InternasionalPernyataan Sikap

Profil Solidarity Committee for Rakyat (the People) Indonesia and Papua

Solidarity Committee For Rakyat (For the People) Indonesia And Papua, atau disingkat SCRIP, adalah organisasi demokratis para pekerja, mahasiswa, aktivis, dan organisasi yang berpusat di Naarm, Australia, yang didirikan untuk membangun solidaritas internasional dalam perjuangan rakyat untuk demokrasi dan melawan militerisme, imperialisme, dan oligarki. Keberadaan komite ini sangat penting untuk menghadapi realitas politik masa lalu, masa kini, dan masa depan. Karena isolasi adalah alat terhebat bagi para penindas, solidaritas internasional kini dibutuhkan bagi kita.

Agustus lalu, protes massa terbesar sejak terpilihnya Presiden Prabowo meletus di seluruh Indonesia. Pemicunya adalah para politisi yang memilih untuk menaikkan gaji mereka sendiri di tengah meningkatnya kesulitan ekonomi yang dialami rakyat—siswa dan guru jatuh sakit akibat kontaminasi makanan dalam program makanan sekolah gratis andalan Prabowo, serta meningkatnya ketegangan antara militer dan kehidupan sipil, dan iklim represif secara umum. Tanpa adanya oposisi politik yang nyata di parlemen, rakyat turun ke jalan. Penyebab yang mendasarinya adalah kebijakan eksploitatif dan represif dari elit politik, yang telah menciptakan kontras yang tajam dengan massa dan merupakan penindasan yang sistematis.

Sebagai tanggapan, aparat kepolisian Prabowo menangkap lebih dari 5.000 orang tanpa pengadilan, dan membenarkan penangkapan itu dengan alasan keterlibatan dalam gerakan ‘anarko’; oleh karena itu, mereka dianggap sebagai ‘provokator’ atau ‘penjahat’. Rezim saat ini secara sistematis membangun represi  Anarkisme sebagai sebuah ideologi. Represi ini merupakan taktik yang membangun hegemoni atas penjelek-jelekkan ideologi tertentu, metode serupa yang digunakan untuk membenarkan Genosida 1965-66 oleh rezim militer Suharto, yang menyasar ideologi Marxis/ Leninis/ Komunis, dan bahkan Timor Leste, di mana Prabowo merupakan pelaku langsung.

Meskipun bersekutu dengan Amerika Serikat, Australia merupakan kekuatan imperialis tersendiri, dan kelas penguasa Australia bertekad mendominasi wilayah sekitarnya untuk melindungi keuntungan luar negerinya. Indonesia penting bagi tujuan tersebut, terutama di saat Australia menghadapi persaingan dari Tiongkok. Pembebasan bagi rakyat Indonesia dan Papua tidak sejalan dengan kepentingan ekonomi mereka. Itulah sebabnya pemerintah Australia menyediakan pelatihan, persenjataan, dan teknologi kepada TNI dan Polri untuk memperkuat rezim, dan bahkan saat ini sedang mengupayakan hubungan yang lebih erat dengan Prabowo. Aliansi Indonesia-Australia merupakan kemitraan imperialis yang dibangun atas kepentingan bersama atas tenaga kerja dan sumber daya alam di seluruh Indonesia dan Papua.

Di Papua, dengan represi yang luar biasa keras, perampasan tanah untuk tebu, pertambangan, dan gastrokolonialisme, sementara pada saat yang sama menghadapi perluasan komando militer teritorial yang berfungsi untuk mengintensifkan represi dan kekerasan militer, membuktikan bahwa militerisme secara intrinsik terkait dengan bentuk kapitalisme yang diwarisi dari struktur kolonial. Pentingnya solidaritas internasional, terutama dalam upaya untuk menghentikan aliran senjata ke militer dan kepolisian Indonesia, sehingga melemahkan aparat pemaksaan yang digunakan terhadap penduduk Papua. Pola eksploitasi serupa yang terjadi di mana-mana tentu tidak menguntungkan rakyat biasa Indonesia atau Australia, melainkan hanya kelas penguasa.

Prabowo dengan memalukan menyampaikan pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyatakan dukungannya terhadap keberadaan Israel dan solusi dua negara, yang menunjukkan bagaimana kelas penguasa Indonesia akan terus berpihak pada kepentingan imperialis. Perjuangan bersama melawan imperialisme dan militerisasi besar-besaran menghubungkan Palestina, Papua, dan Indonesia.

Militerisme di Indonesia terkait langsung dengan kekuatan imperialis global, negara-negara seperti Amerika Serikat, Israel, dan Australia yang menyediakan pelatihan, persenjataan, dan teknologi bagi militer dan kepolisian Indonesia. Pemerintah Australia telah sepenuhnya mendukung rezim Prabowo-Gibran dalam ‘komitmen bilateral’ mereka. Secara historis, Australia telah terlibat dalam pendudukan Timor-Leste, yang merupakan tragedi kemanusiaan besar-besaran kedua yang dilakukan oleh Rezim Suharto dan Prabowo sendiri.

Gerakan rakyat di Indonesia dan Papua tidak bisa dan tidak seharusnya berdiri sendiri dalam perjuangannya. Secara historis, perlawanannya terhadap kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme selalu terkait erat dengan solidaritas internasional. Selama perjuangan melawan agresi militer Belanda, para pekerja pelabuhan Australia mengambil tindakan berani untuk mendukung rakyat Indonesia.

SCRIP bertujuan untuk lebih dari sekadar dukungan; ini adalah strategi penting untuk menghadapi dan memperjuangkan supremasi rakyat, yang dipimpin oleh kaum buruh dan tani. Anti-militerisme adalah perjuangan struktural melawan kapitalisme bersenjata.Kita harus menyadari bagaimana nasib kita saling terkait; pembebasan untuk semua orang, atau tidak untuk siapa pun.

Tujuan komite kami adalah menginternasionalkan perlawanan, menciptakan titik-titik tekanan di negara-negara yang mendukung dan mendanai rezim tersebut. Kita harus menghentikan aliran modal, senjata, dan legitimasi yang menopang penindasan di Indonesia dan Papua.

Membentuk solidaritas internasional berbasis anti-militerisme, anti-imperialisme, anti-oligarki, dan pro-demokrasi yang bertujuan untuk merangkul pekerja, mahasiswa, atau diaspora Indonesia yang tinggal di Australia. Kami ingin melibatkan serikat pekerja, organisasi sayap kiri, dan mahasiswa untuk membangkitkan semangat solidaritas yang sama selama gerakan anti-Suharto.

Untuk melakukannya, kita mesti melibatkan tidak hanya komunitas Indonesia–Australia, yang sudah mulai tergerak, tetapi juga dengan serikat buruh, organisasi sayap kiri, kelompok mahasiswa dan lain-lain, untuk merangkul lapisan masyarakat Australia yang lebih luas dan membangun solidaritas yang tidak saja menyamai apa yang kita saksikan selama gerakan anti-Suharto, tetapi bahkan melampauinya.

Komite Solidaritas untuk Rakyat Indonesia dan Papua merupakan sebuah upaya membangun solidaritas internasional yang radikal namun non-sektarian, berkelanjutan, dan berlandaskan politik. Untuk melawan militerisme, oligarki, dan imperialisme di Indonesia dan Papua, kita perlu membangun aliansi antara rakyat Indonesia, Australia, dan Papua yang cukup kuat untuk menghadang aliansi kelas penguasa kita.

Berani Berjuang, Berani Menang.

—–

Solidarity Committee For Rakyat (For the People) Indonesia And Papua, or Scrip in short, is a democratic organization of workers, students, activists, and organizations based in Naarm, Australia, established to build international solidarity in popular struggle for democracy and against militarism, imperialism, and oligarchy. The committee’s existence is vital to confront the political realities of the past, present, and future. As isolation is the greatest tool for the oppressor, international solidarity is now necessary for us.

This past August, the largest mass protest since the election of President Prabowo erupted across Indonesia. The spark was politicians voting to increase their own pay against the backdrop of increased economic hardship for the masses– students and teachers falling ill from food contamination in Prabowo’s signature free school meals program, as well as heightened military-civilian life and a general climate of repression. Without any real political opposition in parliament to speak of, people took to the streets. The underlying cause for this is the exploitative and oppressive policies of the political elite, which have created a stark contrast with the masses and constitute a systematic repression.

In response, Prabowo’s police detained over 5000 without trial, and justified based on being involved in the ‘anarcho’ movement; therefore, ‘violent criminals’.  The current regime has systematically built repression by demonizing Anarchism as an ideology. This repression is a tactic that established a hegemony over the demonization of a particular ideology, which is a similar method that was utilized to justify the 1965-66 Genocide by the Suharto military regime, which targeted the Marxists/Leninists/Communists ideology and even East Timor, where Prabowo was a direct perpetrator.

Although it’s allied with the United States, Australia is an imperial power in its own right, and our ruling class is intent on dominating the surrounding region to protect its overseas profit. Indonesia is significant to that goal, especially at a time when Australia is facing competition from China. Liberation for Indonesians and Papuans is incompatible with their economic interests. That is why the Australian government provides training, weapons, and technology to the Indonesian Military and police to strengthen the regime, and is seeking closer ties with Prabowo even now. The Indonesian-Australian alliance is an imperial partnership built on the joint expression of labor and natural resources across Indonesia and Papua.

In Papua, with tremendous violent repression, land grabbers for the means of sugar cane, land mining, and gastrocolonialism, while simultaneously facing the expansion of territorial military commands that serve to intensify repression and militarized violence, proves that militarism is intrinsically linked to a form of capitalism inherited from colonial structures. The importance of international solidarity, particularly in efforts to disrupt the flow of arms to Indonesia’s military and police forces, thereby weakening the apparatus of coercion deployed against the Papuan population. Similar patterns of exploitation, of course, play out across this does not benefit ordinary Indonesians or Australians, only our ruling class.

Prabowo shamefully delivered a speech at the United Nations, declaring its support for the existence of Israel and the two-state solution, which reveals how the Indonesian ruling class will continue to align itself with imperialist interests. Shared struggles against imperialism and heavy militarization interconnect the Palestinians, Papuans, and Indonesians.

The militarism in Indonesia is directly linked to global imperialist forces, countries like the USA, Israel, and Australia that provide training, weaponry, and technology to the Indonesian military and police. The Australian government has fully supported the Prabowo-Gibran regime in their ‘bilateral commitments.  Historically, Australia has been complicit in the occupation of Timor-Leste, which is the second holocaust that has been committed by the Suharto Regime and Prabowo himself.

The people’s movement in Indonesia and Papua cannot and should not stand alone in its fight. Historically, its resistance to colonialism, capitalism, and imperialism has always been deeply connected to international solidarity. During the struggle against Dutch military aggression, Australian dockworkers took bold action in support of the Indonesian people.

Scrip aims to be more than just supportive gestures; it’s an imperative strategy to confront and pursue the supremacy of the people, led by the workers and the peasants. Anti-militarism is a structural struggle against armed capitalism. We must recognise how our fates are intertwined; liberation for all, or for none.

 Our committee’s purpose is to internationalize the resistance, creating pressure points within the countries that support and fund the regime. We must disrupt the flow of capital, arms, and legitimacy that sustains the oppression in Indonesia and Papua.

Forging international solidarity based on anti-militarism, anti-imperialism, anti-oligarchy, and pro-democracy that aims to engage with Indonesian workers, students, or diaspora living in Australia. We want to engage trade unions, leftist organisations, and students to evoke the same spirit of solidarity during the anti-Suharto movement.

To do so, we must engage not only with the Indonesian-Australian community, who we already see beginning to mobilised, but with trade unions, left wing organisation, student groups and more to bring in broad layer of Australian society and build the solidarity that not matches what we saw during the anti-Suharto movement, but surpasses it.

The Solidarity Committee for Rakyat Indonesia and Papua represents a radical but non-sectarian building of sustained, politically grounded international solidarity. To resist against militarism, oligarchy, and imperialism in Indonesia and Papua, we need to forge an alliance between the people of Indonesia, Australia, and Papua that is strong enough to overthrow the alliance of our ruling class.

Dare to Struggle, Dare to Win. 

Loading

Comment here