Hampir satu tahun pemerintahan Rezim Prabowo-Gibran, ledakan perlawanan massa kembali muncul. Penyebab mendasarnya adalah; kebijakan eksploitatif ataupun menindas dari para elit politik yang menghasilkan kontrasnya perbedaan sosial dari para elit politik dengan rakyat secara umum serta represi sistematis terhadap berbagai bentuk perlawanan dari rakyat itu sendiri.
Rezim Prabowo-Gibran berhasil mengulangi keberhasilan Jokowi untuk mengkonsolidasikan mayoritas faksi elit politik yang ada. Konsolidasi tersebut dilakukan dengan membagi-bagi akses kekuasaan politik (baca: jabatan) serta ekonomi. Danantara yang akan mengumpulkan dana belasan ribu triliun rupiah akan diarahkan ke tiga sektor: pengelolaan sumber daya alam, pengembangan AI dan digital serta ketahanan pangan dan energi. Kita sudah bisa menduga bahwa para elit politik, khususnya konglomerat, yang berbisnis di sektor sumber daya alam, AI dan digital serta energi dan pangan akan segera mandi uang Danantara. Tentunya juga akan ada berbagai macam fee yang bernilai miliar bahkan triliuan dari mengurusi aset belasan ribu triliun.
Termasuk semakin menguatkan militer sebagai faksi elit politik terkuat di Indonesia sejak Malapetaka 1965. Tidak heran, di tengah efisiensi anggaran dua kementerian dengan anggaran terbesar adalah kementerian yang berfungsi untuk melakukan represi terhadap buruh dan rakyat. Itu adalah Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI sebesar Rp139,2 triliun serta Polri dengan besar anggaran Rp106 triliun. Serta lembaga baru yang dikontrol oleh militer yaitu Badan Gizi Nasional sebesar Rp71 triliun.
Militer sekarang mengontrol Makan Bergizi Gratis (MBG). TNI Angkatan Darat tengah menyusun rencana pembentukan 100 batalion baru untuk mendukung MBG dan program Pembangunan lainnya. Menteri Badan Usaha Milik Negara baru saja mengangkat tentara aktif Mayor Jenderal Novi Helmy sebagai Direktur Utama BULOG. Posisi BULOG strategis dalam pengadaan barang untuk program MBG ke depan. Sementara itu di bulan Januari, Prabowo melakukan pertemuan tertutup dengan dua ratusan perwira militer berpangkat Kolonel terpilih. Mereka diberikan kursus singkat mengenai manajemen, bisnis, keuangan dan investasi. Ada pembahasan yang fokus pada sektor pangan dan energi. Mereka ditargetkan akan mendapatkan jabatan di perusahaan binaan Kementerian Pertahanan, BUMN hingga BUMD. Belum lagi jumlah Struktur Komando Teritorial yang akan digandakan.
Rezim Prabowo-Gibran melanjutkan percepatan remiliterisasi dari Jokowi. Secara umum para elit politik Indonesia yang iman demokrasinya lemah serta pengecut dalam menghadapi militer. Reformasi 1998 atau transformasi demokratis anti-militerisme tidak tuntas. Para elit politik baik itu PAN, PDI Perjuangan, PKB, PKS, dsb mengkhianati Reformasi 1998. Sehingga Fraksi ABRI memang dihapuskan tapi banyak elemen lainnya masih bersisa dari komando-komando ekstra teritorial sampai berbagai bisnis dan perusahaan militer.
Menguatnya militerisme juga berfungsi untuk melindungi politik bagi-bagi jatah tersebut. Demikian pula berbagai macam produk hukum baru dibuat untuknya. Ini seperti RKUHP, RKUHAP, RUU TNI ataupun kebijakan terkait dengan pemilihan umum. Sementara itu juga berbagai produk hukum dibuat untuk menguatkan pembagian jatah ekonomi kepada para elit politik, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dsb.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia menurun yaitu hanya 8,47 persen (23,85 juta orang) pada Maret 2025. Standar perhitungannya adalah kurang dari 609 ribu rupiah perbulan. Dengan standar yang lain misalnya perbulan 1,51 juta rupiah versi Bank Dunia angka kemiskinan mencapai sekitar 68,3 persen atau 194,72 juta jiwa. Dalam beberapa waktu belakangan ini juga terjadi kenaikan harga pangan, transportasi, biaya pendidikan, dsb tanpa adanya peningkatan daya beli. Perubahan sistem kerja akibat UU Cipta Kerja juga berpengaruh terhadap pekerjaan formal yang dahulu stabil. BPS juga menunjukan bahwa lebih dari 35 persen pekerja usia produktif saat ini berada di sektor informal, dengan jaminan sosial yang minim dan pendapatan yang tidak pasti. Tercatat juga sebesar 42.385 orang kehilangan pekerjaannya pada Semester I tahun 2025 (Januari-Juni). Hasilnya adalah ketimpangan sosial dimana kekayaan 1 persen orang terkaya di Indonesia meningkat 17 kali lebih cepat dibanding pendapatan 50 persen masyarakat terbawah.
Menahan kemiskinan, ketimpangan dan pemberangusan ruang demokrasi dilakukan oleh buruh dan rakyat. Berbagai upaya perlawanan yang muncul dari buruh dan rakyat namun secara sistematis ditindas. Dari aksi Reformasi Dikorupsi, Anti Omnibus Law, Peringatan Darurat hingga gerakan anti RUU TNI. Anggaran besar bagi Kementerian Pertahanan dan Polri menambah semakin besar struktur komando teritorial TNI hingga perlalatan-peralatan canggih Polri untuk menindas berbagai bentuk perlawanan.
Beberapa kebijakan yang baru-baru ini dikeluarkan menjadi pemicu keresahan yang sudah ada bertahun-tahun.
Pada bulan Juli-Agustus 2025, pemerintah serentak menaikan Pajak Bumi dan Bangungan di berbagai daerah. Kebijakan ini dilakukan dengan secara sepihak menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) properti milik masyarakat yang sebagian besar tinggal di desa, yaitu petani dan produsen lokal. Kebijakan Kenaikan NJOP dilakukan tanpa adanya musyawarah antara rakyat dan pemerintah sebagai civil servant. Hal ini dilakukan secara semena-mena tanpa melihat akibat dari kebijakan tersebut terhadap perekonomian rakyat.
Selain itu, akhir-akhir ini mulai terdengar desas-desus kenaikan iuran BPJS yang rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2026. Iuran jaminan kesehatan yang katanya “adil dan sejahtera” ini kian melonjak seiring merosotnya perekonomian rakyat. Sejak tahun 2014 sampai sekarang iuran BPJS telah mengalami kenaikan sebesar 100-200 persen dari jumlah awal ia BPJS ditetapkan sebagai lembaga jaminan sosial. Sementara, keluhan yang dilancarkan oleh para penerima bantuan terhadap program BPJS tidak kunjung diselesaikan.
Di lain sisi, pemerintah Indonesia terus menerus memajaki rakyat untuk membuat dan melaksanakan program-program yang tidak berdampak, atau bahkan berdampak buruk bagi rakyat nya sendiri. Ambil saja contoh kasus program Makan Bergizi Gratis. Makanan yang disediakan oleh program ini kepada anak-anak sekolah banyak yang dihidangkan dalam kondisi yang tidak kayak, bahkan makanan-makanan tersebut tidak jarang datang dalam kondisi busuk. Alhasil, banyak siswa dan bahkan guru sekolah yang menyantap makanan program MBG tersebut menjadi keracunan makanan. Hal ini tidak hanya terjadi di satu daerah, namun sudah banyak daerah yang mengalami kejadian ini. Kasus-kasus ini merupakan bukti bahwa program yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap rakyat sama sekali tidak dijalankan dengan baik. Pemerintah terus menerus menggunakan uang rakyat untuk meracuni rakyat nya sendiri.
Hal ini diperparah saat Sidang Paripurna HUT Indonesia Ke 80 tahun, Prabowo mengumumkan kenaikan tunjangan DPR RI sehingga totalnya yang mereka dapatkan perbulan mereka mencapai lebih dari Rp 100 juta. Lebih tidak masuk akal lagi, berbagai tunjangan seperti di “ada-adakan” – mulai dari tunjangan komunikasi, tunjangan beras, tunjangan rumah, tunjangan asisten, tunjangan kehormatan, tunjangan pajak penghasilan hingga tunjangan peningkatan fungsi. Kemarahan publik semakin meningkat dikarenakan tanggapan DPR RI yang berasal dari kalangan artis justru mengejek kondisi rakyat yang tercekik akibat pajak yang menjulang tinggi.
Aksi demi aksi kemudian terjadi. Pada 13 Agustus 2025, warga Pati menjalankan aksi besar yang diinisiasi oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu di depan Kantor Bupati. Mereka menuntut pembatalan kenaikan PBB-P2 serta pencabutan jabatan Bupati. Demo perpajakan kemudian berlangsung di daerah lain, demonstrasi terjadi setidaknya di Bone, Cirebon dan Cianjur.
Pada tanggal 25 Agustus aksi mulai terjadi di kota-kota besar, terutama menolak pajak yang tinggi dan hak istimewa yang didapatkan oleh anggota DPR. Aksi terjadi di Medan, Jakarta, Pontianak dan Surabaya. Dalam isu demokratis di Papua, pada 27 Agustus 2025, Masyarakat Sorong menggelar demo di Polresta Sorong. TNI mengerahkan 150 personnel termasuk dua unit panser ke titik aksi. Polisi menyembur massa dengan gas air mata. Pada ujung aksi, setidaknya 12 warga Sorong ditahan dan sejumlah demonstran terluka. Aparat juga menembak salah seorang pengendara ojek yang sedang memeriksa kondisi di Jalan Sudirman. Pada 28 Agustus, aksi kembali dilancarkan di Jakarta dan massa berupaya menduduki DPR. Polisi melakukan penangkapan dan penganiayaan secara massal. Dan dalam aksi inilah Affan Kurniawan, driver ojol, tewas dilindas kendaraan Brimob.
Malamnya di Jalan Bendungan Hilir, sebuah mobil rantis dengan plat 17713-VII menerobos massa dan melindas pengemudi ojol, Affan Kurniawan yang hendak menyeberang ke tepi jalan Peristiwa pembunuhan Affan Kurniawan oleh Brimob tersebut kemudian mendorong aksi membesar ke berbagai daerah. Aksi-aksi selain menyasar pusat-pusat pemerintahan, khususnya gedung parlemen, juga menyasar kantor-kantor polisi. `Dengan keberanian luar biasa, rakyat mengepung kantor-kantor polisi, mengepung Markas Brimob dan menyerangnya. Kemarahan yang selama ini ditindas dan perlawanan yang direpresi meledak dalam hitungan jam. Aksi terus berlanjut dan membesar juga semakin radikal. Muncul tuntutan untuk mencopot Kapolri Listyo Sigit.
Merespon amarah massa yang semakin meningkat, pada 29 Agustus Prabowo mengeluarkan pernyataan terbuka melalui saluran Youtube Sekretariat Presiden. Dalam pernyataan tersebut, ia menyatakan bela sungkawa setengah hati atas dilindasnya pengemudi ojol, menurutnya, inti dari masalah terletak daripada “stabilitas yang dipaksakan”. Memposisikan dirinya sebagai pengamat, dalam pernyataan tersebut Prabowo tidak mengakui adanya kesalahan dalam kepemimpinannya. Kapolri juga berusaha untuk mencitrakan namanya dengan menyambangi keluarga korban pembunuhan aparat dan menyampaikan permintaan maaf kepada komunitas ojol serta keluarga korban. Namun pernyatan tersebut tidak digubris oleh massa. Aksi-aksi terus terjadi, meluas dan semakin radikal. Beberapa pusat pemerintahan seperti kantor DPRD serta Markas Gegana dibakar habis oleh massa. Rumah-rumah para elit politik, khususnya yang dikaitkan dengan ucapannya yang merendahkan rakyat ataupun mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat dijarah.
Tidak berapa lama setelah Presiden Prabowo berkoordinasi dengan Kapolri, Listyo Sigit dan Panglima TNI, Agus Subiyanto, pada 30 Agustus dikeluarkan pengumuman untuk “menindak tegas” para pendemo. Dipertegas dengan pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (31/8) bahwa Panglima TNI dibantu AD, AL dan AU akan menjaga “keamanan” dan memperhatikan “sumber daya alam.” BIN ditugaskan untuk memantau dan melaporkannya kepada presiden. Termasuk juga tindakan tegas terhadap para pendemo. Mobilisasi militer lebih besar terjadi setidaknya di 6 kota yaitu, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang dan Makassar.
Militer ini adalah militer yang sebelumnya berkuasa selama 32 tahun dengan kekuasaan berdarah-darah serta pemerintahan yang dipenuhi oleh korupsi, kolusi dan nepotisme. Militer bersama dengan Golkar dan Soeharto merupakan komponen penting dalam kediktaktoran Rezim Militer Orde Baru. Di tahun 1965, kelompok-kelompok reaksioner yang bekerja sama langsung dengan TNI dengan sangat kejam membabat habis gerakan-gerakan progresif di Indonesia. Mereka membalikan semua proses pembangunan bangsa Di tahun 1996-1998 militer Indonesia melakukan represi dan penculikan para aktivis-aktivis pro demokrasi. Sekarang, kita sedang menghadapi ancaman yang serupa, dengan terjadinya represi besar-besaran dan pembunuhan yang dilakukan oleh aparatur negara. Militer ini adalah militer yang tidak pernah bertanggungjawab atas semua kejahatan kemanusiaan dan kerusakan bangsa ini. Militer yang dengan struktur komando teritorialnya memukuli buruh yang aksi, menembaki petani yang menolak tanahnya dirampas, mengintimidasi mahasiswa di kampus serta merancang berbagai kerusuhan rasis.
Pada tanggal 31 Agustus, Prabowo Subianto menggelar pertemuan bersama para pimpinan MPR, DPR, DPD, dan seluruh pimpinan partai politik yang memiliki kursi di DPR. Prabowo meminta pimpinan DPR untuk membuka dialog dengan masyarakat, dan agar rakyat tidak hilang kepercayaan terhadap pemerintah. Prabowo juga menyatakan akan mencabut beberapa kebijakan DPR RI termasuk besaran tunjangan anggota DPR dan juga moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. Dalam pernyataan yang sama, ia mengidentikan aksi demonstrasi sekarang dengan terorisme.
Represi yang terjadi mengikuti pola yang setidaknya dimulai saat Reformasi Dikorupsi 2019. Pembubaran paksa, penangkapan massal, penganiayaan hingga pembunuhan terhadap massa aksi dilancarkan. Jurnalis diserang dan juga ambulans dan paramedis hingga pusat-pusat medis. Pembuktian bahwa perlawanan yang “murni” dan tanpa unsur “anarkis” pun tidak imun dari represi. 1 September, selepas menjenguk korban polisi di RS Polri Soekamto, Prabowo menyampaikan bela sungkawanya, kali ini tulus, berbeda dengan yang ditujukan kepada keluarga Affan Kurniawan, karena ia menindak konkrit para korban polisi. Listyo Sigit diminta olehnya menaikan pangkat para polisi yang terluka. Dalam pernyataan yang sama, ia memberikan peringatan bahwa semua demonstrasi harus mendapatkan izin dan berhenti pada pukul 18:00. Menurut pelaku pelanggaran HAM itu, inilah mekanisme penggelaran aksi yang “sesuai dengan undang-undang”, mekanisme menyatakan pendapat yang “tepat”. Malamnya, aktivis Delpedro Marhaen dan Syahdan Husein ditangkap paksa oleh kepolisian tanpa dasar yang jelas. Aparat hanya datang menjemput Delpedro menyita barang bukti dan menyatakan ia terancam 5 tahun dipenjara. Hal yang serupa dilakukan terhadap Syahdan. Pada waktu yang hampir bersamaan, massa aksi di Universitas Pasundan dan Universitas Islam Bandung diserbu polisi, gas air mata ditembakkan mengakibatkan 12 mahasiswa pingsan.
Tak jarang listrik dipadamkan, jaringan internet diganggu atau diputus sekaligus, live streaming dilarang. Komisi Penyiaran Indonesia menyurati 66 stasiun TV dan radio untuk melarang peliputan dan penayangan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Termasuk juga serangan digital kepada para aktivis. Akibatnya setidaknya 7 orang meninggal dunia, data di rumah sakit terdapat
1.042 orang mengalami luka-luka namun jumlah ini bisa berkali-kali lipat karena setiap penangkapan disertai oleh penganiayaan dan sekitar 3.337 orang ditangkap di periode hingga 31 Agustus. Termasuk Mahasiswa Universitas Riau Khariq Anhar yang ditangkap pada 29 Agustus.
Militer juga terlibat dalam berbagai represi tersebut, walau awalnya dalam skala yang lebih kecil. Militer cenderung menempatkan dirinya seolah-olah mendukung perjuangan rakyat atau setidaknya netral ataupun berupaya mendamaikan antara polisi dan rakyat. Tidak tanggung-tanggung, Pangdam Jaya turun langsung mendatangi lokasi mako brimob dengan dikawal prajuritnya. Terdapat juga video-video yang beredar di media sosial, dimana pasukan TNI ataupun Marinir datang dan disambut dengan teriakan “hidup TNI.” Ada pula video yang menunjukan bahwa tentara berupaya membantu demonstran ataupun semacamnya. Hal yang serupa juga pernah terjadi di Yogyakarta saat aksi Anti Omnibus Law 2020. Namun tidak semua massa bersikap seperti itu. Terdapat pula video yang menunjukan demonstran, khususnya mahasiswa UI meneriakan yel-yel: “balik, balik, balik ke barak, sekarang juga!”
Problematika Gerakan
Dengan cepat mahasiswa, pelajar STM, kaum muda, buruh, ojol, dsb mendapatkan kepercayaan diri bahwa kita, rakyat bisa mengubah keadaan. Setelah bertahun-tahun, gerakan rakyat kembali berkembang. Kunci menuntaskan semua persoalan yang dihadapi oleh buruh dan rakyat saat ini adalah ketika buruh dan rakyat percaya pada kekuatannya sendiri dan menyingkirkan para elit politik. Proses tersebut membutuhkan kepemimpinan dan keterorganisiran.
Dalam ledakan awal gerakan spontan, sebenarnya cukup wajar jika semua kelompok ataupun organisasi gerakan tidak segera menyikapinya pada hari H ledakan itu muncul. Secara dasar, gerakan spontan itu berarti tidak ada kelompok ataupun organisasi yang mengorganisirnya. Dia bisa saja bermula dari aksi biasa yang diorganisir oleh organisasi-organisasi tertentu namun secara tiba-tiba berkembang menjadi perlawanan besar-besaran. Tanpa satupun yang pernah membayangkannya.
Kesigapan dan ketepatan organisasi revolusioner dalam merespon dan memimpinnya akan bergantung bukan pada spontanitasnya namun justru bergantung dari karakter yang dibangun secara historis dari organisasi revolusioner tersebut. Ini termasuk ketepatan program perjuangannya, perspektif ideologisnya serta tradisi memimpin yang dibangun di dalam organisasinya. Jika sebuah organisasi revolusioner dibangun dengan terbiasa hanya mengusung isu-isu normatif ataupun sekedar mengikuti aksi maka besar kemungkinan dia akan terjebak hanya mengikuti perkembangan gerakan spontan. Demikian pula jika organisasi revolusioner terjebak pada sekedar melancarkan kerja-kerja teoritis tanpa pernah latihan memimpin gerakan maka organisasi revolusioner tersebut akan kesulitan memberikan kepemimpinan dalam gerakan spontan. Justru dalam periode non revolusioner itulah kerja-kerja membangun organisasi revolusioner menjadi amat sangat dibutuhkan. Akan terlambat untuk membangunnya ketika terjadi ledakan gerakan, pergolakan ataupun situasi revolusioner. Pada saat itu organisasi revolusioner akan sudah harus berada dalam kondisi kesiagaan untuk melancarkan aksi sewaktu-waktu. Ini adalah situasi dimana sesuatu yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dibangun bisa berubah cepat menjadi dalam beberapa hari bahkan jam saja. Namun untuk dapat fleksibel dalam taktik haruslah benar-benar memiliki sesuatu yang bisa disebut sebagai taktik-taktik itu. Tanpa sebuah organisasi revolusioner yang kuat yang teruji dalam perjuangan politik di segala situasi dan waktu maka mustahilah sebuah rencana aksi yang sistematis dapat dikatakan sebagai sebuah taktik. Karena taktik harus dituntun oleh prinsip-prinsip yang kuat dan dilaksanakan dengan teguh yang didapatkan dari sebuah organisasi revolusioner yang kuat dan teruji.
Jadi kepemimpinan organisasi revolusioner dalam gerakan spontan bukan saja tergantung dari kecepatannya melakukan intervensi. Namun berbagai macam segi pembangunan organisasi revolusioner itu sendiri yang membentuk karakternya sebagai organisasi revolusioner.
Dalam meningkatnya perjuangan kelas, perbedaan-perbedaan politik yang sebelumnya tidak terlalu menonjol akan semakin menajam. Kita bisa melihat dalam beberapa waktu belakangan ini berbagai macam pandangan politik dari berbagai macam kelompok.
Said Iqbal pimpinan Partai Buruh kembali berupaya memecah belah gerakan. Elit politik yang jelas sangat berpihak pada kekuasaan para penjahat HAM ini mengeluarkan statement yang justru memecah belah massa rakyat. Hal ini diungkapkannya saat diwawancarai oleh Tempo sebelum aksi buruh (27/08/2025), terkait dengan selain buruh tidak boleh ikut aksi, utamanya para anarko. Keberpihakan Said Iqbal pada kekuasaan pun telah dipertontonkan saat May Day yang memberikan akses Prabowo berorasi, bergandengan dan berjoget bersama buruh. Perkataan Said Iqbal tersebut salah mengarahkan siapa biang kekerasan yang terjadi. Buruh sendiri sudah berulang kali mengalami kekerasan dari para elit politik. Gerakan buruh dihancurkan oleh Rezim Militer Orde Baru, aksi-aksi buruh diserang seperti sejarah Omah Buruh dan Saung Buruh. Sejatinya negara para elit politik ini adalah alat kekerasan terhadap buruh dan rakyat. Sedangkan perlawanan kepada mereka, termasuk menggunakan kekerasan adalah metode perjuangan buruh dan rakyat.
Terdapat berbagai kelompok yang sering dikategorikan sebagai “masyarakat sipil” seperti LSM dan juga beberapa serikat buruh kuning, termasuk juga mahasiswa serta alumni diaspora Indonesia yang mengambil sikap reformis terhadap radikalisasi gerakan rakyat saat ini. Mereka berharap pada Prabowo, DPR, Polri serta TNI untuk mengingat bahwa dirinya entah mewakili suara rakyat, mematuhi aturan hukum, untuk menghentikan sikap represif, menuntut transparansi, akuntabilitas dan semua omong kosong intelektual yang diakhiri dengan seruan: “Kami Menunggu. Buktikan Suara Rakyat Didengar” Mereka adalah warga negara atau “masyarakat sipil” yang ingin perubahan dengan taat hukum dan aturan elit politik.
Pola-pola “mengingatkan” elit politik seperti Prabowo dan juga anggota DPR yang congkak hanya memperkuat posisi para elit politik ini. Ketidaktegasan dan kekeliruan pola pikir soal percaya pada lembaga-lembaga negara justru melemahkan kekuatan massa rakyat. Sejak awal, elit-elit ini tidak pernah memikirkan kebijakan yang menguntungkan buruh dan rakyat. Sehingga, pertanyaan selanjutnya, mengapa masih mengandalkan para elit politik dan memaksa massa rakyat menggantungkan nasibnya pada penindas?
Mereka lupa melihat kenyataan bahwa sejak lama, ini adalah pertarungan antara kekuatan para elit politik melawan buruh dan rakyat. Bahwa ini semua adalah politik sana lawan sini, mereka lawan kita. Mereka menghancurkan gerakan buruh dan rakyat dalam Malapetaka 1965, menindas kita dalam DOM Aceh dan Papua, invasi dan pendudukan Timor Leste, menculik kita pada 1998, mengadu domba kita dengan rasisme terhadap rakyat Tionghoa, Indonesia Timor, Papua, dsb, dsb. Sementara kita membalasnya dengan Reformasi 1998 menggulingkan A-Soeharto dan menghentikan 32 tahun Rezim Militer Orde Baru. Namun mereka kembali merebutnya dari kita.
Kemudian juga berkembang slogan ‘Reset Indonesia’. Tidak ada alasan yang jelas mengapa istilah ini dipilih. Secara definisi reset berarti mengatur ulang atau mengembalikan suatu hal ke kondisi semula atau keadaan awal. Keadaan awal apa yang dimaksud? Tidak ada penjelasan. Kembali ke keadaan awal mengasumsikan bahwa sistem yang ada pada dasarnya sudah baik.
Memang ini pembelahan yang paling dasar di antara kalangan gerakan, bahkan sejak zaman bergerak. Mengenai visi Indonesia kedepannya. Sebagian kelompok menganggap bahwa sistem yang ada pada saat ini (atau saat itu) pada dasarnya sudah baik, yang dibutuhkan adalah perbaikan-perbaikan tertentu saja. Sementara organisasi lainnya melihat bahwa pada dasarnya sistem saat itu, yaitu kapitalisme, bobrok dan kita membutuhkan sebuah sistem yang baru, yang menurut kami adalah sosialisme. Untuk menuju sosialisme kita membutuhkan pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya, ini termasuk membangun sistem kekuasaan baru yang memungkinkan keterlibatan dari buruh dan rakyat. Di dalamnya juga termasuk demokratisasi di bidang ekonomi, yaitu penguasaan aset-aset strategis di tangan kekuasaan buruh dan rakyat agar dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kita sudah mengalami 27 tahun Reformasi 1998. Kita sudah melihat dan mengalami sendiri apa yang terjadi ketika perubahan tidak dilakukan secara mendasar hingga ke sistem yang ada sekarang. Kita melihat hasil ketika kekuasaan dipegang oleh para elit politik. Kita melihat ketika kekuasaan dijalankan oleh para elit politik tersebut. Kita tidak boleh lupa bahwa demokrasi serta kesejahteraan yang diselesaikan dalam negosiasi serta pernyataan-pernyataan di meja-meja gedung Parlemen dan Istana Negara adalah menyakitkan bagi buruh dan rakyat. Itu menyakitkan bagi Affan, menyakitkan bagi Munir, menyakitkan bagi Marsinah, menyakitkan bagi para buruh yang diupah murah, menyakitkan bagi para petani yang tanahnya dirampas, menyakitkan bagi kita semua, buruh dan rakyat. Jangan pernah lupa bahwa demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Rakyat sekarang menjalankan demokrasi tersebut dengan turun ke jalan-jalan merebut apa yang selama ini dirampas, menghentikan semua bentuk penindasan, mengobati semua kesakitan yang diterima ketika kekuasaan dipegang oleh para elit politik.
Seruan dan tuntutan kami
Di tengah perjuangan, termasuk serangan balik dari Rezim Prabowo-Gibran kita harus terus mendorong penguatan dan kepemimpinan buruh dan rakyat. Aksi-aksi yang spontan pada saat ini harus diberikan karakter terorganisir dan memimpin. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh buruh dan rakyat adalah:
- Membentuk Komite-komite Perlawanan. Komite-komite perlawanan dibangun di setiap sudut kampus, kampung dan pabrik. Komite Perlawanan ini bertugas untuk terus melancarkan perlawanan terhadap para elit politik. Melancarkan aksi-aksi, pemogokan-pemogokan, pendudukan-pendudukan serta juga menjadi pusat pendidikan dengan menyelenggarakan rapat-rapat akbar, pendidikan-pendidikan politik, diskusi-diskusi, dsb. Komite Perlawanan ini juga yang akan mengkoordinir seluruh logistik untuk menopang perjuangan buruh dan rakyat.
- Komite Perlawanan ini jika berhasil dan berkembang akan menjadi embrio dari kekuasaan rakyat sendiri yang akan menggantikan seluruh fungsi dari institusi-institusi negara para elit politik hari ini.
- Duduki pusat-pusat kekuasaan, kampus-kampus dan pabrik-pabrik. Terus melancarkan aksi-aksi dan dalam waktu dekat melancarkan aksi serentak seluruh Indonesia secara terus menerus.
Komite-komite aksi ibarat mesin bagi massa rakyat untuk memberikan tekanan kelas pekerja pada pemerintah. Dalam komite-komite inilah dijalankan kerja-kerja ideologis, diskusi mengenai isu terkini, mengisi kekosongan arah dari gerakan yang telah ter-depolitisasi. Kita tahu bahwa selama ini DPR yang secara formal dinyatakan sebagai representatif tidak sama sekali bekerja mewakili buruh dan rakyat. Massa rakyat sendiri-lah yang dapat menjadi penggerak dari perubahan, mewakili kepentingan politiknya sendiri. Komite perlawanan terdiri dari perwakilan mereka yang terlibat dalam melancarkan pemogokan dan aksi, yang nantinya akan secara independen mengorganisir diri mereka sendiri. Inilah yang dimaksud dengan embrio organ kekuasaan buruh rakyat.
Komite-komite dengan membangun kesadaran politik dan keberpihakan yang tepat akan mampu menjawabi kebutuhan massa rakyat. Termasuk mengikis terjadinya penjarahan ataupun berkembangnya rasialisme. Dalam perjuangan kita, buruh dan rakyat harus menolak semua upaya untuk mengadu domba dan memecah belahnya. Terutama adalah isu-isu rasis ataupun agama yang sering digunakan oleh militer. Menolak tindakan-tindakan penjarahan massal terhadap sesama rakyat. Isu rasis terhadap etnis Tionghoa, Indonesia Timur, Papua ataupun agama akan mengalihkan kita dari musuh utama yaitu para elit politik dan membuatnya menjadi konflik antar sesama rakyat.
Sembilan Tuntutan Buruh dan Rakyat ini harus kita perjuangkan hingga menang:
- Hapus Hak Istimewa dan Potong Gaji Pejabat Negara, Perwira Tinggi, Pejabat Lembaga Non-kementerian, Komisaris dan Direktur BUMN hingga Setara Upah Buruh Rata-rata UNTUK Pendidikan dan Kesehatan Gratis, Subsidi Rakyat serta Kesejahteraan Buruh dan Rakyat.
- Potong Anggaran Lembaga, Kementerian serta Jabatan yang Tidak Mensejahterakan Rakyat, antara lain Kementerian Pertahanan, Kepolisian, Kejaksaan Agung, BIN, DPR, MPR, dsb UNTUK Pendidikan dan Kesehatan Gratis, Subsidi Rakyat serta Kesejahteraan Buruh dan Rakyat.
- Naikan Upah Buruh, Turunkan Pajak Untuk Rakyat.
- Naikan pajak progresif bagi perusahaan besar, perbankan serta konglomerat!
- Bebaskan Kawan Kami Tanpa Syarat Sekarang Juga!
- Tangkap, Adili dan Penjarakan Aparat Pelanggar HAM!
- Potong Anggaran dan Lucuti POLRI serta Alat Represi Rezim Prabowo-Gibran!
- Militer Balik Ke Barak!
- Sita Seluruh Harta Koruptor serta Konglomerat Pengemplang Pajak UNTUK Pendidikan dan Kesehatan Gratis, Subsidi Rakyat serta Kesejahteraan Buruh dan Rakyat!
Seperti perjuangan-perjuangan sebelumnya, bahkan ketika kita melihat Reformasi 1998 juga, muncul isu bahwa perjuangan ini ditunggangi atau setidaknya kepentingan dari faksi elit politik tertentu atau bahkan Imperialisme itu sendiri. Dari Rezim Prabowo-Gibran serta elit politik lainnya, dihembuskan isu bahwa kepentingan di dalam gerakan ini adalah “aktor asing” menurut Hendropriyono atau “koruptor” dan “mafia” menurut Prabowo. Ataupun berita dari Sputnik yang mengatakan bahwa ada dua kemungkinan aktor eksternal yang berperan dalam aksi saat ini. Pertama, National Endowment for Democracy (NED) yang disebutnya telah mendanai media Indonesia sejak 1990-an. Kedua, Open Society Foundations milik George Soros, yang aktif dengan lebih dari USD 8 miliar di seluruh dunia dan mendukung kelompok seperti TIFA. Di kalangan gerakan itu sendiri tidak jarang muncul hal yang serupa seperti ketakutan untuk terlalu memajukan gerakan karena nanti akan dituduh mendukung salah satu faksi elit politik yang ada.
Ya tentu saja betul. Kita tidak perlu naif, menganggap para elit politik apapun faksinya dan bahkan Imperialis apapun negaranya akan berpangku tangan dan berdiam diri. Mereka akan melakukan segala daya upaya agar gerakan berjalan sesuai dengan kepentingan mereka. Dari represi besar-besaran hingga menunggangi gerakan buruh dan rakyat agar sesuai dengan kepentingan mereka. Upaya menunggangi ini bisa dilakukan lewat propaganda mereka di media-media massa hingga penyusupan dalam organisasi ataupun aksi-aksi massa. Dalam tingkatan-tingkatan tertentu mereka juga bisa diuntungkan dengan perjuangan demokratisasi. Para elit politik daerah bergembira dengan Reformasi 1998 karena terbuka kesempatan mereka berkuasa di daerah-daerah setelah kekuasaan sentralis-militeristik Soeharto tumbang. Reformasi 1998 juga menunjukan hal yang serupa, para elit politik terutama yang berada “di luar” Rezim Militer Orde Baru saling sikut berupaya untuk mendapatkan jatah kekuasaan dengan menunggangi Reformasi 1998.
Tapi perjuangan demokratisasi sangat menguntungkan bagi buruh dan rakyat. Semakin tuntas perjuangan tersebut, akan semakin kuat buruh dan rakyat dalam menghadapi para elit politik. Sementara itu para elit politik akan selalu mempertahankan sampah-sampah sejarah seperti militerisme. Bagi para elit politik akan menguntungkan jika perjuangan tersebut tidaklah tuntas, tidak membuka ruang demokrasi seluas-luasnya. Akan lebih menguntungkan bagi para elit politik jika perubahan-perubahan tersebut terjadi lebih lamban, bertahap, hati-hati, tidak teguh dengan cara-cara yang moderat ketimbang mobilisasi massa. Dan terutama akan sangat menguntungkan bagi para elit politik jika perubahan tersebut sesedikit mungkin mengembangkan kekuatan buruh dan rakyat, sesedikit mungkin melibatkan buruh dan rakyat, sesedikit mungkin memunculkan inisiatif ataupun kekuatan dari buruh dan rakyat. Karena jika itu terjadi maka kekuatan buruh dan rakyat dapat menyerang para elit politik itu sendiri. Lihat saja penyelesaian Reformasi 1998, lewat Deklarasi Ciganjur, lewat pencabutan Dwi Fungsi ABRI secara bertahap, demokratisasi dilakukan lewat pemilu, parlemen dan milter yang merupakan sisa-sisa kekuatan Rezim Militer Orde Baru. Menyakitkan? Bagi buruh dan rakyat, tentu saja iya.
Politik adalah medan pertarungan, mereka lawan kita, dengan kepentingan yang bertentangan. Program perjuangan, tuntutan hingga metode perjuangan kita haruslah mencerminkan kepentingan dari buruh dan rakyat, seterang-terangnya dan setegas-tegasnya. Hanya itu yang memungkinkan perjuangan buruh dan rakyat tidak ditunggangi oleh dan memiliki demarkasi yang jelas dari para elit politik ataupun kekuatan Imperialis. Tuntutan-tuntutan yang moderat apalagi mimpi perubahan patuh hukum dan aturan para elit politik, justru membuka pintu bagi buruh dan rakyat untuk ditunggangi para elit politik. Ingat bahwa para elit politik tidak hanya akan menunggangi tapi sekarang kita sudah melihat serangan baliknya.
Sembilan Tuntutan Buruh dan Rakyat tersebut dapat dimenangkan dengan persatuan buruh dan rakyat serta kepemimpinan buruh. Termasuk juga melancarkan senjata utama kelas buruh dan rakyat yaitu mogok kerja. Langkah awal untuk itu adalah pembangunan Komite-komite Perlawanan di setiap basis-basis massa.
Versi panjang dari selebaran bersama Perserikatan Sosialis dan Organisasi Kaum Muda Sosialis
Silahkan unduh, gandakan, sebarluaskan dan gunakan selebaran berikut: Rakyat Dicekik Pajak! Hak Istimewa Elit Politik Melangit! Ganyang Para Elit Politik! English version of the leaflet here.
Silahkan unduh, gandakan, sebarluaskan dan gunakan poster-poster berikut ini: Rakyat Dicekik Pajak! Hak Istimewa Elit Politik Melangit! Ganyang Para Elit Politik! English version of the poster here.
Comment here