Strategi Taktik

Cancel Culture dan Perlawanan Terhadap Penindasan

Budaya pembatalan, yang secara linguistik berakar dari penggunaan ironis dalam komunitas Twitter Afro-Amerika sekitar dekade 2010-an, telah mengalami transformasi signifikan dari sekadar lelucon menjadi sebuah fenomena sosial-politik global. Awalnya dimaknai sebagai bentuk penolakan humoristik terhadap individu yang tidak disukai, praktik ini kemudian dilembagakan secara struktural melalui gerakan sosial seperti #MeToo—yang dipicu oleh skandal Harvey Weinstein tahun 2017—dan gerakan Black Lives Matter yang menuntut pertanggungjawaban institusional terhadap aparat kepolisian. Eskalasi budaya pembatalan tidak hanya menyasar selebritas dan publik figur seperti Kanye West atau Laurence Fox, tetapi juga merambah ranah politik dengan menargetkan tokoh-tokoh seperti Dominique Strauss-Kahn, Donald Trump, dan Olaf Scholz melalui mekanisme “stok tuduhan pelecehan”. Lebih lanjut, fenomena ini menjalar ke dunia akademik dimana—menurut analisis linguis John McWhorter dan profesor Harvard Pippa Norris—tercipta lingkungan intelektual yang represif akibat dominasi nilai-nilai mayoritas yang meminggirkan perspektif alternatif, sehingga para akademisi hidup dalam atmosfer ketakutan akan penyimpangan opininya.

Pada tingkat geopolitik, budaya pembatalan mengalami sekuritisasi—suatu proses dimana isu diangkat sebagai ancaman eksistensial yang memerlukan respons luar biasa—terutama dalam konteks relasi Rusia-Barat. Barat dianggap secara sistematis berupaya “membatalkan” identitas budaya Rusia dengan menargetkan pencapaiannya yang paling prestisius di bidang sastra (seperti upaya pembatalan kuliah Dostoevsky oleh Universitas Milano-Bicocca), seni (pemecatan konduktor Valery Gergiev dari Munich Philharmonic), dan olahraga. Namun, respons Rusia terhadap upaya pembatalan ini bersifat kompleks dan multidimensi. Survei VTsIOM mengungkapkan bahwa hanya 12% populasi yang menganggap boikot budaya Barat berpotensi merugikan secara signifikan, sementara 23% justru melihatnya sebagai stimulan bagi perkembangan budaya nasional. Mayoritas warga Rusia (46%) bahkan menentang penerapan sanksi balasan, mencerminkan ketidakterikatan identitas nasional Rusia pada validasi Barat—sebuah fenomena yang oleh ilmuwan politik Daniil Parenkov disebut sebagai “ketahanan peradaban”.Secara sosiokultural, budaya pembatalan gagal berakar dalam masyarakat Rusia Mekanisme resolusi konflik di Rusia cenderung bersifat rekonsiliatif ketimbang punitif, sebagaimana terlihat dalam kasus presenter TV Regina Todorenko yang dimaafkan setelah melakukan permintaan maaf publik dan reparasi simbolik. Model ini kontras dengan karakteristik budaya pembatalan di Barat yang seringkali irreversibel dan berorientasi pada penghukuman permanen.

Artikel dari East View Press berjudul Cancel Culture in World Politics: Historical and Philosophical Roots berargumen bahwa fenomena cancel culture bukanlah produk baru era digital, melainkan sebuah pola berulang dalam sejarah manusia yang berfungsi sebagai alat kekuasaan untuk menegaskan norma sosial, menghukum penyimpangan, dan mempertahankan hegemoni kelompok yang berkuasa. Dengan menelusuri akar historisnya, kita melihat bahwa dorongan untuk “membatalkan” individu atau gagasan adalah bagian intrinsik dari dinamika politik dan sosial masyarakat.

Secara historis, akar cancel culture dapat ditelusuri kembali ke institusi Ostrakisme di Athena Kuno (abad ke-5 SM). Setiap tahun, warga Athena dapat memilih untuk mengusir seorang individu dari negara-kota selama sepuluh tahun melalui pemungutan suara di pecahan tembikar (ostrakon). Tujuannya bukanlah untuk menghukum sebuah kejahatan, tetapi untuk menetralisir ancaman terhadap demokrasi—biasanya seorang figur yang dianggap terlalu kaya, populer, atau berpotensi menjadi tirani. Ini adalah “pembatalan” yang terlembaga dan demokratis, sebuah tindakan kolektif untuk melindungi tubuh politik dengan mengorbankan seorang individu, mencerminkan ketegangan abadi antara keamanan komunitas dan hak individu.

Pada Abad Pertengahan, gereja memiliki alat “pembatalan” yang paling ampuh: Ekskomunikasi. Tindakan mengucilkan seseorang dari komunitas religius ini bukan hanya hukuman spiritual; ia adalah hukuman sosial, ekonomi, dan politik total. Seorang yang diekskomunikasi dilarang menerima sakramen, dilarang berinteraksi dengan warga lain, dan secara efektif “dibatalkan” dari kehidupan masyarakat. Ekskomunikasi adalah alat untuk menegakkan orthodoksi dan menunjukkan kekuasaan mutlak institusi agama atas kehidupan sehari-hari, sebuah preseden sejarah di mana “pembatalan” berarti kehilangan status dan hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat.

Era modern memperlihatkan eskalasi “pembatalan” dari tingkat komunitas ke tingkat negara-bangsa. Rezim-rezim totaliter abad ke-20 mempraktikkan Pemurnian Politik (Purges) dan Pencabutan Kewarganegaraan. Pada era McCarthyisme di Amerika Serikat tahun 1950-an, seorang yang dituduh simpatisan komunis dapat “dibatalkan”—di-blacklist dari industri hiburan, dipecat dari pekerjaan, dan dikucilkan secara sosial—berdasarkan kecurigaan semata, tanpa proses hukum yang layak. Di Uni Soviet dan negara komunis lainnya, “pembatalan” mencapai bentuknya yang paling brutal: orang tidak hanya diusir dari pekerjaan atau komunitas, tetapi juga dibuang ke kamp kerja paksa atau dihilangkan secara fisik. Dalam konteks ini, “cancel culture” yang didukung negara menjadi mekanisme teror untuk menciptakan masyarakat yang homogen dan patuh.

Namun, sejarah juga mencatat penggunaan taktik “pembatalan” oleh kelompok yang tertindas untuk melawan kekuasaan. Gerakan Boikot, seperti Boikot Bus Montgomery yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr., adalah strategi yang disengaja untuk “membatalkan” dukungan ekonomi dari sistem yang tidak adil. Tindakan memilih untuk tidak membeli, menggunakan, atau mendukung suatu layanan sebagai bentuk protes damai adalah inti dari banyak perjuangan hak sipil dan anti-apartheid. Ini menunjukkan bahwa penarikan dukungan kolektif—inti dari cancel culture—dapat menjadi alat yang legitimate dan powerful bagi kelompok marjinal untuk menuntut akuntabilitas dan perubahan sosial ketika jalur institusional lainnya tertutup.

Dalam artikel yang berjudul Where Did Cancel Culture Come From? Yang ditulis oleh Shannon Watkins—merupakan penulis di James G. Martin Center For Academic Renewal mencoba membongkar historis dan perkembangan cancel culture yang terjadi di Amerika. Cancel culture bukanlah fenomena insidental yang lahir dari media sosial, melainkan konsekuensi logis dan tak terhindarkan dari proyek intelektual jangka panjang yang berpusat di lingkungan akademis, khususnya dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Akar filosofisnya ditelusuri hingga ke paradigma postmodernis yang mempertanyakan narasi-narasi besar (seperti kebenaran objektif, kemajuan, dan meritokrasi) dan menggantikannya dengan relativisme yang berfokus pada pengalaman subjektif dan identitas kelompok. Dari paradigma inilah muncul berbagai teori kritis—yang mencoba mengawinkan prespektif Marxisme yang dialihkan dari konflik kelas ekonomi ke konflik identitas—seperti Critical Race Theory, teori Queer, dan feminisme gelombang ketiga. Teori-teori ini mengajarkan kerangka berpikir yang melihat dunia sebagai arena pertarungan kekuasaan antara kelompok penindas dan tertindas, di mana bahasa dan norma-norma budaya bukanlah alat netral, melainkan instrumen untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan.

Proses “penghilangan” atau “pembatalan” (cancellation) di dalam artikel tesebut, adalah penerapan praktis dari “hermeneutika kecurigaan” (hermeneutics of suspicion) yang diajarkan di ruang kuliah. Dalam hermeneutika ini, setiap teks, pernyataan, atau tindakan individu tidak dibaca pada nilai mukanya, melainkan dicurigai sebagai menyembunyikan agenda kekuasaan yang lebih dalam. Kesalahan masa lalu seseorang tidak dilihat sebagai kesalahan manusiawi yang dapat diperbaiki, tetapi sebagai bukti dari “kesadaran palsu” atau sifat internal yang rasis, seksis, atau bias. Dengan demikian, upaya rekonsiliasi sering kali dianggap tidak cukup karena dianggap tidak mengatasi “masalah struktural” yang diwakili oleh individu tersebut. Persoalan Cancel Cultur ini juga kemudian memperpanjang penerapan ide safetyisme, salah satu contoh yang dijelaskan dalam artikel tersebut adalah  pandangan bahwa laki-laki yang dianggap berbahaya karena pandangan yang berlandaskan pada biologi dan stigma yang dilekatkan. Dalam logika safetyisme ini, ketidaknyamanan (discomfort) yang dirasakan oleh seseorang atau kelompok akibat pandangan tersebut disejajarkan dengan bahaya fisik, sehingga menjustifikasi tindakan pembungkaman terhadap pembicara atau mahasiswa yang menyatakannya.

Artikel ini menekankan bahwa media sosial hanyalah katalisator, bukan penyebabnya. Platform seperti Twitter dan Instagram memberikan alat dan skala global untuk mempraktikkan apa yang telah dipelajari oleh para aktivis muda di kampus. Mekanisme seperti “doxing” (menyebarkan data pribadi) dan tekanan massa terhadap pemberi kerja adalah modernisasi dari taktik boikot dan protes, namun didorong oleh ideologi yang telah disistematiskan secara akademis.

Budaya pembatalan ini secara historisnya lekat dengan tindakan-tindakan politik yang dilakukan dengan dorongan untuk membangun “ruang aman”. Ini juga akan berkaitan dalam hal yang lebih besar untuk membatalkan ideologi tertentu hingga organisasi tertentu untuk memberhentikan pengaruh politik tertentu. Dalam esai Kristian Williams, “The Politics of Denunciation,” politik pembatalan dapat dipahami sebagai manifestasi dari apa yang ia sebut sebagai “politik denunsiasi.” Paradigma ini secara fundamental berbeda dengan “politik pembebasan” yang menjadi cita-cita gerakan sosial. Politik denunsiasi berfokus pada penghukuman dan pemurnian komunitas dengan cara mengidentifikasi dan mengucilkan individu yang dianggap melakukan pelanggaran. Logikanya bersifat reaktif dan berorientasi pada rasa bersalah, sehingga seringkali menyederhanakan narasi kompleks menjadi dikotomi hitam-putih antara “korban” yang tak bersalah dan “pelaku” yang jahat. Dalam proses ini, konteks historis, personal, dan politis dari suatu tindakan sering diabaikan, yang menghalangi pemahaman mendalam tentang akar masalahnya.

Williams mengkritik bahwa paradigma yang mendasari praktik ini adalah paradigma keamanan, bukan paradigma keadilan. Tujuannya adalah melindungi komunitas dengan “menyingkirkan” ancaman, sebuah logika yang mirip dengan sistem peradilan pidana yang justru ingin ditentang oleh gerakan radikal. Konsekuensinya cenderung tidak proporsional, berujung pada pengucilan sosial dan penghancuran reputasi, alih-alih upaya edukasi atau rekonsiliasi. Hal ini menciptakan budaya ketakutan di dalam komunitas itu sendiri, di mana orang menjadi enggan untuk berbicara secara jujur atau melakukan kesalahan yang wajar dalam proses belajar. Akibatnya, energi yang seharusnya difokuskan untuk melawan struktur penindas eksternal seperti negara dan kapital justru terkuras untuk mengurus konflik internal yang merusak solidaritas.

Lebih lanjut, Williams menyoroti kontradiksi ironis dalam politik pembatalan. Dalam komunitas yang mengklaim egaliter dan tanpa hierarki formal, kekuasaan tidaklah hilang melainkan berpindah bentuk. Kekuasaan tersebut dipegang oleh mereka yang memiliki modal sosial dan kultural tertinggi, seperti penguasaan bahasa ortodoks atau jumlah pengikut di media sosial. Kekuasaan ini bersifat tidak transparan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga justru berpotensi sewenang-wenang. Dengan demikian, alih-alih menciptakan alternatif dari sistem yang opresif, politik pembatalan justru mereproduksi dinamika kekuasaan yang sama: logika penghukuman, pengucilan, dan pembentukan orthodoksi yang kaku. Kritik Williams pada intinya adalah bahwa politik denunsiasi melemahkan gerakan dari dalam dengan mengorbankan solidaritas dan perjuangan transformatif jangka panjang, untuk membangun kekuatan kolektif yang inklusif dan berfokus pada akuntabilitas yang membebaskan.

Dalam laporan Pew Research Center tahun 2021, persepsi masyarakat Amerika terhadap cancel culture menunjukkan polarisasi yang dalam dan konsisten mengikuti garis perpecahan politik yang sudah ada. Intinya, terdapat perbedaan definisi mendasar dimana 58% publik melihat cancel culture sebagai bentuk meminta pertanggungjawaban atas kesalahan, sementara 38% menganggapnya sebagai sensor atau hukuman yang tidak adil. Perpecahan ini terutama terlihat jelas di kubu partisan, dengan 65% Konservatif Republik melihatnya sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi, sementara 64% Demokrat Liberal justru memandangnya sebagai alat akuntabilitas yang diperlukan. Realitas pengalaman pun berbeda, dimana kelompok muda, kulit hitam, dan Hispanik lebih aktif terlibat dalam praktik canceling dibanding kelompok kulit putih dan usia lebih tua. Yang mengkhawatirkan, sebagian besar responden (59%) merasa orang sering dihukum berlebihan untuk kesalahan kecil, dan sekitar setengahnya mengaku khawatir akan membuat kesalahan di media sosial. Temuan ini menggambarkan bahwa debat cancel culture sebenarnya adalah cermin dari ketegangan politik yang lebih luas mengenai kekuasaan, keadilan, dan batas kebebasan berekspresi dalam masyarakat demokratis, dimana ketakutan akan konsekuensi sosial justru berpotensi mematikan diskursus publik yang sehat.

Kita dapat melihat secara perkembangannya cancel culture ini lekat kemudian sebagai upaya perpanjangan tangan permainan politik identitas. Setidaknya dalam perkembangan modern yang masif berkembang di Amerika—dikembangkan oleh para mahasiswa itu sendiri yang kemudian menjalar ke masyarakat lebih luas juga terutama masifnya di media sosial. Persoalan cancel culture ini menjalar di gerakan rakyat itu sendiri, misalnya setidaknya kita sering mendengar tindakan cancel culture ini sering dilakukan untuk membatasi ruang politik hingga ruang kehidupan pelaku kekerasan seksual. Tentu saja kita perlu berpihak kepada korban akan tetapi hal ini tidak bisa dianalisa dengan pandangan budaya ataupun terjebak pada persoalan politik identitas. Cancel Culture ini tentu akan memiliki dampak yang siginifikan, ini menjadi salah satu hal yang memperkuat perpecahan di dalam gerakan rakyat itu sendiri.  

Perlu kita pahami di bawah sistem kapitalisme yang melahirkan segala macam penindasan dan upaya yang terus dilakukan untuk memecah belah kelas bawah terus dilakukan. Secara historis yang sedikit banyak sudah disampaikan sebelumnya, budaya pembatalan ini akan menemukan jalan buntu terhadap upaya penyelesaian terhadap tindakan yang bersebrangan atau tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan budaya masyarakat itu sendiri. Akhirnya kita akan terus berupaya untuk menyelesaikan setiap permasalahan penindasan baik itu seksisme, rasisme, atau pembatalan ideologi dengan menyelesaikan kasus demi kasus yang tidak berujung. Cancel culture merupakan fenomena yang justru kontra-produktif bagi perjuangan kelas sejati. Alih-alih menargetkan struktur kapitalis yang menjadi akar material dari penindasan seperti rasisme dan seksisme, cancel culture malah memusatkan amarah pada individu-individu, seperti selebriti atau publik figur. Pendekatan ini merupakan bentuk mistifikasi yang khas dalam kapitalisme, di mana masalah sistemik yang lahir dari hubungan kelas yang eksploitatif direduksi menjadi sekadar kesalahan moral personal. Dengan “membatalkan” seorang individu, ilusi tercipta seolah-olah suatu ketidakadilan telah diatasi, padahal sistem ekonomi yang justru memanfaatkan ketidaksetaraan tersebut tetap tak tergoyahkan.

Logika cancel culture sendiri kemudian terjebak dalam komodifikasi moral yang merupakan ciri kapitalisme. Aktivisme menjadi sebuah pertunjukan yang dikonsumsi di media sosial, di mana virtue signaling (istilah negatif mengenai tindakan mengekspresikan nilai-nilai moral atau keyakinan dengan cara yang dirancang untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa diri Anda memiliki karakter yang baik, bukan untuk memberikan kontribusi nyata pada tujuan tersebut) berubah menjadi modal sosial yang diukur dari likes dan retweets. Hal ini mencerminkan alienasi di mana perlawanan yang seharusnya bersifat kolektif dan material direduksi menjadi gestur simbolis yang individualistis. Fenomena ini juga rawan disalahgunakan oleh borjuasi sebagai alat untuk mendisiplinkan tenaga kerja atau menghabisi pesaing bisnis, semua di bawah kedok moralitas. Yang paling berbahaya, fokusnya pada identitas tanpa analisis kelas yang mendalam berpotensi memecah belah solidaritas kelas pekerja, membuat mereka sibuk berselisih antar sendiri sementara kelas pemilik modal tetap utuh. Pada akhirnya, karena hanya berhenti pada konsekuensi bagi individu dan perubahan simbolis, cancel culture gagal menghasilkan perubahan sistem yang lebih nyata bagi buruh dan kelas pekerja, sehingga pada hakikatnya hanya menjadi pengalih yang melanggengkan status quo. Cancel culture muncul bukan sebagai alat emansipasi progresif, melainkan sebagai gejala superstruktural yang justru mengukuhkan logika kapitalis yang mendasarinya. Kritik fundamentalnya berpusat pada bagaimana fenomena ini melakukan individualisasi dan moralisasi terhadap masalah-masalah struktural yang pada hakikatnya bersifat material dan berkelas. 

ditulis oleh Sagra, anggota Lingkar Studi Sosialis.

Loading

Comment here