Perjuangan

Soeharto bukan Pahlawan Nasional

Menurut UU No 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan syarat menjadi pahlawan nasional antara lain adalah: memiliki integritas moral dan keteladanan; berjasa terhadap bangsa dan negara ataupun setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara.

Nurdin Halid, seorang elit Partai Golkar mengatakan bahwa dia sudah mengusulkan untuk menobatkan gelar pahlawan ke Soeharto sejak 10 tahun yang lalu. Dia mengatakan bahwa Soeharto memiliki banyak prestasi, tidak ada manusia yang sempurna, dan tidak adil jika  prestasinya dilupakan begitu saja dengan hanya berfokus kepada kesalahannya. Begitu juga pertimbangan Kemensos, Direktur Pemberdayaan Masyarakat, Radik Karsadiguna menyebut masyarakat sejak tahun 2010 yang mengusulkan untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto. Di tahun ini, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi mengusulkan hal yang serupa, ini yang kemudian dilanjutkan Kemesos ke tim pengaji. Walaupun, setelahnya dia mengakui bahwa ini menimbulkan kontra dari publik. Selanjutnya, Haris Pertama, Ketum DPP KNPI, mengatakan kalau kita harus melupakan kejadian 98 yang sudah terjadi hampir 27 tahun lalu. Argumen ini tidak hanya menjadi pembenaran pembunuhan, korupsi, rezim otoriter, militerisasi, penghancuran demokrasi, dan pembodohan sistematis yang dilakukan, tapi juga membuktikkan seberapa idiotnya cara berpikir pendukung rezim.

Mari kita lihat bagaimana Soeharto naik ke kekuasaan. Secara legal formal, Soeharto naik ke kekuasaan lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Hingga kini keberadaan fisik Supersemar tidak jelas. Terdapat empat versi Supersemar yang kesemuanya palsu. Keempat versi tersebut berasal dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Akademi Kebangsaan, dan dua versi dari Sekretariat Negara (Setneg). Pegangan dari Soeharto selama 32 tahun adalah versi Puspen TNI AD.

Dengan berbekal Supersemar, Soeharto secara sepihak membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta semua organisasi seazas/berlindung/bernaung di bawahnya serta menyatakan PKI organisasi terlarang. Selain itu Soeharto juga melarang seluruh partai politik dan organisasi massa menerima anggota baru dari PKI serta seluruh anggota PKI atau ormas-ormasnya wajib melaporkan diri. Soeharto juga berusaha menangkapi menteri-menteri Soekarno.

Berkali-kali Soekarno dalam rapat serta pidato menyatakan bahwa Soeharto menyalahi wewenang dan Supersemar hanyalah perintah teknis untuk menjaga keamanan. Demikian pula Soekarno minta Dr J. Leimena (Waperdam II) membuat surat ke Soeharto. Surat Perintah 13 Maret 1966 itu berisi: mengingatkan Supersemar bersifat teknis semata-mata surat perintah keamanan rakyat dan pemerintah termasuk wibawa presiden; Soeharto dilarang bertindak melampaui bidang serta tanggung jawabnya dan Soeharto diminta menghadap presiden untuk melapor. Namun Soeharto menolaknya.

Hingga pada 21 Juni, Supersemar ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menjadi sebuah ketetapan MPRS nomor IX/ MPRS/ 1966. Maka Supersemar secara yuridis mengikat semua pihak dan Soekarno tidak bisa mencabutnya. Keesokan harinya, Soekarno membacakan pidato Nawaksara di sidang MPRS. Pidato ini kemudian ditambah dengan Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967. Ketika melantik Kabinet Ampera 28 Juli 1966, Soekarno kembali menyatakan Supersemar bukanlah penyerahan kekuasaan. “I repeat again, it is not a transfer of authority.” Walau secara formal kabinet ini berada di bawah Soekarno, pemimpin de facto kabinet tersebut adalah Waperdam Pertama Soeharto. Di antara anggota kabinet adalah orang-orang kepercayaan Soekarno yang berbalik dan mendukung Soeharto, seperti Adam Malik, Frans Seda, dan Sutami. 17 Agustus 1966, pidato Soekarno berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” kembali menegaskan hal sama.

Tidak bisa dilupakan juga bahwa Supersemar berlangsung dalam setengah tahun persekutuan Imperialis AS, militer, mahasiswa Kanan, dan kelas Borjuis mengorganisir Malapetaka 1965. Pembantaian massal di Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali belum lama mencapai puncaknya. Pembantaian yang dilancarkan militer dengan milisi-milisi sipil reaksioner didukung oleh Imperialis AS serta diselubungi oleh aksi-aksi mahasiswa Kanan di perkotaan. Sementara Soekarno sendiri kekuasaannya sudah banyak terkikis.

Setengah abad lebih Malapetaka 1965 masih terus menerus ditutupi oleh militer dan penguasa. Sambil terus menutupinya, militer dan para penguasa menyangkal keterlibatan mereka dalam kekejian tersebut. Mereka mengatakan bahwa pembantaian tersebut adalah konflik horizontal hasil dari“spontanitas kemarahan rakyat”. Bahkan militer berupaya menghentikan amukan rakyat tersebut. Amukan rakyat tersebut adalah akibat dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang atheis, anti-Tuhan dan merusak keharmonisan masyarakat.

Namun, dokumen-dokumen internal AD memberikan gambaran bahwa pembantaian 1965 dan segala kekejiannya diarahkan tersentral secara nasional di bawah kendali pemimpin Angkatan Darat saat itu, Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto. Melalui komando Komando Operasi Tertinggi (KOTI) di Sumatera, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di Jawa dan Bali serta kemudian Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di Kalimantan dan Indonesia Timur, operasi penumpasan “hingga ke akar-akarnya” dilancarkan. Struktur komando tersebut memungkinkan Soeharto mengkoordinir pembantaian secara nasional. Konsep Perang Teritorial menjadi cetak biru untuk operasi pembantaian. Operasi yang dilancarkan dengan kerangka Dwikora di bawah topeng kampanye Ganyang Malaysia.

Kejahatan utama Soeharto yang menghancurkan dan membalikan proses pembangunan bangsa sejak tahun 1920an dengan demobilisasi, deorganisasi, depolitisasi serta deideologisasi lewat Malapetaka 1965.

Sejarah Indonesia diputarbalikan dan ditulis ulang. Cuci otak dilancarkan lewat kurikulum pendidikan yang menggambarkan militer sebagai kekuatan yang suci menjaga bangsa dan negara. Sementara militer, Golkar dan kroninya menjadi pondasi kekuasaannya. Partai-partai dipaksa disederhanakan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), konsep massa mengambang diterapkan dimana buruh dan rakyat dilarang berpolitik sedangkan partai-partai politik dilarang untuk bergerak di basis-basis massa.

Pembantaian dan represi keji terhadap buruh dan rakyat yang berupaya melawan menjadi hal yang biasa dilakukan oleh Rezim Militer Orde Baru. Kita bisa melihat seperti Petrus (ribuan tewas, 1982-1985), Operasi Seroja yang merupakan invasi militer penuh yang diikuti pendudukan selama 24 tahun (180,000 orang tewas, 1974-1999), pembantaian Santa Cruz terjadi tanpa peringatan saat warga Timor Leste datang untuk melayat (sekitar 300 tewas, 1991), pembantaian Tanjung Priok terjadi saat aksi damai menuntut pembebasan warga yang ditahan (18 tewas, 1984), Talangsari (27 tewas, 1989), Kudatuli upaya pembungkaman partai yang mulai melawan (5 tewas dan 149 luka-luka, ratusan ditangkap, 1996), Semanggi  I & II (28 tewas, 1998-1999), kerusuhan 1998 (ribuan tewas, diperkosa, terbakar), penculikan aktivis pro demokrasi (13 hilang, 1997-1998), Marsinah (1993), dan mungkin masih banyak kasus yang tidak dapat disebut karena akan memakan kewarasan.

Soeharto juga membuka kembali jalan bagi cengkraman Imperialisme AS, Eropa dan Jepang di Indonesia. Julukan Bapak Pembangunan yang disematkan juga hanya sekedar kemunafikan belaka, pembangunan yang dilakukan melibatkan miliaran dolar hutang luar negeri. Dimana sekitar 30-50 persen utang tersebut dikorupsi oleh Soeharto dan kroni-kroninya.

Swasembada pangan yang selalu didewa-dewakan penjilatnya terlihat berjalan mulus diluar tapi sebenarnya rusak didalam. Terbukti pada tahun 1970-an hingga 1980-an, utang luar negeri Indonesia meningkat drastis. Ini dikarenakan perluasan lahan tanam yang minim dan banyak petani yang enggan mengikuti program BIMAS karena mahalnya pupuk dan pestisida, sementara harga jual padi tetap rendah sehingga petani kehilangan insentif untuk menanam. Tahun 1972, produksi anjlok dibawah 11 juta ton akibat kekeringan parah dan korupsi di tubuh BULOG yang dikuasai militer, di mana dana pembelian beras diselewengkan. Distribusi beras kolaps, harga melonjak tinggi, lebih dari 100 rupiah per kilogram, dan hanya orang kaya desa yang bisa makan nasi tiap hari. Pemerintah kemudian mengubah kebijakan pertanian: lahan yang dulu untuk beras dialihkan ke tebu demi ekspor, didorong perusahaan dagang asing. Sebagai gantinya, Indonesia mengimpor 1,2 juta ton beras dengan pinjaman khusus AS, menjadikan pasokan pangan makin bergantung pada negara kapitalis.

Selama kekuasaannya, Soeharto disokong dua kekuatan pemodal besar, Sudono Salim (Liem Sioe Liong) dan Bob Hasan (The Kian Seng). Sudono Salim merupakan pendiri perusahaan konglomerat Salim Group, dengan kepemilikan seperti Indofood, BCA, dan Indocement. Salim Group diberi akses keistimewaan luar biasa dari hubungan patronase tingkat tinggi, seperti monopoli ekspor-impor berbagai komoditas vital dan monopoli industri tepung terigu sekaligus gandum nasional di Indonesia barat yang memiliki market sebesar 80%. Akses perbankan yang diberikan juga tidak main-main, BCA tumbuh besar dengan pengawasan yang sangat longgar pada masa orde baru, kredit dalam jumlah besar diizinkan kepada perusahaan afiliasi Salim Group meski secara prinsip melanggar kehati-hatian perbankan. BCA juga dijadikan bank favorit rezim karena digunakan sebagai penempatan dana pemerintah karena memiliki operasional yang dipermudah, ini juga didukung oleh investigasi George Aditjondro dan ICW yang menunjukkan dugaan kuat bahwa rekening-rekening Golkar dan yayasan milik keluarga cendana berada di BCA. Di sisi lain, Bob Hasan diberi kuasa penuh atas pengelolaan seluruh ekspor produk kayu olahan, ini termasuk mengontrol siapa yang  boleh ekspor dan kemana, menyingkirkan pesaing, dan memaksakan harga sekaligus rute dagang. APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia), menciptakan kartel plywood (tripleks) terbesar di dunia pada 1980-1990an, Indonesia menguasai lebih dari 70% pasar plywood global tapi, keuntungannya hanya mengalir ke segelintir orang.

Penyakit ini berlanjut ke 100 lebih yayasan yang didirikan selama berkuasa. Dengan nama-nama apik dan nasionalis seperti Yayasan Supersemar, Dharmais, Dakab, ternyata memiliki saham di lebih dari 140 perusahaan yang dikuasai PT Nusamba, PT Kiani Lestari dan PT kecil lainnya. Perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN dipaksa menyumbang ke yayasan ini, dalam jumlah besar, tanpa transparansi, yang tidak menyumbang berarti bisnisnya dibekukan dan dicabut. Laporan BPK dan Kejaksaan Agung menemukan bahwa Supersemar menyalurkan dana untuk keturunan Soeharto berbisnis. Semua anak Soeharto mendapat cipratan modal, mulai dari sektor konstruksi, pertanian, perdagangan, telekomunikasi, properti, perhotelan, perbankan, energi, kimia, transportasi, dan perkebunan. Bahkan, Tutut mendapat proyek pembangunan jalan tol di sejumlah negara Asia Tenggara, tak ketinggalan, Bambang Trihatmodjo dengan proyek pembangunan energi (air dan listrik) di Filipina sampai China. Tentu, ini semua didukung dengan kekuatan angkatan bersenjata yang dominan sampai mengakar ke pembuatan PT sendiri dan perlindungan logistik.

Integritas moral dan keteladanan seperti apa yang bisa kita dapatkan dari Soeharto? Apa jasa Soeharto bagi bangsa dan negara? Apakah Soeharto setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara? Ataukah dengan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto itu artinya buruh dan rakyat Indonesia bisa mencontoh Soeharto? Bahwa menjadi anjing Imperialis bisa membuat kita berkuasa berpuluh-puluh tahun. Bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah jalan bagi kita untuk menjadi kaya raya. Bahwa pembantaian, pemerkosaan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan represi lainnya adalah manifestasi moral yang mulia.

Tidak bisa dilupakan bahwa perjuangan menolak Soeharto menjadi pahlawan nasional itu berhubungan dengan perjuangan untuk demokrasi, anti-militerisme dan anti-imperialisme. Ini satu hal penting yang tidak bisa dilepaskan oleh gerakan. Soeharto tidak pantas menjadi pahlawan nasional dan dapat berkuasa lebih dari tiga dekade karena kekuasaannya ditopang oleh imperialism dan militerisme.

Silahkan unduh poster Soeharto Bukan Pahlawan.

ditulis oleh Ishvar Anggota Resistance

Loading

Comment here