Pernyataan Sikap Aliansi GEBRAK: Peringatan 32 Tahun Kematian Marsinah di Tangan Rezim Orde Baru.
Cukup mengejutkan bagi siapapun yang membaca sejarah, mengikuti lintasan rezim Indonesia, dan terlibat dalam gerakan rakyat ketika Presiden Prabowo–dengan nada meyakinkan–ingin menjadikan Marsinah sebagai pahlawan nasional. Anehnya, ia tidak berani menguraikan bagaimana perjuangan Marsinah, mengapa ia dibunuh secara tragis, dan siapa dalang di balik pembunuhannya tersebut. Lebih ganjil lagi, hal itu keluar dari mulut seorang Prabowo, di mana ia hidup dari lingkaran kekuasaan militer Orde Baru.
32 tahun lalu, Marsinah—buruh perempuan yang berani melawan ketidakadilan terhadap hak-hak buruh—diculik, disiksa, dan dibunuh oleh rezim militer serta kaki tangan kapitalis. Bukan karena kesalahan, tetapi karena keberaniannya menuntut hak dan melawan penindasan. Ia dibunuh karena rezim takut pada buruh yang sadar dan melawan!
Pertentangan kelas nyata bagi Marsinah dan kawan-kawan seperjuangannya. Mengalami penghisapan dan penindasan PT Catur Putra Surya (PT CPS)–yang bekingi rezim otoriter Orba–Marsinah dan para buruh di perusahaan tersebut mengadakan pemogokan. Mereka menuntut kenaikan upah dan perhitungan upah lembur sesuai keputusan menteri terkait, penyesuaian cuti haid dan upah minimum, pemberian jaminan kesehatan dan pelibatan buruh dalam asuransi tenaga kerja, pembayaran cuti hamil, dan beberapa hak pekerja lainnya terutama keamanan kerja dalam menghadapi berbagai intimidasi dan ancaman pemecatan bagi buruh yang mogok (Supartono, 1999). Namun, gejolak tertinggi dari situasi ini adalah hilangnya Marsinah di tengah-tengah masa aksi pemogokkan dan penuntutan.
Rabu, 5 Mei 1993, Marsinah yang berniat mengadukan perusahaan dan Kodim di pengadilan, pergi sejenak untuk mencari makan. Namun, justru tidak pernah kembali lagi dalam keadaan hidup (Supartono, 1999). Tiga hari kemudian, tepatnya 8 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan dalam keadaan dingin dan mengenaskan.
Pencitraan dan Manipulasi Sejarah oleh Presiden Prabowo terhadap Marsinah dan Soeharto
Pada dasarnya apa yang disampaikan Presiden Prabowo terhadap massa buruh yang berkumpul di Monas adalah sebagai bentuk ungkapan simbolik atau pencitraan yang bertujuan untuk membangun narasi tertentu di tengah masyarakat terutama massa buruh. Upaya yang bisa dilihat sebagai usaha untuk mendekati atau melakukan rekonsiliasi hubungan antara buruh dan pemerintah. Dan juga Presiden Prabowo hendak menyematkan gelar pahlawan sebagai Presiden Soeharto sebagai bentuk simbolik dalam politik dengan tujuan yang sama yaitu melakukan rekonsiliasi hubungan, akan tetapi kali ini dengan para pendukung Orde Baru, sekaligus tindakannya sebagai upaya melegitimasi stabilitas ekonomi, keamanan, dan nasionalisme era tersebut.
Langkah yang ia ambil merupakan langkah untuk memperoleh atau memperkuat basis dukungan terutama di massa buruh. Kita mengkritisi tindakan yang diambil oleh Presiden Prabowo bukan semata-mata untuk mengakui sumbangsih dan perjuangan kaum buruh dengan pemberian gelar Pahlawan kepada Marsinah, akan tetapi hanya upaya mendapatkan dukungan dari massa buruh, dan juga di satu sisi pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan tindakan yang kontradiktif, dikarenakan Soeharto dikenal sebagai pemimpin otoriter Orde Baru yang dikenal banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM berat.
Pemberian penghormatan terhadap aktivis buruh perempuan Marsinah dan pemimpin otoriter Orde Baru Presiden Soeharto, tanpa membangkitkan ingatan kolektif rakyat dan memberikan keadilan substantif terhadap korban dan pelaku kekerasan hanyalah formalitas belaka untuk mendapatkan dukungan dan seolah melegitimasi kekerasan yang dilakukan pemerintah era Orde Baru. Pemerintah seharusnya mendorong upaya hukum untuk mewujudkan keadilan substantif dan mendorong diselesaikannya kejahatan HAM masa lalu yang melibatkan buruh sebagai korban dan, aparat pemerintahan sebagai pelaku kejahatan pelanggaran HAM.
Apa yang dilakukan pemerintah hanya akan me-reproduksi luka sejarah masa lalu dikarenakan tidak adanya upaya pengakuan atau pertanggungjawaban atas kejahatan yang telah diperbuat, membingungkan generasi muda dengan narasi sejarah yang kabur dan dimanipulasi, dan juga dengan memberikan gelar pahlawan kepada pemimpin otoriter yang melakukan banyak pelanggaran HAM hanya akan memperkuat impunitas, seolah-olah tokoh dengan rekam jejak buruk seperti Presiden Soeharto masih bisa dianggap tindakan yang heroik.
Sudah seharusnya seorang yang telah memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia seperti Marsinah mendapatkan penghormatan dan menjadi role model bagi setiap orang. Namun, dengan menutup mata atas peristiwa yang menimpanya tanpa adanya proses hukum yang jelas dan berkeadilan hanyalah merupakan pencitraan belaka, dan semakin memperkuat impunitas terhadap pelaku kejahatan HAM. Dan tidak seharusnya seorang pemimpin otoriter Orde Baru yang telah melakukan kejahatan-kejahatan kemanusiaan seperti Soeharto mendapatkan penghormatan dengan pemberian gelar pahlawan kepadanya.
Kematian Marsinah Tidak Sia-Sia. Perjuangannya Terus Berlanjut.
Kematian Marsinah yang sangat mengenaskan merupakan konsekuensi dari perjuangan kelas pekerja yang berani menuntut dan memperjuangkan hak pekerja secara konsisten. Tapi bukan berarti, tragedi mengerikan yang menimpa Marsinah menjadikan kita merasa takut dan tidak lagi berani untuk tegas memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak kita.
Maka, dalam peringatan 32 tahun kematian Marsinah hari ini, kami, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) hadir tidak untuk berduka—kami hadir untuk melanjutkan perjuangan melawan sistem yang telah membunuh Marsinah serta jutaan buruh lainnya. Kami hadir untuk meneruskan kegigihan, perjuangan, dan perlawanan Marsinah terhadap sistem brutal ini. Kami hadir untuk berjuang mewujudkan kehidupan layak bagi seluruh rakyat pekerja. Menarik pelajaran dari gigihnya perjuangan Marsinah, api perlawanan harus terus berlanjut hingga belenggu pada kelas pekerja lenyap, demi dunia yang lebih baik—dunia yang setara tanpa penghisapan. Kemenangan pasti ada di pihak kita.
Atas kondisi tersebut, GEBRAK menuntut:
- Usut tuntas kematian Marsinah oleh rezim militer Orde Baru
- Cabut UU Cipta Kerja beserta PP turunannya, Lawan badai PHK, sahkan RUU Ketenagakerjaan Pro Buruh, dan berikan kepastian dan
- jaminan kerja yang layak bagi kaum buruh!
- Sahkan RUU PRT sekarang juga, Jaminan hukum bagi pekerja rumah tangga adalah mutlak!
- Jalankan reforma agraria sejati: tanah dan teknologi pertanian bagi petani kecil!
- Tangkap, Adili dan Penjarakan Jenderal-Jenderal Pelanggar HAM!
- Bubarkan Komando Teritorial!
- Potong Anggaran Kementerian Pertahanan, Polri, Kejaksaan Agung, BIN, dsb.
- Sita Aset-Aset Bisnis Militer! Untuk Pendidikan, Kesehatan dan Subsidi Rakyat.
- Tolak Militer Masuk Kampus, Pabrik dan Desa! Tolak Militer Campur Tangan Urusan Sipil! Kembalikan Militer Ke Barak!
- Tolak sistem kerja kontrak, outsourcing, sistem kerja magang, dan sistem kemitraan palsu bagi driver online dan ojol.
- Lindungi buruh perempuan, stop pelecehan dan kekerasan di tempat kerja, segera ratifikasi Konvensi ILO 190
- Berlakukan Day Care anak yang murah dan berkualitas, sediakan ruang laktasi bagi buruh Perempuan
- Jamin dan lindungi hak-hak migran, pekerja perikanan, kelautan – segera ratifikasi Konvensi ILO 18
- Hak untuk berserikat bagi semua pekerja, termasuk bagi ASN.
- Berikan sanksi bagi semua pemberi kerja, pabrik, dan perusahaan yang melanggar aturan ketenagakerjaan.
- Hapuskan hubungan kemitraan, pengakuan status pekerja bagi pengemudi ojol, taksi onsol dan kurir
- Berikan hak pendidikan secara gratis tanpa pinjol
Organisasi yang tergabung dalam Aliansi Gebrak:
Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan
Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), Perempuan Mahardhika, Federasi Pelajar Indonesia (FIJAR), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Federasi Serikat Buruh Makanan & Minuman (FSBMM), Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Federasi Pekerja Industri (FKI), Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Greenpeace Indonesia (GP), Trend Asia (TA), Aliansi Jurnalis Independent (AJI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), BEM STIH Jentera, Serikat Pekerja Kampus (SPK), Rumah Amartya, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), Kesatuan Serikat Pekerja Medis dan Tenaga Kesehatan Indonesia (KSPMTKI), Perserikatan Sosialis (PS), Resistance Jakarta, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), PPR.
Narahubung:
Sunarno (Konfederasi KASBI), +62 812 8064 6029, Ilhamsyah (KPBI), +62 812-1923-5552, Martin (KPR) +62 857 6175 4198, +62 811 1313 760, Isnur (YLBHI) +62 815 1001 4395
Comment here