Perempuan dan LGBT

Seksis dan Bias Kelasnya Pemberitaan Prostitusi Internet

Tim Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim menyergap kamar hotel di Surabaya yang dijadikan tempat prostitusi internet Sabtu (5/1/2019). Kasus ini kemudian diekspos media massa arus utama secara besar-besaran baik melalui koran, radio, TV, maupun kanal resmi media sosialnya. Namun mayoritas pemberitaan tersebut berdasarkan sensasionalisme. Penekanan malah diberikan pada pemblejetan identitas pekerja seks komersial (PSK) prostitusi online atau dalam jaringan (daring) dengan kaitan identitasnya sebagai pemeran Film TV (FTV). Selain itu pemberitaan juga dilakukan dengan menggenjot kehebohan atas tarif seks sebesar puluhan juta. Bahkan media massa kapitalistis menjadi penyambung lidah polisi yang menyampaikan akan memamerkan pakaian dalam sebagai bukti.

Pemberitaan besar-besaran secara sensasional dan berlebihan oleh media massa kapitalistis ini sarat dengan seksisme dan bias kelas. Sebab hanya identitas pekerja seks yang diekspos. VA yang merupakan perempuan sementara para lelaki, yang mayoritas adalah konglomerat, pengguna prostitusi dan menggunakan VA sebagai komoditas seks, justru identitasnya dilindungi polisi serta tidak disentuh oleh media massa borjuis sama sekali. Begitu juga mucikari yang menjadi bos prostitusi daring juga tidak diungkap. Padahal dalam sektor industri prostitusi justru hampir dalam keseluruhan kasus, mucikari sebagai otak bisnis prostitusilah yang paling banyak meraup laba.

Akhirnya pemberitaan di media arus utama dikombinasikan seksis dan bias kelasnya kepolisian membuat VA dan AS malah tersudutkan. Bahkan VA dan AS mengalami reviktimisasi atau penindasan berantai, termasuk dalam bentuk efek domino perundungan atau bullying. Mulai dari olok-olok terhadap instastory VA di hari sebelum dia tertangkap yang bertagar #MenjemputRezekiDiAwalTahun, ejekan terlalu mahalnya tarif VA, analogi apa saja yang bisa dibeli dengan Rp 80 juta, penghalusan mengejek prostitusi dengan jualan apem (jajanan tradisional.pen), dan sebagainya bermunculan di sosial media. Semua ini jelas diakibatkan media arus utama hingga kepolisian yang berperan besar dalam memicu opini seksis di antara publik terutama lapisan yang kesadarannya kolot, terbelakang, dan reaksioner.

Parahnya banyak komentar yang berusaha membela VA justru terjebak pemberdayaan semu dan malah melegitimasi bahkan mengglorifikasi atau mengagung-agungkan prostitusi. Pertama, komentar bahwasanya hak atas tubuh adalah bagian Hak Asasi Manusia (HAM) dan karenanya VA harusnya dilindungi kebebasannya memperlakukan tubuhnya sendiri, termasuk kalaupun memprostitusikan diri sendiri. Padahal prostitusi pada dasarnya adalah kekerasan terhadap pekerja seks. Prostitusi pertama sekali berdiri dan berjalan di atas objektifikasi (memperlakukan orang lain sebagai barang) dan seksualisasi (memperlakukan orang lain sebagai objek seks). Bukan sebagai manusia seutuhnya. Kedua, pembelaan terhadap VA yang memuji bahwa dengan mematok tarif Rp 80 juta VA justru menghargai dirinya lebih tinggi daripada para perempuan yang diperistri dengan mas kawin murah tapi dibebani ‘kodrat’ sumur, dapur, kasur. Ini secara tidak langsung justru menyiratkan pandangan kacau bukan hanya perlunya legitimasi prostitusi tapi juga ekspansi prostitusi sebagai emansipasi (!) sembari di sisi lain tidak menyelesaikan soal seksisme dalam rumah tangga dan keluarga borjuistis. Jadi baik celaannya maupun ‘pembelaannya’ malah sama-sama reaksioner.

Ini semua berlangsung dalam tatanan masyarakat kelas, dimana bentuk terkininya adalah kapitalisme. Dalam kapitalisme segala sesuatu dijadikan komoditas. Termasuk seksualitas dan tubuh perempuan. Tak heran kasus-kasus yang bernada seksisme, tanpa mempedulikan korbannya adalah perempuan, perempuan menjadi pihak yang paling disudutkan. Bahkan mengalami penindasan dan kekerasan berulangkali.

Kita harus menolak serta membantah sudut pandang moralitas dan sudut pandang seksis terhadap isu ini. Pekerja-pekerja seks bukanlah berada di satu pilihan yang bebas, namun diharuskan oleh keadaan untuk memilih menjadi PSK. Salah faktor terbesarnya ingin terlepas dari jurang kemiskinan. Apa yang mereka dapat malah membagi hasil kerjanya kepada sosok mucikari. Hingga norma kehidupan masyarakat hari ini mencap mereka melakukan pekerjaan yang asusila hingga berdosa. Bukan hanya tuntutan ekonomi hingga cap-cap amoral mengahantui kehidupan mereka. Beban mereka sungguh dua kali lipat. Ini berlaku utamanya di prostitusi tataran bawah yang lekat dengan kemiskinan. Namun bukan berarti prostitusi tingkat atas dengan kaum jetset atau kaya-raya sebagai penggunanya tidak mengalaminya pula.

Memang di kalangan selebriti persoalan terjebak prostitusi karena untuk memenuhi kebutuhan hidup bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Karena juga ada faktor persoalan gaya hidup mewah. Kita bisa saksikan baik itu di televisi ataupun di media sosial, para selebriti terutama perempuan dituntut untuk secara rutin melakukan perawatan tubuh agar tetap bisa terus berkiprah di dunia hiburan. Semakin bagus perawatannya, semakin mahal harganya. Mulai dari krim malam, krim pagi, penghalus wajah, vitamin, suplemen, tabir surya, sulam alis, suntik pemutih, suntik hormon, pemutihan gigi, filler bibir, face lift, sampai operasi-operasi plastik. Belum ditambah dengan pengeluaran untuk memiliki atau tetap memiliki tubuh ideal di dunia hiburan. Mulai dari biaya keanggotaan pusat kebugaran atau gym&fitness center, pelatih pribadi atau personal trainer, pasokan masakan bernutrisi tinggi rendah lemak, dan sebagainya. Ini masih ditambahi pengeluaran untuk busana-busana mewah, yang tanpa itu mustahil bisa memasuki perhelatan-perhelatan mewah pula. Honor kerja di perfilman, sinetron, maupun iklan belum tentu mencukupi itu semua.

Selain itu industri dunia hiburan juga sarat dengan seksisme dan pelecehan seksual. Banyak kasus para pekerja dunia hiburan yang ingin melejit dituntut untuk bermesraan bahkan berhubungan seks dengan beberapa elit industri dan bisnis dunia hiburan. Sebagian selebriti, terutama perempuan, berpikir: “…daripada dilecehkan atau dimanfaatkan untuk berhubungan seks tapi tidak dapat apa-apa, sekalian saja minta bayaran” alias terjun ke prostitusi. Demikianlah persaingan di dunia hiburan yang ketat membuat sebagian dari para selebritas-selebritas ini terpaksa harus memasuki dunia prostitusi. Para pengusaha atau borjuis hingga pejabat negara lah yang sanggup menggelontorkan uang sebanyak itu. Jadi kasus prostitusi internet dengan para pengguna dari kalangan kaya raya pun sebenarnya juga berlangsung di atas logika survavibilitas atau kebertahananhidup para pekerja seksnya. Logika spend money to make more money atau keluarkan uang untuk mendapatkan lebih banyak uang lagi, adalah salah satu prinsip yang erat dipakai di dunia prostitusi kalangan kaya ini. Juga harus diperhitungkan, bahwa tanpa kesadaran kelas apalagi ideologi revolusioner, siapapun yang ingin hidup lebih baik dan lebih layak dalam tatanan masyarakat kapitalisme hanya punya pilihan melakukan panjat sosial.

Tentu saja media borjuis tidak peduli dengan permasalahan seksisme dan bias kelas apalagi terkait penindasan serta perundungan yang dialami para pekerja seks. Sebaliknya media massa borjuis pada khususnya maupun pada umumnya kapitalisme, justru diuntungkan dari seksisme. Kapitalisme selalu mengomoditaskan apapun itu termasuk mengilusikan massa agar terus mengonsumsinya hingga menjauhkan dari kesadaran kritis. Pemberitaan yang muncul selalu bernuansa skandal maupun kontroversi tak berbobot. Rakyat yang jenuh dengan hidup dijebloskan kedalam ruang ilusi melalui berbagai media bahwasanya seolah sistem hari ini adalah yang paling benar dan adil atau disesatkan ke hiburan-hiburan yang menjauhkan mereka dari kesadaran atas bagaimana sebenarnya persoalan hidup dan akarnya. Bukannya tersadarkan, kesadaran rakyat malah penuh dengan hegemoni seksisme.

Apa yang diberitakan berulang-ulang adalah ketika VA dan AS menangis meminta maaf atas kegaduhan yang mereka lakukan. Ini sudah keliru, bagaimana bisa kita harus menerima korban-korbanlah yang harus meminta maaf. Sisi lain, polisi melepaskan pengusaha tersebut dengan dalih tidak ada Undang-Undang yang menjerat konsumen. Tidak, kita harus keluar dari jebakan hukum borjuis.

Prostitusi terkait erat dengan sistem ekonomi politik yang menindas. Sistem ini memainkan peran yang besar dalam menjadikan perempuan hingga seks sebagai komoditas. Solusi-solusi reforma yang diberikan oleh negara hingga hari ini. Baik itu relokasi atau pemberdayaan PSK bukan saja tidak efektif tapi mengaburkan akar masalahnya.

Prostitusi sekali lagi merupakan puncak dari penindasan perempuan, dikarenakan ini menindas intelektual mereka. Juga, konsekuensi dari seksisme, minimnya peluang perempuan untuk menyalurkan keterampilannya di bidang pendidikan apalagi yang berasal dari kalangan menengah kebawah dan tak terlepas juga domstifikasi perempuan.

Kalau kita menginginkan tidak adalagi perempuan yang direndahkan hingga tidak ada lagi prostitusi. Menghancurkan tatanan masyarakat yang seksis buah dari kapitalisme adalah pekerjaan mendesak kita. Perempuan khususnya harus terlibat aktif hingga mampu memimpin gerakan penghancuran kapitalisme ini.

Pembangunan gerakan yang sadar, artinya sadar secara historis dan peka terhadap kondisi adalah gerakan yang kita butuhkan saat ini. Gerakan yang sadar juga artinya sadar dikepung oleh ide-ide seksisme dan penindasan, namun berusaha terus-menerus untuk keluar dari jebakan ilusi tersebut. Bukan hanya keluar namun menghancurkan ide-ide penindasan. Melawan media-media borjuis yang sesat tadi dengan media sendiri secara independen. Melainkan juga menggabungkan diri dalam perjuangan kelas menghapuskan kapitalisme dan seksisme serta segala bentuk penghisapan maupun penindasan. Hingga pada puncaknya mewujudkan tatanan masyarakat yang memanusiakan manusia di bawah panji Sosialisme.

ditulis oleh Musa Talutama, Anggota Lingkar Studi Kerakyatan

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: