Prabowo Subianto memberikan pernyataan dalam forum internasional bertajuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Solusi Dua Negara di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, Senin (22/9/2025). Dalam pidatonya, penulis mengutip “Kami menolak segala bentuk kekeraaan terhadap warga tak bersalah. Indonesia kembali menegaskan komitmen terhadap Solusi dua negara dalam masalah Palestina. Hanya solusi dua negara yang bisa menjamin terciptanya perdamaian. Kita harus memastikan keamanan dan kemerdekaan bagi Palestina. Namun, Indonesia juga menyatakan setelah Israel mengakui kemerdekaan dan kebebasan palestina… Indonesia akan segera mengakui negara israel,” yang kian menegaskan posisinya dalam Solusi dua negara.
Solusi dua negara (two-state solution) adalah gagasan untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina dengan membentuk dua entitas negara berdaulat yang berdampingan: Israel dan Palestina. Ide ini berangkat dari prinsip bahwa masing-masing bangsa memiliki hak menentukan nasib sendiri di wilayah yang sama, sehingga jalan keluar yang dianggap paling “adil” oleh komunitas internasional adalah dengan membagi tanah menjadi dua negara. Meski terdengar sederhana, konsep ini berakar pada sejarah panjang kolonialisme, perang, dan intervensi kekuatan dunia.
Riwayat gagasan ini dapat ditelusuri sejak awal abad ke-20. Pada tahun 1947, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang mengusulkan pembagian Mandat Palestina menjadi dua negara, yakni satu untuk Yahudi, satu untuk Arab dengan Yerusalem berada di bawah administrasi internasional. Resolusi ini ditolak oleh negara-negara Arab dan sebagian besar rakyat Palestina karena dianggap tidak adil, sementara komunitas Yahudi menerimanya dan segera memproklamasikan Negara Israel pada 1948. Sejak saat itu, perang dan perampasan wilayah terus dilakukan oleh Israel. Setelah Perang Enam Hari (1967), Israel menduduki Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur, yang seharusnya menjadi wilayah negara Palestina. Sejak 1990-an, terutama melalui Perjanjian Oslo (1993), solusi dua negara kembali dihidupkan sebagai kerangka perdamaian, namun implementasinya selalu tersendat akibat pembangunan pemukiman Israel, kegagalan negosiasi, dan ketidaksetaraan kekuatan.
Dalam praktik, implementasi solusi dua negara sering dianggap rapuh dan penuh kompromi. Palestina memperoleh pengakuan terbatas melalui Otoritas Palestina, tetapi tidak memiliki kedaulatan penuh atas wilayah, sumber daya, maupun perbatasannya. Israel tetap mempertahankan kendali keamanan dan memperluas pemukiman di Tepi Barat, membuat kemungkinan berdirinya negara Palestina yang berdaulat semakin sulit. Sementara itu, komunitas internasional terbelah: sebagian mendukung penuh, sebagian lain skeptis.
Gagasan ini mula-mula digagas oleh kalangan internasional, terutama PBB dan negara-negara Barat yang mencari jalan damai pasca perang, serta diterima sebagian kelompok elite Palestina pada masa Oslo. Namun, banyak kalangan rakyat Palestina tetap melihatnya sebagai bentuk “kompromi paksa” yang mengorbankan hak kembali pengungsi dan kepemilikan tanah yang telah hilang.
Dari perspektif kelompok humanis, solusi dua negara dilihat sebagai jalan pragmatis untuk meredakan penderitaan kemanusiaan. Humanis menekankan bahwa setiap manusia, baik Yahudi maupun Arab berhak hidup dalam keamanan, kebebasan, dan kesetaraan. Karenanya, pengakuan atas negara Palestina dipandang sebagai langkah penting ke arah perdamaian yang lebih adil. Meski begitu, mereka juga kritis: fakta di lapangan menunjukkan bahwa wilayah Palestina semakin terfragmentasi dan bergantung, sehingga dua negara berdaulat kerap hanya menjadi retorika diplomatik. Bagi kalangan humanis, solusi dua negara bisa diterima sebagai “langkah sementara” asalkan disertai komitmen nyata pada hak asasi manusia, penghapusan diskriminasi, serta penghormatan penuh pada martabat rakyat Palestina dan Israel secara setara.
Dalam usulan solusi dua negara ini, kalangan Marxis justru melihatnya sebagai ilusi borjuis, sebab ia menutupi akar kolonialisme pemukim dan struktur kapitalisme global yang menopang penindasan rakyat Palestina.
Seorang pemikir Marxis kontemporer, Ilan Pappé, kerap menggemakan kritik Marxian dengan menyebut Israel sebagai proyek settler colonialism yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan membagi tanah. Bagi Pappé, “two-state solution” hanyalah retorika yang kian mustahil diwujudkan karena maha besarnya ekspansi pemukiman Israel di Tepi Barat. Ia menyarankan sebuah satu negara demokratis sekuler yang menjamin hak penuh, baik bagi Yahudi maupun Arab, sebagai jalan yang lebih adil.
Begitupun George Habash, pendiri Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) menolak solusi dua negara. Ia menekankan bahwa solusi sejati bagi Palestina bukanlah mendirikan negara kecil di Tepi Barat dan Gaza, melainkan membangun satu negara demokratis sekuler di seluruh wilayah historis Palestina. Habash melihat bahwa berdirinya Israel adalah hasil kolonialisme dan pembersihan etnis. Karena itu, solusi dua negara dianggap melegitimasi kolonialisme dengan mengakui Israel sebagai negara Yahudi di atas tanah Palestina. Habash menyerukan sebuah negara tunggal yang menghapus basis agama atau etnis dalam mendefinisikan kewarganegaraan. Negara itu harus sekuler, di mana Muslim, Kristen, Yahudi, dan kelompok lainnya hidup bersama dengan hak politik yang setara. Komponen utama dalam visi Habash adalah pemenuhan hak jutaan pengungsi Palestina yang terusir sejak 1948 untuk kembali ke tanah asal mereka. Menurutnya, dua negara tidak akan mungkin memenuhi hak ini. Sebagai Marxis-Leninis, Habash memandang perjuangan Palestina bukan hanya soal bangsa, tapi juga perjuangan kelas melawan imperialisme dan kapitalisme global. Negara satu Palestina harus menjadi basis keadilan sosial dan anti-imperialis.
Dari sisi lain, Leninist dan kelompok Marxis anti-imperialis memandang Palestina sebagai contoh klasik bangsa tertindas. Mereka mengutip prinsip Lenin tentang hak menentukan nasib sendiri, tetapi menolak implementasi “dua negara” karena ia memberi kesetaraan formal tanpa menghapus ketidaksetaraan material. Bagi mereka, hak menentukan nasib Palestina hanya sah bila berarti pembongkaran struktur kolonial dan kapitalisme yang menopang Israel sebagai basis imperialis di kawasan.
Sementara itu, pemikir Palestina seperti Omar Barghouti, walau lebih dikenal sebagai aktivis BDS (Boycott, Divestment, Sanctions), menyerap banyak logika Marxis dalam argumennya. Ia menyebut solusi dua negara sebagai “dead end” karena menormalisasi apartheid Israel. Barghouti mengajukan visi satu negara demokratis sekuler dengan kesetaraan penuh, penghapusan apartheid, serta hak kembali bagi jutaan pengungsi Palestina, sebuah posisi yang sering disejajarkan dengan tuntutan Marxis radikal untuk menumbangkan kolonialisme.
Dengan demikian, jika kaum humanis melihat solusi dua negara sebagai kompromi pragmatis untuk mengurangi penderitaan segera, kaum Marxis justru menilainya sebagai jebakan borjuis. Bagi Marxis, pembebasan Palestina hanya mungkin melalui perjuangan kelas pekerja regional melawan kapitalisme dan imperialisme, menuju masyarakat sosialis di mana tidak ada bangsa yang menindas bangsa lain. Dua negara, bagi mereka, hanyalah “perdamaian semu” yang mengabadikan ketidakadilan; yang dibutuhkan adalah transformasi sosial total di seluruh kawasan.
Prabowo di podium PBB mungkin terdengar gagah, menyebut nama Palestina, melafalkan kata “kemerdekaan,” dan menutup dengan janji manis: Indonesia akan akui Israel, asal Israel dulu mengakui Palestina. Retorika yang enak ditelan telinga diplomat, tapi teramat getir bagi siapa saja yang tahu sejarah. Solusi dua negara? Itu hanya resep basi dari dapur PBB tahun 1947 yang sejak awal sudah cacat. Israel lahir bukan dari meja kompromi, melainkan dari darah pengusiran, Nakba, dan kolonialisme pemukim yang hingga kini terus menelan tanah Palestina.
Humanis akan membujuk halus dengan meyakinkan bahwa dua negara bisa berdampingan secara damai, tetapi Ahmad Sa’adat justru akan tertawa getir, bagaimana mungkin dua negara lahir di tanah yang satu pihaknya dihancurkan oleh pembersihan etnis, menerima formula tersebut sama saja dengan mengakui legitimasi proyek kolonial Zionis di tanah Palestina. Sedangkan Ilan Pappé malah akan membahasakannya dengan lebih telanjang, bahwa dua negara hanyalah mitos, fatamorgana politik yang dibuat agar dunia bisa merasa bersih, sementara apartheid terus berjalan.
Pidato Prabowo hanyalah gaung dari ilusi itu. Ia menjanjikan perdamaian, padahal yang ia janjikan hanyalah perpanjangan waktu bagi Israel untuk menanam lebih banyak beton di tanah curian. Pernyataannya tentang “menolak kekerasan terhadap warga tak bersalah” terdengar lurus di atas kertas, tapi melupakan fakta bahwa kolonialisme itu sendiri adalah kekerasan paling awal dan paling brutal.
Jadi apa tanggapan kita? Kita bisa saja ikut tepuk tangan di ruang sidang, pura-pura percaya pada formula dua negara. Atau kita bisa memilih jalan yang lebih jujur, menyebut dengan lantang bahwa tidak ada solusi damai tanpa merobohkan struktur kolonial, tanpa mengakhiri proyek apartheid Israel. Perdamaian bukan soal dua bendera berkibar berdampingan, melainkan soal siapa yang berhak hidup bermartabat di tanahnya sendiri.
Pada KTT tersebut, Sidang Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi New York untuk mendorong Solusi dua negara. Deklarasi ini menegaskan bahwa sumber utama kekerasan bukanlah rakyat Palestina, melainkan proyek kolonial Zionis yang sejak awal berdiri di atas darah dan tanah rakyat tertindas. Peristiwa 7 Oktober 2023, ketika militan Hamas menyerang Israel dan menewaskan sekitar 1.200 orang serta membawa 250 sandera, hanyalah sebuah retakan dalam bangunan penindasan kolonial yang sudah puluhan tahun menindas bangsa Palestina. Namun, jawaban Israel bukanlah sekadar pembalasan, melainkan genosida terbuka: lebih dari 64.000 rakyat Palestina dibantai melalui bom, blokade, dan penghancuran sistematis, sebagaimana dilaporkan Newsweek mengutip Associated Press. Fakta ini menyingkap ketimpangan yang nyata; kolonialisme bersenjata lengkap melawan bangsa terjajah yang berjuang untuk bertahan hidup.
Dan pernyataan Benjamin Netanyahu di pemukiman ilegal Maale Adumim “Tidak akan ada negara Palestina” adalah pengakuan telanjang bahwa Israel tidak pernah bermaksud membangun perdamaian. Ia justru menegaskan niat pendudukan permanen dan pembersihan etnis.
Bagi kaum progresif dan gerakan rakyat, jelas bahwa Palestina tidak sedang “berperang” setara dengan Israel, melainkan sedang melawan kolonialisme, apartheid, dan imperialisme global. Palestina adalah simbol perlawanan, dan setiap darah yang tumpah di Gaza adalah bukti bahwa tidak ada “solusi dua negara” dalam kerangka kolonial. Jalan satu-satunya adalah penghancuran rezim apartheid Zionis dan terwujudnya satu negara demokratis di seluruh tanah Palestina yang menjamin hak setara bagi seluruh rakyatnya.
Hasil pemungutan suara terkait resolusi yang mendukung solusi dua negara menghasilkan 142 negara mendukung resolusi tersebut, 10 negara menolak, dan 12 negara lainnya memilih abstain.
ditulis oleh Libby Qahtany, Pemerhati Gerakan Rakyat
Comment here