Lebih dari sebulan yang lalu, tepatnya tanggal 27 Mei 2025 Pemerintahan Kabupaten Bekasi melaksanakan acara bursa kerja yang bernama “Job Fair Bekasi Pasti Kerja”. Bursa kerja yang dilaksanakan di President University Convention Center, Jababeka, Cikarang ini dihadiri oleh 25.000 peserta. Padahal, lowongan pekerjaan yang tersedia pada bursa tersebut hanya mencapai 2500 lowongan, yang disediakan oleh 64 perusahaan yang terpisah. Meski venue tempat pelaksanaan bursa kerja dapat terbilang luas, convention center yang dimiliki oleh Universitas Presiden (President University) ini tidak mampu menampung total peserta yang hadir. Alhasil, suasana ricuh pun tak terelakkan. Beberapa diantara peserta yang ikut dalam acara ini sampai ada yang pingsan akibat berdesak-desakan dengan banyak peserta lainnya.
Akibat suasana job fair yang ricuh, personil Polres Metro Bekasi, TNI, dan Satpol PP, dikerahkan atas perintah dari Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Dinas ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi, unsur yang bertanggung jawab atas acara bursa kerja ini. Sebanyak 311 personnel kepolisian, tentara, dan Satpol PP dikerahkan dengan tujuan untuk mengamankan acara bursa kerja, dan membuat acara berjalan dengan kondusif (Tempo). Di sini, bisa kita temukan kejanggalan pertama pada persitiwa Job Fair di Bekasi ini. Disamping anehnya kehadiran baik tentara di acara Job Fair di bekasi ini, kita dapat lihat bahwa ada masalah yang sangat besar yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, terutama para kaum muda yang baru saja lulus dan menjadi angkatan pencari kerja.
Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) mencatat, per Mei 2025 jumlah angka pengganguran terbuka di Indonesia terbilang sebanyak 7,28 juta orang. Data yang dilaporkan oleh Kepala BPS ini mencatat bahwa ada 216,79 juta orang yang tergolong Pendudukan Usia Kerja, tetapi hanya 153,05 juta orang di antaranya yang berstatus sebagai Angkatan Kerja. Ini meninggalkan 63,26 juta orang yang status nya tidak dapat digolongkan sebagai angkatan kerja.
Selain orang yang tidak bekerja, jumlah kerja-kerja masyarakat yang masuk ke dalam sektor kerja informal, angkatan setengah menganggur, dan masyarakat pekerja paruh waktu kini kian meninggkat. BPS mencatat terdapat kenaikan 1,87 poin persentase pada masyarakat yang bekerja tidak penuh waktu (setengah menganggur dan kerja paruh waktu) dari bulan November 2024 ke bulan Mei 2025 yang kini berada di angka 33,81 persen dari 31,94 persen.
Fakta bahwa terdapatnya 7,28 juta orang yang menganggur, dan 49,28 juta orang yang masih bekerja secara paruh waktu dan setengah menganggur dapat menjadi pelajaran untuk kita kaum revolusioner tentang realitas kemajuan industri dan ekonomi di Indonesia. Perekonomian Indonesia belum dapat menyerap secara efektif tenaga-tenaga produktif yang tersedia, dan juga merupakan karakteristik inheren dari kapitalisme itu sendiri.
Karl Marx sudah banyak menjelaskan tentang fenomena pengangguran dan bagaimana borjuasi menggunakan orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan sebagai bagian dari tentara cadangan industri. Sebelum menjelaskan apa yang dibilang Marx tentang pengangguran, kita harus terlebih dahulu tau apa itu tentara cadangan industri. Tentara cadangan industri merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dan potensi untuk melaksanakan pekerjaan dan mengerahkan tenaga kerjanya, yang tetapi tidak dapat menjual tenaga kerjanya kepada orang yang ingin membeli tenaga kerjanya (seorang kapitalis). Kondisi ini membuat tenaga kerja seorang yang merupakan bagian dari tentara cadangan industri tersebut, tidak dapat direalisasikan nilai gunanya, atau dalam kata lain, orang tersebut tidak dapat bekerja karena tidak ada yang ingin membeli tenaga kerjanya sebagai komoditas.
Hal ini lalu dijelaskan oleh Marx dalam pamfletnya yang berjudul Wages,Labour and Capital sebagai cara yang digunakan oleh para kapitalis untuk terus menekan harga tenaga kerja para buruh (baca: gaji). Jelasnya: “Industri-industri besar membutuhkan sebuah tentara cadangan pekerja yang tidak dipekerjakan … Tujuan utama dari [kondisi ini] … tentunya untuk membuat komoditas tenaga kerja berharga semurah mungkin, yang hanya dapat terjadi ketika pasokan tenaga kerja jauh melebihi permintaan tenaga kerja.” Di sini, Marx menjelaskan bahwa untuk membuat harga dari tenaga kerja (gaji) kelas buruh berharga murah, dibutuhkannya kondisi dimana supply komoditas tenaga kerja tersebut (jumlah orang yang mampu bekerja) jauh lebih banyak dari demand tenaga kerja (lowongan pekerjaan). Kondisi ini membuat sebagian dari angkatan kerja yang mampu untuk bekerja, tidak memiliki daya untuk menjadi pekerja yang produktif, tidak memiliki penghasilan yang disebabkan oleh tidak memiliki alat-alat produksi, dan terlempar dari sistem produksi kapitalis menjadi seorang lumpenproletariat, atau rakyat yang mencari hajat hidupnya di luar sistem produksi kapitalisme utama.
Mereka-mereka yang disebut sebagai lumpenproletariat atau yang sering disebut sebagai kaum lumpen adalah para pengemis, pengamen, seniman jalanan, pedagang asongan, preman, pekerja seks, dan kaum miskin kota yang tidak dapat terserap tenaga kerjanya ke dalam sistem produksi dan perekonomian. Dari sini dapat kita lihat hubungan dari sistem kapitalisme, pengangguran, dan terlemparnya seorang pekerja dari sistem produksi kapitalis.
Tentu kita sekarang pun bertanya-tanya, apa yang dapat kita lakukan? Dalam menjawab hal ini tentunya dibutuhkan solusi yang bersifat menyeluruh, dan dapat menyelesaikan masalah dari akar permasalahannya. Jika telah dapat menentukan bahwa akar masalah pengangguran yang akut adalah keinginan segelintir orang untuk membeli komoditas tenaga kerja murah, maka yang harus kita rubah adalah sistem sistem produksi yang memperbolehkan hal yang telah kita lihat itu terjadi. Kita perlu mengganti sistem kapitalisme, dengan sistem yang tidak dijalankan untuk mengeruk keuntungan bagi segelintir orang semata. Kita perlu menjalankan sistem di mana produksi dan perkembangan teknologi dan juga industri, didasari oleh kebutuhan seluruh umat manusia, dan generasi penerusnya.
Tidak cukup sampai di situ, kekuatan produktif dari sebuah masyarakat juga butuh dijalankan dan ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Maka harus adanya sistem yang dapat mengakomodir kebutuhan demokratisasi produksi seluruh masyarakat, agar apa yang dikerjakan dan diproduksi oleh masyarakat itu sendiri, selaras dengan kebutuhan banyak orang, dan bukan untuk keuntungan sebagian kelas kapitalis.
Kita juga memiliki keperluan menaikkan taraf tenaga produktif masyarakat Indonesia. Bukan untuk mempekerjakan tenaga produktif tersebut dengan harga yang murah, tetapi untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Untuk itu, agar dapat terjadi kemajuan taraf tenaga produktif seluas-luasnya, dibutuhkan sistem pendidikan yang tidak hanya gratis, tetapi juga demokratis, dan bersikap kerakyatan.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas telah kita lihat, mustahil digapai di bawah sistem yang ada sekarang. Maka dari itu adanya keperluan untuk mengubah sistem yang ada ke sistem yang lebih baik untuk masyarakat itu sendiri, yaitu sistem Sosialisme yang sudah menjadi kebutuhan mendesak rakyat Indonesia. Maka dari itu, kita butuh bersatu dan menggalang kekuatan demi melawan kapitalisme yang kian menindas, dan memenangkan Sosialisme, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Kelas pekerja sedunia, bersatulah!
ditulis oleh Natan Tjoe, Anggota Resistance
Comment here