AksiPernyataan Sikap

Hentikan Kekerasan Serta Pelanggaran HAM Berdalih Rasisme dan SARA

kamisan-11-malangRilis Pers Aksi Kamisan ke-11 Malang Raya

 

Kekerasan dan pelanggaran HAM berdasarkan rasisme dan sentimen Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan masih banyak terjadi di Indonesia. Praktik kekerasan berdasarkan rasisme bisa dilihat dari pengepungan dan penyerangan asrama mahasiswa Papua oleh aparat bersama milisi sipil reaksioner yaitu Pemuda Pancasila (PP) dan royalis Paksi Katon dengan teriakan-teriakan cap monyet kepada orang-orang Papua. Kemudian rasisme anti-Tionghoa dalam retorika anti asing, aseng, asong yang memfitnah seolah seluruh Tionghoa-Indonesia adalah kaum konglomerat, pejabat, pencoleng kekayaan negara, dan penghamba Imperialisme. Sebelumnya juga beredar video rasis berjudul ‘Koboy Cina Pimpin Jakarta’ unggahana 12 Agustus 2012 lalu yang melarang etnis Tionghoa untuk mencoblos dengan ancaman pengulangan kerusuhan anti-Tionghoa tahun 1998. Berikutnya ada ancaman untuk membakar perusahaan-perusahaan milik orang Tionghoa di Sulawesi bila Basuki Tjahaya Purnama tidak dihukum atas dugaan kasus penistaan agama serta salah satu peserta Aksi 4 November yang mengeluarkan seruan untuk membunuh Basuki Tjahaya Purnama dengan imbalan satu miliar rupiah.

Jadi selain naiknya rasisme semakin marak juga sentimen sektarian berbasis agama. Mulai dari penggunaan retorika anti-kafir dalam Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Terdapat penyebaran hoax atau berita bohong secara masif yang memelintir fakta demi memburukkan citra salah satu kontestan. Penggusuran terhadap kaum miskin, penyingkiran nelayan lewat program Reklamasi, dan berbagai kebijakan anti rakyat yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang harus dikritik dan dilawan namun tidak bisa dan tidak boleh memakai rasisme dan sentimen SARA.

Kemudian terdapat pula praktik-pratik pengekangan terhadap kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia. Terdapat 230 penyerangan ke minoritas agama di Indonesia tahun 2013. Terdapat 107 serangan serupa tahun 2014. Kelompok Muslim Sufi, Syiah, Ahmadiyah, Kristen, dan kepercayaan-kepercayaan lokal sering menjadi korban bahkan sasaran utama dari penyerangan demikian yang hampir semua pelakunya adalah oknum Sunni. Dalam banyak kasus, Pemerintah Daerah (Pemda) justru menyalahkan korban berdalih mengganggu kerukunan sosial. Bahkan aparat-aparat tidak melindungi korban dan hak-haknya melainkan mengawal milisi-milisi sipil reaksioner dalam melakukan praktik kekerasan, pembubaran, dan berbagai pelanggaran HAM dan demokrasi.

Pemaksaan agama juga muncul akibat banyaknya peraturan daerah (Perda) dan peraturan lainnya dengan berlandaskan salah satu agama dan aliran. Tahun 2014, menurut Komnas Perempuan, ada 90 peraturan mewajibkan perempuan dan anak perempuan untuk berjilbab. Bahkan di beberapa daerah perempuan non-Muslim juga diwajibkan berjilbab. Maraknya Perda dan peraturan Syariat Islam yang diskriminatif akhirnya malah memunculkan reaksi balik berupa Perda dan peraturan berdasarkan agama Hindu dan agama Kristen di banyak daerah dengan mayoritas pemeluk tersebut. Muncul Perda dan peraturan melarang jilbab dan kegiatan publik keIslaman. Insiden Tolikara yang berakibat penyerangan umat muslim, penembakan tentara terhadap warga Papua, dan terbakarnya masjid, menyulut upaya pembakaran gereja di Jawa. Ini menunjukkan kekerasan dan pelanggaran HAM berbasis rasisme dan SARA masih menjadi permasalahan, bahaya, dan ancaman di Indonesia.

Rasisme itu sendiri, yaitu diskriminasi berbasis prasangka dan stereotip buruk terhadap ras dan etnisitas tertentu, pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya. Melainkan merupakan konstruksi sosial yang didesain sebagai pembenaran atas penyingkiran dan penindasan terhadap suatu kelompok. Oleh karena itu rasisme tidak hanya terbatas pada ras tertentu namun juga mencakup suku, agama, ras, dan golongan-golongan lainnya. Rasisme di Indonesia ditanamkan oleh berbagai rezim penindas. Utamanya oleh rezim Imperialis Kolonial Hindia Belanda, lalu oleh rezim Kolonial Fasis Jepang, kemudian diteruskan oleh rezim kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Soeharto. Salah satu praktik rasisme rezim Hindia Belanda berwujud pembagian masyarakat di Indonesia ke dalam tiga golongan yaitu Eropa, Timur Asing, dan Inlander atau pribumi. Penjajahan Belanda menjalankan taktik Devide et Impera atau Pecah Belah Lalu Kuasai dan menanamkan rasisme yang memandang pribumi sebagai golongan paling rendah. Segregasi (pemisahan dan penyekatan) sosial serta diskriminasi berada di tingkat tinggi dan menyebar luas. Bahkan dalam beberapa fasilitas umum dinyatakan pribumi dan anjing dilarang masuk.

Namun sasaran rasisme Belanda bukan hanya pribumi melainkan juga kaum Tionghoa. Kaum Tionghoa dilarang melakukan aktivitas sosio-politik, tidak boleh memakai baju Barat, dan sebagainya. Pengekangan terhadap komunitas Tionghoa dijalankan VOC lewat segregasi etnis Tionghoa dengan “pribumi” berupa Sistem Opsir (Kapitan), Sistem Zona (Wijkenstelsel) dan Sistim Surat Izin Jalan (Passenstelsel). Satu sisi rezim kolonial Hindia Belanda berusaha mengooptasi tokoh-tokoh Tionghoa dengan memberikan mereka jabatan kepala wilayah berpangkat Kapitan. Ini sebenarnya dimaksudkan agar mereka menjadi kepanjangan tangan rezim kolonial untuk mengendalikan komunitas-komunitas Tionghoa. Sistem Opsir ini pertama kali ditetapkan pada tahun 1619 tapi dalam perkembangannya justru menjadi pisau bermata ganda bagi rezim kolonial. Sebab para Opsir juga bisa menjadi representasi bahkan saluran perlawanan kaum Tionghoa terhadap rezim kolonial. Tahun 1740 muncul perlawanan Tionghoa yang dibalas rezim kolonial dengan penerapan Sistem Zona dan Sistim Surat Izin Jalan sejak tahun 1835. Peraturan yang disertai sanksi dan hukuman berat ini didesain rezim kolonial Hindia Belanda untuk mengucilkan orang Tionghoa dari komunitas-komunitas lainnya, baik dari komunitas pribumi, komunitas Arab, komunitas Eropa, dan komunitas-komunitas lainnya. Pelanggaran terhadap ini dihukum secara berat. Jadi orang-orang Tionghoa hanya diperbolehkan tinggal dan menetap di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Dengan begini rezim kolonial Hindia Belanda di satu sisi melumpuhkan perlawanan kaum Tionghoa sambil memelihara sentimen dan prasangka rasial serta di sisi lain meraup keuntungan semakin besar karena dengan semakin membatasi mobilisasi dan gerak ekonomi kaum Tionghoa maka rezim kolonial Hindia Belanda semakin memonopoli pasar dan perdagangan domestik maupun ekspor-impor. Meskipun demikian rezim kolonial Hindia Belanda tidak segan-segan menggunakan kekerasan terhadap kaum Tionghoa untuk menancapkan rasisme dan melanggengkan Imperialismenya. Contohnya dalam peristiwa Geger Pecinan lebih dari sepuluh ribu orang Tionghoa dibunuh Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah kolonial. Sedangkan dalam Peristiwa Kerusuhan di Kudus 1918, rezim Hindia Belanda mengadu domba pedagang Tionghoa dengan pedagang Islam Keturunan Arab yang menjadi anggota Sarekat Islam (SI).

Rasisme anti Tionghoa kemudian digunakan Soeharto dalam Kudeta Merangkaknya untuk menggulingkan rezim Demokrasi Terpimpin pemerintahan Soekarno. Orang-orang Tionghoa banyak yang dicap komunis dan ateis serta difitnah sebagai pengkhianat dengan tuduhan menjadi agen-agen dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Selanjutnya begitu Orde Baru resmi berdiri, rezim itu secara institusional menerapkan diskriminasi rasis terhadap orang-orang Tionghoa. Aksara dan bahasa mandarin dilarang, koran-koran berbahasa Tionghoa dibatasi kemudian dilarang sepenuhnya, sekolah-sekolah Tionghoa ditutup, ajaran Konghucu dan semua asosiasi kultural Tionghoa seperti perayaan Imlek dan Cap Gome dilarang, klenteng dibatasi dan dikekang, serta istilah Tiongkok atau Tionghoa dilarang dan digantikan dengan istilah resmi Cina, serta kewajiban kepemilikian Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi warga Tionghoa. Selain itu rezim kediktatoran miiliter Orba pimpinan Soeharto juga memperkokoh politik penataan sosial ala kolonialisme, dengan menempatkan orang-orang Tionghoa hanya di wilayah ekonomi, dan dijauhkan dari wilayah sosial-politik, sehingga jika terjadi gangguan sosial-politik, maka komunitas-komunitas Tionghoa bisa dijadikan kanalisasi kemarahan sosial, seperti berbagai kerusuhan anti-Tionghoa yang memuncak pada Mei 1998 baik dalam bentuk penyerbuan, penjarahan, pembakaran, hingga pemerkosaan massal terhadap perempuan-perempuan Tionghoa. Fakta ini diperkuat temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mengungkap bahwa tragedi Mei 98 tidaklah spontan melainkan diorganisir secara sistematis, terencana, dan terbuka. Bahkan, banyak kasus konflik SARA seputar dan setelah turunnya Soeharto dari kepresidenan seperti konflik dugaan Dukun Santet, Ninja, konflik agama di Ambon, Poso, ditengarai merupakan akibat operasi intelijen dan militerisme. Militerisme diduga merekaya konflik horizontal untuk memecahbelah rakyat dan mengalihkannya dari konflik vertikal sebelumnya yaitu kemarahan rakyat terhadap tirani kediktatoran militer Orde Baru.

Selain ras Tionghoa, suku bangsa di Papua juga merupakan korban rasisme rezim Orba, karena suku bangsa yang ada di Papua telah lama diasingkan, didiskriminasi, diisolasi, dan dimarjinalkan dari hubungan produksi yang mendominasi. Sekalipun di Papua ada perusahan besar milik imperialisme AS—Freeport yang dari dulu hingga kini telah lama mengeruk kekayaan alam di Papua, namun pribumi Papua terus tidak disejahterakan bahkan menjadi korban pemberangusan demokrasi, intimidasi, dan represi. Tanah mereka dirampas, alam mereka dirusak limbah-limbah berbagai perusahaan Imperialis, sementara kemerdekaan mereka diinjak-injak dan mereka diserang dengan diskriminasi serta sentimen-sentimen rasis.

Selain kelompok suku, agama, dan ras tertentu, diskriminasi dan intimidasi juga menimpa golongan-golongan lainnya. Salah satunya golongan berdasarkan orientasi seksual, yaitu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) pernah menyatakan tidak ada tempat bagi LGBT di seluruh kampus di Indonesia. Meskipun pernyataan ini sudah ditarik kembali, namun ungkapan homophobis ini sudah terlanjur memicu diskriminasi bahkan serangan-serangan terhadap kaum LGBT. FPI Bekasi bahkan mengadakan razia anti-LGBT ke kos-kosan di Bekasi. Ini jelas bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM.

Oleh karena itu kami, Komite Aksi Kamisan Malang Raya, menuntut:

HENTIKAN KEKERASAN DAN PELANGGARAN HAM BERDALIH RASISME DAN SARA

  1. Berikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah kepada semua golongan tanpa terkecuali.
  2. Hapuskan rasisme serta segala bentuk diskriminasi suku, agama, ras, dan antar golongan.
  3. Wujudkan sekularisasi atau pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.
  4. Usut tuntas semua pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk yang berdalih rasisme dan SARA.
  5. Adili dan hukum para pelanggar HAM serta berikan keadilan serta kompensasi bagi para korban.

 

Kamis, 10 November 2016

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: