Pernyataan Sikap

Bebaskan Kawan Kami, Penjarakan Pelanggar HAM!

#BEBASKANKAWANKAMI

#PENJARAKANPELANGGARHAM

Kawan kami masih ditangkap, pelanggar HAM masih berkeliaran bebas!

Di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran, pola-pola otoritarian kembali dilancarkan. Ini dibarengi konsolidasi kekuasaan dengan membangun aliansi kuat di antara elit politik dan memperluas peran militer dalam ranah sipil, sebuah praktik yang mengingatkan pada konsentrasi kekuasaan di masa lalu. Legitimasi pemerintahan ini juga dipertanyakan akibat manipulasi konstitusi yang menguntungkan pasangan tersebut dalam pemilu. Dalam kebijakan domestik, pemerintah menerapkan efisiensi anggaran yang justru membebani sektor publik seperti pendidikan, sementara menggelontorkan dana fantastis untuk program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran fantastis mencapai 391 triliun digulirkan, bersamaan dengan proyek Daya Anagata Nusantara (Danantara) hanya terus memperkaya para elit politik.

Perkembangan militerisme juga ditandai dengan disahkannya Revisi UU TNI pada Maret 2025, yang pada dasarnya menguatkan kembali doktrin Dwifungsi secara legal. Kebijakan ini memperluas jalan bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil sekaligus melanggengkan impunitas atas pelanggaran HAM masa lalu. Sepanjang tahun 2025, tindakan represif aparat menjadi bukti nyata ancaman militerisasi tersebut, terutama apa yang terus kita bisa saksikan di Papua, di mana kekerasan berlebihan, penembakan terhadap warga sipil, dan penangkapan sewenang-wenang sering terjadi. Rezim hari ini telah mengembalikan militerisme sebagai instrumen kekuasaan, mengorbankan demokrasi, keadilan sosial, dan hak asasi manusia.

Rentetan aksi massa yang mengguncang Indonesia sepanjang Agustus 2025 menandai kembali munculnya situasi radikal yang memuncak dalam sejarah Indonesia. Aksi-aksi tersebut lahir dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan rakyat atas kebijakan negara yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Kebijakan ekonomi yang berpihak pada oligarki, praktik politik dinasti yang mencederai demokrasi, serta jurang kesenjangan sosial yang semakin melebar menjadi pemicu utama ledakan perlawanan. Perlawanan Agustus menunjukkan dengan jelas bahwa rakyat tidak akan tinggal diam ketika hak-haknya diinjak dan ruang demokrasinya dipersempit. Ledakan demonstrasi itu adalah wujud nyata bahwa kekuatan rakyat masih hidup.

Rezim Prabowo-Gibran merespons gelombang aksi tersebut dengan represi brutal secara sistematis. Represi ini membuat perlawanan mereda bukan karena gagalnya gerakan rakyat, melainkan karena kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi yang dilakukan negara dengan skala besar. Sejarah mencatat bahwa sejak Reformasi 1998, belum pernah terjadi penangkapan dan kriminalisasi terhadap rakyat dalam jumlah sebesar ini. Data yang terhimpun 24 September 2025 menunjukkan 5.444 orang ditangkap dalam Perlawanan Agustus, data terakhir pada 26 September menyebutkan 997 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Terdapat kemungkinan kriminalisasi tersebut akan terus berlanjut. Setidaknya 46 orang dinyatakan hilang, dengan 33 orang di antaranya menjadi korban penghilangan paksa oleh aparat dan hingga hari ini, 2 orang masih hilang.

Kekejaman rezim dengan menggabungkan kekuatan militeris ini terjadi juga khususnya di Papua. Campur tangan militerisme di tanah Papua terus terjadi bahkan dalam rentetan Perlawanan Agustus. Data yang terhimpun pada 27-28 Agustus 2025, Polresta Kota Sorong melakukan penangkapan 24 orang masa aksi—yang mana hal ini buntut dari protes pemindahan empat Tapol Papua ke Makassar. 16 orang di antaranya dibebaskan setelah negosiasi panjang antara keluarga, Majelis Rakyat Papua (MRP), dengan polisi pada 30 Agustus 2025. Sementara sisanya, dipaksa untuk meminta maaf dan mengaku bersalah yang kemudian dapat dibebaskan dalam kurun waktu 1 minggu kemudian. Sementara itu, 2 orang lainnya ditembak dan meninggal dunia di Kota Sorong dan Manokwari. Pada 23 September 2025, polisi melakukan penangkapan sebanyak 13 orang aktivis KNPB yang membagi selebaran berkaitan Hari Tani Nasional di Sentani, Jayapura. Kriminalitas ini terus berlanjut, pada 30 September 2025—polisi melakukan penahanan 4 orang masa aksi pada momentum Roma Agremeent, yang mana korban tersebut merupakan mahasiswa Universitas Cendrawasih yang kemudian dijatuhkan sanksi wajib lapor. Sementara itu, 4 Tahanan Politik yang sebelumnya ditahan secara paksa saat mengantar surat perundingan damai untuk penyelesaian konflik Papua dari organisasi Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) masih menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Makassar hingga saat ini.

Tindakan represif yang terjadi sepanjang Perlawanan Agustus tidak berhenti pada penangkapan massal. Brutalitas aparat terwujud dalam berbagai bentuk: penggunaan gas air mata secara membabi buta, penyiksaan terhadap massa aksi, pelecehan seksual, penghalangan bantuan hukum, hingga jatuhnya korban jiwa. Pola kekerasan yang terorganisir ini mengingatkan pada praktik negara otoriter di masa lalu, ketika rakyat dipaksa tunduk melalui ketakutan. Rezim kemudian melanjutkan dengan penegasan kebijakan peninggalan Jokowi dan pembuatan kebijakan baru. Prabowo menegaskan bahwa demonstrasi atau aksi massa harus bubar pada pukul 18:00 WIB. Selain itu, muncul juga Perkapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian RI. Aturan internal ini absurd karena melampaui aturan untuk “internal” itu sendiri dengan mengatur penindakan tegas hingga menggunakan senjata api tajam maupun karet untuk orang-orang yang dianggap “menyerang” kantor kepolisian. Dengan demikian, Perlawanan Agustus juga menjadi penanda bahwa demokrasi yang sejak 1998 kini berada di titik paling genting. Kebebasan sipil kian menyempit, hak-hak politik rakyat kian tergerus, dan negara secara terang-terangan memperlihatkan wajah otoriternya. Rezim Prabowo-Gibran melancarkan penangkapan dan kriminalisasi terbesar paska Reformasi 1998.

Bagi kita, perlawanan terhadap represi negara bukanlah reaksi yang dilihat sebagai momentuman saja. Sebaliknya, ia adalah bagian dari upaya panjang mempertahankan hak-hak politik dan ruang hidup rakyat yang terus dikebiri. Brutalitas negara bukan hanya deretan angka korban, tetapi penderitaan manusia yang diproduksi secara sistematis. Situasi ini menegaskan bahwa perjuangan untuk membebaskan kawan-kawan yang ditahan sekaligus menuntut penghukuman pelaku represi serta kejahatan kemanusiaan bukan hanya agenda gerakan sosial, melainkan sebagai langkah politik untuk membangun kekuatan masa aksi dan seluruh rakyat tertindas.

Perlawanan Agustus, justru menunjukkan satu hal penting bahwa seluruh rakyat yang tertindas memiliki keberanian untuk melawan. Tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa penderitaan yang lahir dari brutalitas negara tidak dilupakan, bahwa pengorbanan massa aksi menjadi fondasi untuk melanjutkan perjuangan, dan bahwa demokrasi sejati hanya mungkin lahir bila rakyat berani menentang kekuasaan yang menindas. Penyatuan rakyat tertindas dan buruh sepanjang sejarahnya dibuktikan mampu menantang rezim yang represif.

Dengan menahan ribuan massa aksi, negara saat ini secara nyata menunjukan dirinya sebagai alat para elit politik. Brutalitas aparat yang melakukan kriminalitas kepada massa aksi, penghilangan paksa hingga memakan korban jiwa tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Jika korban dibiarkan dipenjara atau bahkan berakhir memakan korban jiwa. sementara pelaku represi kebal hukum, maka ketidakadilan akan terus berulang, dan demokrasi hanya tinggal nama. Sayangnya, ini sudah terjadi. Sejak Reformasi 1998, kita belum mampu menyeret para pelanggar HAM ke dalam penjara. Pembunuhan serta penganiayaan Rezim Prabowo-Gibran terhadap massa aksi Perlawanan Agustus menunjukan bahwa Tindakan tersebut merupakan kelanjutan dari tindakan-tindakan serupa sejak Malapetaka 1965. Kekejian yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan para elit politik.

Oleh karena itu, kami menuntut penghukuman terhadap pelanggar HAM—baik aparat maupun elit pejabat politik—hal ini merupakan langkah strategis untuk memutus rantai impunitas dan menuntut penghukuman yang adil bagi mereka yang terus melakukan pemberangusan, pengiblisan hak demokratis mengemukakan pendapat di muka umum, hingga pembunuhan terhadap rakyat itu sendiri. Mari kawan-kawan semua kita serukan: “Bebaskan Kawan Kami! Penjarakan Pelanggar HAM!” Hanya dengan persatuan dan masa yang terorganisir, kita dapat membangun kekuatan tandingan yang sanggup menghadapi represi dan merebut kembali ruang demokrasi yang dirampas.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan:

Paling utama adalah terorganisir dan melancarkan perjuangan bersama-sama.

Solidaritas Akan Menang Melawan Represi!

Demokrasi Akan Menang Melawan Militerisme!

Rakyat Akan Menang Melawan Oligarki!

Terlibat Di Dalamnya

Didukung Oleh

Loading

Comment here