Ketua Senat Fakultas Ekonomi UI tahun 1965-1966), T. Zulfadli, Slamet Sukirnanto, Firdaus Wadjdi, Liem Bian Khoen, Soegeng Sarjadi, Djoni Simanjuntak, David Napitupulu, Zamroni, Yozar Anwar serta Salam Sumanggat.

Catatan:

Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra Universiter Indonesia (KOMII), merupakan pengganti Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) yang tidak mereka percaya. Didirikan oleh Dewan-dewan Mahasiswa maupun Senat-senat Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se-Bandung. Ketua Umum KOMII pertama adalah Rachmat Witoelar dari ITB, dia juga Ketua Umum DM-ITB. Ketua KOMII yang lain adalah Soegang Sarjadi dari Universitas Padjadjaran, Asmawi Zainul dari IKIP dan AP Sugiarto dari Universitas Parahyangan. Sekretaris Umum Hermanto Hs dari ITB dengan Sekretaris-sekretaris Anis Afif (Akademi Tekstil) dan Sadan Sapari dari Universitas Pasundan. Tiga bendahara adalah R Hasoni dari AKMI, I Gede Artika (APN) dan Tatang Haris dari Universitas Pantjasila.

Ditulis oleh Miswanto, Anggota Lingkar Studi Sosialis dan Dipo Negoro, Kader PS

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 97 III-IV Oktober 2020, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comments (1)

  1. terima kasih atas ilmunya, sangat bermanfaat buat tugas sejarah saya

Comment here

%d blogger menyukai ini: