Amir Sjarifoeddin Harahap lahir pada 27 Mei 1907 di Medan, berdasarkan atas catatan keluarga. Bukan 27 April 1907 seperti dalam beberapa sumber. Amir selama hidupnya terinsipirasi oleh Revolusi Perancis yang ia pelajari di sekolah menengan dan sekolah tinggi hukum. Amir juga menjadi salah satu tokoh yang mengobarkan Revolusi Nasional 1945 Ia juga berusaha menjalankan garis anti fasisme untuk menghancurkan fasis terlepas dari jalannya tersebut mendorong penyatuan kekuatan dengan kaum kapitalis. Amir merupakan salah satu tokoh yang militan mengobarkan sosialisme, anti fasis, serta anti imperialisme yang teguh sampai pada akhir hayatnya.
Menjadi aktivis sejak berumur belasan tahun. Perkenalannya dengan Marxisme Leninisme bermula ketika ia sedang menjalani studi di negeri Belanda antara tahun 1921 sampai 1927. Amir menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI). Di organisasi inilah Amir bertemu dan diorganisir oleh Semaun, salah seorang pimpinan PKI yang dibuang ke negeri Belanda pada tahun 1923. Tahun 1928, Amir terlibat dalam Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda.
Pada saat tengah berlangsung Perang Dunia ke-II yang menguatkan kemunculan fasisme secara internasional. Tahun 1939, Amir bersama para pimpinan partai politik nasionalis lainnya membangun front persatuan, yaitu GAPI (Gerakan Politik Indonesia), yang terdiri dari Parindra, Gerindo, Persatuan Minahasa, Persatuan Pendidikan Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Paguyuban Pasundan dan PSII. Pimpinan pertama GAPI dipegang oleh Muhammad Husni Thamrin dari Parindra, Amir Syarifuddin dari Gerindo, dan Abikoesno Tjokrosoejoso dari PSII. GAPI bertujuan untuk mengajak seluruh lapisan rakyat, termasuk pemerintah Belanda bekerjasama menghadapi bahaya fasisme, upaya ini kemudian dikenal melalui Manifesto GAPI.
Strategi tersebut diambil dengan pertimbangan dua hal. Pertama, pada analisisnya mengenai perkembangan hubungan internasional dan sistem politik global, dan kedua pada krisis ekonomi kolonial di Indonesia yang ditandai dengan runtuhnya perkebunan-perkebunan, yang dapat mengakibatkan terjadinya krisis bagi politik kolonial. Dengan alasan ini, strategi dialog antara Belanda dan Indonesia dimungkinkan terjadi, sebagai hubungan yang saling melengkapi antara pembelaan demokrasi di Negeri Belanda menghadapi fasisme yang sedang bangkit di Eropa, dengan memasukkan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia. Strategi ini menegaskan, bahwa Indonesia merupakan sasaran Jepang, seperti halnya Belanda sasaran Jerman; dan pertahanan bersama melawan negara-negara penjajah, menuntut dilaksanakannya prinsip-prinsip demokrasi di segala bidang, baik politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Strategi itu berhasil digunakan, hingga dapat mendorong anggota-anggotanya masuk ke dalam Volksraad (dewan rakyat).
Melalui surat-suratnya, Amir sudah sejak lama memperingatkan akan adanya ekspansi fasisme di Asia. Jepang melirik Hindia Belanda, karena sumber daya alamnya yang melimpah. Oleh karena itu, saat perang terjadi, Jepang dengan cepat mengincar Indonesia. Sehingga menurut Amir, perjuangan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan akan semakin sulit, apabila berada di bawah fasisme, karena bertentangan dengan demokrasi. Namun, meski tujuan GAPI berhasil dipropagandakan di berbagai tempat, strategi tersebut bahkan pernah dianggap sebagai kemunduran dari upaya perjuangan kemerdekaan, hingga menuduh Amir sebagai “intel Belanda”. Amir menampik hal tersebut dan menyampaikan strategi yang ia gunakan hanyalah taktik belaka, dan garis politiknya itu terinspirasi dari analisis Komunisme Internasional.
Selama perang bergejolak, Amir dan Sjahrir membangun Liga Anti-Fasis di Indonesia. Liga Anti-Fasis adalah organisasi bawah tanah yang dibentuk kelompok Tionghoa yang berada di Kota Medan, Sumatera Utara, yang terafiliasi dengan Partai Komunis Tiongkok di bawah pimpinan Mao Zedong. Kelompok Tionghoa di Indonesia serta sayap kiri nasionalis, sosialis dan komunis, juga melancarkan perlawanan terhadap Jepang. Hal ini juga yang menjadi perseteruan mereka dengan Sukarno dan Hatta, karena dianggap bersekutu dan berkerja sama dengan Jepang.
Menjelang 1942, setelah Belanda secara resmi menyerah pada Jepang, Hindia Belanda berhasil dikuasai Jepang. Saat Amir memimpin Gerakan Anti Fasis di Surabaya pada bulan Januari 1943, ia kemudian ditangkap dan kembali mendekam di dalam penjara. Melalui kejadian ini, kemudian terbongkar jaringan kelompok yang terorganisir melawan Jepang, hingga pada 1944, Amir dijatuhi hukuman berat bersama para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya oleh Mahkamah Militer Jepang. Berkat lobi-lobi Soekarno dan Hatta dengan Jepang, Amir yang sebelumnya dijatuhi hukuman mati diringankan menjadi hukuman seumur hidup.
Saat Jepang mengalami kekalahan melawan sekutu di Asia Timur, dan proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus tahun 1945, setelah mengalami penyiksaan, Amir dibebaskan. Presiden Sukarno kemudian mengangkat Amir Sjarifuddin sebagai Menteri Penerangan pada 2 September 1945. Lalu pada Kabinet Sjahrir, 14 November 1945 sampai 27 Juni 1947, ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Ia kemudian mengangkat orang-orang yang sebelumnya berada dikelompoknya menjadi pembantu menteri.
Pada 1945, Amir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PARSI), lalu bergabung dengan Partai Rakyat Sosialis (PARAS) yang didirikan oleh Sjahrir, yang kemudian dikenal dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Saat itu, partai ini cukup populer, terutama dikalangan intelektual muda karena dianggap berhasil melancarkan gerakan bawah tanah selama pendudukan Jepang di Indonesia. Namun, meski terjadi penggabungan diantara keduanya, penyatuan itu tidak bertahan lama.
Pada 3 Juli 1947, setelah berakhirnya Kabinet Sjahrir, Amir Sjarifuddin menggantikannya menjabat sebagai Perdana Menteri. Ia memimpin selama dua periode, yang disebut Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II sampai dengan 29 Januari 1948.
Ia juga menolak keras perjanjian Renville dan Linggarjati yang merugikan Indonesia serta menguntungkan pihak kolonial Belanda, dengan itu ia menunjukkan bahwa dirinya secara tegas anti imperialisme meskipun langkah yang diambil kemudian adalah keluar dari pemerintahan. Tindakan tersebut membahayakan kaum borjuis Indonesia yang disokong oleh imperialisme AS untuk merebut kekuasaan negara Indonesia.
26 Februari 1948, Front Demokrasi Rakjat (FDR) didirikan dengan menghimpun Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Ini adalah pengorganisiran lebih ketat dari Sayap Kiri, di luar kelompok Tan Malaka, pasca-pengunduran diri Amir Sjarifuddin dari posisi Perdana Menteri sekaligus kabinet akibat Perjanjian Renville yang jauh lebih merugikan dibandingkan Perjanjian Linggarjati. Maret, oto-kritik kemudian mengubah posisi FDR menjadi menuntut pembatalan Perjanjian Renville, menuntut tarik mundur semua tentara Imperialis Belanda dari wilayah Republik Indonesia (RI) sebelum dilanjutkannya perundingan, dan nasionalisasi semua asetnya tanpa ganti rugi.
Setelah FDR berdiri dan mulai aktif, usaha pertamanya ialah mengadakan turne, penjelasan keliling ke daerah-daerah. Ini dilakukan oleh Amir Sjarifudin (Partai Sosialis), Luat Siregar (PKI), Setiadjit (PBI) dan Krissubanu (Pesindo). Dalam rapat-rapat umum yang diadakan waktu turne ini adalah politik FDR; sikap dan pembelejetan terhadap pemerintah Hatta, khususnya masalah Re-Ra yang merupakan upaya untuk melucuti kelompok bersenjata Kiri; menjawab fitnahan-fitnahan kaum reaksioner dan tuntutan berdirinya Front Nasional. Turne pertama mendatangi Yogyakarta-Klaten-Surakarta-Sragen-Madiun-Ponorogo-Madiun-Kediri-Tulungagung-Blitar-Kediri. Turne kedua, diadakan di Jawa Tengah yaitu Magelang, Purworejo, Purwokerto, Wonosobo dan Banyumas.
Di luar kegiatan turne, pimpinan FDR Pusat, FDR lokal juga mengadakan aksi-aksi seperti rapat umum, demonstrasi dan lain sebagainya. Kegiatan ini memperbesar pengaruh FDR di kalangan rakyat. SOBSI mengajukan tuntutan-tuntutan kepada perusahaan-perusahaan di tempat anggota SOBSI bekerja. Tuntutan perbaikan nasib ini salah satunya diajukan oleh Sarbupri/ SOBSI yang bekerja di perusahaan serat dan kapas milik Badan Tekstil Negara Delanggu. Tuntutan mereka adalah kenaikan upah, pembagian beras dan pembagian bahan pakaian.
Pada 19 Desember 1948, Amir Sjarifoeddin Harahap ditembak saat peristiwa Madiun meletus akibat kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi tentara yang dijalankan Hatta. Perintah eksekusi terhadap Amir diberikan oleh Hatta kepada Gatot Subroto, dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh regu tembak yang dipimpin oleh Letnan Klas I (CPM) Mulia Nasution.
ditulis oleh Ray Sander, Anggota Resistance dan kader Perserikatan Sosialis serta Aghe Bagasatriya, kader Perserikatan Sosialis.
Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 167 III Desember 2023-II Januari 2024, dengan judul yang sama.
Comment here