Sekber, Pembebasan, OKMS, FMN, KPR, SGBN, SPRI, PHI, FBTPI-KPBI, SBI-RSP, FGBK, PPR, PS, Indoprogres, SMI, Sempro, Kompolnas-PB, BRG, Agrarian Resorce Center
Pendahuluan
Akhir Agustus lalu berbagai macam elemen masyarakat, mahasiswa, pelajar, kaum miskin kota, hingga buruh turun ke jalan bersama-sama melancarkan aksi massa melalui pendudukan titik-titik kekuasaan di berbagai daerah atas berbagai persoalan yang dihadapi rakyat saat ini. Tidak jarang pula tuntutan terhadap pembubaran DPR ikut digaungkan. Aksi massa yang cukup besar ini menjadi momentum penting yang memperlihatkan bagaimana gerakan progresif bisa berkonsolidasi dan menganalisa secara mendalam faktor objektif yang mengondisikan lahirnya ledakan sosial tersebut.
Pada 14 September 2025, berbagai gerakan kiri berkonsolidasi di Jakarta untuk menelaah secara kritis faktor objektif pemicu aksi akhir Agustus serta karakteristik gerakan yang muncul. Forum ini menyepakati penerbitan kertas posisi sebagai landasan bersama. Kertas posisi ini merangkum hasil konsolidasi yaitu analisis kondisi objektif ekonomi-politik, evaluasi karakter gerakan, dan sikap politik yang disepakati.
Pembahasan
Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami serangkaian kebijakan ekonomi-politik yang semakin menekan rakyat kecil. UU Cipta Kerja hadir sebagai instrumen legal yang menghapus banyak perlindungan buruh, melegitimasi sistem kerja kontrak dan outsourcing, serta menurunkan daya tawar kelas pekerja. Situasi ini diperburuk dengan realitas upah yang jauh dari layak (misalnya rata-rata upah minimum provinsi 2025 hanya sekitar Rp2,9 juta sementara kebutuhan hidup layak di banyak kota besar menembus Rp4,5 juta per bulan), angka pengangguran yang masih tinggi (tingkat pengangguran terbuka per Februari 2025 mencapai sekitar 5,5% atau lebih dari 8 juta orang), dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak terjangkau (beras medium tembus di atas Rp15.000/kg, cabai rawit merah sempat mencapai Rp120.000/kg, serta harga minyak goreng yang bertahan di kisaran Rp18.000–20.000/liter). Pada saat bersamaan, warisan kebijakan era Jokowi berupa kenaikan iuran BPJS hingga sekitar 65%, menaikkan PPN dari 10% menjadi 11% hingga menjadi 12% per Januari 2025, serta membiarkan beban fiskal dialihkan kepada rakyat melalui kenaikan PBB di banyak daerah. Sementara itu, para kapitalis justru diuntungkan lewat kebijakan tax amnesty dan berbagai insentif yang membebaskan mereka dari kewajiban fiskal.
Kontradiksi kebijakan fiskal dan beban rakyat ini berpaut erat dengan proyek pembangunan berskala besar. Proyek Strategis Nasional (PSN) dan program Food Estate yang dijalankan rezim menimbulkan perampasan tanah, penggusuran, dan konflik agraria yang merugikan petani serta masyarakat adat. Bisnis ekstraktif diperluas dengan dalih pembangunan, padahal hanya memperdalam kerusakan ekologis dan mempertegas eksploitasi sumber daya untuk kepentingan modal besar. Di bidang pendidikan, komersialisasi semakin nyata dengan naiknya biaya dan semakin sempitnya akses bagi rakyat miskin. Di tengah kondisi ini, DPR dan Polri justru menerima tambahan tunjangan sebesar kurang lebih Rp3,5 triliun, di saat rakyat dibebani kebijakan efisiensi anggaran dan tekanan fiskal yang semakin berat.
Kontradiksi semakin mencolok ketika negara menggelontorkan suntikan dana sebesar Rp200 triliun kepada sektor perbankan, sementara pada saat yang sama angka kemiskinan tetap tinggi. Jika menggunakan indikator Bank Dunia sebesar Rp1,51 juta per kapita per bulan, maka tingkat kemiskinan di Indonesia sesungguhnya mencapai 68,3 persen atau sekitar 194,72 juta jiwa. Fakta ini memperlihatkan keberpihakan fiskal negara yang lebih mengutamakan stabilitas perbankan dan kepentingan kapital, ketimbang pemenuhan kebutuhan dasar mayoritas rakyat.
Di sisi lain, meskipun efisiensi dijadikan alasan pemangkasan pada sektor publik, Kementerian Pertahanan tetap menjadi salah satu penerima alokasi anggaran terbesar, dengan TNI memperoleh Rp139,2 triliun dan Polri Rp106 triliun. Kondisi ini menunjukkan bahwa prioritas fiskal negara lebih diarahkan pada penguatan aparatus represif ketimbang pemenuhan kebutuhan rakyat. Transisi dari kontradiksi fiskal menuju politik keamanan menemukan bentuknya pada revisi UU TNI. Secara politik, revisi UU TNI semakin menguatkan militerisme dalam kehidupan sipil, terlihat dari masuknya perwira aktif maupun purnawirawan ke posisi-posisi strategis sipil seperti kementerian, BUMN, hingga lembaga pengawas.
Militer juga terlibat langsung dalam pelaksanaan PSN, proyek Food Estate, program Makan Bergizi Gratis (MBG), serta diperkuat dengan penambahan komando batalyon di berbagai daerah. Keterlibatan ini menunjukkan bahwa militer bukan hanya alat pertahanan, tetapi juga instrumen untuk mengamankan kepentingan politik-ekonomi rezim. Dimensi ini berkelindan dengan peran institusi kepolisian yang juga dipakai sebagai instrumen politik keamanan. Kontradiksi ini tampak jelas ketika aparat digunakan untuk mengamankan proyek dan menekan aksi rakyat, bahkan sampai pada tragedi kasus Affan Kurniawan, driver ojek online yang tewas dilindas Brimob. Semua rangkaian kebijakan dan tindakan ini membentuk pola besar yang menunjukkan keterhubungan kepentingan modal, militer, dan birokrasi sipil dalam satu blok kekuasaan. Seluruh kebijakan tersebut memperlihatkan konsolidasi kekuatan elit, yang kian mengendalikan arah politik dan ekonomi nasional dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Aksi besar yang terjadi pada akhir Agustus 2025 merupakan luapan emosi kolektif masyarakat terhadap kondisi objektif yang telah menekan mereka selama bertahun-tahun. Rakyat, terutama kelas pekerja, buruh, petani, mahasiswa, dan kelompok miskin kota, merasakan langsung beban kebijakan neoliberal yang menurunkan kualitas hidup rakyat. Kenaikan harga, pengangguran, upah murah, biaya kesehatan dan pendidikan yang kian mahal, serta ancaman penggusuran akibat PSN dan Food Estate yang sebelumnya sudah disebutkan diatas, berpadu dengan kesenjangan seperti tunjangan DPR dan kasus tragis Affan. Semua ini menjadi pemicu ledakan aksi massa yang diwujudkan melalui aksi massa yang cukup besar mulai dari 25 Agustus 2025.
Meski berhasil menarik perhatian publik, gerakan ini memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Pertama, gerakan berlangsung secara spontan, cepat membesar karena didorong oleh media sosial, namun juga cepat padam karena tidak ada kepemimpinan revolusioner dan tradisi organisasi progresif yang menopangnya. Kedua, tuntutan yang muncul cenderung reformis, seperti tuntutan 17+8, mudah menjebak gerakan ke dalam kompromi jangka pendek, mengaburkan sentimen yang sebelumnya sudah cukup tajam terhadap elit, serta membuat lautan massa terombang-ambing tanpa menyentuh akar persoalan struktural yang mengondisikannya. Ketiga, mayoritas massa yang relatif hadir karena mobilisasi melalui media sosial yang digerakkan influencer kelas menengah, sehingga basis yang terbangun rapuh dan tidak memiliki kontinuitas organisasional. Keempat, lemahnya sentimen anti-militerisme menjadi catatan penting. Alih-alih melihat TNI sebagai bagian dari problem historis bangsa ini, sebagian massa justru menyambut mereka sebagai “pahlawan.” Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan kesadaran politik yang belum mampu dijembatani oleh organisasi kiri. Kelima, politik ketakutan yang dibangun rezim melalui represi aparat, penangkapan, dan kriminalisasi aktivis berhasil meredam keberanian massa untuk terus bergerak. Minimnya intervensi organisasi kiri dalam membangun basis massa di pabrik, kampus, dan kampung juga membuat gerakan tidak memiliki struktur yang bisa merawat, mengembangkan, dan meradikalisasi energi spontan tersebut.
Dengan demikian, aksi akhir Agustus mencerminkan akumulasi penderitaan rakyat sekaligus keterbatasan gerakan. Ia adalah bukti bahwa ketidakadilan yang menumpuk pasti menemukan jalan untuk meledak, tetapi juga peringatan bahwa tanpa organisasi dan kepemimpinan progresif, ledakan itu mudah dipadamkan.
Sikap Politik
Berdasarkan analisis kondisi objektif dan evaluasi gerakan, forum konsolidasi organisasi kiri pada tanggal 14 September 2025 menegaskan sikap kolektif sebagai berikut:
- Mengadakan forum konsolidasi nasional untuk menyatukan seluruh gerakan progresif di Indonesia.
- Menghadirkan platform perjuangan progresif bersama.
- Membuat tuntutan transisional progresif Bersama.
- Mengintervensi basis massa menuju momentum 1 Tahun Pemerintahan Prabowo pada 20 Oktober 2025.
- Mengorganisir dan memajukan basis-basis massa melalui komite perlawanan di setiap pabrik, kampus, dan kampung-kampung, untuk merawat, meradikalisasi, dan memberikan karakter terorganisir pada massa.
Comment here