AksiReportase

Italia Bergolak: Mogok Umum, Blokade Pelabuhan, dan Jejak Sosialisme Internasional dalam Solidaritas Palestina

GENOA, Seruan mogok umum yang mengguncang Italia pada 22 September 2025 sesungguhnya telah dibunyikan jauh sebelum ribuan pekerja menghentikan produksi dan menutup jalan. Pada 12 September, Unione Sindacale di Base (USB), konfederasi serikat buruh kiri radikal Italia, resmi memproklamirkan rencana pemogokan nasional sebagai hasil musyawarah besar di Genoa yang dihadiri sekitar seribu orang.

Pertemuan itu digagas oleh Collettivo Autonomo Lavoratori Portuali (CALP), kelompok buruh pelabuhan yang selama satu dekade terakhir dikenal karena aksi-aksi blokade terhadap pengiriman senjata bersama Global Sumud Flotilla dan jaringan aktivis internasional seperti Music for Peace. Dari forum itulah keluar mandat: jika Israel terus menghalangi bantuan kemanusiaan menuju Gaza, maka kelas pekerja Italia akan menghentikan roda produksi sebagai bentuk perlawanan.

Dari Seruan ke Gelombang Mogok

Sepuluh hari kemudian, seruan itu menjelma kenyataan. Pada 22 September, pelabuhan, sekolah, stasiun, hingga jalan raya utama Italia lumpuh.

Buruh pelabuhan di Genoa, Trieste, Palermo, Ancona, Livorno, Salerno, hingga Venezia menolak memuat dan membongkar barang dari kapal yang terhubung dengan Israel. Mahasiswa menduduki universitas di Roma, Torino, Bologna, hingga Bari, mendirikan “kota tenda” di kampus sebagai simbol perlawanan. Jalan tol strategis dari Pisa, Florence, hingga Napoli dipenuhi barikade. Serikat pekerja logistik, transportasi, hingga kolektif bekas buruh pabrik GKN ikut turun ke lapangan.

USB menegaskan bahwa aksi ini sah secara hukum. Mereka mengutip Pasal 2 ayat 7 UU 146/1990, yang membolehkan pemogokan mendadak tanpa pemberitahuan apabila ada peristiwa serius yang mengancam keselamatan pekerja dan warga sipil; dalam hal ini, genosida di Gaza dan ancaman terhadap armada solidaritas Global Sumud Flotilla.

Malam 27 September: Kapal Israel Dipaksa Pergi

Gelombang perlawanan semakin nyata lima hari kemudian. Malam 27 September, buruh CALP menerima kabar kapal Zim New Zealand, milik perusahaan pelayaran Israel ZIM, tengah bersandar di terminal Spinelli Genoa dengan sepuluh kontainer mencurigakan.

USB langsung mengumumkan mogok 24 jam di terminal mulai pukul 21.30. Ribuan buruh, mahasiswa, dan warga menyerbu dermaga, mencegah operasi bongkar muat yang diduga terkait perdagangan senjata.

Beberapa jam kemudian, di bawah tekanan massa, kapal dipaksa meninggalkan pelabuhan tanpa sempat menurunkan kargo. Genoa merayakan kemenangan. “Solidaritas bukan retorika. Di pelabuhan, ia adalah tindakan nyata kelas pekerja melawan mesin perang,” tulis USB.

Dimensi Internasional dan Jejak Sosialis

Bagi USB dan CALP, pemogokan ini bukan hanya solidaritas terhadap Palestina, melainkan juga kelanjutan dari tradisi internasionalisme proletar. Buruh pelabuhan Genoa sejak era 1970-an telah dikenal menolak memuat senjata untuk kediktatoran di Amerika Latin, Afrika, dan Timur Tengah.

Kali ini, solidaritas melintasi batas negara. Dari majelis di Genoa, hadir dukungan video dari Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, serta pesan dari aktivis internasional seperti José Nivoi yang tengah bersiap berlayar dengan Global Sumud Flotilla. Bahkan, serikat buruh di pelabuhan Piraeus, Yunani, menyatakan siap melakukan aksi serupa.

Di kalangan kiri internasional, aksi ini dibaca sebagai kelanjutan dari politik anti-imperialis yang berakar pada sosialisme. USB sendiri berafiliasi dengan jejaring serikat buruh kiri Eropa yang secara ideologis menolak integrasi neoliberal Uni Eropa dan kebijakan perang NATO. Dengan menolak melayani kapal Israel, buruh Italia memperlihatkan bahwa kelas pekerja bisa memainkan peran langsung dalam menghentikan rantai logistik perang global.

Narasi Represi Meloni

Pemerintah Giorgia Meloni bereaksi dengan bahasa represi. Menteri Transportasi Matteo Salvini melabeli aksi-aksi ini sebagai “dukungan terhadap terorisme”. Namun di saat yang sama, pemerintah tetap berkomitmen menaikkan belanja militer hingga 5 persen PDB demi target NATO, sebuah kebijakan yang mempertebal keuntungan raksasa industri senjata seperti Leonardo S.p.A.

Kontradiksi itu amat telanjang: rakyat pekerja yang gajinya terus merosot dipaksa membiayai proyek militer, sementara buruh yang menolak terlibat dalam rantai persenjataan dilabeli kriminal.

Menuju Oktober: 100 Alun-Alun untuk Gaza

Setelah keberhasilan mengusir kapal ZIM, USB meluncurkan kampanye “100 Piazze per Gaza” (100 alun-alun untuk Gaza). Agenda berikutnya adalah demonstrasi nasional pada 4 Oktober di Roma, yang digadang-gadang akan memobilisasi puluhan ribu orang untuk menuntut embargo total terhadap barang Israel dan penghentian keterlibatan Italia dalam “ekonomi perang”.

Mogok umum Italia tidak hanya soal Gaza, tapi juga membuka celah menuju babak baru politik kelas pekerja Eropa. Dari tuntutan ekonomi (upah, kondisi kerja, beban perang) gerakan ini meluas ke politik (embargo, anti-NATO, anti-Meloni), dan bisa menjadi landasan bagi fase pemberontakan yang lebih luas jika represi meningkat.

Lenin pernah menulis dalam karyanya “Tentang Pemogokan (1899)”:

“…pemogokan, seperti yang kami sebutkan di atas, adalah “sekolah perang” dan bukan perang itu sendiri; pemogokan hanyalah salah satu cara perjuangan, hanya salah satu aspek dari gerakan kelas pekerja. Dari pemogokan individu, para pekerja dapat dan harus beralih, sebagaimana memang sedang mereka lakukan di semua negara, ke perjuangan seluruh kelas pekerja untuk pembebasan semua yang bekerja. Ketika semua pekerja yang sadar kelas menjadi sosialis, yaitu ketika mereka berjuang untuk pembebasan ini, ketika mereka bersatu di seluruh negeri untuk menyebarkan sosialisme di kalangan pekerja, untuk mengajarkan para pekerja semua cara perjuangan melawan musuh-musuh mereka, ketika mereka membangun partai buruh sosialis yang berjuang untuk pembebasan seluruh rakyat dari penindasan pemerintah dan untuk pembebasan semua pekerja dari belenggu modal—hanya saat itulah kelas pekerja akan menjadi bagian integral dari gerakan besar pekerja di seluruh negara yang mempersatukan semua pekerja dan mengibarkan bendera merah bertuliskan: “Buruh Sedunia, Bersatulah!”

Kutipan itu kini menemukan gaungnya kembali di jalan-jalan Italia. Bayangkan, bila kelas pekerja di seantero dunia merintis jalan yang sama; melancarkan pemogokan melawan Genosida Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina. Betapa nyata perjuangan anti-penindasan akan menampakkan wajahnya, yang dibutuhkan adalah kesadaran, konsolidasi, dan keberanian. Tentunya, seperti juga di Indonesia, sebuah partai buruh revolusioner.

ditulis oleh Libby Qahtany, Pemerhati Gerakan Rakyat

Loading

Comment here