Pers Rilis Jogja Memanggil
Yogyakarta, 29 September 2025
Bebaskan Kawan Kami! Polda DIY Harus Buka Akses Bantuan Hukum
Polisi kembali bertindak kurang ajar terhadap warga negara yang menggajinya, sewenang-wenang menangkap masyarakat sipil yang berhak menyuarakan pendapat dan terlibat dalam gerakan aksi massa pada akhir Agustus 2025. Dalam proses penangkapan, polisi tidak menerapkan prosedur sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tanpa menerapkan prosedur penangkapan yang benar, tindakan polisi dapat dikatakan menculik warga negara. Polisi seolah sedang mencari kambing hitam atas serangkaian tindak kekerasan yang dilakukan, termasuk dalam kasus pengemudi ojek online Affan Kurniawan yang tewas dilindas mobil rantis. Sekali lagi, polisi telah menculik warga negara karena menangkap masyarakat sipil tanpa alat bukti yang kuat, tetapi dilakukan secara serampangan.
Dalam konferensi pers Polri pada Rabu (24/9), Polda DIY telah menetapkan 4 warga negara sebagai tersangka, yang semuanya dipersulit untuk mendapatkan akses bantuan hukum. Bahkan Polda DIY sempat memaksa para demonstran untuk dikuasakan hukumnya dengan pendamping hukum pilihan Polda DIY. Hal ini sungguh mencederai martabat warga negara!
Tak lama berselang dari konferensi pers Polri, Polda DIY kembali menculik warga negara bernama Perdana Arie di rumahnya. Belasan hingga puluhan polisi berbondong-bondong ke rumahnya beralasan Perdana Arie merupakan ditetapkan sebagai saksi oleh Polda DIY berkaitan dengan aksi di depan Polda DIY pada Jumat (29/8). Namun, Polda DIY sama sekali tidak membawa surat penangkapan, surat status Perdana Arie sebagai saksi, apalagi panggilan terhadap Perdana Arie untuk memberikan kesaksian yang seharusnya tanpa harus ada penangkapan!
Tak selang beberapa lama Perdana Arie diculik Polda DIY, statusnya tiba-tiba naik menjadi tersangka. Pada awalnya Perdana Arie juga dipaksa untuk menyetujui pendamping hukum pilihan Polda DIY! Perdana Arie juga dipaksa untuk melakukan BAP, tanpa diberikan hak diam dan memilih pendamping hukum sendiri sebagai warga negara saat berhadapan di hadapan hukum!
Perdana Arie, Ia merupakan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta, yang ketika aksi massa pada 29 Agustus 2025 di Depan Polda DIY menjadi korban dan dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara oleh aparat karena mengalami kejang-kejang. Dari fakta ini sungguh Polda DIY biadab, sudah melukai warga negara, kemudian menjadikannya kambing hitam atas kelakukan biadabnya!
Terbaru, selain Perdana Arie yang baru-baru ini diculik oleh polisi, salah seorang aktivis yang selama ini beraktivitas di Yogyakarta, Muhammad Fakhrurrozi atau Paul, ditangkap paksa di kediamannya pada Sabtu sore (27/9) dan langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim). Penangkapan yang dilanjutkan dengan pemeriksaan maraton selama lebih dari 14 jam ini dinilai sarat akan pelanggaran prosedur hukum.
Penangkapan Paul terjadi pada Sabtu, 27 September 2025, sekitar pukul 14.30 WIB. Puluhan aparat tidak berseragam yang mengaku dari Polda Jatim mendatangi kediaman Paul di Yogyakarta. Tanpa menunjukkan surat perintah atau penjelasan dasar hukum yang jelas, aparat langsung melakukan penangkapan. Selama proses tersebut, puluhan buku dan perangkat elektronik milik Paul turut disita.
Setelah ditangkap, Paul tidak langsung dibawa ke Jawa Timur. Ia sempat dibawa ke Polda DIY sebelum akhirnya pada pukul 17.00 WIB menuju Polda Jatim. Tim bantuan hukum dari BARA ADIL yang mendatangi Polda DIY tidak sempat bertemu dan memberikan pendampingan hukum kepada Paul.
Paul dibawa ke Surabaya tanpa didampingi oleh kuasa hukum dan pihak keluarga. Polisi juga telah melakukan interogasi terhadap Paul sepanjang perjalanan dari Yogyakarta ke Surabaya.
Paul tiba di Mapolda Jatim sekitar pukul 22.10 WIB. Pemeriksaan tidak langsung dilakukan. Tim hukum dari YLBHI-LBH Surabaya baru dapat menemui Paul sekitar pukul 23.05 WIB. Pada saat itulah tim hukum mendapat informasi dari penyidik bahwa Paul telah ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan tersangka terhadap Paul merupakan pengembangan dari kasus penangkapan sejumlah aktivis di Kediri berdasarkan laporan polisi tanggal 1 September 2025. Paul dijerat dengan pasal berlapis, termasuk Pasal 160 KUHP tentang penghasutan.
Pemeriksaan resmi baru dimulai pada Minggu (28/9) dini hari sekitar pukul 00.30 WIB. Pemeriksaan berlangsung secara maraton tanpa memperhatikan kondisi kesehatan Paul dan baru berakhir pada pukul 15.00 WIB siang. Setelah pemeriksaan selesai, penyidik langsung menahan Paul.
Proses hukum ini tidak sesuai dengan KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi. Menurut aturan yang berlaku, penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti dan didahului pemeriksaan calon tersangka. Selain itu, penangkapan seharusnya menjadi langkah terakhir setelah seseorang mangkir dari dua kali pemanggilan yang sah tanpa alasan jelas.
Polda DIY Harus Membuka Akses Bantuan Hukum!
Penangkapan terhadap Perdana Arie dan Paul adalah dua dari banyaknya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh polisi terhadap masyarakat sipil yang terlibat dalam aksi unjuk rasa bulan lalu. Polisi telah menetapkan 959 orang sebagai tersangka terkait dengan demonstrasi yang berlangsung serentak di berbagai wilayah Indonesia. Sebanyak 295 diantaranya masih berstatus sebagai anak.
Selama gelombang unjuk rasa di Yogyakarta pada 29-31 Agustus 2025, Polda DIY telah menahan 66 orang dan 24 di antaranya berusia anak. Salah satu mahasiswa Universitas Amikom, Rheza Sendy Pratama, meninggal dengan tubuh penuh luka setelah mengikuti aksi unjuk rasa di depan Mapolda DIY pada Minggu (31/8) pagi. Selain itu, setidaknya ada 10 massa aksi lain yang mengalami luka berat sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Empat di antara 10 massa aksi itu harus mengalami amputasi tangan dan operasi saraf karena ledakan petasan yang diarahkan polisi terhadap massa aksi di depan Mapolda DIY pada Jumat (29/8) malam. Hal ini sekaligus memperlihatkan, polisi melanggar tata cara pembubaran massa aksi karena polisi tak boleh menggunakan petasan! Ini juga menunjukkan institusi paling korup itu ingin melukai hingga membunuh warga negara, bukan menciptakan keselamatan dan keamanan warga negara!
Polda DIY juga berupaya melukai warga di sekitar Polda DIY dengan cara menembakkan gas air mata di perkampungan. Hal ini menyebabkan banyak anak kecil dan lansia mengalami sesak napas akibat kebrutalan aparat! Polisi juga melakukan pemukulan massal dan menyebar teror dengan melakukan sweeping ke berbagai sudut kota Yogyakarta, terutama di seputaran Polda DIY. Hal ini terbukti dengan beragam video yang beredar terkait pemukulan terhadap pejalan kaki dan pesepeda motor yang sekadar melintasi jalanan!
Pascaaksi, Polda DIY memakai pam swakarsa bernama Jaga Warga untuk menetralisir upaya mengkritisi kekejaman Polda DIY! Para pam swakarsa bersama polisi menebar ratusan poster di perempatan dan pertigaan jalan yang ada di DIY, yang menyebut ‘Jogja Cinta Damai’ tanpa sama sekali menyentuh kelakukan biadab polisi DIY yang melukai warga Yogyakarta, bahkan membunuh warga Yogyakarta dan ber-KTP DIY!
Kami juga menduga ada kongkalingkong antara pihak RSUP Dr Sardjito dan Polda DIY. Sebab, hingga hari ini, RSUP Dr Sardjito tidak memberikan akses kepada siapa pun berkaitan berapa jumlah korban saat aksi di depan Polda DIY. Rumah Sakit Sardjito juga memperumit hasil rekam medis kepada para korban untuk bisa pindah ke rumah sakit lain.
Kriminalisasi Terhadap Aktivisme Masyarakat Sipil
Apa yang dilakukan oleh polisi saat ini adalah bentuk pembungkaman dan kriminalisasi terhadap gerakan masyarakat sipil. Alih-alih menindak anggotanya yang melakukan kekerasan terhadap massa aksi, polisi justru berburu aktivis, mahasiswa, dan anak-anak yang berunjuk rasa. Demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada akhir Agustus hingga awal September 2025 dipicu oleh buruknya tata kelola pemerintahan akhir-akhir ini. Pemerintah membuat kebijakan yang merugikan rakyat, anggota dewan bersenang-senang di atas penderitaan rakyat, politisi dan partai politik mengacuhkan suara rakyat, polisi melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap masyarakat sipil.
Oleh karena itu, Aliansi Jogja Memanggil menyatakan sikap:
- Mendesak polisi untuk berhenti memburu aktivis dan warga sipil yang terlibat dalam aksi unjuk rasa pada pada Agustus-September 2025.
- Mendesak institusi kepolisian untuk membebaskan seluruh aktivis dan warga sipil yang ditahan dengan alasan terlibat dalam aksi unjuk rasa pada Agustus-September 2025.
- Mendesak Kompolnas, Komnas HAM dan Kementerian HAM untuk aktif mendampingi dan mengupayakan pembebasan para tersangka yang saat ini ditahan polisi.
- Mendorong Ombudsman-RI untuk melakukan pengawasan terhadap dugaan maladministrasi dan penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat di sejumlah daerah.
- Polda DIY harus transparan dan membuka akses bantuan hukum kepada para tersangka yang saat ini masih ditahan.
- Polda DIY harus melepaskan aktivis dan masyarakat sipil yang ditahan karena berunjuk rasa adalah hak, bukan tindak kriminal.
- Kapolri Jenderal Listyo Sigit harus mundur atau dipecat karena telah gagal memimpin institusi kepolisian.
- Lakukan reformasi Polri secara menyeluruh dengan mendengar dan melibatkan masyarakat sipil.
- Meminta pihak RSUP Dr Sardjito memberikan data yang transparan berkaitan jumlah korban yang ditangani hingga memberikan rekam medis kepada korban sebagaimana haknya.
Juru bicara Aliansi Jogja Memanggil
– Marsinah
– Bung Koes
Comment here