Opini Pembaca

Kriminalisasi Merambah Ke Pengacara Publik: Konsekuensi Hukum Pemodal

maruli

Oleh Rabik – Anggota KPO-PRP

Dalam sejarahnya, setiap bentuk perjuangan untuk kesejahteraan selalu mendapat hambatan tertentu dari pihak yang tidak menginginkan kesejahteraan itu dimiliki oleh semua orang. Namun ironinya, hambatan itu justru datang dari negara sendiri lewat perangkat hukumnya. Sudah menjadi pengetahuan umum ketika ‘orang besar’ melanggar hukum, maka hukum dan aparatnya akan tumpul. Akan tetapi ketika ‘orang kecil’ yang melanggarnya, hukum akan secepat dan setajam mungkin bertindak. Bahkan sampai seorang nenek yang mengambil 3 buah biji kakao pun dapat dipenjarakan.

Hal seperti diatas itulah yang sempat dialami beberapa aktivis buruh beberapa waktu yang lalu ketika sedang berjuang untuk kesejahteraan. Atas dasar hukum, para aktivis dipanggil oleh kepolisian sampai dijadikan tersangka. Sebut saja misalnya, Sultoni, salah seorang aktivis buruh yang dijadikan tersangka pada bulan Januari lalu atas pasal ’perbuatan tidak menyenangkan’ oleh seorang pengusaha. Tidak menyenangkan yang dimaksud sendiri adalah kepungan aksi ribuan buruh (menuntut kesejahteraan) didalam dan depan perusahaan yang membuat pengusaha tidak dapat keluar.

Begitu juga yang terjadi dengan dua orang aktivis buruh di Jogjakarta beberapa bulan yang lalu. Akbar dan Mahendra dipanggil pihak kepolisian atas pasal pencemaran nama baik karena menyebut nama sebuah perusahaan (PT. SCE) sebagai pelaku pemberangusan serikat buruh di media sosial. Padahal, dalam sebuah perjuangan untuk menggalang dukungan, tidaklah mungkin serikat pekerja yang mengadvokasi para buruh tidak menyebutkan bahwa perusahaan tersebut telah menciderai hak-hak buruh. Apalagi jika memang demikian lah adanya. Sama hal nya ketika aktivis buruh di Bogor, Palembang, Indramayu, dsb, yang bahkan sampai diadili dan dipenjara ketika melakukan aksi menuntut kesejahteraan.

Ternyata belum selesai disitu. Baru-baru ini seorang pengacara publik dari LBH Jakarta yang bernama Maruli dipanggil Polda Metro Jaya hanya karena menyebut sebuah perusahaan (PT. ASDP) “diduga” melakukan tindakan pemberangusan serikat pekerja. Ini terjadi ketika Maruli yang bertindak sebagai advokat dari seorang yang berusaha membangun serikat pekerja melakukan konferensi pers terkait pengaduan korban. Kita tahu, bahwa status pengacara merupakan posisi yang mensyaratkan kemampuan tertentu dalam bidang hukum. Namun ternyata, itu tidak cukup membuat aparat berhitung secara hukum.

Hukum para pemodal

Pertama tentu perlu untuk menekankan bahwa perangkat hukum, bahkan negara yang menghasilkannya, bukanlah sesuatu yang netral. Melainkan merupakan alat dari pihak tertentu, yakni para penguasa yang sekarang dihuni oleh pemodal.

Salah satu produk hukum yang dihasilkan dalam kaitannya dengan kekuasaan para pemodal adalah hukum yang dapat melahirkan tafsir beragam (multi-tafsir), atau yang biasa disebut dengan ‘pasal karet’. Contohnya apa yang dikenakan kepolisian kepada Maruli diatas—tindak pidana “penghinaan dan atau fitnah dan atau memberikan keterangan palsu” (pasal 310, 311, 316 KUHP)—atau kepada Sultoni—tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan (pasal 335 KUHP). Apa batas dari “penghinaan” dan “tidak menyenangkan” yang dimaksud belum pernah ada kejelasannya. Hal ini mempermudah aparat hukum untuk melakukan “kriminalisasi” berdasarkan aduan dari pihak-pihak yang “merasa dihina” dan “merasa tidak disenangkan” oleh pihak tertentu. Aparat hukum hasil dari sistem yang menghamba pada modal/uang, dan yang telah pada umumnya terjadi, pasti akan lebih tanggap memproses aduan dari pihak-pihak yang “berkantong tebal”.

Lantas sebenarnya, apakah cukup mempidanakan seseorang atas dasar “merasa”? Kolaborasi antara produk hukum yang multi-tafsir dengan aparat hukum yang pro modal pun kemudian telah menjadikan tafsir hukum selalu mendekat kepada pihak yang lebih berkantong tebal.

Jika diletakkan dalam konteks perjuangan, pihak yang berjuang menuntut kesejahteraan dan keadilan umumnya tentu bukan merupakan pihak yang memiliki kantong tebal. Sehingga kriminalisasi akan menjadi hambatan tersendiri dalam menyuarakan pendapat atau melakukan aksi tuntutan. Dia bersifat intimidatif sekaligus represif.

Bagi rakyat kebanyakan yang masih minim pengetahuan hukum nya, dipanggil kepolisian sebagai saksi saja sudah dianggap melakukan kesalahan sehingga dapat menjadi tekanan psikologis tersendiri bagi mereka untuk melanjutkan perjuangan nya. Apalagi jika para pemodal berhasil memaksa para pejuang masuk kedalam sel tahanan. Hal ini pasti akan berimbas pada kelanjutan perjuangan itu sendiri. Tak heran jika setiap rakyat yang berjuang  mengadukan pelanggaran hukum (yang bahkan) normatif –tertera jelas tanpa perlu tafsiran—yang dilakukan para pemodal, umumnya para pemodal langsung membalas dengan melaporkan balik para pejuang atas dasar hukum yang multi-tafsir tersebut. Dan tidak perlu dikatakan lagi siapa yang lebih dulu diproses oleh kepolisian.

Lawan!

Dikriminalisasi nya pengacara publik seperti Maruli tentu bukan atas dasar apa posisi nya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi lebih pada apa yang sedang diperjuangkan nya. Apa yang diperjuangkan Maruli pasti sedang bersinggungan dengan kepentingan pemodal (yang difasilitasi oleh negara). Dan tentu saja ini harus dilawan semaksimalnya, bukan semata melalui jalur hukum–jalur yang sepenuhnya dikuasai modal, tetapi juga melalui aksi massa yang menggalang solidaritas terhadap para pejuang yang dikriminalisasi. Agar lewat ini, kriminalisasi dapat ditekan bahkan tidak lagi menjadi hambatan dalam berjuang.

Tetapi lebih jauh dari itu, ini bukan tentang Maruli, Sultoni, Akbar, Mahendra, atau siapapun pejuang yang terkena kriminalisasi. Melainkan ini tentang cara negara lewat hukum nya yang mengatakan bahwa berjuang adalah salah. Sehingga di titik ini, perlu untuk tidak tunduk pada hukum yang merugikan rakyat banyak serta menghambat perjuangan menuju kesejahteraan dan keadilan itu sendiri. Sampai suatu saat lahir hukum/konstitusi dasar yang akan kita patuhi, yakni berbunyi: “semua alat-alat produksi dimiliki bersama, dikontrol bersama, dan untuk kesejahteraan bersama

Keterangan foto: Marulitua, SH

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: