Perspektif

Mengapa Elit Politik Borjuis Tidak (Bisa) Melawan Rasisme?

Pada 4 November kemarin ratusan ribu orang melancarkan aksi dibawah slogan “Aksi Bela Islam” ke Istana Negara. Aksi tersebut dilancarkan terkait dengan tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, calon gubernur DKI nomer urut 2. Aksi yang mengatasnamakan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-MUI (GNPF-MUI) tersebut dipimpin oleh Front Pembela Islam (FPI), pimpinan Habib Riziq. Sebuah kelompok reaksioner yang sejarahnya berasal dari Pam Swakarsa tahun 1998. Kemudian pada tanggal 16 November, Polri mengumumkan Ahok sebagai tersangka penistaan agama namun tidak melakukan penahanan.

Paska aksi 4 November kemarin, Jokowi-JK, para jenderal beserta elit-elit politik borjuis yang berkuasa melakukan serangkaian manuver politik. Berturut-turut Jokowi menemui kesatuan elit TNI dan Polri serta tokoh-tokoh agama dan partai politik. Jokowi mengundang ulama dan habib dari berbagai organisasi massa Islam. Dan kemudian mengunjungi PP Muhammadiyah dan PB NU.

Senin, 7 November, Jokowi mengadakan apel militer di Mabes AD dengan dua ribuan prajurit TNI yang terlibat dalam pengamanan aksi 4 November. Esok harinya Jokowi memberikan pengarahan pada bintara serta perwira menengah dan tinggi Polri. Pada hari Kamis, 10 November, Jokowi mendatangi markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Keesokan harinya, mako Brimob dikunjungi oleh Jokowi serta markas Marinir di Cilandak. Pada tanggal 15 November, Jokowi ke Bandung untuk mengunjungi mako Paskhas serta memberikan pengarahan ke seluruh Komandan Korem dan Kodim se-Indonesia.

Setelah sebelum tanggal 4 Desember menemui Prabowo di ranchnya di Hambalang, Prabowo menemui Jokowi di Istana pada 17 November lalu. Setelahnya Jokowi juga mengundang pimpinan partai politik seperti Megawati, Surya Paloh dan Setya Novanto serta menghadiri acara PKB, PAN dan PPP.

Secara umum seruan Jokowi adalah: dinginkan suasana, terima kasih sudah menjaga aksi 4 November, tegakan hukum, menjaga keberagaman dan persatuan bangsa. Prabowo meresponnya dengan mengatakan bahwa dia tidak akan menjegal Jokowi. Sementara Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, menyatakan bahwa Gerindra siap masuk ke dalam pemerintahan jokowi-JK. Sepertinya kekuatan elit politik borjuis satu-satunya yang tidak dikonsolidasikan oleh Jokowi adalah kubu SBY. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa SBY-lah yang dimaksud oleh Jokowi sebagai “aktor politik” yang menunggangi aksi 4 November.

Dibawah mereka para pendukungnya juga berupaya melakukan berbagai manuver. Saling lapor ke kepolisian atas tuduhan penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan ataupun penistaan agama dilancarkan. Ahmad Dhani dilaporkan karena tuduhan penghinaan kepada presiden. Sementara Fahri Hamzah dilaporkan atas dugaan fitnah dan penghasutan. SBY dilaporkan oleh Forum Silaturahmi Alumni HMI Lintas Generasi dengan tuduhan penghasutan. PB HMI melaporkan Kapolda Metro Jaya, Iriawan dengan tuduhan menghasut. Pada tanggal 19 November seribuan orang melakukan Parade Bhineka Tunggal Ika di Jakarta. Parade itu sendiri terlihat bertujuan menjadi tandingan terhadap aksi 4 Desember.

Pada hari Jumat, 18 November, GNPF-MUI melakukan konferensi pers mengenai akan dilancarkannya “Aksi Bela Islam III” pada hari Jumat, 2 Desember 2016. Yang kemudian ditanggapi oleh Polri dengan mengeluarkan maklumat pada 21 November lalu. Sementara Kapolri mengancam akan menindak tegas upaya makar yang menurutnya terkait dengan aksi 2 Desember.

Dengan semua manuver dari Jokowi serta elit politik dan jenderal-jenderal membuat seolah-olah mereka ingin memerangi rasisme. Padahal berkembangnya rasisme tidak bisa dilihat terpisah dari kelas borjuis Indonesia. Berkebalikan darinya, rasisme serta gerakan rasis dan reaksioner adalah hasil dari politik kelas borjuis Indonesia.

Kelas borjuis yang bergantung pada kekuatan Imperialis, lemah iman demokrasinya, tidak mampu menuntaskan tugas-tugas demokratiknya. Yaitu membentuk pemerintahan republik yang demokratis, menyatukan dan membangun sebuah bangsa serta menghancurkan kekuatan feodalisme dan yang menghambat perkembangan kekuasaan kelas borjuis. Namun kelas borjuis yang lemah kemudian menyandarkan dirinya pada kekuatan militer. Mereka tidak mampu bersaing dengan kekuatan Soekarno, PKI, PNI dan kubu dalam spektrum kiri lainnya. Hasilnya adalah 32 tahun kediktaktoran, yang menyatukan berbagai macam suku, agama dan ras dalam sebuah bangsa dengan paksaan senjata. Serta menyingkirkan demokrasi (bahkan liberal sekalipun) dari kekuasaan politik. Rasisme peninggalan kolonial Belanda diperkuat dengan sasaran utama adalah etnis Tionghoa.

Ketika krisis terjadi, kekuasaan Rejim Militer Soeharto diujung tanduk maka rasisme semakin dikobarkan. Disini rasisme berfungsi untuk mengalihkan isu serta memecah belah dan mengadu domba kelas buruh dan rakyat. Kerusuhan Rasis Mei 1998 sengaja dibuat dengan menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasarannya.

Untuk menangkal aksi-aksi gerakan mahasiswa dan rakyat yang menolak Habibie maka para pengusaha, jenderal-jenderal dan politisi sisa-sisa Rejim Militer Soeharto mengkonsolidasikan berbagai kelompok reaksioner. Mereka kemudian dihimpun dalam Pam Swakarsa dan Ratih. Pam Swakarsa ini terdiri dari berbagai kelompok, ada yang di bawah komando Furkon (Faisal Biki), underbouw ICMI yaitu CIDES, ada juga yang berada di bawah tanggung jawab MUI, KISDI, Brigade Hizbullah BKUI, GPI, Remaja Masjid Al-Furqon Bekasi dan Mahasiswa Islam Bandung. Selain itu juga terlibat Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, FKPPI, dsb. Pendanaan didapatkan dari Fadel Muhammad, yang dekat dengan keluarga Soeharto. Dukungan diberikan oleh Wiranto, Kivlan Zen, Abdul Gafur dan Djadja Suparma. Isu yang dimainkan juga sama yaitu komunis dan rasisme terhadap kristen.

Gerakan mahasiswa dan rakyat yang besar pada saat itu berpotensi untuk menyapu bersih kekuatan Rejim Militer Soeharto. Namun elit-elit politik seperti Megawati, Gus Dur, Amin Rais dan Sultan Hamengkubuwono X justru memberikan konsesi melalui Deklarasi Ciganjur. Mereka memberikan konsesi ke militerisme dan sisa-sisa Orde Baru.

Pada masa kepemimpinan Gus Dur, upaya menggoyang kekuasaannya serta mempertahankan kekuasaan militer dilakukan dengan mengobarkan kerusuhan berbasis rasisme. Salah satu contohnya adalah kerusuhan di Ambon. Isu yang dikembangkan adalah muslim melawan kristen yang mencoba menghidupkan kembali RMS. Pam Swakarsa yang dahulu dibentuk untuk menghadang gerakan mahasiswa dan rakyat dilatih menjadi laskar-laskar yang dikirim ke Ambon untuk membuat kerusuhan. Jaringan militer yang aktif maupun purnawirawan yang terlibat seperti A.M Hendropriyono, Suaidy Marasabessy, Sudi Silalahi, Budiatmo, Nano Sutarmo, Rustam Kastor, Rusdi Hasanussy serta H Rusdi Hassanusi, seorang perwira polisi dan juga Ketua MUI Maluku saat itu.

Pada tanggal 7 Januari 2000, diadakan Tablihg Akbar yang menyerukan jihad ke Ambon. Acara tersebut dihadiri oleh Amin Rais, Hamzah Haz, Fuad Bawazier serta 22 organisasi muslim seperti KISDI, PPMI, FPI dan Asosiasi Muslim Maluku. Laskar Jihad yang dikirim ke Ambon juga memiliki ikatan dengan Partai Keadilan (PKS saat ini) melalui ideolog PK yaitu Drs. H. Abdi Sumiati alias Abu Rido.

Kini kerusuhan rasialis relatif menurun namun aksi-aksi rasis, homofobia dan komunistofobia masih terus terjadi dan cenderung meningkat. Penyerangan yang dilakukan oleh kelompok reaksioner terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan kaum minoritas terus meningkat. Termasuk juga penyerangan terhadap ruang-ruang demokrasi secara umum, seperti pemutaran film senyap dan diskusi-diskusi terkait Malapetaka 1965. Penyerangan tersebut sering sekali dilakukan bekerjasama dengan elit-elit politik beserta aparat kepolisian ataupun militer. Paling minimal penyerangan tersebut dibiarkan oleh aparat kepolisian.

Rasisme juga terus diperkuat oleh elit-elit borjuis untuk mendapatkan dukungan massa. Hal ini terutama menjelang pemilihan umum daerah maupun nasional. Untuk mendapatkan dukungan massa tersebut maka berbagai macam peraturan daerah yang berbasiskan agama disahkan. Dalam bidang budaya dan pendidikan, kelas borjuis juga terus menerus mencekoki kita dengan nilai-nilai moralitas yang selalu dihubungkan dengan agama.

Disisi yang lain naiknya Megawati memperkuat cengkraman neoliberalisme dan pada saat yang bersamaan membuka ruang bagi militerisme dan Golkar untuk mengkonsolidasikan dirinya. Secara umum kebijakan rejim SBY dan Jokowi-JK setelahnya juga tidak berbeda jauh. Subsidi demi subsidi terus dicabut, sementara pembangunan (infrastruktur) bagi rakyat adalah penggusuran dan perampasan tanah, upah buruh dipertahankan agar murah, aset-aset strategis terus dikuasai oleh pemilik modal sementara kesenjangan sosial terus meningkat.

Dengan penghidupan yang semakin sulit maka kelas buruh dan rakyat akan berusaha merebut kembali apa yang dirampas dan mempertahankan penghidupannya. Itupun dihadapi dengan represi yang semakin kuat.

Semua ini terjadi dalam rejim yang disebut sebagai rejim yang merakyat. Dalam periode yang dikatakan meninggalkan kediktaktoran dan menuju demokrasi. Dalam periode yang katanya semakin terintegrasi dalam masyarakat global, sebagai newly emerging market dan berkembangnya modernitas yang akan memberikan kebahagiaan untuk semua orang. Dalam periode dimana demokrasi, toleransi dan keberagaman katanya semakin kuat.

Semakin keras puji-pujian para intelektual terhadap rejim-rejim ini semakin keras kelas buruh dan rakyat dihadapkan oleh kenyataan penindasan, kemiskinan, penderitaan. Semakin runtuh ilusi teori-teori yang coba menutupi adanya pertentangan di dalam masyarakat. Kerasnya kenyataan tersebut terus mendorong kelas buruh dan rakyat untuk mencari solusinya. Sementara kekuatan sosialis revolusioner masih lemah dan belum mampu menjadi alternatif yang diterima secara massal.

Disinilah ideologi dan gerakan rasis serta reaksioner bisa mendapatkan basis bagi dukungannya.

Elit politik borjuis tidak pernah berkeinginan untuk melawan rasisme. Mereka juga tidak akan pernah bisa menghancurkan rasisme karena adalah sistem kapitalisme mereka yang menjadi akarnya. Mereka hanya tidak senang karena rasisme itu sekarang digunakan oleh elit politik borjuis lainnya untuk menyerang mereka.

Tentunya penguatan alat-alat represi (militer, polisi dan hukum) yang mereka lakukan sekarang bukan untuk menjaga demokrasi. Sejarah sudah menunjukan iman demokrasi mereka sangat lemah. Penguatan alat-alat represi hanya akan berarti memperkuat militerisme dan memudahkan penggunaan represi ke kelas buruh dan rakyat.

Kalau anda berpikir bahwa elit politik borjuis bisa menghadapi rasisme, maka anda salah. Rasisme, gerakan rasis dan kelompok-kelompok reaksioner adalah kelanjutan dari politik kelas borjuis itu sendiri. Kelanjutan dari politik kelas borjuis yang berkuasa selama setengah abad ini.

Dia adalah kelanjutan dari pembantaian serta pemerkosaan di Malapetaka 1965, kelanjutan dari kerusuhan rasis Mei 1998, kelanjutan dari kerusuhan-kerusuhan yang mereka rancang, kelanjutan dari pembangunan kelompok-kelompok reaksioner oleh para pengusaha, politisi dan jenderal untuk mempertahankan kekuasaannya, kelanjutan dari jenderal-jenderal pelanggar HAM yang terus berkuasa dan mendapatkan kedudukan politik hingga kini, bahkan di rejim yang disebut populis/ kerakyatan.

Lebih dari segalanya kita butuh, sekarang juga, sebuah kekuatan politik sosialis revolusioner.

Ditulis oleh Dipo Negoro, kader KPO PRP

tulisan yang sama dimuat di Arah Juang versi cetak Edisi 12, I-II Desember 2016

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: